Fajar memasuki gedung tempatnya bekerja, pembicaraan pada saat ulang tahun seakan tidak berbekas sama sekali. Indira mengatakan jika memulai dari awal, artinya mereka akan memulai dengan cara wajar dan normal. Fajar menatap sekitar, semua orang hormat pada dirinya, tapi perasaan seakan kosong dan tidak tahu apa.
“Pagi, Pak.” Kunto mendatangi Fajar dengan membawa catatan.Hal yang selalu berulang setiap dirinya memasuki ruangan kerjanya, tapi ada sesuatu yang membuat dirinya kurang, tapi tidak tahu apa. Fajar terdiam dan tidak fokus pada perkataan Kunto, pikirannya kosong dan tidak mendengarkan sama sekali, tatapannya kosong saat Kunto berbicara dengan memandang lurus kedepan.“Ada yang perlu diubah?” suara Kunto membuyarkan lamunan Fajar.“Bisa panggil Rifan?” Fajar menatap Kunto saat teringat temannya itu.“Pak Rifan sedang dinas luar bersama Ibu Indira.”“Ada perlu apa mereka?” Fajar mengerutkan keningnya mendengarPembicaraan mereka berdua membuat Indira memutuskan hal gila membawa Fajar ke psikolog atau psikiater, memberitahukan rencananya pada Rifan yang langsung mendapatkan penolakan secara mentah-mentah.“Kamu mau membuat semua orang tahu kelemahan Fajar?” Rifan memberikan tatapan tajam “Perusahaan ini dia bangun dengan susah payah, aku juga terlibat didalamnya.”“Lalu apa yang harus dilakukan? Dia sangat penasaran dan aku memutuskan untuk menjauh dari dia.” Indira mengatakan yang sebenarnya.“Kamu ingat apa yang dikatakan Joe atau siapapun itu?” Indira mengerutkan keningnya “Mereka ingin menjadi satu dengan Fajar, tapi harus menyelesaikan masalahnya dan mereka menganggap jika Fajar masih terlalu lemah.”“Kita harus percaya begitu saja?” Indira menatap tidak percaya membuat Rifan terdiam “Aku mau membawa Fajar bertemu sama Dave.”Rifan terdiam menatap Indira penuh selidik “Kamu yakin saudaramu itu bisa menyelesaikannya? Kalau tidak sa
Fajar menatap dalam diam kearah Rifan dan Indira yang duduk dihadapannya, Rifan mengajaknya ke suatu tempat dan ternyata ada Indira didalamnya. Fajar tidak tahu rumah siapa yang digunakan untuk pertemuan mereka, pastinya bukan rumahnya atau Rifan apalagi tempat tinggal Indira.“Ini rumahmu.” Rifan membuka suara terlebih dahulu membuat Fajar mengerutkan keningnya “Rumah yang kamu siapkan nanti setelah menikah dengan siapapun itu,” sambung Rifan.“Kenapa kamu tahu sedangkan aku nggak?” tanya Fajar mencoba mengingat.“Tentu saja kamu nggak tahu karena rumah ini yang membeli adalah pribadimu yang lain, aku tidak tahu siapa.” Rifan menjawab dengan tatapan serius membuat Fajar mengerutkan keningnya.“Pribadiku yang lain? Maksudmu apa?”“Kamu memiliki kepribadian lain, kami akan menjelaskan atau menceritakan apa yang terjadi selama ini. Apabila kami bertanya kamu tinggal menjawab sesuai pertanyaan dan jangan melakukan perdebatan atau m
Membicarakan semuanya pada Dave, alasan utamanya adalah karena dia yang paham tentang hal ini. Indira membawa Fajar ke rumah Dave yang sebenarnya atau rumah yang pernah mereka datangi dengan Joe si pengendali tubuh Fajar, Rifan memilih pulang karena masih ada yang harus dikerjakan. Dave sendiri belum sampai rumah, membuat Indira dan Fajar hanya berdua di rumah Dave, tidak tahu melakukan apa membuat Indira menyiapkan makanan untuk mereka.“Bagaimana kamu komunikasi dengan mereka?” tanya Fajar tepat di belakang Indira dengan bersandar di lemari pendingin.“Mereka muncul sendiri, apa kamu tidak merasa aneh dimana secara tiba-tiba memiliki banyak barang di rumah? Pernah berpikir hal yang aneh?” tanya Indira menatap penuh selidik.“Entah,” jawab Fajar sambil mengangkat bahunya “Bagaimana kita bersama?”“Kita tidak memiliki hubungan apapun.” Indira mencoba bersikap tenang.Joe dan Indira telah membuat keputusan untuk tidak melibatkan
Jantungnya berdetak tidak menentu, bertemu dengan orang yang tidak diketahuinya sama sekali. Fajar tidak yakin dengan semua yang mereka katakan, tapi bukti dari perkataan mereka memang benar adanya. “Kamu benar dengan semua yang kamu katakan kemarin?” Fajar menatap Rifan penuh selidik.“Aku awalnya juga nggak percaya, tapi semua terbukti depan mata. Masa aku mau membohongi masalah begini?” Rifan menggelengkan kepalanya “Kamu pikir aku nggak shock? Lebih shock lagi kalau kepribadianmu yang wanita suka sama aku, itu yang membuat semua pertanyaanku terjawab.”“Maksudnya?” tanya Fajar bingung.“Waktu kita tidur bersama dulu acara sekolah, kamu selalu minta satu ranjang sama aku dengan alasan takut dan bodohnya aku percaya.” Rifan berdetak kesal membuat Fajar membelalakkan matanya.“Nggak mungkin aku begitu.” Fajar menggelengkan kepalanya.“Terserah, tapi itu memang benar. Sekarang lihat reaksimu sudah bisa disimpulkan ka
