"Kembang kembang tanjung... kembang tanjung... " Alunan musik sunda mengiringi anak - anak menari jaipong adalah hal yang sangat aku nikmati. Lekukan tubuh sang penari mengikuti tempo lagu terasa menyejukkan batinku yang selama ini gersang. Semenjak kudirikan sanggar, otomatis kesibukanku sebagai guru tari mengisi hari - hari indahku. Terlebih muridku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Aku selalu mensyukuri tiap detik dalam hidupku. Suami dan anak - anakku adalah penyemangatku berkarya.
"Maaa.. ade pengen liburan dong ma hari Sabtu. Mama sibuk terus! " celoteh anak bungsuku. Kupeluk erat tubuhnya sembari kucium kening dengan penuh kasih sayang.
"Nanti ya de. Mama janji kalau sudah ada pelatih yang bantu mama. Mama akan temani ade liburan. "
"Janji ya maa... "
"Iya sayang.." ucapku lirih. Suamiku yang berada di sebelahku hanya melirik ke arahku. Namun herannya, dia tidak berkomentar seperti biasanya. Terbersit pikiran aneh d
Tepat satu tahun bergelut dengan tari, kejiwaanku semakin membaik. Hari yang kujalani lebih bergejolak kurasakan. Setiap pagi adalah warna baru dalam hidupku. Aroma kopi dengan semilir angin jelas sekali menambah semangat jiwaku memulai hari. Anak - anak yang beranjak dewasa, membuat langkah kakiku lebih ringan menata hari. Ide di kepalaku menumpuk. Banyak sekali impian yang harus kuwujudkan. Aku harus berusaha selama Tuhan memberikanku umur. Aku tidak tahu berapa lama lagi umurku. Namun tekadku bulat. Takkan ada lagi yang menghalangiku menari di sisa hidupku. "Ma, aku mau sarapan roti bakar keju ya. Kalau ade pengen nasi goreng." ucap anak ketigaku. "Siap.Lalu mas mau apa? " tanyaku sambil tersenyum manis. "Sempet ga mama masaknya kalau mas minta?. Kalau sarapan mas mau nasi goreng saja. Hanya dari kemarin mas pengen makan dengan makanan kesukaanku. " "Rendang ya mas?aku usahakan ya mas. " "Aku mau rendang yang
Gaung sanggar Lusi tempatku berkarya mulai menapakkan sayapnya. Undangan dari berbagai instansi, sekolah, acara pernikahan bahkan sampai istana presiden menjadi langganan pemakai jasa anak - anak didikku. Jadwal padat selalu terisi tidak saja di hari libur, namun hari biasapun jadwal padat menambah jam terbang pengalaman anak - anak menari. Aku selaku pendiri dan penikmat seni sangat puas dengan hasil yang kucapai. Cara mengajarku yang kujalani dari hati menambah nilai positif kemajuan sanggar. "Putar nak... putar ke kiri hentakan kaki lalu tangan lekukan dua kali ya.. " ujarku pada anak didikku sambil kupraktekan tarianku. "Baik bu Lusi... " Jumlah murid yang berlatih di sanggar Lusi adalah lima puluh orang. Jumlah ini insyaAllah kuyakin semakin bertambah karena minat dan kemajuan sanggarku. Jenis tari di tempatku memang hanya tari jaipong. Aku belum sempat mencari guru tari lain selain Jaipong. Tarian Jaipong sangat aku kuasai karena
Tawaran beasiswa yang kuterima selalu terngiang di telingaku. Bayangan akan pengalaman baru dalam hidup selalu menghantuiku. Aku adalah tipe orang yang selalu haus akan ilmu. Terlebih pada dunia yang aku cintai. Tari adalah hidupku. Aku takkan pernah lagi meninggalkannya. Segala rintangan akan aku hadapi. Termasuk restu suamiku. Aku tahu aku salah. Aku harus menurut apapun perkataan suamiku. Karena dalam ajaranku, restu suami adalah wajib aku kantongi. Bahkan keluar rumah harus seijin suami. Aku tak menampik bahwa selama ini aku selalu menjalani kewajiban sebagai istri. Bahkan sampai aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa adalah salahsatu bukti ketaatanku pada suami. Aku takut sekali membantahnya. "Bagaimana mas? apa mas tetap tidak memperbolehkanku? " "Kau sudah tahu jawabanku. Tak usah kamu tanya kembali. " Entah apa yang memberanikanku selalu bertanya berulang kali perihal kesempatanku kuliah keluar negeri. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini.
