Hongkong, tahun 2015Mereka bercanda, tertawa. Hingga tak terasa matahari tergenlincir membenamkan sinarnya. Anis kembali ke rumah majikannya, sedangkan Murni kembali ke rumah majikannya. Mereka berdua bekerja di tempat yang berbeda. Namun, tempat bekerja masih satu komplek.“Ini gajimu.” Sang majikan memberikan amplop coklat berisi segepok uang.“Sa-satu juta dolar?”Sang majikan hanya tersenyum tipis.[Murni, kamu lagi ngapain?] Anis mengirim sms kepada Murni.[Lagi ngantar majikan ke pasar, Nis. Kamu lagi ngapain?][Lagi tiduran aja di kamar.][Asik dong bisa santai?][Iya nih. Oh ya, ngomong-ngomong aku habis gajian.][Terus mau apa, Nis?][Besok pagi rencananya kamu aku traktir. Mau kan?][Yang benar?][Iya.]Tiba-tiba saja ada sms dari nomor yang tidak dikenal. Nomor tersebut menawarkan pinjaman uang. Anis yang harus mengirim uang ke kampung halaman, menyetujui tawaran tersebut. Namun, ia harus mengirim sejumlah uang sebesar satu juta rupiah.Anis memerhatikan kode nomor tersebu
Hari demi hari berlalu begitu cepat. Murni mengajak Anis ke suatu tempat di musim liburan. Mereka berdua ke the sky teracce di Victoria Peak. Di sana mereka bisa melihat keindahan Hongkong dari atas. Semua terlihat dengan gedung pencakar langit.“Murni, aku ingin cerita sama kamu.”“Cerita apa, Nis?”“Kemarin pas gajian aku terkena tipu.”“Kok bisa?”“Awalnya ada yang nawarin pinjaman uang gitu dengan syarat aku harus transfer sejumlah uang.”“Terus kamu transfer uang ke pelaku?”“Iya aku transfer saja. Ternyata seminggu kemudian uangku nggak dikembalikan.”“Yang nipu orang mana?”“Kalau dari kode nomernya sih kode nomer Indonesia.”“Wah kalau kaya gitu mendingan ikhlasin aja, Nis. Kita nggak bisa urusin kalau yang nipu orang Indonesia.”“Kamu benar, Murni. Aku mending ikhlas.”“Nah kan. Susah Nis kalau mau urusin kasusmu itu. Memangnya kamu kehilangan uang berapa, Nis?’“Satu juta, Mur.”“Lumayan banyak juga ya, Nis.”Anis memandang lurus ke depan. Menikmati Victoria Park yang semaki
Belanjaannya terjatuh. Ia harus membereskannya. Saat Anis mengambil belanjaannya yang berserak, lelaki itu ikut membantu membereskan belanjaan yang terjatuh. Sesaat mata mereka saling memandang.Murni yang melihat mereka langsung berdehem. Seketika Anis dan lelaki itu tersadar kembali dari lamunannya.“Kenalin namaku Tomo.” Lelaki itu mengulurkan tangannya.“Aku Anis.” Ia menyambut uluran tangan tersebut.“Kamu di sini kerja sebagai apa?”“Aku kerja di sini merawat seorang nenek. Kalau temanku ini kerjanya jadi asisten rumah tangga.”“Waah gajinya pasti sangat lumayan, ya.”“Begitulah.”“Apa aku boleh meminta nomormu?”“Boleh.”Anis dan lelaki bernama Tomo itu saling bertukar nomor poonsel.“Nis, pulang yuk. Hari sudah semakin gelap,” ucap Murni.“Kamu bener, Mur. Tomo, aku pulang dulu ya.”“Iya Anis. Makasih banyak ya udah ngasih nomor handphonemu. Pasti aku akan menghubungimu.”“Sama-sama, Tom.”Dalam perjalanan pulang Murni sering menggoda Anis.“Cieee yang lagi kasmaran sama Tomo.
Anis tidak boleh terbawa lamunan. Pekerjaannya masih menumpuk. Namun, kebahagiaannya tidak bisa terbendung. Ia segera menghubungi Aro.“Halo, Aro.”“Halo, Anis. Kamu apa kabar di sana?”“Aku baik-baik aja, Ro di sini.”“Baguslah.”“Oh ya, ada kabar apa tentang bapakku, Ro?”“Sehat kok. Semua yang ada di sini sehat. Oh iya, kamu kapan pulang kampung, Nis?”Lagi-lagi Anis menghembuskan napas kasar. Ia memang harus sabar terhadap Aro.“Kalau kontrak kerjanya sudah habis, baru aku pulang kampung, Ro.”“Oh gitu. Hehe. Oh iya, ada apa nelpon?”“Kamu tahu nggak, Ro kalau Tomo nembak aku.”“Tomo siapa?”“Tomo tuh lelaki yang nggak sengaja nabrak aku waktu itu.”“Oh. Terus kamu terima dia?”“Ya iya.”“Kamu harusnya bisa lebih hati-hati sama cowok yang baru kamu kenal, Nis.”“Tapi kami udah sering ketemu, kok. Aku pikir pertemuan itu udah cukup buat mengenal cowok bernama Tomo, Ro.”“Itu sih terserah kamu aja, Nis. Aku hanya ngasih saran, kok.”“Iya ya.”“Bearti kamu udah move on dong dari Reno
“Kamu mau nggak menikah denganku?” tanya Tomo saat lelaki itu mengajak Anis ke kafe di sekitar komplek rumah sang majikan.Mendengar pertanyaan Tomo, Anis tertegun. Ia melihat kembali tato yang menghiasi lengan Tomo.“Apakah kamu akan menjadi suami yang baik nantinya?” Anis balik bertanya.“Aku akan berusaha menjadi suami yang baik untukmu. Insyaallah.”“Kalau kamu betulan ingin menjadi suamiku, kamu harus menemui bapak di kampung halaman.”“Siap. Aku akan menemui bapakmu di kampung. Kontrak kerja kita sebentar lagi juga akan habis.”“Tapi tetap saja kamu harus memenuhi janjimu untuk bertemu bapakku.”“Aku malahan nggak sabar ingin bertemu bapakmu.”“Masa sih, Tom?”“Iya, Nis.”Beberapa bulan kemudian Anis, Murni, dan Tomo pulang kampung. Tomo menemui bapaknya Anis di rumahnya.“Begini, Pak. Saya datang kemari untuk melamar Anis.”“Bagaimana kamu bisa mengenal anakku?”“Saya mengenal Anis sewaktu kami masih bekerja di Hongkong, Pak.”“Begitu rupanya.”Anis datang membawa nampan berisi
Menjelang malam, Anis sedang asik membalas sms dari Murni. Sedangkan Tomo mengutak-atik radio kuno milik bapaknya Anis.“Tomo, ini udah jam berapa? Kamu sibuk mulu. Tidur gih,” ucap Anis sambil meletakkan ponselnya di meja rias.“Baru juga pukul 8 malam. Nanti aja deh kalau udah selesai memperbaiki radionya.”“Kamu kan bisa memperbaiki radionya besok pagi.”Tomo menghentikan pekerjaannya. Anis yang melihat Tomo meletakkan radio itu di atas meja, tersenyum tipis. Namun, Tomo berhambur mengambil jaket dan memakainya. Anis melongo.“Mau kemana kamu?” tanya Anis dengan nada sedikit khawatir.“Mau jalan sama temen-temen. Udah ditungguin di jembatan.”“Mau kemana?” tanya Anis berulangkali dengan pertanyaan yang sama.Tomo hanya neloyor tanpa menjawab Anis. Hampir tiga jam lamanya Anis menunggu Tomo di dalam kamar. Lelakinya belum juga pulang.“Tengah malam begini bapak udah tidur. Duh, kemana ya si Tomo?” gumam Anis.Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Ternyata Tomo. Tubuh lela
Ia membawa baskom berisi air dan lap. Anis mengelap wajah Tomo secara perlahan.“Bau alkoholnya belum juga hilang.” Anis menutup hidungnya. Ia melihat ponselnya.[Ro, kamu tahu nggak kalau Tomo malam ini mabuk-mabukan?] terkirim.Ia membanting tubuhnya di samping tubuh Tomo. Sesekali melirik wajah sang suami.[Maaf, Nis baru balas. Semalam aku ketiduran. Nggak tahu kalau ada sms dari kamu.]Bangun tidur Anis tidak mencuci muka. Namun, langsung membalas sms dari Aro.[Iya, Ro. Nggak apa-apa. Apa yang aku takutkan dari Tomo beneran terjadi, Ro.][Apaan tuh, Nis?][Dia mabuk-mabukan bersama teman-temannya.][Kenapa kamu nggak melarang dia?][Aku nggak tahu kalau dia akan berkumpul bareng teman-temannya.][Kamu harus tetap sabar, Nis. Oh ya, udah dulu ya, Nis aku mau nyuci baju.]Anis tidak membalas sms Aro. Ia meletakkan kembali ponselnya di atas lemari rias. Tomo belum bangun dari tidurnya. Anis melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 9 pagi.Waktu memang begitu cepat. Saat Anis memasa
