Share

Bab 1 – Kurang Terkenal

Penulis: KAi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-01 08:10:22

Bel tanda jam perkuliahan dimulai berbunyi. Kukeluarkan buku dan alat tulis, bersiap untuk menerima materi hari ini. Beberapa teman maju ke depan untuk memulai presentasi mereka. Proyektor sudah dinyalakan, laptop sudah disambungkan, dan seluruh mahasiswa sudah memasuki ruangan.

Seseorang tiba-tiba berdiri di depan tempat dudukku. Aku yang sedang asyik membaca buku, tak menghiraukan hal itu.

“Mbak, mbak,” panggilnya kemudian.

Tak merasa dipanggil, aku tetap fokus membaca buku. Tak lama kemudian, orang di hadapanku kembali memanggil tanpa sebutan nama sembari menepuk pelan bahuku.

“Mbak,” sebutnya lebih lantang.

Kudongakkan kepala lalu menatapnya lekat tanpa suara. Nana, orang yang berdiri di hadapanku itu tiba-tiba membeku. Matanya bergetar saat pandangan kami bertemu. Dengan segenap tenaga yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya Nana mengatakan sebuah permintaan.

“Aku boleh pinjam bukunya, nggak?” katanya sambil tersenyum selebar mungkin.

Belum kujawab, Nana menyatukan kedua telapak tangannya di depanku. Dia memohon sambil memejamkan mata, menambah kesan bahwa ia sedang putus asa.

“Pliiis! Sebentaaar aja buat presentasi. Setelah itu langsung aku kembaliin. Janji! Boleh, ya?”

Melihat itu, kuhela napas panjang lalu menutup buku yang kupegang rapat-rapat. Kuletakkan buku itu di atas telapak tangannya, mengizinkan Nana untuk meminjamnya sebentar. Nana terlihat bahagia sekaligus lega. Ia pun berulang kali berterima kasih padaku sebelum kembali ke tempat duduknya.

Dia membuatku terlihat buruk saja, batinku, menganggap perlakuan Nana terlalu berlebihan.

Benar saja. Akibat melihat adegan barusan, seisi kelas memandangiku dengan tatapan dan ekspresi aneh. Pesan yang kutangkap dari ekspresi tersebut adalah mereka menyalahkanku, sebab bersikap terlalu keras pada Nana. Anehnya, mereka dengan mudahnya menaruh simpati pada Nana yang merasa ketakutan meski tak kuapa-apakan.

Sang dosen memasuki ruangan. Presentasi Nana dan kelompoknya dimulai setelah dosen memeriksa kehadiran. Perkuliahan berjalan lancar dan cukup menantang untuk menahan lapar dan kantuk, sebab terjadwal di jam makan siang.

“Ada pertanyaan lagi?” tanya dosen di menit-menit akhir.

Hening. Makin banyak mahasiswa yang memijat pelipis dan kelopak mata, tak tahan lagi melawan rasa kantuk yang makin menyiksa. Beberapa dari mereka terus-terusan menguap. Sampai akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bel tanda berakhirnya perkuliahan berbunyi. Kelas berakhir, sang dosen mengucapkan salam lalu meninggalkan tempat.

“Ini Na, bukunya.”

“Oh, iya.” Nana menerima buku yang diserahkan teman sekelompoknya sambil tersenyum. “Eh, tadi aku pinjam ke siapa ya?” katanya spontan.

Apa?! Jangan bilang ..., batinku yang sudah merasa tak enak.

Beberapa saat kemudian...

“Na! Nana! Nana!” berulang kali kusebut nama itu, memanggil seseorang yang telah meminjam bukuku tadi.

Orang yang dipanggil tak kunjung merespon. Ia malah asyik mengobrol dengan teman lain. Aku tak menyerah. Kubuntuti dia sampai depan pintu kelas, lalu kutepuk bahunya agar ia menoleh. Nana tampak kebingungan. Dia hanya terdiam dan memandangku dengan tatapan kosong seperti orang linglung.

“Na! Bukuku,” Kubuka telapak tangan lebar-lebar, menagih janjinya untuk mengembalikan buku itu setelah presentasi usai.

Nana masih membeku. Sedangkan teman yang berjalan bersamanya menanyakan sesuatu yang membuatku jengkel. “Kamu kenal dia, Na?” tanyanya tanpa beban. Lebih parahnya Nana menggeleng. Ia malah menyebutku telah salah orang lalu pergi begitu saja.

Dia hilang ingatan, apa? Secepat itu?

***

“Butuh bantuan?” tanya kak Bayu yang tiba-tiba muncul di hadapanku.

Kuhembuskan napas berat, merasa kedatangannya tak berada di waktu yang tepat. Kulangkahkan kaki untuk mengejar seseorang yang sedari tadi sengaja mengabaikanku. Namun kak Bayu buru-buru menghadangku.

“Eit, tunggu sini. Serahkan padaku!” katanya enteng, merasa yakin bisa menyelesaikan masalahku.

