Puluhan manusia di lobi rumah sakit terus bergerak sebagai figuran. Mata Heru dan si wanita asing masih saling terkunci. Tatapan Heru datar. Namun, aura curiga jelas terpancar dari bidikan mata pria itu.“Apa maksud Mbak bilang begitu?”Si wanita asing memperlebar senyumnya. “Ini topik yang sensitif. Mau bicara di luar, Pak Heri?”“Nama saya Heru,” jawab Heru masih dengan tatapan datar. “Di sini aja, saya capek.”Wanita blasteran itu kembali tegak. “Saya berani jamin, Anda tidak terlalu tahu tentang Reza Martadinata. Bukan begitu, Pak Haru?”“Saya Heru. Yang lebih tahu soal Reza itu sudah pasti istrinya. Dari jenis kelamin, sudah jelas kalau saya tidak nikah sama Reza.”“Anda pernah dengar tentang elite global? Tentang segelintir orang kaya yang menguasai hal dan momen besar di muka bumi ini? Banyak uang, bisa pergi ke mana saja dan melakukan apa saja. Anda percaya kalau Reza salah satunya?”Heru diam sejenak, menatap datar pada sang wanita asing yang seakan bicara melantur. “Sebenarn
Lagu penutup acara TV terlalu ceria untuk suasana serius kamar itu. Felix mengambil remote. Dimatikannya televisi, lalu mereka berdua pun terkunci dalam kesunyian. Sedangkan Reza meletakkan ponsel di dekat kaki.“Jadi, bagaimana, Tuan?”Reza menggaruk ubun-ubunnya. “Yaelah, Felix. Aku juga baru mau minta saran ke kamu.”“Sejak awal, Anda yang bilang kalau Pak Heru adalah teman yang baik. Tapi jujur saja, saya tidak mengerti kenapa dia mengirim pesan seperti ini.”“Yang bagian mana? Cewek cantik atau sablengnya?”Felix menghela napas. “Bagian jebakannya, Tuan.”Sekali lagi Reza larut dalam pikirannya. Pelik. Butuh hampir dua menit bagi pria berwajah oval itu untuk menimbang, sebelum akhirnya ia memecah keheningan dengan sekali tepuk tangan.“Baiklah, aku sudah membuat keputusan. Sebaiknya kita tidak menemui Heru. Aku akan membalas emailnya dengan berkata kalau aku baik-baik saja.”“Wah, sangat bijak.” Felix manggut-manggut. “Pasti Anda menghindari kemungkinan jebakan ganda. Bukan begit
Ban taksi menggesek aspal seiring perhentiannya di depan hotel mewah. Isabelle keluar dari mobil, dan menatap pintu masuk hotel dengan senyum percaya diri. Klakson berbunyi. Sopir menegur karena Isabelle belum bayar.Setelah transaksi selesai, wanita blasteran itu pun melenggang masuk. Terus menuju meja resepsionis. Wajah cantiknya berbasa-basi, tapi isi kepalanya mengatur strategi. Alasannya satu. Reza terlacak berada di hotel yang sama.Administrasi, serah terima kunci, lalu Isabelle masuk ke lift bersama seorang roomboy yang membawakan barangnya. Pintu lift tertutup. Sementara di tangga, Reza dan Felix melangkah turun dengan santainya.“Yah ... tapi untung aja kali ini kamu tidak meledakkan hotelnya,” kata Reza.“Anda yang lempar granat waktu itu, Tuan,” timpal Felix, “makanya sampai masuk berita.”“Iya juga, sih.”Setelah Felix melakukan check out, mereka pun keluar tanpa dicurigai.“Eh, terus dua orang itu bagaimana? Kamu pede banget berantem di dalam lift, pasti kelihatan di CCT
Felix bergerak secepat kilat, melindungi majikannya dari Isabelle yang memberi senyum mencurigakan. “Siapa Anda? Bagaimana Anda bisa kenal Tuan Reza?”Isabelle masih tersenyum, tangannya disilangkan. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, Pelayan mancung. Urusanku hanya sama Reza.”“Pergilah, wanita jalang!” hardik Felix.“Heh, jaga bahasamu! Aku susah-susah melacak kalian sampai ke negara ini. Pas di hotel, aku kira pasangan gay yang mengisi kamar itu adalah kalian!”“Pasangan gay?” tanya Reza.“Bukan apa-apa, Tuan. Lupakan saja.”“Lebih baik kamu menyingkir, pelayan Hazerstein!”“Ah!” Reza terbeliak, menunjuk wajah si wanita blasteran. “Aku tahu kamu siapa.”“Baguslah,” kata Isabelle, “kalau begitu kita bisa langsung—”“Kamu sekretaris camat!”“Salah orang!”Obrolan itu bisa saja berlangsung selamanya. Namun, Felix masih tetap kukuh menganggap Isabelle adalah bahaya. Ia berbalik. Diyakinkannya sang tuan untuk bergegas ke bandara agar masalah segera teratasi.Tentu saja Isabelle tak
