Pintu tempat persembunyian terbuka sepenuhnya, para wanita masih menahan nafas menantikan sosok mana yang akan muncul.
Seorang pria berwajah tampan yang sudah sangat dikenal oleh para penghuni tempat persembunyian itu sontak membuat semua wanita yang berada di sana menarik nafas lega, tak terkecuali Celeste yang langsung menitikkan air mata karena saking leganya.
"Syukurlah anda yang datang, tuan Angelo! Kami sangat cemas kalau para musuh yang membuka pintu ini!" seru kepala pelayan yang seorang wanita gemuk berusia sekitar 40-an dengan ekspresi lega.
"Kalian semua bisa bernafas lega sekarang. Igor sudah kita kalahkan!" seru Angelo memberitahukan kemenangan mereka.
Seruan serta sorakan gembira terdengar di ruangan itu. Semuanya menyambut dengan sukacita kabar bahag
Malam itu pesta kemenangan atas Igor Lazovsky sangat meriah.Alunan musik menyatu dengan derai tawa serta riuh rendah percakapan disana-sini. Semua orang bersukacita menyambut datangnya kedamaian setelah beberapa tahun mengalami ketegangan.Dominica dengan senyum lembut diwajah berjalan menaiki tangga dan berhenti tepat di anak tangga ke-6. Tangannya yang memegang gelas champagne diangkat setinggi kepala lalu dipukulnya pelan menggunakan sendok.TING! TING! TING!"Mohon perhatiannya para tamu sekalian!" seru Dominica.Seketika para tamu berhenti bercakap-cakap dan memperhatikan Dominica. Apa yang akan ia lakukan? Semua tamu menunggu dengan ekspresi penasaran.
"Terima kasih, tuan Dominica atas kebaikan anda. Selama beberapa hari ini aku merepotkan anda dan para pelayan," ucap Celeste."Hoho… tidak perlu berterima kasih, anakku. Sudah sepatutnya kau mendapatkan pelayanan yang terbaik dari kami. Bukankah sebentar lagi kau akan menjadi keluarga Maximo. Aku akan sangat senang menantikan pernikahan kalian," balas Dominica riang.CKLEK!Juan membuka pintu dan langsung menimpali, "tenang saja, papa. Setelah urusan kami di Siracusa selesai. Kami akan langsung mempersiapkan pernikahan kami.""Oh, Juan. Kau mengagetkanku!" seru Celeste."Apakah kau sudah siap, sayang?" tanya Juan sambil mengecup pipi Celeste."Aku sudah siap, sayang. Kapan
"Apa kau bilang? Hotel ini milik ayah Juan?" tanya Celeste tak percaya."Benar," jawab Angelo tersenyum geli."Tunggu sebentar. Sepertinya aku pernah kesini," sela Celeste sambil memicingkan mata."Ah ya! Kau membawaku kemari setelah menculikku!" seru Celeste sambil menunjuk Angelo."Apa?!" seru Juan terkejut. "Kapan kejadiannya? Mengapa aku tidak tahu?" tanya Juan dengan nada terdengar cemburu."Saat itu aku tengah mencarimu di rumah Bu Maurice, tiba-tiba ia datang dan membiusku. Saat terbangun aku telah berada di salah satu kamar hotel ini," jelas Celeste.Juan seketika menatap Angelo dengan raut wajah meminta penjelasan."Ah, kau ja
Angelo pagi itu terlihat gusar, entah apa yang sedang dipikirkannya. Ia mondar-mandir di kamarnya sejak 10 menit yang lalu.Semua kegusaran Angelo berawal saat ia pagi itu berniat untuk jalan-jalan menikmati udara segar kota Siracusa. Disaat ia tengah menikmati paginya, tiba-tiba matanya tertuju pada seorang wanita yang tengah menata bunga di sebuah toko bunga tepat di seberangnya.Angelo terkesiap, wanita itu sangat mirip dengan kekasihnya dulu. Kekasihnya yang telah lama meninggalkan dirinya, yang menyebabkan kebekuan hatinya hingga bertahun-tahun.Saat itu Angelo bingung harus berbuat apa, ia ingin mendekati wanita itu namun ada sedikit kekhawatiran dihatinya. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi dari sana tanpa menemui wanita tersebut."Siapa wanita itu? Mengapa
Aliran darah diseluruh tubuh Juan serasa berhenti mendengar kabar kematian Bu Maurice. Bagaimana bisa tidak ada satupun yang memberi kabar tentang kematian wanita tua itu padanya?Pijakan Juan goyah, ia hampir jatuh jika saja Celeste tidak cepat-cepat menangkap tubuh kekasihnya itu. Juan tampak linglung, matanya menatap sekitarnya dengan nanar. Rumah Bu Maurice dimana ia menghabiskan waktu remajanya kini tinggal kenangan.Senyum ramah wanita tua itu, masakannya serta ocehannya yang sangat dirindukan Juan tidak akan pernah lagi ia lihat, ia rasa dan ia dengar. Celeste menatap Juan sedih. Ia turut merasakan apa yang dirasakan Juan. Ia tahu betul arti wanita tua itu bagi kekasihnya.Celeste mencoba menghibur dan menenangkan Juan. Mengajaknya masuk kembali kedalam mobil. Sementara Juan terpaku bak patung mengetahu
"Dikota ini berkembang rumor yang mengatakan kalau saat ini tengah terjadi perang sembunyi-sembunyi antar mafia," ucap Domenico."Perang antar mafia? Mengapa bisa muncul rumor seperti itu?" tanya Angelo yang sedari tadi mendengarkan ucapan Domenico."Sebab yang menjadi korban pembunuhan bukanlah masyarakat biasa. Semua korbannya adalah anggota klan ataupun gangster," jawab Domenico."Tapi, tunggu… jika memang benar dugaanmu ini adalah perang antar mafia. Mengapa Bu Maurice Ku ikut dibunuh? Bukankah ia adalah masyarakat biasa?" tanya Juan tak mengerti."Sebab Bu Maurice secara tidak sengaja melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat pada hari itu," jawab Domenico pelan.Juan, Celeste serta Angelo terkesiap mendengar
Juan mengerjap, "kau benar. Seharusnya aku mulai mencari pembunuh Bu Maurice. Tapi, aku sekarang tidak punya tenaga untuk melakukan itu, sayang. Hidupku seakan runtuh saat mendengar berita kematian Bu Maurice," jelas Juan dengan mata berkaca-kaca."Oh, sayang. Aku mengerti perasaanmu," balas Celeste turut merasakan kesedihan Juan.Ia pun menarik Juan kedalam pelukannya. Bagai seorang anak kecil dalam pelukan ibunya, Juan menangis kembali mencurahkan semua kesedihannya akibat kehilangan lagi seorang ibu.***TOK! TOK! TOK!Pintu kamar Juan dan Celeste pagi itu diketuk dari luar. Celeste yang baru saja bangun dan sedang memperhatikan wajah tidur Juan bergegas turun dari tempat tidur dan melangk
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.
Juan dan Celeste tercengang menatap wanita yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Wanita yang dibawa oleh Angelo yang dikenal dingin dan anti perempuan."Angelo?" ucap Celeste bingung."Perkenalkan, namanya Fiorella. Maafkan jika aku telah lancang mengajaknya untuk tinggal disini tanpa memberitahu kalian berdua terlebih dahulu. Tapi, ada alasan mengapa aku melakukan hal ini, tuan Juan, nona Celeste," jelas Angelo."Aku Fiorella, senang berkenalan dengan anda berdua," ucap Fiorella gugup."Ada apa ini, Angelo? Tidak biasanya kau membawa wanita seperti ini?" tanya Juan blak-blakkan didepan Fiorella."Dia adalah wanita yang diceritakan oleh Davidde tadi pagi, tuan Juan," jelas Angelo.
“A-apa maksudmu, Angelo? K-kau mengajakku tinggal bersamamu? Apakah tidak terlalu cepat? Kita berdua baru saja kenal,” ucap Fiorella dengan wajah merona merah karena malu.Menyadari kalau kalimat yang diucapkannya membuat Fiorella berpikiran macam-macam, Angelo cepat-cepat mengoreksinya dengan wajah sama merahnya dengan wanita itu.“Ah, ti-tidak! Maksudku bukan seperti itu! Maafkan aku jika ucapanku membuatmu berpikiran macam-macam!”“Maksudku, aku selama ini tinggal di hotel K bersama atasanku dan juga pacarnya. Mereka menyewa seluruh lantai, sehingga banyak kamar kosong. Jika kau mau, kau bisa mengisi salah satu kamar kosong di sana sampai kami menangkap pembunuh itu,” jelas Angelo cepat-cepat.“Oh, seperti itu,” ko
Angelo melesat bagai peluru meninggalkan ruangan itu langsung masuk kedalam mobil tanpa memperdulikan Juan yang meneriakkan namanya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya satu. Fiorella.Ciri-ciri yang diceritakan oleh Davidde sangat cocok dengan Fiorella. Apalagi wanita itu membawa sekeranjang bunga, seingatnya Fiorella pernah bercerita padanya kalau ia sering membawa pulang bunga-bunga yang mulai layu untuk dikeringkan di rumahnya.“Pantas saja, dia tak membuka tokonya hari ini. Dia pasti syok dan ketakutan dengan kejadian semalam,” gumam Angelo.Tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu, Angelo bagai kerasukan menekan pedal gas dalam-dalam. Membawa mobil dengan kecepatan penuh. Hampir semua lalulintas dilewatinya tanpa perduli apakah sedang merah atau hijau. Yang ada dipikirannya sekarang adalah
Pagi itu, Angelo kembali berjalan-jalan disekitar hotel hingga ke pasaraya yang letaknya tak jauh dari sana. Ia berniat mengenal Fiorella lebih jauh lagi. Setelah percakapan pertama keduanya, sudah sekitar 3 hari ia tak melihat wanita itu. Ia disibukkan dengan pembunuhan Domenico.Pagi ini sedikit senggang, sebelum mereka kembali ke markas Klan Maximo siang ini. Angelo menyempatkan menemui Fiorella untuk bercakap-cakap.Dengan bersemangat dan dada berdebar, Angelo berjalan menuju toko bunga Fiorella. Namun seketika ia mengernyit saat melihat toko wanita itu tutup. Tidak seperti biasanya, setahu Angelo Fiorella tidak pernah menutup tokonya.Dengan rasa penasaran ia lalu mendekati penjual tembikar yang letaknya persis di samping toko bunga Fiorella."Permisi, apa kau tahu
Angelo segera memasukkan memory card tersebut kedalam saku jasnya. Setelah itu keduanya bergegas mengembalikan barang-barang tersebut pada petugas. Dengan tergesa-gesa keduanya kembali ke mobil dan segera pergi dari sana."Ini, tuan Juan," ucap Angelo sambil memberikan memory card yang disimpannya tadi."Haruskah aku lihat sekarang?" tanya Juan meminta pendapat Angelo."Mengapa tidak? Lebih cepat kita tahu isi memory card itu bukankah lebih baik? Siapa tahu disana ada petunjuk yang kita inginkan," balas Angelo ringan.
