Naluri pertahanan diri Reza kembali memuncak. Ia mundur. Sadar bahwa di belakangnya hanya ada tembok, Reza lantas mengambil sebuah balok kayu yang kebetulan ada di sana. Sementara sang sosok misterius kian mendekat perlahan.
“Jangan mendekat!” pekik Reza sambil mengacungkan balok. Sosok itu memakai jas hujan hitam, sehingga wajahnya tak terlalu kelihatan. Wajar jika Reza takut. Melihat balok terayun di bawah hujan, sang sosok misterius pun menghiraukan peringatan Reza dan berhenti melangkah. “Tenang, Tuan Hazerstein,” kata sosok itu, “saya tidak akan menyakiti Anda.” Kening Reza mengerut. Sang sosok misterius membuka tudung jas hujannya, menampakkan pria berwajah lonjong dihias rambut pirang klimis, serta mata bulat dan hidung mancung. “Siapa?” tanya Reza sambil menyipitkan mata. Sosok itu menunduk, memegangi dada. “Saya Felix Nacht, pelayan setia—” “Bukan, bukan!” Reza menunjuk. “Maksudku, kamu tadi ngomong sama siapa?” Pria mancung itu berkedip, lalu cengengesan. Ia kembali melangkah mendekati Reza. “Saya bicara dengan Anda, Tuan Hazerstein. Saya mengerti kebingungan Anda saat ini. Tapi percayalah, saya hanya ....” “Bule sotoy.” Reza meninggalkan pria berambut pirang itu dengan santai. Reza terus berjalan. Ia masa bodo dengan pria asing di belakangnya. Sementara Felix kembali serius, lalu mulai menarik napas panjang. “Reza H. Martadinata,” panggil si pria mancung, membuat Reza terhenti di mulut gang. “Itu nama Anda, bukan?” “Siapa kamu?” tanya Reza setelah berbalik. “Saya adalah pelayan setia keluarga Hazerstein.” Felix mengulurkan tangannya. “Saya ke sini untuk menjemput Anda, Tuan Reza.” Si pria berwajah oval masih berdiri di bawah hujan. “Untuk apa?” “Seluruh anggota keluarga Hazerstein di Jerman telah dibantai. Anda adalah keturunan terakhir yang diharapkan mampu membangun kembali dinasti itu.” Hujan kian deras. Dua pria berlainan etnis itu masih bertatapan cukup lama. Kedua tangan Reza mengepal dan wajahnya terlihat penuh keteguhan. Sedangkan Felix memperlihatkan wajah penuh harap. “Saya gak kenal keluarga Hazerstein!” Felix menepuk jidat. “Kematiannya diumumkan di radio pagi ini! Anda tidak dengar?” “Saya habis menghujat ramalan cuaca di radio, habis itu kena pecat. Mana sempat menyimak berita soal keluarga bule Jerman?!” Felix memasang tatapan tajam, merogoh ke dalam jas hujannya, lalu mengeluarkan sesuatu. Pistol. Pria bermata bulat itu lantas mengarahkan senjatanya ke Reza. Sontak Reza menunduk. Tembakan dilepaskan. Terdengar teriakan membuat Reza menengok mengintip. Ternyata si pemain biola sudah menungging di jalan luar gang, memegangi lengan yang terkena tembak. Felix langsung menarik tangan Reza keluar dari gang. Mereka lari. Si pemain biola dibiarkan begitu saja, membuat Reza kebingungan. “Kenapa kamu tidak menghabisinya?” “Saya terikat sumpah! Kita bisa bicarakan itu nanti.” Mereka terus berlari. Kali ini mereka menjangkau pusat Kota Jurajura, tempat yang amat ramai dengan manusia. Perhatian Felix tertuju pada sebuah penginapan lima lantai di tepi jalan. Pria mancung itu segera mengajak Reza ke sana. “Heh, jangan!” Reza menepis tangan Felix. “Saya tahu kamu ingin membangun dinasti Hazerstein, tapi saya masih normal!” Felix mendesis. “Saya hanya