Langit yang sudah beranjak jingga menyaksikan tiga insan berbeda ekspresi di muka bumi. Satunya terkejut setengah mati. Satunya kebingungan. Dan yang terakhir tersenyum ramah. Situasi itu ditemani suara pegawai stand Tea Riskaant masih beres-beres.“Apa maksud Anda, Tuan?!” Felix mengepal tangan. “Dia adalah saingan bisnis abadi keluarga Hazerstein!”“Kalau buat konsumsi, nanti bisa kusuruh Felix buat cari,” kata Reza yang masih sibuk dengan Isabelle.“Tidak didengar~” ucapan Felix mulai bermelodi.Namun, sebagaimana sang pelayan setia yang masih sulit menerima, Isabelle Vanlomraat juga belum bisa mencerna. Belokan situasi drastis. Isabelle bangkit, lalu menatap curiga pada si pria Hazerstein berwajah oval.Angin sore lembut menyapa, sama penasarannya seperti dua orang di dekat Reza. Isabelle masih menatap. Namun, ketika senyum Reza malah semakin lebar, wajah si wanita blasteran seakan kian ditampar rasa malu dari kekalahan.Isabelle lantas mencoba menghindari kontak mata. “Apa yang m
Deru mesin pesawat yang teredam di dalam kabin, membuat Una cukup mudah untuk terlelap. Terjadi sedikit guncangan. Una pun membuka mata perlahan dan menemukan langit masih berwarna biru, entah di zona waktu negara mana.Namun, bukan hanya itu yang ditangkap Una, melainkan kehadiran tekanan pada ekspresi Mario. Agak menyeramkan. Dari sedikit cekungan di bawah mata, sepertinya pria berwajah kotak itu belum pernah tidur sepanjang perjalanan.“Ada apa, Sayang?” tanya Una selembut mungkin.Mario, yang mengoneksikan laptopnya ke jaringan wifi pesawat, menatap Una sekilas. Bibirnya mendecak kesal. Sebuah email pendek dari Anderson si gundul Amerika membuat perjalanannya serasa penuh siksaan.[Aku dengar, Der Leifen sudah kembali ke tangan Hazerstein. Sebaiknya hati-hati, Mario. Ingat, nasib perusahaanmu ada di tanganku.]Si wanita cantik pengkhianat pernikahan masih bisa mengerti email yang ditulis dalam bahasa inggris itu. Ia juga bisa mengerti bagian mana yang membuat kekasihnya gundah. Ma
Dua insan tanpa cinta masih memegang alat komunikasi, berteman dingin AC di kamar masing-masing. Keduanya diam. Satunya menunggu jawaban, sedangkan yang lain memastikan jawaban dari mulutnya akan terdengar masuk akal.“Tidak, Reza,” ungkap Isabelle. “Keluargaku bukan pelakunya.”“Gak apa-apa, kok. Jujur aja. Sekarang kamu istriku, sudah sepatutnya kita saling terbuka.” Wajah Reza sedikit memerah menyadari keambiguan kalimat barusan. “Buka rahasia maksudnya.”“Kamu gak salah soal itu.” Isabelle berkedip pelan. “Tapi apa yang membuat kamu berpikir kalau Vanlomraat pelaku pembantaian keluargamu?”“Selain Felix dan pembunuh yang mengejarku ... ada kamu juga yang tahu kalau aku adalah keturunan terakhir Hazerstein. Gara-gara itu, sih.”Isabelle manggut-manggut. “Masuk akal.”Keduanya kembali diam. Pandangan Isabelle tertuju ke jendela yang menampilkan langit malam Kota Zurich. Ada perasaan aneh menghampiri ketika sadar bahwa tujuannya tercapai dengan cara tak biasa, tapi di saat bersamaan
Langit cerah menemani langkah mereka bertiga menuju istana. Felix berjalan di belakang, membawa koper ekstra sebab majikannya yang bertambah satu orang. Sedangkan Reza terus menggenggam tangan Isabelle sepanjang jalur.“Ini perlu banget, ya?” tanya Isabelle sedikit risi.“Istananya gede,” jawab Reza tanpa melirik. “Takutnya kamu nyasar ke kandang buaya.”Dahi Isabelle mengerut. “Ngapain kalian pelihara buaya?”“Untuk menghabisi keluarga Vanlomraat kalau-kalau ternyata mereka memang pelaku pembantaiannya,” celetuk Felix agak sinis.Reza menghela napas. “Aduh, Felix, please deh. Optimis dikit, dong! Majikanmu ini baru aja nikah. Aku yakin seiring pintu istana terbuka, hal-hal baik lainnya juga akan menyusul.”Pintu istana dibuka lalu oleh sang pria Hazerstein.“Woiiii! Felix, ini kenapa ceweknya pada meninggal semua?!” teriak Reza panik.Ketika mereka bertiga akhirnya menggapai aula istana, para wanita cantik yang Felix calonkan untuk Reza tempo hari sudah terbaring tak bernyawa. Kondis
Untung saja Reza berkelit tepat waktu. Buaya masih menganga. Namun, kelincahan sang pria Hazerstein tak berubah seperti saat ia menghadapi mereka di dalam air. Dengan tiga langkah jitu, Reza sudah berada di ujung ekor sang predator.Namun, kini muncul masalah lain. Walaupun sebenarnya sudah muncul dari tadi. Istana cukup luas. Istri Reza bisa berada di bagian mana saja, demikian juga tiga buaya lain. Dan jelas teriakan tadi bukan teriakan gembira .“Isabelle!”Hening. Reza kian risau.“Isabelle, coba teriak sekali lagi, dong! Aku mau tahu kamu ada di sebelah mana!”“Aaaaaaaaah!”“Oh, kiri.”Maka Reza ke arah sumber suara. Langkahnya secepat angin. Untungnya, beberapa minggu di istana sudah membuat Reza hafal rute. Sekarang yang ia butuhkan adalah mengandalkan naluri.Sementara di taman istana, Isabelle sudah sangat terpojok dan hanya bisa berdiri di atas sebuah pot bunga. Buaya menganga. Wanita blasteran itu mencoba mengusir buaya seperti mengusir kucing, tapi tentu saja tak berhasil.