Aro yang dibelikan sepatu oleh Anis, begitu senang. Sepatu itu memang diimpikan oleh Aro. Ia belum bisa membeli dengan uangnya sendiri. Meskipun Anis sudah menikah dengan Tomo, ia tetap berkunjung ke rumah Anis.“Oh ya, Nis ngomong-ngomong nih ya. Gimana kabar mantanmu?” tanya Aro.“Mantan yang mana?” Anis balik bertanya kepada Aro.“Itu mantan yang di Jakarta. Maksudku si Reno.”Anis diam lalu menghembuskan napas kasar. Ia menatap langit-langit.“Aku sudah melupakan Reno, Ro.”“Sebenarnya kamu bisa putus sama Reno, gimana sih?”“Dia nggak bertanggung jawab, Ro. Bilangnya akan melamarku. Ternyata bohong.”Beruntungnya selama Aro membahas Reno, tidak ada Tomo di rumah. Lelaki ganteng itu pergi ke suatu tempat.“Jadi yang mutusin lebih dulu tuh si Reno ya, Nis?” tanya Aro hati-hati.“Bisa dibilang begitu, Ro. Reno yang mutusin lebih dulu,” jawab Anis.Padahal gadis cantik itu mengingat betul bahwa sebelum putus, antara Anis dan Reno terjadi pertengkaran hebat. Anis meminta tanggung jawa
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Anis yang merayakan ulang tahun anaknya mengundang Aro di acara tersebut. Sama seperti teman-temannya Putri, Aro pun memberikan kado ulang tahun kepada Putri. Anis tersenyum sangat manis. Tomo yang berdiri di samping Anis, melirik Aro.Aro menyadari tingkah Tomo segera berdehem. Tomo menjadi salah tingkah. Perayaan ulang tahun diiringi tepuk tangan dari teman-temannya Putri. Putri segera merapalkan doa lalu meniup lilin.Suara riuh dari anak-anak yang bertepuk tangan, membuat Aro melihat Tomo. Tomo nyengir kuda sambil mengusap bagian belakang kepala. Entah mengapa Aro dan Tomo saling berpandangan. Anis yang menyadari sikap aneh Aro dan Tomo, hanya bisa diam.“Makasih ya teman-teman sudah datang di acara ulang tahunnya Putri,” ucap Anis.“Sama-sama, Tante,” sahut Acil.Acara ulang tahun Putri pun selesai. Anak-anak itu bergegas pulang.“Aku pulang dulu ya, Nis,” kata Aro sambil nyengir.“Kamu jangan pulang dulu, Ro.”“Memangnya kenapa, Nis?”“Kamu makan dulu gih. Aku udah masakin nasi
Anis masih mengingat bagaimana bapaknya pergi untuk selamanya. Waktu itu Anis memutar gagang pintu kamar. Setelah Tomo memeriksa kondisi bapaknya dengan wajah pucat. Ternyata denyut nadi bapaknya Anis sudah tidak ada.Hari ini Anis bersama sang kakak akan mengadakan pengajian 100 hari untuk mengenang bapaknya. Putri yang sudah bisa bicara selalu bertanya tentang acara tersebut.“Ibu, pengajian ini sebenarnya untuk apa?” tanya Putri dengan wajah polos.“Pengajian ini sudah menjadi tradisi di desa sini, Put. Setiap kali ada yang meninggal, kami harus memperingatinya.” Anis berusaha menjawab Putri sebisa mungkin.“Aku jadi kangen digendong sama Si Mbah, Bu.”“Kamu kangen ya?”“Iya, Bu.”“Anak ayah kenapa cemberut?” tanya Tomo yang kebetulan melalui Anis yang sedang membungkus makanan.“Putri kangen sama Si Mbah, Yah,” jawab Putri.“Kalau Putri kangen sama Si Mbah, Putri bisa mendoakan Si Mbah,” ujar Anis sambil menyeka dahi yang berkeringat.“Benar tuh. Putri harus doakan Si Mbah,” sahut
Bagas terbangun dari tidurnya. Lelaki itu hanya tersenyum pahit memandang wajah Aro. Lalu mereka berdua salat berjamaah di ruang salat. Pagi ini Aro membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi.Lalu Aro menyiapkan sarapan. Pagi ini pun Bagas harus pergi ke dokter. Semalam perut lelaki itu kesakitan. Aro mengambil gawainya yang berada di kamar. Ia mengirim pesan WA kepada Anis.[Anis, aku boleh curhat?]Tak berselang lama balasan dari Anis.[Iya curhat aja, Ro. Apa perlu aku ke rumahmu biar kamu bisa cerita leluasa?][Nggak perlu, Nis.][Memangnya ada apa sama kamu, Ro?][Aku bingung, Nis. Penjualan pakaianku menurun. Kamu ada saran nggak?][Wah iya. Kamu jualan pakaian. Aku nanti ke rumahmu sekalian mau beli baju.][Kebetulan, Ro aku ini kan pernah kerja di Jakarta sebagai penjaga toko pakaian. Jadi aku punya saran untuk tokomu.][Apa tuh, Nis?][Kamu coba nyebar selebaran. Terus kamu buat diskon yang sesuai dengan jenis bahan pakaian yang kamu jual, Ro.][Boleh juga tuh, Nis. Makasi