***

“Butuh bantuan?” Kalimat itu berhasil membuatku tersentak.

“Kamu ngelamun, Yu?” Dini terbahak melihat ekspresi terkejutku. “Akhirnya ya, aku bisa ngagetin seorang Ayu. Hahaha!” serunya penuh kemenangan sambil menggelayuti bahuku.

“Puas?” sahutku dingin. Kujauhkan tangan Dini lalu bergegas untuk mengambil bukuku kembali. “Maaf Din, aku harus ngejar Nana sekarang.”

“Tenang,” kata Dini, menahan kepergianku dengan jabatan tangannya. “Aku tahu ke mana perginya Nana,” tambahnya yakin.

“Ke mana?” tanyaku.

"Ikut aku!" jawab Dini, menyeretku menuju suatu tempat.

“Loh–“ sahutku heran, saat Dini menuntunku ke arah jalan yang berbeda dengan jalan yang diambil Nana.

“Udah ikut aja.”

Aku dan Dini tiba di kantin kampus. Keramaian pengunjung sudah terlihat dari luar. Mengetahui itu, Dini tak gentar. Dia nekat menerobos kerumunan sambil menggandengku erat. Mau tak mau aku mengikuti langkahnya meskipun bahu dan lenganku harus terus bersenggolan dengan orang-orang yang berlalu lalang.

“Nana beneran ke sini kan, Din?” tanyaku, mulai meragukan informasi yang diberikan Dini.

“Iya. Bentar lagi juga, Nana sampai. Percaya aja deh sama aku,” jawab Dini tanpa ragu. Disusurinya setiap sudut dalam ruangan dengan pandangannya. Dia pun celingukan beberapa kali, mencari keberadaan seseorang yang kuanggap itu Nana. Setelah lama mencari, akhirnya Dini memanggil seseorang dari kejauhan. “Ji!” panggilnya sambil melambaikan tangan.

“Ni!” jawab orang yang dipanggil, membalas lambaian tangan Dini.

Ji? pikirku heran kala Dini mencari Aji bukannya Nana.

Aji segera menghampiri Dini setelah dipanggil. Mereka berdua pun melakukan tos dengan akrabnya. Sementara aku hanya diam, berdiri di belakang Dini dengan tangan yang masih digenggam bak tawanan.

“Kalau ada traktiran aja, cepet!” omel Aji.

Traktiran? batinku tak tahu menahu.

Dini meringis. “Mumpung ada gratisan. Lumayan!”

“Dasar pejuang gratisan!” ejek Aji penuh canda. Didongakkannya kepala tinggi-tinggi, mengintip rupaku di balik badan Dini. "Ngomong-ngomong lu ajak siapa, Ni? Saudara? Temen baru? Kok nggak pernah lihat?" tanya Aji, menanyakan identitasku pada Dini.

Mata Dini terbelalak mendengar pertanyaan Aji. “Ji? Kamu nggak tahu?!”

Aji menggeleng. Dini menepuk dahi karenanya. Ternyata Aji belum mengenalku. Sekedar mengetahui namaku pun tidak. Padahal, selama tiga semester kita berada dalam jurusan yang sama. Bahkan, tak jarang juga kita satu kelas.

“Ini Masayu! Teman seangkatan kita! Baru kemarin kita sekelas sama dia. Kamu lupa?!” jelas Dini.

“Oh ya?” jawab Aji, tak menyangka sebelumnya. Deheman keluar dari tenggorokannya. Sebuah alasan ia lontarkan untuk menutupi rasa malunya. “Ya ... lu tahu sendiri, Ni! Urusan gue banyak. Wajar aja kalau lupa.” Tak tahu apa-apa, Yadi yang baru datang diseret dalam perbincangan.

“Di!” Aji memegang bahu Yadi yang melintas untuk menghentikan langkahnya. “Lu kenal dia?” tanyanya tiba-tiba, menunjukku dengan tangannya.

Orang yang ditodong pertanyaan hanya terdiam, tak bersuara. Melihat respon tersebut, Aji menunjukkan senyumnya. Tak hanya Yadi, Aji juga menanyai beberapa teman lain di sana. Mereka pun memberi respon yang tak jauh berbeda. Sebagian dari mereka menggeleng, sebagian lainnya tak menjawab seperti Yadi.

“Jangan salahin gue, Ni! Buktinya... nggak hanya gue kan, yang nggak kenal?” ucap Aji membela diri.

Ya. Memang aku nggak terkenal. Kenapa? Ada masalah? gerutuku dalam hati.

Dini tak berkutik. Sedangkan Aji makin banyak berbicara setelah memenangkan perdebatan. Dia bahkan melontarkan saran memerintah bak seorang senior yang berkuasa.

“Ternyata jadi ketua angkatan itu susah ya, Ni! Mahasiswa seangkatan jumlahnya banyak, sedangkan gue cuma satu orang. Jangankan hafal nama mereka satu per satu. Bedain wajah mereka aja susahnya minta ampun. Belum lagi urusan organisasi. Anggota gue banyak, gimana bisa hafal? Makanya kalau mau gue kenal itu, sering-sering aktif kegiatan organisasi. Atau ... sering-seringin ikut acara kumpul-kumpul. Tiap malem gue nongkrong di kafe sebelah kok, bareng temen-temen lain juga. Belajar bareng, ngerjain tugas bareng, atau sekedar ngobrol santai dan ngopi bareng. Adik-adik tingkat aja, banyak yang ikut. Kalau hanya ngandelin ketemu di kelas sih, nggak akan cukup. Mana bisa gue kenal? Apalagi akrab. Susah.”

Tak tahan dengan ucapan Aji, kucoba melepaskan genggaman tangan Dini agar bisa pergi. Tak kupedulikan lagi keberadaan Nana yang membawa bukuku tadi. Sayangnya Dini menyadari pergerakanku. Dia berbisik, menyuruhku untuk menunggunya sebentar. Nyatanya, dia tak kunjung selesai beradu mulut dengan Aji.

“Din, aku harus pulang sekarang. Aku harus bantu ibu di warung,” ucapku agar Dini mau melepaskanku.

“Sebentar aja, Yu! Kamu harus sering-sering ikut acara begini tau, biar lebih dikenal.” Dini malah memberi jawaban menohok.

Seseorang datang lalu menepuk bahu Aji dari belakang. “Aji! Maaf ya, aku lama datangnya. Aku masih kebagian jatah, kan?”

“Nana!” Wajah Aji langsung cerah seketika saat melihat rupa Nana. “Jelas dong! Kamu kan, udah masuk daftar undangan. Daftar paling atas malah,” tambahnya berseri-seri.

“Kalau gitu aku dapat menu paling spesial, dong?” timpal Nana.

“Mau menu apa? Langsung pesen aja! Buat kamu, apa sih yang nggak?” rayu Aji.

“Iya-iya, yang lagi kasmaran. Giliran Nana aja, langsung disuruh pesen. Kita berdua nih, udah berdiri dari tadi nggak dikasih apa-apa. Malah diomelin yang iya. Disuruh duduk pun nggak, loh!” protes Dini terang-terangan.

“Jangan dengerin, Na! Si Dini sirik lihat kita.”

“Na!” Kutunjukkan rupaku di depan Nana. Tanpa basa-basi kulancangkan aksiku sesuai niat awal. “Tolong kembaliin bukuku,“ pintaku baik-baik sembari menunjuk buku yang ia gendong.

“Maaf, siapa ya?” jawab Nana, masih belum bisa mengingatku.

“Hei, jangan sok akrab dong!” tegur Aji, menjauhkanku dari Nana.

Hidungku mendengus. Senyum seringaiku muncul. “Mau ambil buku sendiri pun, susah.”

“Ji! Na! Begini–“ Kuhentikan Dini yang hendak memberi penjelasan dengan menjulurkan tanganku padanya.

“Nana,” panggilku lembut dengan wajah datar. “Aku nggak tahu ya, kalau kamu bakal sepelupa ini. Tapi, oke! Aku bakal jelasin. Buku yang kamu bawa itu adalah bukuku. Buku yang kamu pinjem di kelas barusan sebelum presentasi. Yang janjinya cuma pinjam sebentar lalu langsung dikembaliin itu. Ingat?”

Suasana menjadi tegang. Nana terlihat tercengang. Sampai-sampai ia tak memberi respon sedikit pun padaku. Saat Aji menanyakan kebenarannya, Nana hanya menjawab tak tahu apa-apa dengan suara gemetar.

“Kamu bisa cek. Di dalamnya ada namaku. Masayu Putri, jurusan bisnis manajemen, angkatan 2015,” tambahku.

Nana membuka buku di tangannya. Dibacanya tulisan yang tertulis di dalamnya, memastikan bahwa penjelasanku benar adanya. Aji ikut melihat bagian dalam buku tersebut. Bukannya langsung menyerahkan buku itu, Aji malah menyuruhku menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) untuk mencocokkan identitas terlebih dahulu.

“KTM?!” Kuhela napas panjang sebelum mengeluarkan kartu mahasiswaku dari dalam tas. “Nih,” seruku, menunjukkan nama yang tertera dalam kartu.

“Ji! Dini sama Masayu nggak disuruh duduk dari tadi? Yang lainnya udah pada makan, lho! Lu mau, mereka cuma ngelihatin doang?” Dimas datang, memprotes sikap Aji.

“Lu kenal dia, Dim? Nggak mungkin! Temen-temen lain lho, nggak tahu,” sahut Aji yang masih ingin berdebat soal identitasku.

Dimas mendengus akibat menahan tawa. “Ketua angkatan macam apa lu? Nggak tahu teman seangkatannya sendiri. Masayu itu satu kelompok sama gue di kelas komunikasi bisnis. Yang bukunya lu pinjem buat tugas! Tugas yang lu kerjain kebut semalem itu!”

