Selanjutnya dia berkata, “Ternyata saya salah. Tuhan tidak tidur. Edward Fandi akhirnya kena batunya. Dia baru-baru ini terkena kasus prostitusi online yang melibatkan artis terkenal berinisial CA. Dokter pasti sudah mendengar berita yang viral di media sosial itu.”
Sang psikiater mengangguk. Kasus itu memang masih bergulir hingga kini. Artis CA bahkan sudah ditetapkan sebagai tersangka di pengadilan. Namun kliennya entah mengapa menghilang bagaikan ditelan bumi.
Dan seingatku pengguna jasa prostitusi itu berinisial EF. Dia merupakan seorang profesional di sebuah perusahaan asuransi, batin dokter tersebut. Rupanya orang itulah yang menjadi sumber gangguan psikosomatis yang dialami pasienku ini. Dunia benar-benar sempit.
“Dokter,” ucap Rosemary lirih. “Apakah dosa-dosa saya dulu itu masih bisa diampuni Tuhan? Saya merasa diri ini begitu kotor dan hina dina. Sampai-sampai tak berani memohon ampun kepadaNya. Semenjak saya m
Selesai berdoa di gua Maria, Rosemary beranjak menuju ke pintu samping gereja. Didorongnya handle pintu berwarna coklat tua di depannya hingga terbuka. Ketika dia masuk ke dalam ruangan tempat ibadah yang terang benderang oleh pencahayaan warna kuning itu, Rosemary menghembuskan napas lega. Dirinya merasa takjub dengan pemandangan di hadapannya.Altar gereja yang megah seolah menyapa kehadirannya. Di bagian atas altar itu terdapat patung salib Tuhan Yesus. Posisi Isa Almasih yang tampak menderita disalib itu membuat hati Rosemary terenyuh.Tuhanku yang tidak berdosa saja bersedia menderita tanpa mengeluh, batinnya terharu. Sedangkan aku yang sudah berkali-kali melakukan kesalahan masih saja berani berkeluh-kesah. Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku….Disentuhkannya jari telunjuknya pada air suci yang terletak di dinding ruangan. Dibuatnya tanda salib pada dahi dan dadanya dengan air tersebut. Selanjutnya ia berjalan perlahan-lahan menuju ke bangku p
“Selamat pagi, Bu Farida. Saya Rosemary, pasien Dokter Mirna,” kata Rosemary memperkenalkan dirinya pada adik kandung psikiaternya itu ketika esok paginya dia datang mengunjungi panti asuhan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) milik wanita itu.“Selamat pagi, Nona Rosemary,” jawab wanita berambut pendek dan bertubuh tinggi ramping itu sopan. “Saya sudah diberitahu kakak saya mengenai maksud Nona untuk sesekali bekerja membantu di panti ini secara sukarela. Terima kasih banyak sebelumnya. Akan tetapi sebaiknya saya perlihatkan terlebih dahulu kondisi tempat ini sebelum Nona memulai. Bagaimana?”Tamunya mengangguk penuh semangat. “Panggil saya Rosemary saja, Bu Farida. Tidak usah pakai sebutan Nona. Dokter Mirna juga memanggil saya begitu,” pintanya bersungguh-sungguh.Farida mengangguk setuju. Dia menyukai sikap rendah hati yang terpancar dari pembawaan perempuan muda ini. “Baiklah kalau begitu, Rosemary
Penjelasan Farida itu membuat Rosemary manggut-manggut. Dia merasa masih harus banyak belajar tentang ABK. Sejauh ini dirinya cukup antusias memperoleh pengetahuan tentang anak-anak spesial yang selama ini lebih banyak dilihatnya di televisi.Selanjutnya dia diajak melihat-lihat kelas SMP, SD, TK, dan kelompok bermain. Tingkat SMP sama halnya dengan SMA, terdiri dari satu kelas saja. Sedangkan level SD terdiri dari dua kelas. Lalu level TK maupun kelompok bermain sama-sama terdiri dari satu kelas.Tiap kelas tersebut jumlah muridnya tidak sampai sepuluh orang. Pun jumlah guru yang mengajar bisa berjumlah dua hingga tiga orang. Pada kelas kelompok bermain, Rosemary tertarik pada seorang anak laki-laki yang kakinya kecil dan kurus sekali. Dia duduk di atas matras di lantai.“Halo,” sapa wanita itu sambil tersenyum ramah. Ia berjongkok agar mudah bertatapan muka dengan bocah yang masih balita itu. “Namamu siapa, Nak?” tanyanya ingin ta
“Di lantai tiga,” jawab Farida lugas. “Mari kita naik ke atas.”Kedua perempuan itu lalu menaiki tangga menuju ke lantai tertinggi dari panti asuhan tersebut. Di sana Rosemary diperlihatkan sebuah ruangan besar berisi berbagai peralatan untuk terapi Sensori Integrasi (SI). Terapi ini bertujuan meningkatkan kemampuan motorik kasar seperti berguling, berayun, melompat, berlari, memanjat, merayap, berjalan naik-turun, dan lain sebagainya.Peralatan yang tersedia antara lain matras, silinder besar yang terbuat dari bantalan, bola besar yang biasa dipakai orang untuk berlatih yoga, trampoline, ayunan, tiang-tiang dan tali-tali untuk memanjat, seluncuran, kolam pasir sintetik, kolam bola, dan lain sebagainya.“Alat-alat ini seperti yang biasa saya lihat di wahana bermain anak di mal, Bu Farida. Ternyata gunanya untuk terapi juga, ya,” komentar Rosemary.“Betul,” jawab lawan bicaranya sambil menga
“Bolehkah aku memanggilmu Rosemary langsung tanpa embel-embel Nona? Karena kita akan sering bertemu di panti ini. Rasanya lebih enak kalau bersikap sebagai teman daripada dokter dengan pasien, kan?” cetus pria itu sembari menatap hangat wanita di hadapannya.Rosemary mengangguk mengiyakan. “Kalau begitu aku juga memanggilmu Christopher saja, ya?” tanyanya meminta persetujuan.“Chris saja,” sahut lawan bicaranya. “Lebih singkat dan praktis.”“Ok, Chris.”Sang dokter mengangguk senang. Dia lalu berkata, “Kamu masih ingat nggak, Rose? Waktu aku merekomendasikan Dokter Mirna dulu, aku sempat bilang bahwa ada seseorang yang pernah mengalami gangguan psikosomatis sama persis denganmu. Orang itu sembuh setelah beberapa bulan terapi dengan Dokter Mirna….”Rosemary mengangguk. “Iya, aku ingat,” jawabnya pendek.“Orang itu…aku sendiri,” aku Ch
Rosemary merenungkan kata-kata dokter tersebut. Dia menghela napas panjang. “Hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari informasi yang terakhir kudengar, istri Edward masih setia mendampingi suaminya meskipun laki-laki itu sudah kehilangan pekerjaan dan nama baik. Alangkah mulianya hati wanita itu. Aku benar-benar merasa malu karena dulu telah menyakitinya. Entah dia menyadarinya atau tidak….”“Lalu apa gunanya kamu memikirkannya sekarang?” tukas Christopher tegas. “Nggak ada hal yang bisa kamu lakukan demi kebahagiaan wanita itu.”“Ada,” sela Rosemary sembari tersenyum lebar. “Kuikuti saja anjuranmu tadi untuk mendoakan kebahagiaannya. Hehehe….”Christopher menyeringai senang. “Kalau begitu, tunggu apa lagi?” cetusnya sembari bangkit berdiri. “Lupakan masa lalu yang tidak menyenangkan, Rosemary. Sekarang mari kutemani kamu beradaptasi dengan para ABK di sini
“Sudah pernah kukatakan pada mamaku tempo hari, Dam. Supaya beliau bisa mengatur pengeluaran dengan lebih bijak.”“Lalu tanggapannya gimana?”Rosemary menghela napas panjang. “Yah, Mama kaget, sih. Apalagi waktu aku bilang mau berhenti dari pekerjaanku sebagai agen asuransi,” jawabnya terus terang.Damian tersenyum penuh kemenangan. “Apa kataku? Semua orang pasti menyayangkan keputusanmu itu, Rose.”“Tapi sampai kapan aku melakukan segala sesuatu demi menyenangkan hati orang lain? Ini kan hidupku, Dam. Akulah yang berhak memutuskan apa yang mau dan tak mau kulakukan.”“Kamu keras kepala sekali, Rosemary Laurens!”“Makanya cuma kamu yang sanggup bertahan menjadi sahabat baikku!”Kedua insan berlainan jenis itu berpandang-pandangan. Sesaat kemudian tawa mereka terdengar membahana memenuhi ruangan.Damian lalu mendekatkan kursinya pada Rosema
Laki-laki di hadapannya bertepuk tangan. “Hebat sekali, Rosemary Laurens. Baru dua minggu melakukan pelayanan, tapi pengetahuannya tentang ABK sudah begitu mendalam,” pujinya.Rosemary langsung menanggapi, “Itu belum seberapa, Dam. Kamu belum pernah mendengar tentang usus berpori atau bocor….”“Sudah, sudah,” sela Damian sambil menutup kedua telinganya. “Stop bicara hal-hal yang mengerikan tentang ABK. Kamu ajak aja aku langsung ke sana.”“Ok. Nanti kukabari ya bisanya kapan. Aku mesti bikin janji dulu sama Chris….”“Chris? Si dokter internis itu maksudmu?”“He-eh.”“Kenapa mesti nunggu dia? Kamu aja kan udah cukup buat nemenin aku.”“Yaaa…supaya kamu bisa sekalian kenalan sama dia. Orangnya baik, kok. Enak diajak ngobrol.”“Ya kuprospek asuransi aja kalau gitu. Siapa tahu nembus. Bisa buka poli