“Malam itu ... sedang ada pesta di istana.”Ingatan Felix tertuju pada beberapa jam sebelum malam naas di kediaman megah Hazerstein. Semuanya damai. Para pelayan bertugas dengan baik. Kerabat keluarga juga datang membawa senyum yang semewah pakaian mereka.Tak tahu siapa yang bisa disalahkan. Mungkin malam itu pihak keamanan hanya kecolongan. Atau lebih buruk, bisa jadi pesta sudah disabotase dengan membiarkan pihak musuh menyelinap di antara para penghibur.Apa pun sebutannya, tragedi itu tetap terjadi. Yang pertama tertembak adalah para pemain musik. Kecuali pemain biola, sebab dialah eksekutornya. Sekuriti tak bisa masuk lantaran aula pesta dikunci dengan alat khusus yang hanya dipegang salah satu menantu Hazerstein tua. Panik merajalela. Tembakan menggema. Sisanya adalah cerita.Reza kini berjongkok di sebelah Felix. “Terus, kamu curiga pihak Vanlomraat adalah dalang di balik pembantaian itu?”“Iya, Tuan,” jawab Felix, masih dalam posisi berlutut. “Sudah hampir satu abad Hazerste
Langit yang sudah beranjak jingga menyaksikan tiga insan berbeda ekspresi di muka bumi. Satunya terkejut setengah mati. Satunya kebingungan. Dan yang terakhir tersenyum ramah. Situasi itu ditemani suara pegawai stand Tea Riskaant masih beres-beres.“Apa maksud Anda, Tuan?!” Felix mengepal tangan. “Dia adalah saingan bisnis abadi keluarga Hazerstein!”“Kalau buat konsumsi, nanti bisa kusuruh Felix buat cari,” kata Reza yang masih sibuk dengan Isabelle.“Tidak didengar~” ucapan Felix mulai bermelodi.Namun, sebagaimana sang pelayan setia yang masih sulit menerima, Isabelle Vanlomraat juga belum bisa mencerna. Belokan situasi drastis. Isabelle bangkit, lalu menatap curiga pada si pria Hazerstein berwajah oval.Angin sore lembut menyapa, sama penasarannya seperti dua orang di dekat Reza. Isabelle masih menatap. Namun, ketika senyum Reza malah semakin lebar, wajah si wanita blasteran seakan kian ditampar rasa malu dari kekalahan.Isabelle lantas mencoba menghindari kontak mata. “Apa yang m
Deru mesin pesawat yang teredam di dalam kabin, membuat Una cukup mudah untuk terlelap. Terjadi sedikit guncangan. Una pun membuka mata perlahan dan menemukan langit masih berwarna biru, entah di zona waktu negara mana.Namun, bukan hanya itu yang ditangkap Una, melainkan kehadiran tekanan pada ekspresi Mario. Agak menyeramkan. Dari sedikit cekungan di bawah mata, sepertinya pria berwajah kotak itu belum pernah tidur sepanjang perjalanan.“Ada apa, Sayang?” tanya Una selembut mungkin.Mario, yang mengoneksikan laptopnya ke jaringan wifi pesawat, menatap Una sekilas. Bibirnya mendecak kesal. Sebuah email pendek dari Anderson si gundul Amerika membuat perjalanannya serasa penuh siksaan.[Aku dengar, Der Leifen sudah kembali ke tangan Hazerstein. Sebaiknya hati-hati, Mario. Ingat, nasib perusahaanmu ada di tanganku.]Si wanita cantik pengkhianat pernikahan masih bisa mengerti email yang ditulis dalam bahasa inggris itu. Ia juga bisa mengerti bagian mana yang membuat kekasihnya gundah. Ma
Dua insan tanpa cinta masih memegang alat komunikasi, berteman dingin AC di kamar masing-masing. Keduanya diam. Satunya menunggu jawaban, sedangkan yang lain memastikan jawaban dari mulutnya akan terdengar masuk akal.“Tidak, Reza,” ungkap Isabelle. “Keluargaku bukan pelakunya.”“Gak apa-apa, kok. Jujur aja. Sekarang kamu istriku, sudah sepatutnya kita saling terbuka.” Wajah Reza sedikit memerah menyadari keambiguan kalimat barusan. “Buka rahasia maksudnya.”“Kamu gak salah soal itu.” Isabelle berkedip pelan. “Tapi apa yang membuat kamu berpikir kalau Vanlomraat pelaku pembantaian keluargamu?”“Selain Felix dan pembunuh yang mengejarku ... ada kamu juga yang tahu kalau aku adalah keturunan terakhir Hazerstein. Gara-gara itu, sih.”Isabelle manggut-manggut. “Masuk akal.”Keduanya kembali diam. Pandangan Isabelle tertuju ke jendela yang menampilkan langit malam Kota Zurich. Ada perasaan aneh menghampiri ketika sadar bahwa tujuannya tercapai dengan cara tak biasa, tapi di saat bersamaan
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
“Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan ta
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S