ingin Anda mengeringkan badan, Tuan Reza! Setelah itu baru kita bisa ke bandara.” Reza pun menurut. Jas hujan digantung. Mereka berdua ke kamar di lantai empat. Ternyata Felix sudah menginap di sana selama tiga hari. Seperti kata Felix, Reza di sana untuk mengeringkan badan. Si pria mancung memberi satu set pakaian baru pada Reza. Mengeringkan badan sudah. Saatnya makan. Felix menelepon bagian pelayanan, lalu memesan burger. Sedangkan Reza hanya meminta teh dengan perasan jeruk. Sekitar lima menit kemudian, pesanan mereka datang. “Hei, kenapa ini semua bisa terjadi?” tanya Reza setelah menyeruput teh. “Apa Anda bertanya soal pembantaian keluarga Hazerstein?” Felix melahap burger. “Iya, itu juga. Tapi saya lebih ingin tahu kenapa nasib saya jadi tragis begini.” Reza terbeliak, lalu menatap Felix. “Tunggu, bagaimana dengan Heru?” “Teman Anda yang tertembak tadi? Saya lihat ambulans menjemputnya. Tapi dia bukan prioritas kita saat ini.” “Jangan bercanda! Heru adalah orang pertama yang hadir ketika saya susah. Dia teman yang baik.” “Maaf, Tuan.” Felix tertunduk malu. Obrolan mereka terhenti ketika mendengar teriakan samar. Suaranya datang dari lantai bawah. Terdengar letusan. Felix menyiapkan pistolnya. Pria mancung itu membuka dan mengintip dari sela pintu, memastikan keadaan. Teriak dan letusan masih terdengar beberapa saat, sebelum akhirnya hening. Felix menunggu. Begitu juga Reza yang siaga dengan cangkir teh. Hilangnya suara di lantai bawah tentu mengundang kecurigaan mereka berdua. DOR! Cangkir teh pecah. Reza terlonjak. Ternyata tembakan itu datang dari kamar di bawahnya. Lantai bolong, menampakkan si pemain biola yang sudah membidik. Segera Reza menghindar. Tepat waktu sebelum letusan kedua menembus lantai. “Apa tidak ada cara mengakhiri ini?” Reza panik. “Granat atau apa gitu?” “Oh, saya punya granat,” kata Felix. “Kenapa tidak bilang?! Berikan padaku!” Granat diterima. Pin dilepas. Satu lemparan ke lubang lantai, dan ledakan terjadi. Tak ada lagi tembakan, menandakan Reza dan Felix memenangkan pertempuran. Buru-buru mereka berdua kabur. *** Sinar matahari menyibak awan hitam. Bandara sibuk. Pengumuman keberangkatan terdengar, Reza dan Felix menuju pesawat. Lepas landas berlangsung aman. Perjalanan hidup baru Reza pun dimulai. Di saat yang sama, Heru membuka mata. Ia mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Heru meringis. Sakit masih terasa meski lukanya sudah diobati. Perhatian Heru lantas tertuju pada kantongan hitam dan secarik kertas di atas meja. Ini hadiah kecil. Keripik jeruk nipis, siapa tahu ekspresi datarmu berubah. Terima kasih telah menjadi temanku. Setelah membacanya, Heru diam beberapa saat. Reza salah. Kini di wajah datar Heru tersungging senyum kecil, tanpa perlu memakan keripik hadiah itu. Sebab di sebelah kantong ada selembar kertas lagi, nota lunas rumah sakit. *** Sebuah penthouse mewah menjulang menembus langit cerah. Atapnya kolam renang. Seorang pria gundul berbaring santai di atas kursi dekat kolam, melapisi wajah keriputnya dengan kacamata hitam, dan menikmati jus jeruk. Pelayan datang membawa ponsel. Pria gundul itu menyuruh cucu-cucunya yang di kolam agar tak terlalu berisik. Telepon diangkat. Sambil terus menyesap jus, si pria keriput manggut-manggut mendengar informasi. “Begitu, ya? Keluarga Hazerstein masih punya satu penerus terakhir?” Pria itu melambai, memberi kode pada pelayan lain. Pelayan itu pergi. Tak lama kemudian, sang pelayan kembali dengan sebuah map. Si pria keriput mengambil map itu dan cengengesan melihat isinya. “Tapi aku tidak khawatir. Kau pasti sudah tahu tugasmu. Soalnya ... kita sudah punya orang yang tepat untuk mengatasi itu, ‘kan?” Telepon ditutup. Si pria tua masih tersenyum percaya diri melihat isi map. Tampak berkas menunjukkan foto Una dan Mario yang sedang bergandengan tangan. ***Washington DC, Amerika Serikat, 12.44 waktu setempatSi pria gundul berkeriput kembali memberi kode. Pelayan datang. Kali ini benda yang diminta sang majikan adalah ponsel lain, dan itu yang muncul. Setelah pria gundul mengambil ponsel, pelayan pun pergi.Kesenangan kecil berlanjut. Jus jeruk disesap. Pria gundul menekan nomor pada alat komunikasi. Ia hanya tersenyum ketika sang cucu melambai dari kolam renang, lalu lanjut menempelkan ponsel ke telinga.Jurajura, Indonesia, 23.44 waktu IndonesiaKamar hotel itu remang, hanya diterangi lampu tidur. Sunyi. Kacanya menampakkan langit gelap berhiaskan gemerlap kota. Dua insan telanjang di balik selimut saling berpelukan setelah bergumul melepas nafsu.Ponsel di meja lampu berdering. Pria berwajah kotak itu bangun untuk mengangkatnya. “Hello, it’s Mario .... Oh, Tuan Anderson! Senang mendengar kabar Anda.” Percakapan terus berlangsung. Namun, seiring waktu telepon, wajah Mario berubah serius dan sesekali mengangguk. “Tentu, tentu, akan ku
“Tuan Reza!”Felix segera berlari menarik tubuh majikannya. Tepat waktu. Untung saja pelayan itu berinisiatif membawakan makanan penambah mood. Jika tidak, Reza pasti sudah tewas akibat terjun dari ketinggian 30 meter.“Lepaskan aku, Felix!” Reza meronta layaknya anak kecil. “Hidup tanpa Una tidak ada gunanya!”“Anda ini keturunan orang yang membuat kekacauan ekonomi di Asia dua dekade lalu! Kenapa harus bersedih hanya karena satu wanita?!”“Perkataanmu gak ada bagus-bagusnya, terutama bagian kekacauan ekonomi Asia!” Dan menangislah Reza seperti bocah kehilangan mainan.Agak sulit, tapi akhirnya sang pelayan berhasil menjauhkan majikannya dari jendela. Felix terengah. Sementara Reza meringkuk di samping ranjang, masih menangis. Melihat kondisi itu, lagi-lagi Felix hanya bisa menghela napas.“Tuan Reza, suka atau tidak, meneruskan dinasti keluarga ini adalah takdir Anda. Makanya, Anda harus tegar.”Reza masih tersedu. “Kamu pelayan setia yang kerjanya mengabdi pada keluarga ini. Mana m
“Feeeliiix!” teriak Reza ketakutan seraya menggedor-gedor jeruji.Sementara Felix berdiri sekitar sepuluh meter dari pintu. Wajahnya tenang melihat sang majikan yang pucat. “Sebaiknya Anda mulai bertindak, Tuan.”Bersamaan dengan saran itu, terdengar suara air meluap. Reza menoleh. Seekor buaya sudah keluar dari kolam dan perlahan merayap di tepian. Kian ketar-ketirlah si pria berwajah oval.“Hei, Felix! Kamu bodoh, ya? Bukannya aku dikirim ke sini untuk meneruskan takhta Hazerstein? Lalu kenapa aku harus melakukan aksi mematikan ini?! Lagi pula apa yang sebenarnya harus kulakukan?!”Felix pura-pura tersipu. “Ah, maafkan saya, Tuan Reza. Saya lupa memberitahu. Tugas Tuan adalah berenang ke dasar kolam untuk mencari kunci cadangan dan membuka pintu ini. Jika berhasil, maka Tuan Reza sudah resmi menjadi penerus keluarga Hazerstein.”Reza ingin melanjutkan aksi protesnya. Namun, reptil yang melata keluar dari air kini bertambah jadi tiga ekor. Waktunya sempit. Sepertinya Reza tidak punya