Tenggat waktu jawaban beasiswa itu hanya dua minggu. Masih banyak waktu tersisa untukku meyakinkan kembali suamiku. Hari kelima sudah berlalu. Pikiranku mulai kosong. Semua yang kulakukan serba salah. Aku banyak melamun sendiri. Aku tahu aku salah. Namun inilah diriku. Dibalik kesabaranku selama ini, ada sikap ambisi yang kumiliki. Aku tak menampik dengan segala kemauanku yang keras, aku selalu diliputi perasaan bersalah. Aku tahu aku berambisi, tetapi aku tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan melayani keluargaku dengan maksimal. Aku selalu tidur tepat pukul sembilan malam lalu akan bangun tepat pukul empat subuh. Bukan karena apa - apa. Aku harus memasak dan mencuci agar aku bisa mengajar di siang hari. Pengorbananku rasanya sudah cukup. Aku selalu menomorsatukan keluarga. Namun ada kalanya sesekali keinginanku sebagai seorang manusia, suami dan anak - anakku memahaminya."Ma... dimana baju pramukaku? ""Memangnya ini hari Selasa ya nak? ""Iya mam
Seruput kopi di pagi hari yang biasanya menyenangkan, kali ini terasa pahit di tenggorokanku. Angin semilir kurasakan menampar wajahku. Mataharipun ikut takut menatapku. Aku merasa menjadi wanita paling tidak berharga. Sejak aku mengatakan akan tetap pergi, mas tidak menampakkan batang hidungnya sekalipun. Mobil yang biasanya mas pakaipun tak terlihat. Aku sudah mencarinya di setiap sudut rumah. Baju - baju masih tersimpan rapi di lemari. Barang berhargapun masih tampak lengkap. Tak mungkin mas pergi begitu saja. Aku yakin dia hanya sebentar. "De, ade lihat ayah? " "Ga ma. Dari pagi ade ga lihat. Kenapa mah? " "Ga ada apa - apa de."ucapku sambil menahan sesak. Bagaimanapun aku sangat tak menginginkan semua ini. Aku tak mau berpisah dengan suamiku. Aku masih sangat mencintainya. Aku tetap menghormati suamiku sebagai ayah terbaik bagi anak - anakku. Perlahan air mataku menetes seperti buih. Aku bingung harus bagaimana. Aku ingin teriak sekencang - kencang
Kepergian suamiku yang tiba - tiba menyisakan perih yang teramat dalam. Aku merasakan pergolakan batin yang luar biasa. Hampir saja kubatalkan semua rencanaku. Namun apa yang akan terjadi padaku? Aku takut jiwaku terguncang kembali. Kestabilan emosiku harus kujaga dengan sangat baik. Aku harus membuat hidupku kembali ceria, menyenangkan dan tertata. Bukan karena aku egois. Tapi karena aku takut merepotkan keluargaku bila jiwaku memberontak kembali. Ya... Semoga langkah awal keputusan aku kuliah ke luar negeri adalah benar. Terlepas aku belum menemukan keberadaan suamiku."Tante Dita dan Om Pras. Aku titip anak - anakku. Tiada yang dapat membalas semua kebaikan kalian pada kami. ""Iya ndo. Kamu sudah kami anggap anak sendiri. Anak - anakmu adalah anakku juga. Tidak usah sungkan - sungkan ya. Kamu belajar yang benar disana. Ambil ilmu sebanyak - banyaknya disana. Masalah suamimu, semoga suatu saat kalian bertemu ya. "Kalimat demi kalimat yang mengantarkan keperg
Hari yang tak kuduga telah tiba. Hari yang tidak pernah terbesit dalam hidupku. Aku yang notabene hanya ibu rumah tangga dan mantan pasien rumah sakit jiwa bisa menapakkan kakiku di negara Australia. Walau beban pikiranku masih seputar keadaan rumah tanggaku, namun aku akui perjalanan hidupku sangat aku nikmati. Tuhan telah banyak memberikan kenikmatan luar biasa yang harus aku syukuri. Aku harus melakukan yang terbaik demi negara, keluarga dan orang - orang yang selalu mendukungku. Aku mengambil pascasarjana Master of dance di The University of Melbourne karena sesuai dengan visiku dalam berkarya. *** Australia adalah negara yang memiliki iklim sedang dan hangat. Sehingga aku bisa beradaptasi dengan cepat. Sedangkan untuk masalah tempat tinggal, banyak pilihan bagi pejuang beasiswa sepertiku. Ada yang memilih tinggal di sebuah shared house dengan biaya per minggu 115-130 AUD, semua sudah termasuk listrik, air, internet dan banyak pilihan tempat tinggal lainnya, term