Sekali lagi Reza melakukan lompatan akrobatiknya. Gesit. Buaya pertama dilewati dengan mudah, sedangkan nganga buaya kedua dibungkam dengan pijakan Reza. Heroik. Tak butuh waktu lama baginya untuk berhasil menjemput sang istri.Reza membawa Isabelle berguling. Selamat. Keduanya kini berada di sudut lain taman, dengan Reza yang lekas berdiri bersiaga. Tatapan sang Hazerstein muda tajam ke predator besar bersisik.“Gak ada buaya yang boleh menyentuh istriku!”Bagi Isabelle yang mengira hampir berpindah alam, tindakan dan ucapan Reza adalah sangat menakjubkan. Isabelle terpana. Di matanya, Reza terlihat berkilau .... Ya, tentunya itu juga karena efek pantulan cahaya matahari siang.Reza lantas menyengir, menoleh istrinya. “Akhirnya terucap juga. Keren, ‘kan? Kayak anime banget, gak, sih?”Hilanglah kesima Isabelle terhadap pria di hadapannya, berganti tatapan datar. “Dasar wibu elite global. Paling tidak, beresin dulu buayanya!”Makhluk yang dimaksud seakan mendengar perkataan itu, lalu m
Langit semakin menguning dimakan senja. Sekali lagi ketenangan memasuki istana Hazerstein. Urusan buaya sudah beres. Reza dengan kharisma misteriusnya –lebih tepatnya teknik di luar nalar—berhasil menggiring buaya kelima menuju kandang.Kini sang pria Hazerstein berkumpul bersama istri dan pelayannya di ruang makan. Cukup sibuk. Isabelle bekerja di meja, berkutat dengan smartphone milik mendiang pembunuh bayaran. Sementara Felix menyediakan makanan kecil.Isabelle semringah. “Aku berhasil membuka HP orang itu. Di sini ada satu nomor tak dikenal. Kemungkinan Garrett Anderson.”“Eh, tapi aku belum tahu Anderson ini siapa,” kata Reza.“Dia salah satu anggota keluarga elite global, Tuan. Anderson menguasai perminyakan Timur Tengah dan sebagian besar emas di Indonesia.”Reza menyilangkan tangan. “Wah, dengan kuasa seperti itu, wajar aja dia bisa bayar orang untuk membunuh kita. Terus kita harus gimana? Anderson pasti menunggu laporan orang yang dia bayar.”“Tenang, aku tahu cara mengakalin
Tibalah mereka bertiga di Indonesia. Yang menyambut setelah keluar bandara adalah malam dengan langit keunguan tertutup awan. Sepertinya akan hujan. Buru-buru mereka ke destinasi utama dalam daftar rencana Isabelle.Dalam hitungan jam, rentetan langkah strategi yang disusun istri baru Reza setelah debat kusir di pesawat akhirnya terpenuhi satu per satu.Sejauh ini, adalah Isabelle dan Felix yang terlihat amat sibuk. Sementara Reza ....“Aku sih gak masalah kalau kalian merasa rencana ini brilian. Masalahnya ... harus banget ya, aku dimasukkan ke peti mati kayak gini?!”Mereka bertiga masih berkumpul, hanya saja beda posisi. Satu unit peti mati hitam ada di tepi ruang layat rumah sakit umum.“Sssshh! Diam, nanti orang lain mengira kamu masih hidup!” perintah Isabelle.“Ya aku memang masih hidup, wuoy.” Reza mendobrak penutup peti mati. “Lagian pelayat baru bisa datang lusa, ‘kan? Ngapain aku disuruh menginap di dalam sini?”Isabelle mendecak. “Cuma simulasi doang. Bawel banget, sih.”“
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
“Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan ta
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S