Share

23. Peti Mati Hitam

Author: MuhNaufal Monsong
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tibalah mereka bertiga di Indonesia. Yang menyambut setelah keluar bandara adalah malam dengan langit keunguan tertutup awan. Sepertinya akan hujan. Buru-buru mereka ke destinasi utama dalam daftar rencana Isabelle.

Dalam hitungan jam, rentetan langkah strategi yang disusun istri baru Reza setelah debat kusir di pesawat akhirnya terpenuhi satu per satu.

Sejauh ini, adalah Isabelle dan Felix yang terlihat amat sibuk. Sementara Reza ....

“Aku sih gak masalah kalau kalian merasa rencana ini brilian. Masalahnya ... harus banget ya, aku dimasukkan ke peti mati kayak gini?!”

Mereka bertiga masih berkumpul, hanya saja beda posisi. Satu unit peti mati hitam ada di tepi ruang layat rumah sakit umum.

“Sssshh! Diam, nanti orang lain mengira kamu masih hidup!” perintah Isabelle.

“Ya aku memang masih hidup, wuoy.” Reza mendobrak penutup peti mati. “Lagian pelayat baru bisa datang lusa, ‘kan? Ngapain aku disuruh menginap di dalam sini?”

Isabelle mendecak. “Cuma simulasi doang. Bawel banget, sih.”

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Keturunan Terakhir Elite Global   24. Ungkapan Cinta

    Una merunduk, menyandarkan tangan dan keningnya di pinggir peti mati. Napasnya panas menyentuh wajah pucat Reza. Isak kian terdengar. Dari luar, pelayat lain hanya bisa berempati melihat sengguk duka pada punggung Una.Dalam hati Reza, ia berkali-kali menyebut nama tulang rusuk pertamanya itu. Cinta. Satu kata yang membuat Reza luluh, terutama ketika memori kebersamaan mereka berdua terulang kembali.Tanpa sadar, telapak tangan kiri Reza bergerak perlahan. Itu akibat niat ingin membelai kepala wanita pujaannya dan mengusir duka.Lantas isak Una berhenti. “Tapi bohong.”Seketika tapak tangan Reza terkunci di udara, dan Una belum menyadari. Reza tetap memejam. Untuk kedua kalinya, sang pria berwajah oval dibuat kebingungan oleh sikap Una, apalagi ketika wanita cantik itu perlahan mengintip dan cekikikan.“Matilah kamu, lelaki keparat!” bisik Una. “Tersiksalah di neraka, sementara aku bersenang-senang dengan pacarku yang kaya raya.”Sekali lagi Reza harus merasakan sensasi tersambar gele

  • Keturunan Terakhir Elite Global   25. Masalah Umum Dua Keluarga

    Cahaya matahari akhirnya menerobos awan Kota Jurajura. Hingar kesibukan mengisi pagi. Isabelle membuka mata. Sendiri di ranjang. Bagi wanita blasteran Indo-Belanda itu, hari ini tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelum ia menikah.Sekarang Isabelle ada di kamar hotel bintang empat dengan pemandangan seluruh kota dari jendela. Sama seperti sejak malam pertama pernikahannya, ia tidur beda kamar dengan sang suami. Isabelle bangkit. Langkahnya santai menuju kamar mandi.“Aaaah!” teriak Reza dan Isabelle bersamaan.Reza sedang telanjang, baru saja melepas handuk. Lelaki itu lekas menutup bagian privatnya, sementara Isabelle buru-buru berbalik menutup mata.“K-kamu ngapain di sini, Reza?!”“Kamu sih, pilih hotelnya aneh banget. Kamar mandi di tempatku airnya gak mengalir, makanya aku mandi di sini.“Ya tapi gimana caranya kamu masuk?”“Kamu yang gak ngunci.” Reza kembali melilitkan handuknya. “Lagian kamu gak perlu malu gitu. Toh kita udah suami-istri.”Isabelle tak menjawab. Hanya menyemb