Hari demi hari di negara orang membuatku merasakan seolah hidup kembali. Aktivitas yang biasa kulakukan seperti mengatur menu makanan, menyetrika pakaian bahkan menyuapi anak - anakku tak kulakukan disini. Sejenak aku bisa melupakan rutinitas yang kadang membuatku jenuh. Aku tak pernah membayangkan aku bisa mencium aroma koridor sekolah dengan jejeran kantin kembali. Lalu lalang mahasiswa penuh tawa dengan impian masa depan yang ingin rasanya kubisikan bahwa dunia tak seindah itu. *** Sanggar Lusy yang aku tinggalkan di Indonesia masih terus berjalan. Aku percayakan pada tanteku untuk mengelola. Anak - anakku tumbuh sangat cepat dengan baik. Prestasi yang mereka torehkan di sekolah menambah kebahagiaan menjadi seorang ibu. Kadang terlintas di pikiran aku ingin Mas Edy kembali. Namun, bayangan mas melarangku sekolah dan mengembangkan semua yang aku punya untuk menari kembali membuatku ciut. Jujur aku masih mencintai Edy. Aku takut psikologiku terganggu kembali bila aku stress. Apalagi
Hari demi hari di negara orang membuatku merasakan seolah hidup kembali. Aktivitas yang biasa kulakukan seperti mengatur menu makanan, menyetrika pakaian bahkan menyuapi anak - anakku tak kulakukan disini. Sejenak aku bisa melupakan rutinitas yang kadang membuatku jenuh. Aku tak pernah membayangkan aku bisa mencium aroma koridor sekolah dengan jejeran kantin kembali. Lalu lalang mahasiswa penuh tawa dengan impian masa depan yang ingin rasanya kubisikan bahwa dunia tak seindah itu. *** Sanggar Lusy yang aku tinggalkan di Indonesia masih terus berjalan. Aku percayakan pada tanteku untuk mengelola. Anak - anakku tumbuh sangat cepat dengan baik. Prestasi yang mereka torehkan di sekolah menambah kebahagiaan menjadi seorang ibu. Kadang terlintas di pikiran aku ingin Mas Edy kembali. Namun, bayangan mas melarangku sekolah dan mengembangkan semua yang aku punya untuk menari kembali membuatku ciut. Jujur aku masih mencintai Edy. Aku takut psikologiku terganggu kembali bila aku stress. Apalagi
Hari yang tak kuduga telah tiba. Hari yang tidak pernah terbesit dalam hidupku. Aku yang notabene hanya ibu rumah tangga dan mantan pasien rumah sakit jiwa bisa menapakkan kakiku di negara Australia. Walau beban pikiranku masih seputar keadaan rumah tanggaku, namun aku akui perjalanan hidupku sangat aku nikmati. Tuhan telah banyak memberikan kenikmatan luar biasa yang harus aku syukuri. Aku harus melakukan yang terbaik demi negara, keluarga dan orang - orang yang selalu mendukungku. Aku mengambil pascasarjana Master of dance di The University of Melbourne karena sesuai dengan visiku dalam berkarya. *** Australia adalah negara yang memiliki iklim sedang dan hangat. Sehingga aku bisa beradaptasi dengan cepat. Sedangkan untuk masalah tempat tinggal, banyak pilihan bagi pejuang beasiswa sepertiku. Ada yang memilih tinggal di sebuah shared house dengan biaya per minggu 115-130 AUD, semua sudah termasuk listrik, air, internet dan banyak pilihan tempat tinggal lainnya, term