Una menjatuhkan kumpulan tas belanjaannya karena kehadiran sosok pria berekspresi datar. Heru. Agak mengherankan bagi Una sebab pria itu seakan angin yang tiba-tiba muncul tanpa suara. Terutama karena Heru memakai tongkat kruk yang notabene harusnya berbunyi.“S-siapa, ya?”“Nama saya Heru. Saya teman kerjanya Reza, Mbak.”Mendengar nama suaminya disebut, Una pun memberi tatapan sinis. “Mau apa?”“Saya lihat berita kalau Reza jadi teroris. Saya cuma mau memastikan kebenarannya. Soalnya ... justru Reza yang menolong ketika saya ditembak orang tak dikenal.”Una terbeliak. “Ditembak?!” “Iya. Saya masih sempat melihat Reza dikejar seseorang. Kondisi saya begini juga pasti gara-gara tembakannya salah sasaran.”Sempat ada simpati melihat keadaan Heru. Namun, mereka sedang membicarakan Reza. Kurang dari tiga detik, ekspresi Una kembali sinis, membuang wajah ke pintu. “Wajar, sih. Dia teroris. Paling juga polisi yang menembak.”Wajah Heru tetap datar, tapi ada desakan dari nada bicaranya. “J
Mata Una mendadak terbuka. Ia menemukan boneka sapi biru masih setia tersenyum. Cahaya putih juga mulai menyeruak lewat jendela. Sudah pagi. Ternyata sedikit kilas itu tanpa sengaja membawa Una terlelap melangkahi malam.Una meregangkan badan. Mood bangun paginya yang kosong lantas terisi gelisah ketika kembali mengarahkan pandangannya ke boneka sapi. Wajahnya menyiratkan pertentangan hati dan otak, memperdebatkan apakah keputusannya sudah benar.Lalu Una bangun. Ia membiarkan boneka sapi tergeletak di kasur. Ketimbang terbawa lamunan, sebaiknya bergerak membuat sarapan. Una memasak, kali ini untuk dirinya sendiri. Santap paginya ditemani satu kursi kosong di meja makan.Bel berbunyi, dan entah mengapa membuat Una antusias. Una bergegas. Ia masih semringah ketika membuka pintu. Namun, senyum itu hilang kala menemukan kehadiran pria yang sama sekali tidak ia kenal.“Una Martadinata?” Pria itu menunjukkan lencana. “Ikut kami ke kantor, kami punya beberapa pertanyaan.”*** Matahari bers
Karet roda raksasa akhirnya menyentuh landasan bandara Kota Zurich, Swiss. Sudah petang. Perjalanan delapan belas jam tanpa transit menyisakan lelah meski para penumpang hanya bersandar di kursi.Lampu kabin menyala. Tampaklah wajah seluruh penumpang, termasuk Una yang menyandarkan kepala di bahu Mario. Dari bandara, mereka menuju hotel dan menghabiskan malam dengan saling memberi kasih.Lalu lagi-lagi dering ponsel yang memecah dekap dini hari dua sejoli itu. Mario mengangkatnya.“What the hell are you doing?” cecar suara dari ujung telepon.“Excuse me?”“Aku menyuruhmu mencari lalu menyingkirkan bocah Hazerstein, tapi kau malah berlibur ke Swiss dengan pacarmu?!”Seketika mata Mario kembali segar. “A-aku sedang mengusahakannya, Mister Anderson. Aku ke sini juga untuk sekalian memeriksa jejak Hazerstein dari aset-asetnya.”“Sebaiknya kau tidak main-main, Mario. Aku bisa tahu ke mana kau pergi, dan bisa meruntuhkan perusahaanmu kapan saja.”Telepon berakhir. Hanya gerutu yang keluar da
Tak langsung ada dialog. Mata Una dan Reza masih saling terkunci dengan ekspresi serupa. Sempat ada ragu di benak Una, akan tetapi selain penampilan, ciri fisik pria di meja makan benar-benar milik suami yang ia campakkan.Sedangkan Mario memberi reaksi berbeda. “Reza? Sedang apa kamu di sini?”Tetap tak ada jawaban dari sang keturunan Hazerstein. Reza melirik Felix. Dari situasinya, si pelayan Hazerstein sudah paham harus berbuat apa. “Was schaust du an?” cecar Felix dalam bahasa Jerman. “Kümmern Sie sich um lher eigenen Sachen!”Reza yang panik coba mengimbangi. “J-ja! Waswes sisik kumsisasen!”Lalu Felix bangkit, beranjak menuju juru masak untuk meminta sendok baru.“Umm ... kayaknya kita salah orang, Sayang,” kata Una pada Mario, membuat Reza mengepal. “Lagian teroris mana mungkin liburan ke Swiss?”Mario terkekeh. “Ternyata memang benar manusia memiliki tujuh kembaran di dunia ini. Sayang, bagaimana kalau kita bermain lagi setelah dinner?”Una tersenyum, berkedip manja mendekap
Puluhan manusia di lobi rumah sakit terus bergerak sebagai figuran. Mata Heru dan si wanita asing masih saling terkunci. Tatapan Heru datar. Namun, aura curiga jelas terpancar dari bidikan mata pria itu.“Apa maksud Mbak bilang begitu?”Si wanita asing memperlebar senyumnya. “Ini topik yang sensitif. Mau bicara di luar, Pak Heri?”“Nama saya Heru,” jawab Heru masih dengan tatapan datar. “Di sini aja, saya capek.”Wanita blasteran itu kembali tegak. “Saya berani jamin, Anda tidak terlalu tahu tentang Reza Martadinata. Bukan begitu, Pak Haru?”“Saya Heru. Yang lebih tahu soal Reza itu sudah pasti istrinya. Dari jenis kelamin, sudah jelas kalau saya tidak nikah sama Reza.”“Anda pernah dengar tentang elite global? Tentang segelintir orang kaya yang menguasai hal dan momen besar di muka bumi ini? Banyak uang, bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Anda percaya kalau Reza salah satunya?”Heru diam sejenak, menatap datar pada sang wanita asing yang seakan bicara melantur. “Sebenarn
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Dor! Letusan senapan menggema di hutan. Disusul teriakan si pria kekar. Tangannya hancur. Darah dan serpihan kulit terciprat mengenai jaket pria sopir jip. Kapak menabrak daun kering di tanah, membuat Isabelle sadar telah lolos dari maut. “Reza?” Isabelle segera menoleh, mencari sang penyelamat hidupnya. Sayang, yang hadir di antara kabut adalah si pelayan bermata bulat. Moncong senapan laras panjang masih mengacung gagah setelah muntah. Itu senapan si penjahat. Dan sekarang Felix yang menguasainya. “Aku sudah bilang, pakai senapan itu saja biar cepat!” pekik si sopir jip pada rekannya. Pria kekar masih merangkak, menangis memegangi pergelangan tangannya yang penuh darah. “Kau yang minta supaya eksekusinya tidak menghasilkan suara, psikopat keparat!” Isabelle mengambil kesempatan itu. Ia segera berlari. Sopir jip hampir menggapainya, tapi tercegah oleh letusan kedua dari senapan. Sepuluh detik, sang putri Vanlomraat pun berhasil berdiri di sebelah si pelayan setia. “No on
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S