Aji nyengir sembari menggaruk kepala. “Oh ... itu,” ucapnya, mulai merendahkan suara.

“Mana bukuku?” tagihku, tak ingin berlama-lama di tempat itu, “aku udah ceritain kronologi Nana minjem bukuku, kalian juga udah cek nama di buku itu, bahkan aku udah tunjukin KTM-ku, terus... kurang apa lagi?”

“Lu bener-bener parah, Ji! Masa iya, lu suruh Masayu tunjukin KTM-nya? Buat ambil bukunya sendiri? Waaah!” timpal Dimas dengan ekspresi terheran-heran.

“Salah sendiri, kurang terkenal. Kita mana tahu kalau dia pemilik aslinya. Ya kan, Na?” kata Aji yang tak mau kalah.

“Yeee, bukannya minta maaf malah ngeles. Tahu terima kasih nggak, sih?” ujar Dimas menasihati.

Ponsel dalam sakuku bergetar. Kuambil ponsel itu lalu kujawab panggilan telepon yang masuk. Tak lupa kulantangkan suaraku agar terdengar di tengah keramaian yang ada.

“Halo, Kak! Iya, ini mau pulang.” Kuambil bukuku dari tangan Nana secepat kilat. “Lima menit lagi aku sampai.” Kulambaikan tanganku pada Dini sebelum akhirnya kutinggalkan dia di tempat yang itu, sembari berdialog dengan kakak melalui telepon. “Apa, Kak? Kakak buru-buru? Maaf, soalnya tadi ada urusan. Ini aku udah jalan kok.” Tak kuhiraukan suara Dini yang terus memanggil namaku semenjak aku berjalan menjauh. Kupercepat langkahku, meninggalkan kantin tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

“Akhirnya bisa keluar juga dari sana,” gumamku, memasukkan buku dan kartu identitas dalam tas.

“Halo? Halo? Ayu?!”

“Iyaaa,” jawabku malas-malasan, melanjutkan percakapan dengan kakak melalui telepon.

“Kamu denger nggak, sih? Kakak bilang, nggak perlu buru-buru pulangnya. Kok malah langsung pulang? Nggak nyambung banget.”

“Hmm,” balasku acuh tak acuh.

“Ibu udah kasih pengertian, kalau kamu juga perlu kumpul sama temen-temen. Di sini juga, udah ada kakak yang bantu ibu. Percayain aja sama kakak. Kakakmu ini bisa diandelin, tahu?”

“Nggak tahu,” jawabku datar.

“Ayuuuu!!!” teriaknya kesal. Terdengar helaan napas panjangnya sebelum kembali mengomel. “Ya emang sih, kerja kakak nggak cepet-cepet amat kayak kamu. Tapi hasilnya–“

“Nggak bagus-bagus amat juga, kan?” ucapku, menyela perkataan kak Sinta.

“Ayuuu!!!” teriaknya sekali lagi.

“Udah dulu ya, Kak! Aku mau nyebrang. Jangan teriak-teriak terus! Kalau pelanggan ibu takut, gimana? Dah!” Kumatikan panggilan telepon kakak sebelum mendengar jawaban darinya. Kuseberangi jalanan di depan warung dengan tenang, setelah memastikan keadaan jalan lengang.

*************

Bab terkait

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 2 – Sengaja Cari Masalah

    Aku tiba di rumah sekaligus warung tempat ibu mencari nafkah, setelah kuseberangi jalanan di depan kampus. Dari kejauhan kak Sinta sudah memelototiku, mengambil ancang-ancang untuk menyerangku dengan omelannya. “Sin, ibu mau antar ini. Kamu jaga warung sebentar, ya?” kata ibu, siap meninggalkan tempat dengan bungkusan di tangan. “Eeeh ... Biar aku aja!” sahutku segera, mengambil alih bungkusan yang dibawa ibu. “Kamu nggak capek? Makan dulu sana,” kata ibu. “Nggak perlu. Aku antar ini dulu. Deket kok!” “Tunggu!” Kak Sinta memeriksa alamat yang tertera dalam kertas yang kubawa. “Ini kan ... Jangan-jangan, kamu masih mau ketemu–“ Kak Sinta tak menyelesaikan ucapannya. “Aku cuma mau bantu ibu anter pesanan kok!” balasku membela diri. Kucium telapak tangan ibu dan berpamitan padanya sebelum pergi menuju tempat tujuan dengan mengendarai sepeda motor. Sebuah rumah bercat putih berhiaskan kursi dan meja kayu di depan teras, tampak tak

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-01
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 3 – Tiba-Tiba Sok Akrab