Kepergian suamiku yang tiba - tiba menyisakan perih yang teramat dalam. Aku merasakan pergolakan batin yang luar biasa. Hampir saja kubatalkan semua rencanaku. Namun apa yang akan terjadi padaku? Aku takut jiwaku terguncang kembali. Kestabilan emosiku harus kujaga dengan sangat baik. Aku harus membuat hidupku kembali ceria, menyenangkan dan tertata. Bukan karena aku egois. Tapi karena aku takut merepotkan keluargaku bila jiwaku memberontak kembali. Ya... Semoga langkah awal keputusan aku kuliah ke luar negeri adalah benar. Terlepas aku belum menemukan keberadaan suamiku."Tante Dita dan Om Pras. Aku titip anak - anakku. Tiada yang dapat membalas semua kebaikan kalian pada kami. ""Iya ndo. Kamu sudah kami anggap anak sendiri. Anak - anakmu adalah anakku juga. Tidak usah sungkan - sungkan ya. Kamu belajar yang benar disana. Ambil ilmu sebanyak - banyaknya disana. Masalah suamimu, semoga suatu saat kalian bertemu ya. "Kalimat demi kalimat yang mengantarkan keperg
Seruput kopi di pagi hari yang biasanya menyenangkan, kali ini terasa pahit di tenggorokanku. Angin semilir kurasakan menampar wajahku. Mataharipun ikut takut menatapku. Aku merasa menjadi wanita paling tidak berharga. Sejak aku mengatakan akan tetap pergi, mas tidak menampakkan batang hidungnya sekalipun. Mobil yang biasanya mas pakaipun tak terlihat. Aku sudah mencarinya di setiap sudut rumah. Baju - baju masih tersimpan rapi di lemari. Barang berhargapun masih tampak lengkap. Tak mungkin mas pergi begitu saja. Aku yakin dia hanya sebentar. "De, ade lihat ayah? " "Ga ma. Dari pagi ade ga lihat. Kenapa mah? " "Ga ada apa - apa de."ucapku sambil menahan sesak. Bagaimanapun aku sangat tak menginginkan semua ini. Aku tak mau berpisah dengan suamiku. Aku masih sangat mencintainya. Aku tetap menghormati suamiku sebagai ayah terbaik bagi anak - anakku. Perlahan air mataku menetes seperti buih. Aku bingung harus bagaimana. Aku ingin teriak sekencang - kencang
Tenggat waktu jawaban beasiswa itu hanya dua minggu. Masih banyak waktu tersisa untukku meyakinkan kembali suamiku. Hari kelima sudah berlalu. Pikiranku mulai kosong. Semua yang kulakukan serba salah. Aku banyak melamun sendiri. Aku tahu aku salah. Namun inilah diriku. Dibalik kesabaranku selama ini, ada sikap ambisi yang kumiliki. Aku tak menampik dengan segala kemauanku yang keras, aku selalu diliputi perasaan bersalah. Aku tahu aku berambisi, tetapi aku tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan melayani keluargaku dengan maksimal. Aku selalu tidur tepat pukul sembilan malam lalu akan bangun tepat pukul empat subuh. Bukan karena apa - apa. Aku harus memasak dan mencuci agar aku bisa mengajar di siang hari. Pengorbananku rasanya sudah cukup. Aku selalu menomorsatukan keluarga. Namun ada kalanya sesekali keinginanku sebagai seorang manusia, suami dan anak - anakku memahaminya."Ma... dimana baju pramukaku? ""Memangnya ini hari Selasa ya nak? ""Iya mam
Tawaran beasiswa yang kuterima selalu terngiang di telingaku. Bayangan akan pengalaman baru dalam hidup selalu menghantuiku. Aku adalah tipe orang yang selalu haus akan ilmu. Terlebih pada dunia yang aku cintai. Tari adalah hidupku. Aku takkan pernah lagi meninggalkannya. Segala rintangan akan aku hadapi. Termasuk restu suamiku. Aku tahu aku salah. Aku harus menurut apapun perkataan suamiku. Karena dalam ajaranku, restu suami adalah wajib aku kantongi. Bahkan keluar rumah harus seijin suami. Aku tak menampik bahwa selama ini aku selalu menjalani kewajiban sebagai istri. Bahkan sampai aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa adalah salahsatu bukti ketaatanku pada suami. Aku takut sekali membantahnya. "Bagaimana mas? apa mas tetap tidak memperbolehkanku? " "Kau sudah tahu jawabanku. Tak usah kamu tanya kembali. " Entah apa yang memberanikanku selalu bertanya berulang kali perihal kesempatanku kuliah keluar negeri. Aku tak mau melewatkan kesempatan ini.
