Gue maunya deket - deket terus sama lo, bahkan semenit berjauhan aja gue gak sanggup.
- Jai -
***
"Jinn!"
Jinny menoleh kala mendengar ada yang memanggilnya dari belakang, namun seketika ia membuang mukanya dan melangkahkan kakinya cepat.
"Jinn, tungguin elah."
Jinny tak menggubris kata-katanya. Ia terus berjalan dan berlarian kecil saat menaiki anak tangga.
"Kak Jai!"
Langkah Jinny terhenti, ia berbalik d
Jual mahalnya gak usah sering-sering, kalo gue diambil orang, apa lo rela?- Jai -***Jai berlarian dengan sangat tergesa-gesa, tak hayal sesekali ia menabrak seorang murid hingga murid itu tersungkur ke lantai. Jai membungkukkan badannya dan meminta maaf beberapa kali, setelah itu ia membantunya untuk berdiri, lalu melanjutkan pengejarannya. Apa lagi selain untuk mengejar Jinny yang sudah jauh di depan.Dengan napas yang masih terengah-engah, Jai berusaha menarik tangan Jinny, dan dengan cepat Jinny menepisnya."Apaan sih?" ketus Jinny.
Satu waktu, di satu tempat yang terasa hitam dan gelap, aku melihatmu sebagai cahaya yang terang.- Jinny -***Jinny mengemasi buku-bukunya dan memasukkan kedalam tas berwarna pink miliknya- hadiah dari papanya saat ia berulang tahun yang ke-16. Sesekali ia tersenyum dan tertawa menanggapi lelucon yang di lontarkan oleh Sasya."Jinn.."Jinny menoleh dan mengerutkan keningnya, menatap Sasya bingung."Pangeran lo nungguin tuh," ucap Sasya seraya menunjuk orang yang tengah bersandar di pintu kelas, menunggu Jinny."Pangeran, pala lo peang." Dengus Jinny seraya menatap orang itu jengah, namun tak sengaja matanya menatap orang yang masih dudu
Siapapun itu, gak bakal dapat maaf dari gue. Kalo dia udah nyakitin seseorang yang gue sayang.- Jai -***Jai masih duduk di bangku kantin dengan wajah lesu, ia sangat lelah, juga sangat frustasi. Sudah dua malam ia tak tidur karna terus menunggu Jinny yang berada di rumah sakit. Kata Dokter, tulang belakang Jinny mengalami keretakan akibat pukulan benda keras. Jai kembali memeras otaknya, memikirkan siapa pelaku sebenarnya.Apakah Mawar dan Sindi? Ataukah orang lain? Batin Jai terus berdebat.Sampai sebuah pukulan mendarat indah di tengkuknya. Jai mendongak dan mendapati para sahabatnya yang sudah duduk manis di tempat masing-masing."
Gak nyangka aja, lo bisa berbuat sekeji itu.***"Gue bisa bantu kalian nyari siapa pelaku sebenarnya."Jai terdiam di tempatnya, begitu pula dengan beberapa orang yang berada di sana. Tara maju mendekat ke arah Sindi."Gue harap lo serius sama kata-kata lo." Setelah mengucapkannya, Tara membuka ikatan Sindi dan membiarkannya mencari bukti siapa pelaku sebenarnya.Sementara Mawar, masih dibiarkan terikat karna ada sesuatu yang harus mereka tanyakan. Zidan menatap wajah sepupunya itu, dalam hati juga ia kasian, tapi kalo dia bersalah, Zidan tak akan segan-segan untuk menghabisinya.
Kalau memang cinta, katakan saja, kenapa harus takut? kenapa harus malu?***Sudah dua minggu sejak Jinny terbaring lemah di rumah sakit, dan kini ia bisa bersekolah seperti biasanya. Jinny menatap gerbang sekolahnya lekat, ia merindukam sekolahnya ini.Jinny melangkah memasuki sekolahnya, ia menoleh pada Pak Ujang yang sedang asyik meminum kopinya."Pagi, pak Ujang." Sapanya.Pak Ujang menoleh lalu ia tersenyum hangat pada Jinny."Eh, ada neng geulis, udah sembuh neng?"Jinny mengangguk menanggapi pertanyaan pak Ujang, setelah itu ia pamit menuju kelasnya."JINNNNNNYYY!!!" teriak Sasya, heboh, ia segera berlari dan berhambur ke pelukan sahabatnya itu."Gue kangen sama lo."Jinny berdecih. "Alay
Mungkin ini jawaban, dari lelahnya menunggu.***Jai memegang erat buku di tangannya. Dalam hati ia tak henti bersyukur, akhir dari perjuangan ini sangat memuaskan, setidaknya cinta pertamanya tak berakhir dengan kisah yang tak terbalaskan."Sasya, cepetan."Jai melotot, sesegera mungkin ia berlari ke bangkunya lalu menyembunyikan buku di tangannya ke dalam laci meja. Ia merogoh sakunya, mengambil sebuah ponsel dari sana dan pura-pura memainkannya."Sya, cepetan elah." Teriak Jinny, kini ia sudah berada di dalam kelas, dan sedikit terkejut karna melihat Jai juga ada di sana. 
Bukan gak mau, hanya mencari waktu yang tepat saja.***"Jai kampret!" Jai menutup telinganya rapat-rapat. Sudah sejak tadi Sasya terus mengomelinya, beginilah, begitulah, ia bosan, bosan dan bosan. Ia mengerti maksud dari Sasya itu baik, hanya saja dia butuh waktu yang tepat. Untuk saat ini mentalnya belum terlalu kuat."Jai, lo ngerti gak sih? Gue gemes deh sama kalian, sama-sama gengsi, udah sama-sama cinta aja masih ditutup-tutupin." Sasya mulai mendesah frustasi. Angga yang berada di sampingnya hanya terkekeh geli melihat kelakuan pacarnya itu."Iya Sya, gue ngerti." Jawab Jai.
Kekhawatiranmu, membuatku tersadar, apa mungkin kau juga punya rasa?***"Harusnya lo itu langsung lari aja!"Jai memarahi Jinny habis-habisan, ia merasa sangat panas saat melihat Luis memegang tangan Jinny begitu. Sedangkan Jinny hanya diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya."Maaf," Jai tertegun, ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu lekat. Jai menjulurkan tangannya dan menghapus air mata yang telah menetes di pipi Jinny. Ia benar-benar bodoh, mengapa ia bisa kelepasan seperti ini. Apalagi sampai membuat Jinny menangis begini, kalau sudah begini, apa bedanya ia dengan laki-laki brengs
Butuh kesabaran ekstra buat dapetin lo, dan kini gue harap lo mau nerima cinta gue.***Jai berdiri di sana, di atas panggung, lengkap dengan gitarnya. Ia melihat Jinny dari sana sambil tersenyum, sementara yang ditatap hanya diam melotot di tempatnya. "Gue berdiri di sini, buat ngungkapin perasaan gue sama seseorang." Jai masih menatap Jinny, sementara para penonton, khususnya wanita berteriak heboh."Terimakasih untuk dia yang sudah memakai gaun biru, warna kesukaan gue." Penonton kembali berteriak heboh, apalagi mereka yang juga memakai gaun biru. Berharap saja jika yang di maksud oleh Jai adalah me
Untuk hari yang spesial, tentunya harus tampil memukau.***"BANG TARA!!"Tok. Tok.. Tok.Jinny tak ada hentinya mengetuk pintu kamar Tara, sudah sedari tadi ia teriak sampai habis suara namun sama sekali tak di dengar oleh Tara. Jinny semakin kesal dibuatnya, ia menatap pintu kamar itu lekat.Brakk.."JINNY! SUARA APA ITU?""ANJING TETANGGA NABRAK PAGAR MA." Jinny mendengus sebal sambil
Kekhawatiranmu, membuatku tersadar, apa mungkin kau juga punya rasa?***"Harusnya lo itu langsung lari aja!"Jai memarahi Jinny habis-habisan, ia merasa sangat panas saat melihat Luis memegang tangan Jinny begitu. Sedangkan Jinny hanya diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya."Maaf," Jai tertegun, ia menatap perempuan yang ada di hadapannya itu lekat. Jai menjulurkan tangannya dan menghapus air mata yang telah menetes di pipi Jinny. Ia benar-benar bodoh, mengapa ia bisa kelepasan seperti ini. Apalagi sampai membuat Jinny menangis begini, kalau sudah begini, apa bedanya ia dengan laki-laki brengs
Bukan gak mau, hanya mencari waktu yang tepat saja.***"Jai kampret!" Jai menutup telinganya rapat-rapat. Sudah sejak tadi Sasya terus mengomelinya, beginilah, begitulah, ia bosan, bosan dan bosan. Ia mengerti maksud dari Sasya itu baik, hanya saja dia butuh waktu yang tepat. Untuk saat ini mentalnya belum terlalu kuat."Jai, lo ngerti gak sih? Gue gemes deh sama kalian, sama-sama gengsi, udah sama-sama cinta aja masih ditutup-tutupin." Sasya mulai mendesah frustasi. Angga yang berada di sampingnya hanya terkekeh geli melihat kelakuan pacarnya itu."Iya Sya, gue ngerti." Jawab Jai.
