"Sore ini kita turun ke kota kecil Pitigliano untuk belanja bahan makanan, sekaligus lihat-lihat. Besok kita ke Roma, besoknya ke Firenze, dan kalau di hari terakhir kita bisa ke Sienna," Ludwina mengembangkan peta di meja dan menunjuk beberapa lokasi.
"Oke."
Tiga hari di Italia berlalu seperti mimpi. Andrea dan Ludwina menikmati kunjungan mereka ke Roma, Firenze (yang juga dikenal sebagai Florence) dan Sienna. Semuanya menampilkan pesona kota tua dari ratusan tahun lalu yang membuat mereka seperti masuk ke dalam mesin waktu.Akhirnya saat yang menyedihkan pun tiba ketika mereka harus packing dan pulang.Setelah pamit kepada Beth dan Hans serta Angela, Andrea dan Ludwina menyetir kembali ke bandara Roma dan mengembalikan mobil rental. Dari Roma mereka terbang ke Amsterdam, dan dari sana naik SQ kembali ke Singapura."Aku belum pernah pulang liburan sesedih ini..."kata Andrea saat duduk di kursi pesawat."Nanti kita pergi lagi." Ludwina tersenyum menenangkan. "Kalau kamu bisa cuti lagi yaa... Kita bikin rencana lagi.You have been an amazing travelmate.""Thank you. You too!"Ludwina lega karena mereka berhasil traveling bersama tanpa ada masalah sama sekali. Ketakutannya semula, bahwa perbed
Andrea menjadi sangat kuatir dan ia buru-buru ke Raffles Hotel untuk mengecek keadaan gadis itu."Miss Ludwina Kurniawan sudah check out tadi pagi," kata resepsionis setelah Andrea meminta dihubungkan ke kamar Ludwina."Oh..." Andrea sangat terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka Ludwina akan pergi tanpa berkata apa-apa. Ia menunggu satu jam dan kemudian mencoba menelepon Ludwina kembali.Kali ini teleponnya diangkat dan ia bisa mendengar suara Ludwina yang agak mengantuk di ujung sana.Andrea lega sekali...Ternyata Ludwina tidak apa-apa. Kemungkinan tadi ponselnya mati karena ia sedang terbang kembali ke Indonesia,"Kamu sudah pulang ke Indonesia?" tanya Andrea dengan nada biasa. Ia tak mau Ludwina mengira ia posesif dan membuatnya merasa ia harus melaporkan keputusan dan gerak-geriknya kepada Andrea."Uhm, ya... Ini baru sampai. Nanti aku telepon ya...""Oke. Istirahat yaa...""Thanks."Ludwina menaruh ponsel
Ludwina mendarat di Bandara Changi tepat pukul 7 malam. Begitu melewati custom ia melihat Andrea telah menunggunya di pintu keluar, melambaikan tangan. Keduanya saling berpelukan dan cium pipi lalu Andrea membawakan koper Ludwina ke arah tempat parkir. Gadis itu mengikuti dengan bingung."Kita nggak naik taksi?" tanya Ludwina keheranan."Nggak, aku dikasih fasilitas mobil sama kantor, jadi kupikir aku pakai saja untuk jemput kamu.""Oh..." Ludwina kagum sekali. Ia tak keberatan naik kendaraan umum di Singapura karena fasilitas angkutan umum dan taksi atau Grab di Singapura sudah sangat bagus, tetapi memang kalau ada kendaraan sendiri mereka akan lebih bebas dan tidak harus menunggu ketersediaan taksi.Andrea membawa mobilnya ke arah Clarke Quay dan mengajak Ludwina masuk ke sebuah restoran cantik yang menghadap ke sungai. Mereka makan malam sambil bercakap-cakap tentang kabar terbaru mereka.Dalam hati Ludwina senang sekali karena sikap Andrea tida
Andrea tahu toleransi alkoholnya rendah, dan ia bukan seorang lelaki yang banyak minum wine. Tetapi malam ini adalah malam istimewa, dan ia membutuhkan tambahan keberanian karena...Ia ingin melamar Ludwina.Pemuda itu meneguk prosecco-nya sedikit, "Aku tetap minum untuk menemani kamu, tapi sedikit-sedikit saja ya...""Thank you."Ludwina sekarang di gelas kelima. Ia merasakan kepalanya menjadi sangat ringan dan hatinya gembira. Ia sangat suka berada di sini bersama Andrea. Ia ingat waktu yang mereka habiskan bersama di Eropa selama 12 hari, selama 24 jam setiap harinya, tidak terasa membosankan ataupun melelahkan."Kamu sudah jarang posting di instagram," kata Andrea saat mereka sedang mengobrol tentang foto-foto traveling mereka yang lalu, "Sudah nggak aktif di media sosial ya?""Nggak. Aku kan posting foto untuk mendapatkan komentar dan likes dari orang-orang...ahahhaha, tapi sekarang aku cuma mau dengar komentar dan likes dari kamu...&nb
Andrea pelan-pelan melepaskan diri dari Ludwina dan ia tersenyum geli melihat gadis itu tampak kecewa. Ia mencuil hidung Ludwina dan tertawa."Aku sudah janji sama ayahmu untuk memperlakukanmu dengan penuh hormat. Aku nggak mau melanggar janji.""Kamu bicara sama ayah?" tanya Ludwina keheranan."Iya. Beberapa hari yang lalu beliau mampir ke Singapura dan kami sempat ngobrol. Aku harus minta izinnya dulu sebelum melamarmu."Ludwina mengisi kembali gelasnya dengan prosecco dan meneguknya sampai habis."Ayah nggak bilang apa-apa... Curang!" omelnya kesal."Kalau ayah kasih tahu kamu, nanti kamu kabur dan nggak mau ketemu aku." kata Andrea tenang. "Aku nggak bisa ambil risiko."Ia kemudian turun dan bersimpuh di lantai berkarpet di depan Ludwina, dengan bertumpukan satu lututnya Andrea mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sakunya dan membukanya di depan Ludwina.Gadis itu terkesiap, ia tak menyangka Andrea akan benar-benar me
Ludwina masih belum dapat percaya bahwa ia akan menikah dengan Andrea. Mereka sudah kenal hampir setahun, tetapi baru menjadi dekat selama beberapa bulan terakhir, terutama sejak bertualang bersama di Eropa.Ia mengambil foto jari manisnya yang berhiaskan cincin berlian dari Andrea dan cukup lama berpikir apakah ia akan mengupdate statusnya di media sosial atau tidak. Andrea yang melihatnya mengamat-amati jarinya sedari tadi akhirnya geleng-geleng kepala."Kenapa, Sayang?"Duh... Kuping Ludwina seketika memerah. Sejak tadi siang Andrea hampir tidak pernah memanggil namanya, selalu diganti dengan panggilan "Sayang".Rasanya geli karena Ludwina tidak terbiasa. Bahkan kepada kakaknya Johann yang lebih tua 6 tahun, Ludwina masih saling memanggil nama."Uhm... aku lagi menimbang-nimbang apakah aku perlu update status di media sosial atau tidak..." jawab Ludwina tersipu-sipu. "Menurutmu bagaimana?""Terserah kamu kalau mau update status. Tapi seba
Setelah makan malam, Ludwina mencuci piring makan mereka dan membersihkan meja makan. Dalam hati ia merasa sangat gembira dengan pembagian tugas seperti ini. Ia merasa seperti pasangan-pasangan modern yang hidup berdua tanpa pembantu dan berbagi tugas rumah tangga.Setelah semua rapi kembali ia duduk di samping Andrea yang sedang bersantai di sofa mendengarkan musik sambil membaca."Kalau besok kita pulang ke Jakarta, berarti Sabtu kamu ke rumahku dengan ibumu untuk melamar secara resmi?" tanya Ludwina sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Andrea. Pemuda itu mengusap-usap kepala kekasihnya sambil terus membaca."Iya. Biar cepat beres.""Aku mau pernikahan yang sederhana," kata Ludwina dengan nada manja."Aku juga." kata Andrea."Tapi ibuku pasti akan meminta kita nikah besar-besaran, aku ini anak bungsu dan perempuan satu-satunya." Ludwina menghela napas panjang. Ia tahu benar sikap ibunya mengenai pernikahan. "Ibu pasti akan minta dia yang
Hari pernikahan tiba seperti mimpi. Rasanya baru kemarin Ludwina bertubrukan dengan Andrea di bandara, lalu bertualang bersama di Eropa, dan kemudian Andrea melamarnya... dan kini hari sakral itu tiba, saat mereka akhirnya akan menjadi suami istri.Laura dan Pierre terbang dari Paris karena Ludwina meminta Laura menjadi pengiring pengantin, sementara Johann mengambil posisi sebagai pendamping Andrea.Hotel Kanawa ditutup selama akhir pekan itu, tidak menerima tamu sama sekali, sehingga acara pernikahan Ludwina dan Andrea dapat berlangsung dengan khimad. Pantai pribadi di belakang hotel dihiasi dengan rangkaian bunga dan lilin-lilin yang syahdu, dan ketika matahari hampir terbenam di tepi barat, Andrea didampingi Johann dan Pierre, diiringi ibunya dan orang tua Ludwina masuk ke area prosesi.Pendeta sudah menunggu di depan altar dan menyambut kedatangan mereka dengan khimad. Para pemain musik di samping gazebo yang berhiaskan ribuan mawar memainkan A Midsummer Ni