  • Keturunan Terakhir Elite Global   26. Alasan untuk Bersama

    Seketika hening. Seluruh mata membelalak tertuju ke pria yang baru saja bersikap layaknya pejuang kemerdekaan. Tentu saja yang paling syok adalah si Vanlomraat tua. Sedang ibu Isabelle merasa malu, lantas mendatangi putrinya dengan amarah.“Isabelle Tulip Vanlomraat! Lelucon macam apa ini?!” tutur sang ibu dalam bahasa Belanda.“Ini bukan lelucon! Dia memang suamiku. Reza Hazerstein.”“Aku tidak menyangka kamu menikah dengan pria macam dia!”Mata para pengunjung masih tak bisa lepas dari perdebatan ibu dan anak itu. Beberapa bahkan sudah mulai mengeluarkan ponsel untuk merekam. Ini tidak bagus. Felix yang sedari tadi mengawasi segera berdiri mengambil tindakan.“Maaf,” kata Felix dalam bahasa Belanda, “mungkin sebaiknya kita bicarakan ini di tempat yang lebih tertutup.”“Ini siapa lagi?” tanya ayah Isabelle.Sebelum pertanyaan itu terjawab, mereka berenam akhirnya pindah ke sebuah ruangan cukup luas di lantai tiga hotel. Ballroom. Suasananya aneh sebab ruangan itu harusnya untuk perte

  • Keturunan Terakhir Elite Global   27. Suasana yang Berubah Drastis

    Jarum jam semakin dekat menuju angka 12. Hotel milik Vanlomraat masih diselimuti udara tropis yang mulai panas, ditemani segarnya minuman dingin. Tamu tertawa. Wajah Indonesia dan asing berbaur dalam suasana mewah nan bahagia Setidaknya sampai satu mobil van hitam datang dan parkir agak jauh dari hotel. Penumpangnya keluar. Lima pria berwajah sangar, salah satunya menenteng koper. Langkah mereka mantap disertai waspada. Pintu belakang terbuka. Kelimanya disambut seorang pria berpakaian pramusaji, lalu mereka masuk ke dalam tanpa saksi mata.“Orangnya ada di lantai atas,” terang si pramusaji. “Kita habisi dia, lalu terima bayaran. Simpel.”Tawa bervolume kecil menggema. Lima orang tadi sudah siap dengan penyamaran mereka. Dua sebagai roomboy, tiga sebagai tamu berjas. Saatnya bergerak. Target mereka ... si pelayan mancung.“Domme! Domme! Domme!” kutuk si Vanlomraat tua seraya memukul tembok.Pria itu sekarang sedang ada di koridor dekat lift. Wajah keriputnya menampakkan kedongkolan.

  • Keturunan Terakhir Elite Global   28. Membangun Mimpi Bersama

    Reza dan Isabelle memulai hari mereka dengan makan bertemu dan makan bersama di dekat kolam renang hotel milik Vanlomraat. Pagi yang cerah. Nikmatnya sarapan pagi bermenu Belanda menambah keceriaan hati mereka berdua.Layaknya pasangan manusia normal, mereka melakukan obrolan pagi. Aneka topik. Bisnis, meeting yang akan mereka lakukan jam sembilan nanti, juga kamar mandi di kamar Reza yang airnya belum mengalir.Di tengah obrolan ringan suami-istri itu soal minuman yang tak kunjung datang, raut wajah Isabelle mendadak berubah masam. Ia melirik Reza. Bibirnya mencoba mengatur agar kalimat yang keluar tidak salah sasaran.“Reza, soal kemarin ....”Reza tersenyum tulus pada istrinya. “Aku mengerti, kok.”“Benarkah?”“Iya. Hidup di keluarga kaya yang kakeknya titisan Daendels pasti gak enak banget. Wajar aja kalau kamu bersikap kayak cucu durhaka.”Wajah Isabelle datar seperti aspal. “Ada benarnya, tapi bukan soal itu.”Sekali lagi istri baru sang Hazerstein berusaha membangun suasana. Sa

  • Keturunan Terakhir Elite Global   29. Tantangan Kecil dari Musuh

    “Tantangan?” tanya Isabelle seraya mengernyit.“Ya. Saya akan membuat acara serupa dengan sponsor berbeda. Tanggal bisa disesuaikan. Adapun tantangannya adalah jika acara saya lebih sukses secara persentase pendapatan, maka kalian harus jadi budak saya.”“Alonso!” Reza berdiri penuh amarah. “Jafari selepet junavahreshu avaras thexi kuzuz khampret!”Mario terbelalak. “Dia barusan bilang ‘kampret’, ya?”“Bukan!” Isabelle membantah. “Pak Lazari bilang, tantangan dari Pak Mario terdengar berlebihan, apalagi bagian budak.”“Loh, kok dia ngerti saya ngomong apa?”“Um ... speaking Bahasa Indonesianya bagus.” Isabelle tertawa gugup.Setelah Reza duduk kembali, Mario memandang ketiga orang di hadapannya dengan mata angkuh. Meremehkan. Kalimat yang keluar dari mulut pewaris Miller’s Corporation selanjutnya tak lain hanyalah cemoohan dan ejekan.Kini tak hanya Reza yang jengkel. Isabelle dan Felix pun mulai ikut geram kala Mario berkata bahwa mereka bertiga tak lebih dari makhluk pemilik perusah

  • Keturunan Terakhir Elite Global   30. Adu Sabotase

    Reza lekas menarik istrinya kembali ke ballroom. Saatnya bertindak. Staf acara dikumpulkan untuk menyusun ulang rencana. Namun, meski retorika tutur Reza terkait alternatif berapi-api, tetap saja para staf menganggapnya tak realistis.Mengganti bintang tamu, itu saran Reza. Cari yang tidak terlalu terkenal, lalu bayar sedikit lebih tinggi artis yang membelot. Semua tercengang. Tak terkecuali Isabelle yang menaruh harapan besar pada sang suami.“Tapi, Reza ... kalaupun bisa diganti, bagaimana dengan tiket pre-sale yang sudah terjual? Konsumen bisa merasa tertipu dan nama hotel ini akan jadi jelek.”“Tidak perlu khawatir.” Reza berkacak pinggang. “Kita akan maksimalkan kemampuan kamu sebagai penguasa media semesta.”“Aku bukan alien. Cuma sampai dunia.”“Iya, itu maksudnya.”Lalu semakin Reza menjabarkan rencananya, para staf terlihat mulai mengangguk dan yakin itu bisa dilaksanakan. Kecuali Isabelle. Justru sang istri sendiri masih tampak ragu. Akan tetapi, mata Reza kembali membisik u

  • Keturunan Terakhir Elite Global   31. Saatnya Pembalasan

    Mario memasang wajah angkuh melihat panggung megah dirancang di tengah pelataran mal Kota Jurajura. Suara berisik pekerja acara menambah keyakinannya bahwa ia akan menang melawan saingannya. Seringai Mario muncul. Sementara Una menyaksikan semuanya dari jendela kafe mal. Termasuk awan yang perlahan mengendap menyelimuti matahari. Sesekali jemari lentik Una mengaduk bongkahan es dalam kopinya. Una juga tersenyum. Hanya saja senyum itu lebih seperti mengamati permainan yang seru. Atau mungkin melihat peliharaan bertingkah menggemaskan.Padahal di pelataran, wibawa Mario benar-benar terpancar meski hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang. Setidaknya terlihat begitu. Tawa terbahak-bahak membayangkan kekalahan lawan meski acara masih jauh dari kata mulai.“Lihatlah, Vanlomraat! Lihatlah, Felix si orang Swiss yang menghajarku kemarin! Lihatlah, wahai Lazari dari Aljazair! Aku yakin keberuntungan sedang bersamaku, Baby!”Tiba-tiba hujan.“Wah, hujan. Kita lanjut kerjanya minggu de

Latest chapter

  • Keturunan Terakhir Elite Global   52. Apa lagi artinya?

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   51. Srategi Manusia Bertopeng

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   Relevansi Bisnis

    “Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan ta

  • Keturunan Terakhir Elite Global   50. Pilihan Seorang Wanita

    Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m

  • Keturunan Terakhir Elite Global   49. Strategi Sekumpulan Musuh

    “Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan

  • Keturunan Terakhir Elite Global   48. Misi Penyelamatan

    Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha

  • Keturunan Terakhir Elite Global   47. Membantu Pihak Lemah

    Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab

  • Keturunan Terakhir Elite Global   46. Budi Persahabatan

    Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang

  • Keturunan Terakhir Elite Global   45. Elite : Tentara Lawan Konglomerat

    “Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S

DMCA.com Protection Status