Mungkin ini jawaban, dari lelahnya menunggu.***Jai memegang erat buku di tangannya. Dalam hati ia tak henti bersyukur, akhir dari perjuangan ini sangat memuaskan, setidaknya cinta pertamanya tak berakhir dengan kisah yang tak terbalaskan."Sasya, cepetan."Jai melotot, sesegera mungkin ia berlari ke bangkunya lalu menyembunyikan buku di tangannya ke dalam laci meja. Ia merogoh sakunya, mengambil sebuah ponsel dari sana dan pura-pura memainkannya."Sya, cepetan elah." Teriak Jinny, kini ia sudah berada di dalam kelas, dan sedikit terkejut karna melihat Jai juga ada di sana. 
Kalau memang cinta, katakan saja, kenapa harus takut? kenapa harus malu?***Sudah dua minggu sejak Jinny terbaring lemah di rumah sakit, dan kini ia bisa bersekolah seperti biasanya. Jinny menatap gerbang sekolahnya lekat, ia merindukam sekolahnya ini.Jinny melangkah memasuki sekolahnya, ia menoleh pada Pak Ujang yang sedang asyik meminum kopinya."Pagi, pak Ujang." Sapanya.Pak Ujang menoleh lalu ia tersenyum hangat pada Jinny."Eh, ada neng geulis, udah sembuh neng?"Jinny mengangguk menanggapi pertanyaan pak Ujang, setelah itu ia pamit menuju kelasnya."JINNNNNNYYY!!!" teriak Sasya, heboh, ia segera berlari dan berhambur ke pelukan sahabatnya itu."Gue kangen sama lo."Jinny berdecih. "Alay
Gak nyangka aja, lo bisa berbuat sekeji itu.***"Gue bisa bantu kalian nyari siapa pelaku sebenarnya."Jai terdiam di tempatnya, begitu pula dengan beberapa orang yang berada di sana. Tara maju mendekat ke arah Sindi."Gue harap lo serius sama kata-kata lo." Setelah mengucapkannya, Tara membuka ikatan Sindi dan membiarkannya mencari bukti siapa pelaku sebenarnya.Sementara Mawar, masih dibiarkan terikat karna ada sesuatu yang harus mereka tanyakan. Zidan menatap wajah sepupunya itu, dalam hati juga ia kasian, tapi kalo dia bersalah, Zidan tak akan segan-segan untuk menghabisinya.
Siapapun itu, gak bakal dapat maaf dari gue. Kalo dia udah nyakitin seseorang yang gue sayang.- Jai -***Jai masih duduk di bangku kantin dengan wajah lesu, ia sangat lelah, juga sangat frustasi. Sudah dua malam ia tak tidur karna terus menunggu Jinny yang berada di rumah sakit. Kata Dokter, tulang belakang Jinny mengalami keretakan akibat pukulan benda keras. Jai kembali memeras otaknya, memikirkan siapa pelaku sebenarnya.Apakah Mawar dan Sindi? Ataukah orang lain? Batin Jai terus berdebat.Sampai sebuah pukulan mendarat indah di tengkuknya. Jai mendongak dan mendapati para sahabatnya yang sudah duduk manis di tempat masing-masing."
Satu waktu, di satu tempat yang terasa hitam dan gelap, aku melihatmu sebagai cahaya yang terang.- Jinny -***Jinny mengemasi buku-bukunya dan memasukkan kedalam tas berwarna pink miliknya- hadiah dari papanya saat ia berulang tahun yang ke-16. Sesekali ia tersenyum dan tertawa menanggapi lelucon yang di lontarkan oleh Sasya."Jinn.."Jinny menoleh dan mengerutkan keningnya, menatap Sasya bingung."Pangeran lo nungguin tuh," ucap Sasya seraya menunjuk orang yang tengah bersandar di pintu kelas, menunggu Jinny."Pangeran, pala lo peang." Dengus Jinny seraya menatap orang itu jengah, namun tak sengaja matanya menatap orang yang masih dudu