Ludwina naik penerbangan paling pagi ke Hong Kong dan tiba di sana sesudah jam makan siang. Ia langsung check in ke hotel Park Royal milik ayahnya. Setelah beristirahat sebentar, ia pun mengirim pesan kepada Kevin untuk menemuinya di hotel.
[Kamu sudah lama nggak ke Hong Kong. Makan malam sama aku di Sky Bar ya?] kata Kevin di SMS.
[Oke]
Sky Bar di Lantai 118 Hotel Ritz Carlton adalah tempat favorit Ludwina di seluruh Hong Kong dan Kevin tahu itu. Mereka bisa melihat seluruh bentang langit
Ludwina tidak mendengar berita dari Kevin selama beberapa bulan setelah mereka membahas "pemutusan perjanjian" di antara mereka.Ia merasa agak bersalah karena membuat Kevin patah hati, tetapi ia tahu bahwa justru tidak adil kalau ia terus memberi harapan kepada pemuda itu hingga entah kapan.Dari Hong Kong, Ludwina terbang ke New York. Ia selalu merasa seperti di rumah sendiri di kota tersibuk di belahan benua Amerika itu. Big Apple adalah rumah keduanya, karena Ludwina menghabiskan masa empat tahun kuliah di sana.
"Good night, Wina. See you in Amsterdam."Ludwina mengangguk. Biasanya ia juga tidur dalam penerbangan, tidur dengan mudah tanpa bantuan obat tidur, karena baginya pesawat sudah seperti rumah sendiri. Tetapi kini ia hanya duduk di tempatnya dan mengamati pemuda yang tidur di sebelahnya.Ia tak keberatan kalau wajah orang ini menjadi wajah yang terakhir dilihatnya sebelum tidur, dan pertama dilihatnya setelah bangun.Dalam hati ia menimbang-nimbang... seandainya Andrea memang jatuh cinta kepadany
Ludwina dan Andrea akhirnya tiba di Stasiun Gare du Nord setelah naik Thalys selama tiga jam. Ludwina merasa bahagia sekali saat menginjakkan kaki di Paris.Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia melihat kota Paris secara berbeda. Sekelilingnya tampak indah dan ia berani sumpah Ludwina bahkan seperti mendengar musik mengalun di kejauhan. Dulu ia hanya melihat Paris sebagai kumpulan bangunan tua dan bersejarah, serta Sungai Seine. Kini, dengan Andrea di depannya, kota Paris seakan menjadi latar belakang lukisan yang sempurna."Kita nginep di mana?" tanya Ludwina sambil menyetop taksi.
Andrea tertawa melihat ekspresi Ludwina, lalu ia geleng-geleng sendiri sambil membereskan kopernya di lemari."Kita nggak usah suit. Biar aku yang tidur di lantai, tapi aku minta bantal dan selimut duvet ya..."Ludwina membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi. Ia tidak tahu skenario apa yang terbaik. Dia sih senang karena Andrea secara gentleman mengambil bagian yang sulit dengan tidur di lantai, tapi dalam hati ia merasa kasihan... Lebih baik tadi mereka menginap di hotel lain..."Ayo, kemana kita sekarang?""Hmm... karena sudah sore kita langsung jalan kaki menyusuri sungai Seine dan ke Trocadero ya... Dari situ bisa lihat Menara Eiffel pada malam hari dengan lampu-lampunya yang keren. Besok kita bisa naik ke atas towernya kalau mau. Bisa makan malam romantis juga di Menara Eiffel, tapi biasanya penuh dan harganya juga terlalu mahal. Lebih seru piknik di lapangan dekat Menara Eiffel besok."Ludwina banyak bercerita tentang kota Paris sambil mereka berjalan-jalan m
Laura dan Pierre datang ke taman dengan membawa limoncello dan croissant. Gadis Amerika berambut pendek itu memanggil Ludwina dengan menyenandungkan Simponi Beethoven nomor 5, seperti yang biasa ia lakukan di kampus dulu.Laura adalah satu-satunya orang yang diizinkan Ludwina memanggilnya dengan cara itu, karena gadis itu adalah sahabatnya. Keempat orang muda itu segera duduk di rumput menghadap Menara Eiffel dan menikmati piknik mereka. Matahari masih terang di angkasa walau sudah jam 7 sore, namun tidak terasa panas sama sekali.Cuacanya sangat sempurna untuk piknik dan mengobrol berjam-jam dengan tema
Mereka bangun ketika matahari sudah tinggi dan dengan malu-malu keduanya membereskan tempat tidur dan bergantian mandi. Agenda hari ini hanyalah mengunjungi Museum Louvre dan Ludwina sudah memesan tiket online sehingga mereka tidak perlu mengantri panjang.Ini adalah keempat kalinya Ludwina mengunjungi Museum terbesar di Prancis ini, dan yang pertama bagi Andrea. Ludwina membantu menjelaskan apa-apa yang ada di setiap bagiannya sehingga mereka tak perlu menggunakan bantuan pemandu museum.Di Louvre ada berbagai benda prasejarah yang disimpan seperti peralatan yang digunakan manusia purba, berbagai mumi dari Mesir, perhiasan dari zaman Mesir dan Romawi, baju-baju zirah zaman dulu, serta ratusan lukisan mengagumkan yang legendaris. Lukisan Monalisa yang sangat terkenal ternyata ukurannya kecil dan selalu ramai dikerubungi ratusan turis.Ludwina dan Andrea lebih tertarik melihat lukisan-lukisan lain yang sangat besar dan memenuhi dinding pajangan. Sebagian lukisan
"Sore ini kita turun ke kota kecil Pitigliano untuk belanja bahan makanan, sekaligus lihat-lihat. Besok kita ke Roma, besoknya ke Firenze, dan kalau di hari terakhir kita bisa ke Sienna," Ludwina mengembangkan peta di meja dan menunjuk beberapa lokasi."Oke."
Tiga hari di Italia berlalu seperti mimpi. Andrea dan Ludwina menikmati kunjungan mereka ke Roma, Firenze (yang juga dikenal sebagai Florence) dan Sienna. Semuanya menampilkan pesona kota tua dari ratusan tahun lalu yang membuat mereka seperti masuk ke dalam mesin waktu.Akhirnya saat yang menyedihkan pun tiba ketika mereka harus packing dan pulang.Setelah pamit kepada Beth dan Hans serta Angela, Andrea dan Ludwina menyetir kembali ke bandara Roma dan mengembalikan mobil rental. Dari Roma mereka terbang ke Amsterdam, dan dari sana naik SQ kembali ke Singapura."Aku belum pernah pulang liburan sesedih ini..."kata Andrea saat duduk di kursi pesawat."Nanti kita pergi lagi." Ludwina tersenyum menenangkan. "Kalau kamu bisa cuti lagi yaa... Kita bikin rencana lagi.You have been an amazing travelmate.""Thank you. You too!"Ludwina lega karena mereka berhasil traveling bersama tanpa ada masalah sama sekali. Ketakutannya semula, bahwa perbed