Angelo kembali ke hotel dengan suasana hati yang lebih cerah. Pertemuannya dengan wanita pemilik toko bunga, Fiorella, sedikit mencerahkan hatinya yang cukup lama berkabut.Dengan bersenandung kecil, Angelo memasuki kamar hotelnya. Ia terus teringat akan Fiorella, dadanya berdebar kencang setiap kali ia teringat wanita itu. Apakah ia jatuh cinta lagi? Pada wanita yang sama namun sedikit berbeda? Angelo menggeleng, mengusir pikiran melantur itu."Apa yang kau pikirkan, Angelo? Dia bukan Carina, dia Fiorella. Walaupun wajah mereka sama, itu bukan dia. Carina mu tidak akan kembali, sadarlah," tegurnya pada dirinya sendiri.Walau begitu, Angelo tetap memikirkan Fiorella. Memikirkan wanita itu diluar dugaan memberikan ketenangan dalam hatinya.****
Menuruti perintah Juan, Angelo segera mengumpulkan anak buah Klan Maximo kemudian memberi mereka perintah untuk menyelidiki Alonzo. Serta berpatroli minimal 3 orang, agar menghindari penyerangan yang tidak diinginkan.Sementara Domenico telah pergi meninggalkan hotel dengan mengemban tugas menyelidiki bosnya sendiri, Armando Ferrari.Juan masuk kedalam kamar hotelnya dengan semangat baru, wajahnya kini berseri-seri tidak lagi murung seperti beberapa hari lalu. Celeste yang tengah duduk santai sambil membaca majalah mode merasa senang melihat perubahan itu."Darimana kau sayang? Aku mencarimu dari tadi," tanya Celeste sambil menurunkan majalah yang dibacanya."Aku tadi habis bertemu Domenico, sayang," jawab Juan sambil mencium pipi Celeste.
Ottavio masuk ke dalam lift hotel dengan Domenico mengekor di belakang. Ia memencet tombol 7 yang artinya mereka akan ke lantai 7, dimana semua kamar di lantai itu adalah milik Juan untuk sementara dirinya tinggal di hotel itu.Domenico mengikuti Ottavio dalam diam, hanya matanya yang memperhatikan sepanjang perjalanan menuju tempat bertemu Juan dan Angelo. Tibalah keduanya di lantai 7 dan Ottavio segera keluar lift terus berjalan menuju kamar bernomor 710 sesuai instruksi yang diberikan.TOK! TOK! TOK!Ottavio mengetuk pelan pintu kamar nomor 710. Tak butuh waktu lama pintu kamar terbuka dan muncullah sosok sempurna Angelo. Ottavio terdiam, terpesona sekaligus terintimidasi oleh kehadiran Angelo. Apalagi pria itu tepat berdiri dihadapannya.Dengan bibir gemetar, Ottavio
Angelo berjalan dengan terburu-buru meninggalkan pasaraya. Wajahnya pucat dengan keringat tak berhenti mengalir."Apa ini? Perasaan apa ini?" batin Angelo tak mengerti."Mengapa aku tak punya keberanian untuk bertanya pada wanita itu," batin Angelo lagi.Kenangan masa lalu sekilas berkelebat di pelupuk mata Angelo. Senyum manisnya, tawa renyahnya, mata hijau teduhnya tak pernah Angelo lupakan sekalipun.Angelo memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pusing. Kenangan itu serta wanita yang dilihatnya di pasaraya tadi menyakitkan kepalanya.Angelo bergegas membuka pintu kamarnya lalu melempar dirinya ke atas tempat tidur. Ia memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan diatas kening.