    “Kembalikan! Kembalian sekarang! Ini tasnya Dini! Jangan macam-macam kau, Pencuri!” Tak ada angin, tak ada hujan, seseorang datang dan menyebutku sebagai pencuri. Dari belakang, ditariknya tas bahu berwana pink yang bertengger di bahu kiriku. Sekuat tenaga, kupertahankan tas itu agar tak terlepas dari genggamanku. Geram akan kelakuannya, aku tak punya pilihan lain selain melawannya. “Aaw! Sakiiit!” Orang itu langsung terjatuh setelah kutendang sekali tanpa menoleh. “Ka-kamu?!” ucap si penuduh terbata-bata saat melihat wajahku. Mataku terbelalak kala mengenali orang yang sedang mengerang kesakitan itu. Aji?! Seribu kali berpikir, aku tetap tak mengerti penyebab dia bertindak demikian. Jelas-jelas, Aji tidak sedang bercanda tadi. Dia tidak mengenaliku?! Waaah! Padahal baru saja kita ketemu di ruang ujian dengan pakaian dan tas yang sama. Daya ingatnya memang payah nih orang, simpulku dalam hati. “Ma-maaf! Dari belakang

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 4 – Penampilan Baru

    Malam menjelang. Kupandangi layar ponsel untuk waktu yang lama, menunggu kabar dari seseorang. Setelah Dini melarangku untuk datang ke kosnya tadi siang, ia belum menghubungiku juga sampai sekarang. Pesan-pesan yang kukirim pun tak kunjung direspon olehnya.Empat jam lalu, “Udah siap semuanya, Din? Hati-hati di jalan, ya!”Tiga jam lalu, “Keretanya udah berangkat?”Dua jam lalu, “Udah sampai mana, Din? Semoga lancar sampai tujuan, ya!”Satu jam lalu, “Din, udah sampai rumah?”Kekhawatiran menghinggapi hati dan pikiranku. Khawatir akan adanya bahaya yang menimpa teman terdekatku. Aku tak bisa hanya menunggu. Maka kusentuh layar ponselku, memeriksa setiap aplikasi media sosial yang kupunya untuk mengetahui kabar terbaru tentang Dini. Geser, geser, geser, mata dan tangan bersinergi untuk mencari. Hingga akhirnya aku menemukan sesuatu.“Home sweet home! Setelah sekian lama, akhirnya

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-04
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 5 – Gara-Gara Mode Pesawat

    Masa liburan berlangsung. Meski begitu, tak banyak perubahan dalam rutinitasku. Tak ada tempat wisata, tak ada juga kawan bercengkrama. Hari-hari kuhabiskan sepenuhnya di rumah. Pagi sampai sore kubantu ibu dan kakak di warung. Malamnya, kunikmati waktu luangku sejenak menonton acara televisi lalu bersiap untuk tidur. Tinggal beberapa hari lagi, batinku, menghitung hari dalam kalender yang sudah kutandai. Kubaringkan badan di atas kasur lalu menutupinya dengan selimut. Kupejamkan mata sambil mengucap doa dan harapan, hingga akhirnya aku tertidur. *** “Halo, Kak! Akhirnya diangkat juga. Apa kabar?” “Mmm ... Ayu,” jawab kak Bayu terdengar lesu. “Kakak kenapa? Lagi sakit?” “Enggak. Kamu nggak usah khawatir. Ngomong-ngomong, kamu udah kelas berapa? Kelas dua SMA, ya?” “Iya. Aku udah kelas du–“ “Belajar yang giat ya! Sebentar lagi, kamu udah ujian. Aku juga ... udah

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 6 – Ahli Silat Lidah

    “Halo?” Tak ada jawaban. Panggilan telepon itu diputus setelah kujawab. Ini kali kedua nomor tersebut mematikan teleponnya setelah mendengar suaraku. Kecurigaan mulai muncul di dalam otakku. Faktor kesengajaan bisa jadi penyebab di balik semua itu. “Siapa sih? Nggak jelas banget.” *** “Yu!” Kepalaku bergerak mencari sumber suara. Ternyata bukan namaku yang dipanggil olehnya. Orang itu tengah menyapa seseorang yang tak sengaja ditemuinya di salah satu lapak penjual dekat sekolahku. Seketika itu mataku membulat, mengenali orang yang disapa barusan. Kak Bayu?! Dia ... Tapi .... Tak habis pikir aku dibuatnya, saat mengetahui kak Bayu berada di tempat itu. Padahal baru semalam, ia melarangku untuk menghubunginya lagi dan sepakat untuk fokus pada pendidikan masing-masing. Tapi sekarang, ia masih sempat-sempatnya berkeliaran di sini. Masih punya waktu luang rupanya. Aku kira, udah nggak sempet p

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-08
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 7 – Mengenal Lebih Dekat

    “Ayu ...,“ panggilnya lembut. Ditatapnya mataku lekat-lekat. Didekatkannya wajahnya perlahan.Tunggu! Dia mau apa? “Aku mau mengenalmu lebih dekat,” bisiknya di telingaku.Mataku terbelalak mendengarnya. Sekujur badanku kaku karena itu. Apa?! Orang di dekatku mendengus sambil tersenyum melihat responku. Dia bahkan tak sungkan lagi menggodaku. “Gemes,” ungkapnya kegirangan sambil mencubit sebelah pipiku. Tak ingin dipermainkan, maka kuperingatkan ia dengan tatapan tajam dan ekspresi geram. Aji pun gentar. Dijauhkannya segera tangannya dari pipiku, berdehem lalu mengalihkan pandangan ke sebarang arah.Kurapikan tas berisi oleh-oleh pemberian Dini. “Aku harus pulang.”“Aaa!” Aji merangkul lenganku erat sambil berteriak. Kepalanya ditumpukannya di atas lenganku seenaknya sendiri.“Ji, lepas,” perintahku, “lepas selagi kuberi tahu baik-baik,&r

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-11
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 8 – Misteri Bubur Gratis

    Kududuk di pinggiran tempat tidur sambil merentangkan kedua tangan ke udara. Tak ingin bermalas-malasan, segera kurapikan seprai yang membungkus kasur, bantal, guling, juga selimut. “Nggak perlu ke pasar, Yu! Bahan-bahan sudah diantar penjualnya semalam,” ujar ibu sesaat setelah kubuka pintu kamarku. “Sip!” Kutunjukkan senyum terbaikku padanya. “Habis ini aku ke taman ya, Bu!” “Iya, hati-hati!” Aku siap untuk pergi. Kugunakan pakaian nyaman nan hangat, mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca di luar ruangan. Pemandangan pagi buta menyambutku saat kubuka pintu rumahku. Matahari belum sepenuhnya terbit, udara yang berhembus pun dingin rasanya. Letak rumah yang strategis membuatku cepat sampai ke tempat tujuan. Hatiku senang, langkah kakiku makin ringan. Suasana di taman masih sepi, belum ada orang yang berlalu lalang di sana. Aku makin kegirangan sebab bisa berkeliling dengan nyaman. Kutarik napas dalam-dalam sebelum memulai pemanasan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-15
  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 9 – Hadiah Ulang Tahun

    “Aku ganti baju dulu Kak, gerah.”Kakak mengangguk, mengiyakan. Dilanjutkannya obrolannya dengan Aji tanpa merasa keberatan. “Jadi kamu ikut Ayu olahraga tadi, Ji?”“Ya, begitulah Kak,” jawab Aji tanpa beban.“Olahraga? Nggak salah?” timpalku, tak terima dengan pengakuan Aji.“Iya, lain kali aku pasti ikut olahraga juga kok. Ajak-ajak ya, kalau mau pergi. Oke?” balasnya sambil menjentikkan jari. Ditunjukkannya sikap sok akrabnya lagi.Tak kugubris omongan Aji. Aku hanya mendengus, berlalu menuju kamar seperti ucapanku tadi. Sampai kamar, kupilih baju ganti yang tertata dalam lemari. Kubuka tempat pakaian yang terbuat dari kayu dengan hati-hati. Kugerakkan jari tanganku dari atas sampai bawah, menelusuri beberapa potong pakaian yang kumiliki. Setelah berpikir sejenak, pilihanku jatuh pada kaus dan celana panjang berwarna navy.Lelah dan gerah setelah berolahraga, membuatku i

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-18

Bab terbaru

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 26 – Ikuti Permainan

    Hari berganti. Perkuliahan berlangsung seperti biasa. Aku masih setia duduk di barisan terdepan, fokus menyimak materi dengan khidmat. “Kelompok berapa?” “Udah dapat belum bukunya?” “Gimana dong?” “Kamu?” “Gimana ini? Deadline-nya udah dekat!” Di tengah jam perkuliahan, desas-desus terdengar di telinga. Dialog lirih bernada kepanikan itu berasal dari para mahasiswa yang duduk di belakangku. Meskipun tahu apa yang sedang dibicarakan, tak kuhiraukan suara itu dengan tetap menghadap depan. Di akhir materi, Aji menghampiriku lalu duduk di kursi terdekat. “Habis ini mau ke mana?” tanyanya basa-basi dengan suara dipelankan. Masih sibuk merapikan buku dan alat tulis, tak kuberi ia jawaban atas pertanyaannya barusan. Kemudian Aji berdehem agar keberadaannya di-notice olehku. “Yu!” panggilnya dengan suara yang masih dipelankan. “Aku? Kamu ngomong sama aku?” tanyaku balik sambil memasang wajah tanpa dosa. “So

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 25 – Di Balik Sikap Manis

    Hari H telah tiba. Hari pertemuanku dengan kak Bayu, sesuai janji yang telah dibuat sebelumnya. Pertemuan di kafe dekat kampus, demi mengambil sebuah buku. Buku? Hanya demi sebuah buku? Yakin? Iyalah! Demi apa lagi? Yakin, nggak ada niat tersembunyi? ... Kafe?! Mau ambil buku aja, pake ketemuan di kafe segala. Aneh! Jangan-jangan! ... Hmm .... Udah! Jangan mikir macem-macem, Yu! Ini hanya pertemuan biasa. Nggak ada yang istimewa! batinku, berdebat dengan diri sendiri di depan cermin. “Pakai baju apa ya? Coba kulihat.” Kuperiksa koleksi pakaian dalam lemari, mencari padu padan yang serasi. Sesampainya di kafe.... Setelah celingukan beberapa kali, akhirnya aku memilih meja di dekat pintu agar kak Bayu mudah menemukan keberadaanku. Aku terlalu cepat ya datangnya? Hmm, jam berapa ini? batinku, memeriksa waktu saat ini dalam ponsel. “Maaf ya, aku telat. Udah nunggu lama?” “Ngg-nggak. Aku baru banget datengnya,” sahutku gelagapan, saat tahu kak Bayu tiba-tiba sudah duduk di hadapa

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 24 – Penuhi Janji

    Ponsel berdering di malam hari. Aku pun sudah berada di alam mimpi. Sempat mengganti posisi tidur beberapa kali, akhirnya aku tak tahan lagi. Mataku melek. Kesadaranku pulih seutuhnya. Siapa sih, telepon malem-malem, gerutuku dalam hati, mengambil ponsel di atas meja dekat ranjang. “Halo?” sapa si penelepon, cerah ceria tanpa rasa bersalah. “Hmmm,” sahutku dengan suara serak khas bangun tidur. “Belum tidur? Kebetulan banget! Aku mau tanya sesuatu nih,” sahutnya kegirangan, tak mengerti situasi saat ini. Udah tidur dari tadi tau! Jadi kebangun kan, batinku memendam kekesalan. “Yu? Halo? Aku mau nanya. Penting!” desaknya. Walaupun geram, masih kusempatkan diri untuk meladeni percakapannya. “Nanya apa?” kataku. “Itu! Soal tugas kelompok! Tugasnya dikumpulin minggu depan, ya?” “Iya. Kenapa?” “Nggak apa-apa, cuma mau mastiin aja. Kebetulan tadi aku baru lihat sekilas bab kelompok kita. Aku juga udah baca-baca dikit di buku yang dikasih Dimas. Palingan ... besok atau lusa, bagiank

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 23 – Konsep yang Aneh

    Dengan penampilan yang tak karuan akibat berkeliaran sepanjang hari, aku berniat langsung mandi saat sampai rumah nanti. Tak betah dengan gerah akibat teriknya sinar matahari, kupercepat laju kendaraan agar segera sampai tujuan. Dah sampai! Kuparkir motor di depan rumah dengan terburu-buru. Tas dan helm yang kubawa pun kutenteng kuat-kuat, meletakkan keduanya di atas meja ruang tamu. “Mandi, mandi, mandi,” gumamku, berjalan cepat menuju kamar mandi. Di tengah perjalanan, aroma kunyit dan rempah kuat lain semerbak harum menusuk hidung. Semakin dekat, aromanya makin kuat, membuat niat awalku melenceng untuk sesaat. Cepat-cepat kuhampiri sumber aroma itu berasal, penasaran akan rupa masakan yang sudah terbayang dalam angan. “Udah mateng, Bu? Aku kemas ya?” kataku pada ibu yang sedang membuka tutup dandang berisi nasi kuning yang mengepul. “Tunggu agak dingin dulu. Biar ibu aja, kamu mandi sana,” ujarnya. “Oke! Kalau selesai, aku

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 22 – Bertemu Lagi

    Shower time! Bening dan segarnya air yang mengguyur, mampu menjernihkan pikiran serta mengusir penat setelah beraktivitas di hari pertama semester baru. Peluh dan debu yang menempel sirna, rasa kantuk yang sempat menyerang pun hilang seketika. “Haaa ....” Kuangkat kedua tangan tinggi-tinggi, membuka jendela kamar untuk menghirup udara segar sambil menikmati pemandangan. Meskipun masih ada sedikit keraguan dan kekhawatiran, nyatanya berita tentang kerja sama ibu barusan berhasil membuat tubuhku terasa lebih ringan. Kapan ya, terakhir kali aku bisa sesantai ini? Udah lama banget kayanya. Hmm, nyamannya, batinku merasa bahagia, menopangkan wajah pada telapak tangan yang bertumpu di atas kusen jendela. Habis ini, aku ngapain ya? pikirku, mencari-cari kegiatan yang perlu kulakukan saat ini. Oh! Kuambil notes kecil beserta bolpoin di atas meja, lalu duduk untuk menulis beberapa hal di dalamnya. Berbekal informasi yang kudapatkan dari ponsel, terdapat 3 perpustakaan yang tersedia di da

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 21 – Rejeki Nomplok

    Aku pulang dengan perut kenyang berkat traktiran makan siang dari Dini. Sesampainya di rumah, ibu menyambutku di depan pintu rumah dengan senyum cerianya. Sungguh kejadian di luar kebiasaan, sebab ibu biasanya masih disibukkan dengan kegiatannya di warung jam segini.Apa warung ibu sudah kekurangan pelanggan? pikiran buruk itu sempat menghinggap. “Udah pulang? Makan siang dulu, Yu. Habis itu langsung istirahat. Ibu tinggal sedikit kok, beres-beres warungnya.”“Udah tutup?!” responku, spontan membelalakkan kedua mata. “Ada apa? Ibu sakit?” tambahku khawatir, cepat-cepat memeriksa suhu badan ibu dengan punggung tanganku.“Nggak, ibu nggak sakit.”“Ibu istirahat aja, biar aku yang lanjutin jaga warung. Kan sayang makanannya.”“Nggak usah. Kamu istirahat aja,” tolak ibu seperti biasa.“Udah, nggak apa-apa. Aku nggak ngantuk kok.”“Nggak perlu, soalnya–““Emang tinggal seberapa makanannya?” Buru-buru kuhampiri penanak nasi dan etalase di dalam warung, mencari jawabannya secara langsung. “

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 20 – Ulah Mahasiswa Baru

    Selepas kepergian Aji, Dimas dan Nana, kulihat jam dalam ponsel untuk memeriksa waktu saat ini. Jarum pendek menunjuk angka sepuluh, jarum panjang menunjuk angka delapan. Tak terasa terhitung empat puluh menit sudah aku berada di tempat ini, masih dengan hasrat yang berkobar dalam hati.Masih ada waktu, batinku mengikuti kata hati, bergegas kembali ke titik awal untuk melakukan pencarian lagi.Di depan rak bertuliskan kata “bisnis”, mata dan tanganku kembali beraksi. Menelusuri juga memeriksa lebih teliti. Sekali lagi, kucari buku terakhir yang belum kutemukan itu di tempat yang sama sambil berharap keajaiban kan datang di saat-saat terakhir.Tiap judul kuperhatikan baik-baik, kuperiksa secara saksama, tak membiarkannya terlewat sedikit pun. Makin lama suasana makin hening, jumlah pengunjung dalam perpustakaan pun makin berkurang.Udara dingin menerpaku kala fokus melakukan pencarian. Di antara dua rak yang tinggi kokoh berdiri, aku berada di tengah-tengahnya, duduk berjongkok sambil

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 19 – Dua Sisi Berbeda

    “Siap!” katanya dengan senyum sambil memberikan hormat padaku. Aji terhanyut dalam kegembiraan. Dipandanginya kertas yang kuberikan tinggi-tinggi, tak mengalihkan pandangan sedikit pun. Di samping itu, kulihat Dimas baru kembali dari luar setelah menyelesaikan urusannya. Ditunjuknya sebuah tempat dengan anggukan, memberiku kode untuk bersiap-siap. “Ayo, Yu!” ajak Dimas, siap dengan tas di punggung. “Ayo,” balasku, bergegas memasukkan barang-barang di atas meja. “Mau ke mana?” tanya Aji yang tak mengetahui rencanaku dan Dimas sebelumnya. “Perpus,” jawabku dengan satu kata. “Kok nggak ngajak aku? Kita kan, satu kelompok,” protesnya. “Mau ikut? Ke perpus?! Tumben? Biasanya juga nolak,” sahut Dimas keheranan. “Emang iya?” tanyaku datar. “Iya, Yu. Aku tuh selalu ajak Aji kalau mau ke perpus. Tapi dianya selalu ada alasan. Ujung-ujungnya pasti ngomel-ngomel. ‘Nggak ah, Dim, ribet, susah nyari bukunya, bikin pusing. Lu aja sana yang pergi, entar gue pinjem punya elu,’ pasti gitu! Se

  • Kisah Cinta Si Ahli Membuat Batasan   Bab 18 – Kuasa Ketua Kelas

    Matahari mulai menampakkan diri. Di dalam taman yang masih sepi, kunikmati pemandangan berharga sambil berdiri. Perlahan tapi pasti, benda bulat kuning itu bergerak ke atas, menyebarkan sinarnya ke seluruh arah. Warna-warni kembali terlihat, kegelapan di sekeliling pun hilang. "Indah." Satu kata itulah yang mampu mewakili. Benar-benar pemandangan yang mampu mendatangkan kedamaian dalam hati. Setelah menyaksikan momen itu, aku pulang meninggalkan taman tempatku berolahraga pagi. Kusembunyikan jari tanganku dalam saku, berjalan dengan langkah tenang tanpa ada yang menemani. Sesekali kepalaku menengok ke arah kanan dan kiri. Kuperhatikan pemandangan di sekitar, juga kubaca tulisan yang terpasang di sana-sini. “Ayu!” panggilan itu membuat langkahku terhenti. “Eh, Bi Tutik! Pagi banget datengnya,” kataku pada orang yang memanggil namaku barusan. “Kebetulan bisa ketemu di sini! Bibi aja takut kalau datangnya kepagian, khawatir kamu belum bangun.” “Ya udah bangun lah, Bi. Masa belum? N

DMCA.com Protection Status