“Apa maksudmu Frans?” tanya Indira hati-hati.
“Aku tahu dan bisa merasakan apa yang kamu rencanakan, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu menyayangi Fajar bukan? Kalau memang iya maka tetap berada disampingnya sampai kapanpun.” Frans berkata dengan nada tegasnya.“Aku tidak bisa menjanjikan apapun, semua kembali pada Fajar bukan aku.”Indira melepaskan genggaman tangan mereka, menatap lembut pada Frans yang saat ini mengambil alih tubuhnya. Indira tahu tidak akan pernah sama perlakuan yang diterimanya, Fajar memang baik tapi tidak terlalu memperlihatkan, bentuk kebaikannya lebih pada ucapan terima kasih yang sudah menemani dirinya.“Kembalikan Fajar, Frans.” Joe membuka suaranya.“Aku nggak bisa membuat Indira terluka karena kebodohan dia.” Frans berkata dengan nada kesalnya.“Frans, kita akan menjadi satu kesatuan dan pastinya Fajar yang mengambil alih tubuh ini.”Indira dan Dave hanya saling memandFajar terdiam saat melihat Indira tampak biasa saja setelah keputusan yang dibuatnya, perasaan tidak tenang menghantuinya saat membayangkan Indira akan melakukan apa yang dikatakannya, semua yang dikatakan akan benar-benar dilakukan. “Kamu nggak papa?” tanya Indira dengan suara lembutnya. “Kamu nggak akan melakukan itu, kan?” tanya Fajar tanpa menjawab pertanyaan Indira. Indira tersenyum lembut “Lebih baik kita fokus dengan sidang pamanmu itu.” “Kita tetap harus membahas.” Fajar dengan tetap pendiriannya. “Aku akan menemani kamu sampai sembuh atau mungkin sampai kamu membuangku.” Fajar membelalakkan matanya “Aku tidak akan membuangmu.” “Ini Fajar atau lainnya?” Indira memberikan tatapan penuh selidik. “Kamu tahu sendiri kalau ini adalah aku, mereka tidak akan keluar sesuai perjanjian. Kamu lupa?” Indira menggelengkan kepalanya “Hanya memastikan, kita sudah melalui banyak hal berat teru
Keputusan sudah dibuat Fajar membuat Indira harus mengikutinya, Fajar meminta Indira tinggal di rumah dimana mereka selama ini berada. Indira hanya menganggukkan kepala tanpa berniat untuk tinggal di rumah ini, rumah yang baginya terlalu besar untuk ditinggal sendirian. Sidang putusan Budi telah diberikan, tampak Mariska menahan kesedihan membuat Indira menjadi tidak tega melihatnya. Fajar sudah tampak tidak peduli dengan keadaan Mariska, sesuatu yang membuat dirinya bernafas lega dimana secara perlahan sudah melupakan kenangan diantara mereka berdua. “Ahhh..” Indira mendesah saat merasakan penis Fajar memasukinya terlalu dalam. “Kamu selalu sempit....ahhh...” Beberapa kali Fajar bergerak dengan berbagai macam gaya, Indira mengikutinya dengan menggerakkan bokongnya membuat Fajar menampar bokong Indira. Melakukan hubungan intim dengan Fajar membuat Indira mencapai klimaks berkali-kali dengan bermacam gaya. Merasakan didalam vaginanya terasa
Jadwal keberangkatan Fajar telah ditentukan, artinya tidak lama lagi mereka akan berpisah. Indira sudah menyiapkan semuanya, termasuk dirinya yang akan pindah tempat tinggal. Rumah yang nyaman sudah dirinya siapkan untuk tempat tinggalnya nanti.“Semua pakaian sudah masuk, kamu nggak tahu akan berapa lama disana jadi aku hanya membawakan beberapa yang penting.” Indira menatap koper yang baru saja tertutup.“Ya, kamu nggak usah khawatir. Besok aku berangkat sama Dave, kenapa kamu nggak mau ikut aja temani aku disana?”Indira menggelengkan kepalanya “Lebih baik kamu fokus dengan terapi ini, kalau ada aku takutnya nggak fokus.”“Baiklah, kalau begitu kita tidur sekarang.”Jam sudah menunjukkan waktunya untuk tidur, Indira tidak mau berdebat dan memilih tidur bersama dengan Fajar. Tidur terakhir kalinya sebelum Fajar berangkat untuk pengobatan, merasakan kehangatan dari pelukan Fajar atau ranjang yang terasa hangat dan tidak akan di
Memasuki rumah yang selama ini ditinggalinya, melupakan semua yang pernah dialami pada masa lalu. Fajar berhasil mengatasi semuanya, memutuskan tinggal di rumah yang pernah memberikan kenangan buruk di masa lalu, menatap setiap sudut rumah tanpa mengingat kejadian di masa lalu. Metode yang mereka lakukan adalah menjadikan kepribadian menjadi satu, membuat Fajar melupakan kenangan buruknya di masa lalu dengan metode hypnoterapi, dan banyak hal dilakukannya.“Kamu memilih tinggal disini?” suara Rifan membuat Fajar menganggukkan kepalanya.“Ada yang salah?”“Nggak juga.”Fajar tidak menyadari suatu keanehan dalam diri Rifan, melangkah masuk kedalam dengan membuka pintunya. Tidak ada yang berubah, semua tampak seperti sebelumnya. Fajar tersenyum lebar melihat semua pada tempatnya, mengalihkan pandangan kearah Rifan yang hanya diam.“Aku senang semua pada tempatnya, wanita itu sudah pergi selamanya?” “Wanita yang mana?” t
“Kamu nggak bisa sembunyi terus.” Dave membuka suaranya.“Kamu pintar, punya nomer lain.” Indira tidak peduli dengan kata-kata Dave.“Fajar tinggal dirumah lama, dia pasti sudah menemukan surat dari pengadilan.”Indira menganggukkan kepala tanda apa yang dikatakan Dave benar “Kamu nggak mau lihat ponakanmu?”“Kamu kasih nama sesuai dengan nama kepribadian Fajar?” Dave menggelengkan kepalanya “Jadi kalian belum bercerai?”Indira menggelengkan kepalanya “Pengadilan tidak memberikan karena hamil, padahal aku sudah menyembunyikan dengan baik tapi nyatanya....”“Anak kalian nggak mau orang tuanya berpisah.”“Mungkin.” Indira menanggapi dengan santai.Membuka pintu kamar, mendatangi bayinya yang sudah membuka matanya. Indira tersenyum melihat putrinya yang mengerjapkan matanya, menggendong putri yang diberi nama Silvi. Nama yang sesuai dengan kepribadian Fajar, nama yang masuk kedalam pikirannya ketika
Tatapan tajam diberikan pada kedua orang yang ada dihadapannya, menemukan mereka berdua membutuhkan perjuangan panjang. Fajar benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan jejak Indira, semua tidak lain karena faktor uang dan kemampuannya.“Jadi...ada yang mau dikatakan?” Fajar membuka suara dengan nada dingin dan datar.“Aku mau bicara berdua saja tanpa Dave dan Rifan.” Indira menjawab tegas.Fajar menaikkan alisnya mendengar nada suara Indira, satu hal yang tidak berubah adalah tetap dengan suara tegas dan tidak terbantahkan. Menatap kedua pria yang duduk tidak jauh dari mereka berdua, hembusan nafas panjang dikeluarkan Fajar dan memilih menganggukkan kepalanya tanda jika setuju dengan permintaan Indira. Indira berdiri, melihat itu membuat Fajar melakukan hal yang sama dan semua karena kode yang diberikan. Langkah mereka menuju satu ruangan membuat Fajar mengernyitkan dahinya, memilih mengikuti dalam diam dan semakin mengernyitkan dahiny
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu
“Kamu melakukan apa semalaman?” Fajar mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Indira “Kamu mencurigaiku?”Indira mengangkat bahunya “Entah hanya perasaan saja, kalau salah maaf.”“Aku bertemu Mariska,” ucap Fajar akhirnya membuat Indira menghentikan kegiatannya “Aku memang ingin bertemu dengan dia, ingin tahu keadaannya.”“Lalu?” tanya Indira penasaran “Kamu mendapatkan sesuatu?” Fajar menceritakan semuanya pada Indira setelah menyuruhnya duduk dekat dirinya, meminta mendengarkan tanpa memotong cerita yang diberikan. Fajar menggenggam tangan Indira seakan untuk tenang terlebih dahulu sampai cerita selesai, selama cerita tidak melepaskan tatapan sama sekali. Salah satu yang membuat Fajar menggenggam tangan Indira dan menatap kedua matanya tidak lain karena takut wanita dihadapannya meninggalkan dirinya lagi, mendapatkan Indira kembali tidak mudah dan sekarang melakukan kesalahan dengan menemui Mariska, wanita yang memang tida
“Serius?!” Fajar menganggukkan kepalanya “Aku mau minta kamu temani.”“Indira bagaimana?” tanya Rifan penuh selidik “Kamu akan bohongi dia?”“Apa aku harus terus terang?” Fajar meletakkan jemarinya di dagu.“GILA! Nggak gitu juga.” Rifan menepuk keningnya pelan “Kamu yakin mau tahu keadaan dia? Gimana kalau foto aja?”“Kamu sudah kasih, aku mau lihat langsung.”“Jangan mengulang kesalahan yang sama.” Rifan memberikan peringatan dengan nada seriusnya “Kamu pikirkan dulu baiknya, kalau sudah dipikirkan baru aku temani.”Fajar terdiam, kata-kata Rifan memang benar. Keinginannya melihat keadaan Mariska sudah sangat besar, melihat foto-foto yang diberikan tidak cukup membuat perasaannya tenang. Mariska adalah wanita pertama yang dikenalnya dan menemani dirinya saat tidak ada yang mau dengannya. Fajar bukan merasa bersalah, tapi lebih pada mengasihani. Fajar tahu bagaimana kehidupan Mariska selama ini yang selal
Indira mengikuti perkataan Fajar, keputusan yang dibuat semua karena Silvi. Rumah baru yang dicarinya didapat dengan sangat cepat, Indira tahu kekuatan uang bisa membuat segalanya mudah. Tidak hanya itu Fajar membuat kamar khusus untuk Silvi, rumah baru mereka terdapat beberapa kamar. Kamar utama adalah kamar mereka, kamar Silvi, kamar tamu dan dua kamar yang masih kosong.“Memang buat siapa kamarnya?” tanya Indira penasaran.“Adiknya Silvi.” Fajar menjawab santai.“Silvi masih baru berapa bulan, kamu sudah mikirin adiknya.” Indira menggelengkan kepalanya.Masuk kedalam kamar Silvi, menatap sekeliling membuat Indira tersenyum. Fajar mengikuti keinginannya membuat kamar Silvi, tidak ada satupun yang berkurang karena semua sesuai pada tempatnya. Meletakkan Silvi di ranjang, putri kecilnya masih tidur dengan nyenyak.“Jam tidurnya sudah dijadwal?” Indira menganggukkan kepalanya “Malah dengan begini aku jadi punya banyak