Gaung sanggar Lusi tempatku berkarya mulai menapakkan sayapnya. Undangan dari berbagai instansi, sekolah, acara pernikahan bahkan sampai istana presiden menjadi langganan pemakai jasa anak - anak didikku. Jadwal padat selalu terisi tidak saja di hari libur, namun hari biasapun jadwal padat menambah jam terbang pengalaman anak - anak menari. Aku selaku pendiri dan penikmat seni sangat puas dengan hasil yang kucapai. Cara mengajarku yang kujalani dari hati menambah nilai positif kemajuan sanggar. "Putar nak... putar ke kiri hentakan kaki lalu tangan lekukan dua kali ya.. " ujarku pada anak didikku sambil kupraktekan tarianku. "Baik bu Lusi... " Jumlah murid yang berlatih di sanggar Lusi adalah lima puluh orang. Jumlah ini insyaAllah kuyakin semakin bertambah karena minat dan kemajuan sanggarku. Jenis tari di tempatku memang hanya tari jaipong. Aku belum sempat mencari guru tari lain selain Jaipong. Tarian Jaipong sangat aku kuasai karena
Tepat satu tahun bergelut dengan tari, kejiwaanku semakin membaik. Hari yang kujalani lebih bergejolak kurasakan. Setiap pagi adalah warna baru dalam hidupku. Aroma kopi dengan semilir angin jelas sekali menambah semangat jiwaku memulai hari. Anak - anak yang beranjak dewasa, membuat langkah kakiku lebih ringan menata hari. Ide di kepalaku menumpuk. Banyak sekali impian yang harus kuwujudkan. Aku harus berusaha selama Tuhan memberikanku umur. Aku tidak tahu berapa lama lagi umurku. Namun tekadku bulat. Takkan ada lagi yang menghalangiku menari di sisa hidupku. "Ma, aku mau sarapan roti bakar keju ya. Kalau ade pengen nasi goreng." ucap anak ketigaku. "Siap.Lalu mas mau apa? " tanyaku sambil tersenyum manis. "Sempet ga mama masaknya kalau mas minta?. Kalau sarapan mas mau nasi goreng saja. Hanya dari kemarin mas pengen makan dengan makanan kesukaanku. " "Rendang ya mas?aku usahakan ya mas. " "Aku mau rendang yang
"Kembang kembang tanjung... kembang tanjung... " Alunan musik sunda mengiringi anak - anak menari jaipong adalah hal yang sangat aku nikmati. Lekukan tubuh sang penari mengikuti tempo lagu terasa menyejukkan batinku yang selama ini gersang. Semenjak kudirikan sanggar, otomatis kesibukanku sebagai guru tari mengisi hari - hari indahku. Terlebih muridku semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Aku selalu mensyukuri tiap detik dalam hidupku. Suami dan anak - anakku adalah penyemangatku berkarya. "Maaa.. ade pengen liburan dong ma hari Sabtu. Mama sibuk terus! " celoteh anak bungsuku. Kupeluk erat tubuhnya sembari kucium kening dengan penuh kasih sayang. "Nanti ya de. Mama janji kalau sudah ada pelatih yang bantu mama. Mama akan temani ade liburan. " "Janji ya maa... " "Iya sayang.." ucapku lirih. Suamiku yang berada di sebelahku hanya melirik ke arahku. Namun herannya, dia tidak berkomentar seperti biasanya. Terbersit pikiran aneh d