Memasuki ruangan dengan design yang menenangkan, berbeda dengan ruangan dokter pada umumnya. Fajar menatap wanita yang duduk dengan penampilan masa kini, menyapa dengan memberikan senyuman ramahnya. Fajar mengalihkan pandangan pada Indira dan Dave yang berada tidak jauh darinya, tangannya secara otomatis langsung menggenggam tangan Indira yang membuatnya terkejut.Fajar duduk disamping Indira dengan Dave yang berada di kursi sendiri disamping Fajar, wanita itu berada dihadapannya yang masih memberikan tatapan ramahnya. Fajar menatap Dave untuk diberitahukan siapa wanita yang ada dihadapannya, dirinya belum pernah bertemu sama sekali dengan wanita dihadapannya.“Fajar, kamu pasti bingung siapa aku.” Fajar menganggukkan kepalanya langsung, wanita dihadapannya tersenyum “Aku sering bertemu dengan Joe, dia adalah perwakilan kalian ketika datang kesini. Biasanya bukan hanya aku yang bertemu dengan Joe, tapi ada satu partner yang lain dan secara kebetulan masih menan
Semua memandang Dave saat mengatakan hal itu, sekali lagi suasana kembali hening menatap Melani dan Dave bergantian. Fajar mengalihkan pandangan kearah Indira yang hanya mengangkat bahunya, kedua orang ini saja yang paham maksud dari perkataannya.“Mereka sudah melakukan hal itu.” Melani menjawab langsung “Tepatnya Joe, hal itu yang membuat akhirnya bisa berkomunikasi dengan dua yang lain.”“Kenapa tidak denganku?” tanya Fajar langsung.“Joe mengatakan kalau mental kamu belum siap.” “Mental? Memang Silvi siap?” Fajar tetap bertahan dengan rasa ingin tahunya yang tinggi.“Awalnya memang tidak, tapi perlahan Silvi bisa mengimbanginya. Joe dan Frans akan membiarkan Silvi melakukan apa yang disukainya setelah apa yang paman kamu lakukan.” Melani menatap Fajar yang langsung diam.“Paman tidak melakukan pelecehan pada Silvi?” tanya Fajar dengan penuh rasa khawatir.“Hubungan seksual?” tembak Melani yang membuat
Fajar benar-benar mewujudkan kata-katanya menyiapkan pernikahan mereka, Indira mengetahuinya saat meminta berkas pribadinya dan tanpa sepengetahuan Indira sudah menghubungi orang tuanya. Indira baru tahu ketika orang tuanya datang ke tempat Dave, kedua saudara saling menatap satu sama lain.“Dia benar-benar mau menikah sama kamu?” Dave menatap Indira yang hanya diam.“Aku nggak tahu, lalu aku harus bagaimana?” Indira menatap cemas pada Dave.“Lakukan saja apa yang dia rencanakan, aku nggak menyangka Fajar akan melakukan hal gila.” Dave menggelengkan kepalanya.“Apa ini Fajar atau pribadinya yang lain?” tanya Indira meminta keyakinan dengan menatap Dave yang hanya mengangkat bahu. “Apa aku harus menikah sama Fajar agar mereka bisa bersama?”“Kalau memang itu yang terbaik, kita bisa mencobanya. Satu hal yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana dengan pamannya? Pria itu gila dan aku takut kamu kenapa-kenapa, belum lagi tunangannya
Fajar menggenggam tangan Indira, mereka memutuskan untuk melihat isi rumah ini. Langkah mereka tertuju pada lift yang ada di dekat ruang keluarga dan dapur, saling menatap satu sama lain dimana tampak keraguan dari wajah Fajar. Indira menekan tombol, pintu terbuka tidak lama kemudian dan mereka masuk kedalam, tujuan mereka adalah lantai paling bawah. Lift turun ke bawah, mereka saling memandang satu sama lain menanti apa yang ada dihadapannya, walaupun mereka sudah membaca buku harian tetap saja rasa penasaran lebih tinggi.“Sebanyak ini mobil kalian?” Indira membuka suara menatap banyaknya mobil ketika pintu lift terbuka “Di rumah yang lama bukannya ada juga kendaraan milikmu? Uang darimana kamu?”“Joe yang mengatur semuanya.” Fajar membuka suara “Seharusnya Joe mengambil tubuh ini bukan membiarkan aku yang mengambil alih, dia lebih paham dengan semua yang terjadi.”Indira menggenggam tangan Fajar erat, mendekatkan dirinya pada Fajar dengan membelai
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak