Wajah Andrea sedikit memerah dari wine yang diminumnya. Ludwina menjadi sadar bahwa pemuda ini tidak punya toleransi alkohol yang bagus. Dia sendiri bisa minum sampai satu botol wine dan masih baik-baik saja, tetapi rupanya, dua gelas adalah batas bagi Andrea.
"Maybe you should stop drinking," kata Ludwina sambil menurunkan gelas Andrea. Pemuda itu menggeleng sambil memandangnya lekat-lekat.
"Batasku dua gelas. Setelah ini aku tidak minum lagi," katanya sambil tersenyum.
"Oh, bagus. Kamu tahu ba
Wajah Andrea sedikit memerah dari wine yang diminumnya. Ludwina menjadi sadar bahwa pemuda ini tidak punya toleransi alkohol yang bagus. Dia sendiri bisa minum sampai satu botol wine dan masih baik-baik saja, tetapi rupanya, dua gelas adalah batas bagi Andrea."Maybe you should stop drinking," kata Ludwina sambil menurunkan gelas Andrea. Pemuda itu menggeleng sambil memandangnya lekat-lekat."Batasku dua gelas. Setelah ini aku tidak minum lagi," katanya sambil tersenyum."Oh, bagus. Kamu tahu ba
Ludwina merasa konyol sekali pagi ini karena ia tidak bisa menemukan pakaian yang cocok untuk keluar hotel.Cuaca hari ini di diperkirakan tidak sepanas biasanya, dan ia bisa mengenakan celana pendek dan atasan tipis yang kasual, khas daerah tropis. Tetapi entah kenapa ia merasa penampilannya persis sama dengan gadis-gadis yang berlalu lalang di Singapura. Ia ingin terlihat spesial.Akhirnya setelah ganti baju beberapa puluh kali, ia mengenakan pilihan pertamanya.[Kamu mau cari inspirasi
Ketika akhirnya Ludwina pulang ke Jakarta, Johann tak habis-habis menggodanya."Katanya nggak suka jalan ke Singapura... Katanya Singapura itu membosankan setengah mati..." katanya sambil tertawa-tawa di balik kemudi ketika menjemput Ludwina dari bandara.Adiknya hanya merengut dan pura-pura tidak mendengar.***Ludwina mencoba menulis novel dengan latar belakang Singapura tahun 1950'an , dengan inspirasi dari Maria Hertogh, tetapi setelah beberapa bab ia kembali merasa tertahan dan tak mampu melanjutkan. Padahal saat ia di Singapura, dua bab berhasil ia tulis dengan lancar.Kini setelah kembali ke Jakarta ia merasa kehilangan ide. Bab tiga hanya bertambah dua paragraf saja.Ia bertanya-tanya apakah inspirasinya mengalir sewaktu di Singapura karena keberadaan Andrea atau karena ia memang beruntung dan kisah Maria memberinya ilham. Ia membuka bank inspirasinya dan mencari-cari ide cerita lain.Sewaktu di Jerman ia membaca tentang keberadaan Kaspar Hauser, seorang pemuda misterius berusi
Ludwina naik penerbangan paling pagi ke Hong Kong dan tiba di sana sesudah jam makan siang. Ia langsung check in ke hotel Park Royal milik ayahnya. Setelah beristirahat sebentar, ia pun mengirim pesan kepada Kevin untuk menemuinya di hotel.[Kamu sudah lama nggak ke Hong Kong. Makan malam sama aku di Sky Bar ya?] kata Kevin di SMS.[Oke]Sky Bar di Lantai 118 Hotel Ritz Carlton adalah tempat favorit Ludwina di seluruh Hong Kong dan Kevin tahu itu. Mereka bisa melihat seluruh bentang langit
Ludwina tidak mendengar berita dari Kevin selama beberapa bulan setelah mereka membahas "pemutusan perjanjian" di antara mereka.Ia merasa agak bersalah karena membuat Kevin patah hati, tetapi ia tahu bahwa justru tidak adil kalau ia terus memberi harapan kepada pemuda itu hingga entah kapan.Dari Hong Kong, Ludwina terbang ke New York. Ia selalu merasa seperti di rumah sendiri di kota tersibuk di belahan benua Amerika itu. Big Apple adalah rumah keduanya, karena Ludwina menghabiskan masa empat tahun kuliah di sana.
"Good night, Wina. See you in Amsterdam."Ludwina mengangguk. Biasanya ia juga tidur dalam penerbangan, tidur dengan mudah tanpa bantuan obat tidur, karena baginya pesawat sudah seperti rumah sendiri. Tetapi kini ia hanya duduk di tempatnya dan mengamati pemuda yang tidur di sebelahnya.Ia tak keberatan kalau wajah orang ini menjadi wajah yang terakhir dilihatnya sebelum tidur, dan pertama dilihatnya setelah bangun.Dalam hati ia menimbang-nimbang... seandainya Andrea memang jatuh cinta kepadany
Ludwina dan Andrea akhirnya tiba di Stasiun Gare du Nord setelah naik Thalys selama tiga jam. Ludwina merasa bahagia sekali saat menginjakkan kaki di Paris.Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia melihat kota Paris secara berbeda. Sekelilingnya tampak indah dan ia berani sumpah Ludwina bahkan seperti mendengar musik mengalun di kejauhan. Dulu ia hanya melihat Paris sebagai kumpulan bangunan tua dan bersejarah, serta Sungai Seine. Kini, dengan Andrea di depannya, kota Paris seakan menjadi latar belakang lukisan yang sempurna."Kita nginep di mana?" tanya Ludwina sambil menyetop taksi.
Andrea tertawa melihat ekspresi Ludwina, lalu ia geleng-geleng sendiri sambil membereskan kopernya di lemari."Kita nggak usah suit. Biar aku yang tidur di lantai, tapi aku minta bantal dan selimut duvet ya..."Ludwina membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi. Ia tidak tahu skenario apa yang terbaik. Dia sih senang karena Andrea secara gentleman mengambil bagian yang sulit dengan tidur di lantai, tapi dalam hati ia merasa kasihan... Lebih baik tadi mereka menginap di hotel lain..."Ayo, kemana kita sekarang?""Hmm... karena sudah sore kita langsung jalan kaki menyusuri sungai Seine dan ke Trocadero ya... Dari situ bisa lihat Menara Eiffel pada malam hari dengan lampu-lampunya yang keren. Besok kita bisa naik ke atas towernya kalau mau. Bisa makan malam romantis juga di Menara Eiffel, tapi biasanya penuh dan harganya juga terlalu mahal. Lebih seru piknik di lapangan dekat Menara Eiffel besok."Ludwina banyak bercerita tentang kota Paris sambil mereka berjalan-jalan m