Fajar mendatangi Dave untuk melakukan apa yang dikatakannya pada Indira, tanpa adanya Indira disampingnya sama sekali. Kepribadian yang lain sudah tidak muncul lagi, tapi bukan berarti mereka tidak akan keluar sewaktu-waktu yang membuat tidak bisa mengendalikan diri, apalagi sekarang harus berhadapan dengan pamannya di meja hijau.
“Indira bilang kalau sudah tidak keluar lagi, apa benar?” tanya Dave menatap Fajar dalam.“Memang benar, komunikasi terakhir waktu sama Indira itu setelahnya tidak sama sekali. Indira sendiri bilang biasanya salah satu diantara mereka akan keluar hanya untuk berbicara sama dia, tapi sudah lama tidak terjadi. Aku sendiri masih selalu sadar dengan apa yang terjadi dalam lingkungan, tidak merasa ada sesuatu yang hilang bahkan termasuk momen kecil sama Indira.” Fajar memberikan penjelasan lengkap pada Dave.“Lalu apa yang membuat kamu datang kesini? Terapi lanjutan?”Fajar menganggukkan kepalanya “Aku takut mereka a“Permisi, Pak.” Kunto masuk dengan wajah tegangnya.Fajar dan Indira saling menatap satu sama lain, wajah Kunto seakan takut terjadi sesuatu yang berbahaya.“Ada apa?” tanya Indira membuka suaranya.“Ibu Mariska ada di lobby ingin bertemu dengan bapak.” Kunto menjawab dengan menatap Fajar.Fajar menatap Indira seakan meminta bantuan untuk jawaban, dirinya sama sekali tidak tahu harus bagaimana dengan kedatangan Mariska kembali. Indira hanya mengangkat bahunya tanda tidak tahu, mengalihkan pandangan kearah Kunto yang menunggu jawaban dan juga instruksi dari Fajar.“Bawa ke ruang rapat saja.” Fajar memberikan jawaban langsung.Kunto yang mendengar jawaban dan juga instruksi yang Fajar berikan langsung keluar dari ruangan, hembusan nafas panjang dikeluarkannya dengan menatap Indira yang masih diam. Fajar mencoba mengingat alasan Mariska datang kesini, pastinya tentang Budi tapi dirinya sudah mengatakan tidak akan menarik
“WANITA TIDAK TAHU DIRI, TIDAK TAHU MALU!” Fajar menatap Indira penuh emosi “Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa berani sejauh ini, walaupun dari buku-buku mereka memang dia berani, tapi setiap denganku dia tampak sebagai wanita penurut dan baik-baik terjaya...” Fajar menggelengkan kepalanya mengingat berapa bodohnya dia selama ini “AKU AKAN MEMBUAT DIA MENYESAL!”Fajar mengatakan dengan penuh emosi saat sudah berada di rumah, Indira hanya diam melihat Fajar yang sedang melupakan emosinya. Pertemuan mereka dengan Mariska selesai beberapa jam kemudian mereka memutuskan untuk pulang, Fajar ingin melampiaskan emosinya di rumah tanpa ada yang tahu kecuali Indira.“Bagaimana bisa dia melakukan itu.” Fajar menggelengkan kepalanya.“Cinta,” jawab Indira.Fajar menatap tajam kearah Indira “Cinta?” seketika menganggukkan kepalanya “Aku bodoh percaya penuh sama dia. Dulu aku mikir dia sangat mencintaiku tapi nyatanya hanya butuh uang saja.”
“Kamu berkata begitu?” tanya Dave memastikan kembali cerita Fajar yang hanya diangguki “Memang benar mereka sudah menganggap Mariska tidak penting.”“Bagaimana Indira bisa tahu?” tanya Fajar bingung.“Satu hal darimu yang tidak berubah adalah kamu akan menjadi orang bodoh jika sudah berhadapan dengan Mariska.”Fajar membelalakkan matanya mendengar perkataan Dave, kata-kata yang keluar tanpa beban. Dave sendiri seakan tidak peduli dengan reaksi Fajar saat ini, semua adalah proses terapi yang harus mereka berdua jalani.“Kamu lupa buku catatan kalian? Disana tertulis sangat jelas bagaimana kepribadian lain sangat muak dengan tindakan kamu sama Mariska, mereka sudah tahu seperti apa Mariska itu tapi kamu selalu bertekuk lutut dan melakukan apapun buat dia.”“Maka itu ketika dia datang aku membutuhkan saksi yaitu Indira dan Rifan.” Fajar mengakui dan melakukan pembelaan.“Memang kamu melakukan itu, mungkin yang menggerakk
Fajar mencoba mengingat semua yang dirinya lakukan bersama dengan Mariska dan Indira, semua kata-kata yang diucapkan Dave memang benar adanya. Fajar sebagai pribadi masih belum bisa melepaskan Mariska, tidak terima wanita yang sudah menjadi tunangannya memilih Budi dibandingkan dirinya. Kepribadiannya yang lain, lebih tepatnya ketiganya atau semua. Mereka menyukai Indira dibandingkan Mariska, mereka sudah nyaman dengan Indira dan itu membuat mereka mengambil keputusan seperti ini, walaupun sebenarnya mereka sudah memilih mengambil keputusan seperti ini, tapi kehadiran Indira membuat mereka yakin dengan keputusan yang diambil.“Kamu sedang apa?” suara Indira membuyarkan lamunan Fajar “Lagi memikirkan sesuatu?” Menatap Indira yang berada dihadapannya, perkataannya pada Dave di sesi pertama mereka memang benar adanya. Fajar tidak bisa kehilangan Indira karena memberikan kehangatan dan ketenangan, dirinya juga merasakan hal yang sama. Mariska, sangat b
Perasaan cemas menghampiri ketika membayangkan bertemu dengan Budi dan Mariska, beberapa kali menarik dan menghembuskan nafas panjang. Genggaman tangan yang dilakukan Indira membuat Fajar menatap kearahnya, senyum tulusnya membuat dirinya tenang. Perjalanan ke tempat sidang bersama dengan Indira memang membuatnya tenang, tapi tetap saja tidak sepenuhnya karena harus bertemu dengan Budi.“Semua akan baik-baik saja,” ucap Indira entah ke berapa kalinya.“Andaikan salah satu diantara mereka keluar, maka aku...”“Mereka tidak akan keluar, ini tubuhmu dan kamu harus yang mengambil alih walaupun mereka juga masuk bagian dari dirimu. Percaya diri seperti biasanya, Fajar yang memiliki tampang datar dan ditakuti banyak orang.” Indira mengatakan panjang lebar.“Itu bukan aku bisa jadi...”“Orang tidak ada yang tahu itu kamu atau bukan, orang hanya mengenal Fajar bukan yang lain,” potong Indira dengan nada tegasnya.Fajar memili
Melihat secara langsung Mariska berciuman dengan Budi membuat Fajar kesal, menutupi semuanya dari Indira seakan semua baik-baik saja. Hembusan nafas panjang dikeluarkannya, bayangan itu tetap selalu hadir sejak kemarin.“Aku harus melupakan itu semua, bagaimanapun ada hati yang harus aku jaga.” Fajar berkata pada diri sendiri.Menatap pekerjaannya yang menumpuk membuat Fajar menghembuskan nafas panjang, tidak menyangka pekerjaannya semakin banyak setelah kedatangan Mariska dulu. Fajar seakan tidak berkonsentrasi sama sekali, masih bisa diingat dengan jelas bagaimana Mariska meminta bantuan untuk Budi.“Semangat! Pekerjaan ini harus selesai. Lupakan Mariska dan mengerjakan pekerjaan ini.” Fajar mengatakan dengan keyakinan.Suasana di ruangannya menjadi hening, mulai mengerjakan pekerjaannya dengan membaca beberapa berkas yang ada di mejanya. Membaca satu per satu dengan teliti, tidak ada bagian yang terlewatkan saat membaca, memberikan tand
Fajar menatap Dave yang memintanya untuk tidur di sofa, pria yang ditatapnya hanya membaca kertas yang Fajar tidak tahu berisi apa. Dave tidak menatap Fajar karena memang fokusnya adalah catatan yang selama ini ditulisnya, hembusan nafas panjang dikeluarkannya dengan membawa kalung dihadapan Fajar. “Kamu yakin mereka akan keluar?” tanya Fajar membuka suaranya. “Kamu fokus menatap gerakan kalung ini.” Dave berkata tidak mendengarkan kata-kata Fajar. Fajar yang kesal menghentikan gerakan kalung, memberikan tatapan penuh selidik pada Dave yang hanya bisa menghembuskan nafas panjang. “Mereka tidak akan keluar dengan cara begini.” Fajar menyingkirkan kalung dari hadapannya “Kamu kayaknya tanya sama Indira bagaimana mereka bisa keluar.” “Mereka sudah lama tidak keluar, Indira bilang begitu.” Dave menatap kesal Fajar “Apa sulitnya ikutin cara ini? Kalau memang nggak bisa aku akan tanya Indira, sekarang berbaring kembali.” Da
“Apa maksudmu Frans?” tanya Indira hati-hati. “Aku tahu dan bisa merasakan apa yang kamu rencanakan, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu menyayangi Fajar bukan? Kalau memang iya maka tetap berada disampingnya sampai kapanpun.” Frans berkata dengan nada tegasnya. “Aku tidak bisa menjanjikan apapun, semua kembali pada Fajar bukan aku.” Indira melepaskan genggaman tangan mereka, menatap lembut pada Frans yang saat ini mengambil alih tubuhnya. Indira tahu tidak akan pernah sama perlakuan yang diterimanya, Fajar memang baik tapi tidak terlalu memperlihatkan, bentuk kebaikannya lebih pada ucapan terima kasih yang sudah menemani dirinya. “Kembalikan Fajar, Frans.” Joe membuka suaranya. “Aku nggak bisa membuat Indira terluka karena kebodohan dia.” Frans berkata dengan nada kesalnya. “Frans, kita akan menjadi satu kesatuan dan pastinya Fajar yang mengambil alih tubuh ini.” Indira dan Dave hanya saling memand
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak