Jarum jam semakin dekat menuju angka 12. Hotel milik Vanlomraat masih diselimuti udara tropis yang mulai panas, ditemani segarnya minuman dingin. Tamu tertawa. Wajah Indonesia dan asing berbaur dalam suasana mewah nan bahagia Setidaknya sampai satu mobil van hitam datang dan parkir agak jauh dari hotel. Penumpangnya keluar. Lima pria berwajah sangar, salah satunya menenteng koper. Langkah mereka mantap disertai waspada. Pintu belakang terbuka. Kelimanya disambut seorang pria berpakaian pramusaji, lalu mereka masuk ke dalam tanpa saksi mata.“Orangnya ada di lantai atas,” terang si pramusaji. “Kita habisi dia, lalu terima bayaran. Simpel.”Tawa bervolume kecil menggema. Lima orang tadi sudah siap dengan penyamaran mereka. Dua sebagai roomboy, tiga sebagai tamu berjas. Saatnya bergerak. Target mereka ... si pelayan mancung.“Domme! Domme! Domme!” kutuk si Vanlomraat tua seraya memukul tembok.Pria itu sekarang sedang ada di koridor dekat lift. Wajah keriputnya menampakkan kedongkolan.
Reza dan Isabelle memulai hari mereka dengan makan bertemu dan makan bersama di dekat kolam renang hotel milik Vanlomraat. Pagi yang cerah. Nikmatnya sarapan pagi bermenu Belanda menambah keceriaan hati mereka berdua.Layaknya pasangan manusia normal, mereka melakukan obrolan pagi. Aneka topik. Bisnis, meeting yang akan mereka lakukan jam sembilan nanti, juga kamar mandi di kamar Reza yang airnya belum mengalir.Di tengah obrolan ringan suami-istri itu soal minuman yang tak kunjung datang, raut wajah Isabelle mendadak berubah masam. Ia melirik Reza. Bibirnya mencoba mengatur agar kalimat yang keluar tidak salah sasaran.“Reza, soal kemarin ....”Reza tersenyum tulus pada istrinya. “Aku mengerti, kok.”“Benarkah?”“Iya. Hidup di keluarga kaya yang kakeknya titisan Daendels pasti gak enak banget. Wajar aja kalau kamu bersikap kayak cucu durhaka.”Wajah Isabelle datar seperti aspal. “Ada benarnya, tapi bukan soal itu.”Sekali lagi istri baru sang Hazerstein berusaha membangun suasana. Sa
“Tantangan?” tanya Isabelle seraya mengernyit.“Ya. Saya akan membuat acara serupa dengan sponsor berbeda. Tanggal bisa disesuaikan. Adapun tantangannya adalah jika acara saya lebih sukses secara persentase pendapatan, maka kalian harus jadi budak saya.”“Alonso!” Reza berdiri penuh amarah. “Jafari selepet junavahreshu avaras thexi kuzuz khampret!”Mario terbelalak. “Dia barusan bilang ‘kampret’, ya?”“Bukan!” Isabelle membantah. “Pak Lazari bilang, tantangan dari Pak Mario terdengar berlebihan, apalagi bagian budak.”“Loh, kok dia ngerti saya ngomong apa?”“Um ... speaking Bahasa Indonesianya bagus.” Isabelle tertawa gugup.Setelah Reza duduk kembali, Mario memandang ketiga orang di hadapannya dengan mata angkuh. Meremehkan. Kalimat yang keluar dari mulut pewaris Miller’s Corporation selanjutnya tak lain hanyalah cemoohan dan ejekan.Kini tak hanya Reza yang jengkel. Isabelle dan Felix pun mulai ikut geram kala Mario berkata bahwa mereka bertiga tak lebih dari makhluk pemilik perusah
Reza lekas menarik istrinya kembali ke ballroom. Saatnya bertindak. Staf acara dikumpulkan untuk menyusun ulang rencana. Namun, meski retorika tutur Reza terkait alternatif berapi-api, tetap saja para staf menganggapnya tak realistis.Mengganti bintang tamu, itu saran Reza. Cari yang tidak terlalu terkenal, lalu bayar sedikit lebih tinggi artis yang membelot. Semua tercengang. Tak terkecuali Isabelle yang menaruh harapan besar pada sang suami.“Tapi, Reza ... kalaupun bisa diganti, bagaimana dengan tiket pre-sale yang sudah terjual? Konsumen bisa merasa tertipu dan nama hotel ini akan jadi jelek.”“Tidak perlu khawatir.” Reza berkacak pinggang. “Kita akan maksimalkan kemampuan kamu sebagai penguasa media semesta.”“Aku bukan alien. Cuma sampai dunia.”“Iya, itu maksudnya.”Lalu semakin Reza menjabarkan rencananya, para staf terlihat mulai mengangguk dan yakin itu bisa dilaksanakan. Kecuali Isabelle. Justru sang istri sendiri masih tampak ragu. Akan tetapi, mata Reza kembali membisik u
Mario memasang wajah angkuh melihat panggung megah dirancang di tengah pelataran mal Kota Jurajura. Suara berisik pekerja acara menambah keyakinannya bahwa ia akan menang melawan saingannya. Seringai Mario muncul. Sementara Una menyaksikan semuanya dari jendela kafe mal. Termasuk awan yang perlahan mengendap menyelimuti matahari. Sesekali jemari lentik Una mengaduk bongkahan es dalam kopinya. Una juga tersenyum. Hanya saja senyum itu lebih seperti mengamati permainan yang seru. Atau mungkin melihat peliharaan bertingkah menggemaskan.Padahal di pelataran, wibawa Mario benar-benar terpancar meski hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang. Setidaknya terlihat begitu. Tawa terbahak-bahak membayangkan kekalahan lawan meski acara masih jauh dari kata mulai.“Lihatlah, Vanlomraat! Lihatlah, Felix si orang Swiss yang menghajarku kemarin! Lihatlah, wahai Lazari dari Aljazair! Aku yakin keberuntungan sedang bersamaku, Baby!”Tiba-tiba hujan.“Wah, hujan. Kita lanjut kerjanya minggu de
Gedoran makin keras. Reza dan Isabelle yang tahu bahwa koridor seharusnya sepi kini menaruh curiga. Keduanya masih di kamar mandi, mencoba mengenali siapa yang datang melalui ritme gedoran, tapi sia-sia.“Apa kamu yakin keluarga kamu benar-benar sudah merestui pernikahan kita?”“Seratus persen,” jawab Isabelle.Namun, gedoran hanya bertambah keras seakan pelakunya memang ingin menghancurkan pintu. Musuh. Itu yang ada di dalam benak Reza dan istrinya. “Ini mungkin bahaya, dan aku mungkin enggak selamat.” Reza memegang kedua pundak mulus istrinya. “Aku punya satu hal yang ingin kutanyakan ke kamu.”“Papa Belanda, mama Belanda. Kamu kok lancar Bahasa Indonesia, sih?”“Serius? Kamu tanya itu sekarang?”“Ya aku penasaran, Belle.”“Aku blasteran. Papaku Belanda-Cimahi. Mamaku Belanda-Klaten. Puas?”“Wow! Aku bisa ngomong ‘kumaha damang’ ke papa kamu, dong?”Isabelle gemas. Ia mendorong suaminya keluar dari kamar mandi, lalu bergegas memakai baju masing-masing. Reza mengambil lampu hias di
Untungnya, Reza cukup mahir berbahasa Inggris untuk terlibat percakapan, walaupun aksen Indonesianya masih cukup kental. Suasana jadi canggung. Sikap tidak nyaman Reza langsung disadari oleh Isabelle dan Felix.“Mantan pacar?” Reza manggut-manggut. “Nona Vanlomraat tidak pernah cerita.”“I-itu cerita lama,” Isabelle buru-buru menyanggah.“Tapi tatapanmu saat aku tampil tadi memberi sinyal kalau kau masih punya rasa padaku, Honey Bun.” Curtis tertawa, lantas melancarkan rangkulan persahabatan ke Isabelle. Pelipis Reza berdenyut. Felix bisa merasakan hawa ketegangan kian mencuat dari sang majikan.“Honey Bun?” tanya Reza, masih dengan senyum palsu.“Itu panggilan sayangku pada Isabelle dulu. Well, aku tidak keberatan kalau dia mau dipanggil seperti itu lagi.”“Kedengarannya imut.”“Benar sekali, Bung. Ngomong-ngomong, kau siapanya Isabelle?”Senyum masih saja tersungging di wajah Reza. Ia menarik napas panjang seraya melirik Isabelle dan sang mantan pacar yang terlewat akrab.“Cuma tem
Cahaya matahari menembus jendela istana Hazerstein, menyengat lembut mata Reza. Napas ditarik. Bersamaan dengan nalar yang mulai berproses layaknya komputer, sisa aroma sampo juga menyeruak ke hidung pria Hazerstein muda.Reza menoleh. Terbeliak ketika menemukan seorang perempuan berambut panjang berbaring di atas dadanya yang tak terlalu bidang.“Oh iya, aku ‘kan sudah nikah,” ujar Reza.Ciuman pagi nan lembut pun mendarat di ubun-ubun Isabelle, membangunkannya. Isabelle mendongak. Bibirnya melukis senyum kala melihat wajah Reza yang sebenarnya ganteng, tapi terkesan ganteng rata-rata.“Pagi, Reza.” Isabelle kembali menyandarkan pipinya pada dada sang suami. “Rencana jahat apa yang akan kamu lakukan hari ini?”“Kenapa kamu ngomong seolah aku ini bos terakhir di anime, sih?” Reza cekikikan.Kali ini Isabelle memberanikan diri mendaki tubuh Reza. Rambut panjangnya terurai. Tatapannya menggoda menyertai napas yang bertiup lembut hendak memabukkan Reza di pagi hari.“Karena kamu memang c
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl
“Jangan!” Edna terus memberontak. “Menjauh dariku, dasar anjing elite global!”Namun, harapan Edna seakan kandas saat Felix mulai naik ke peti mati. Si pelayan bermata bulat tersenyum jahil, lalu mulai membuka gesper celana. Edna kian pucat. Berulang kali ia mengumpat pada Reza yang ia yakini masih ada dalam ruangan.“Hujatanmu tidak akan membuatku berubah pikiran,” ucap Reza dengan santai.Sosok keempat membuka pintu. “Reza, sarapan yuk! Aku kurang nyaman kalau sendi— Oh my God!”Di luar nalar. Alih-alih menuntaskan birahi, Felix malah menggoyang-goyangkan pantatnya di hadapan wajah sang musuh. Si pria mancung berjoget seraya menyanyikan lagu koplo yang pernah ia dengar di Indonesia.“Dia ngapain?!” tanya Isabelle.“Biarin aja,” respons sang suami.Situasi kian parah bagi Edna karena Felix tak sengaja buang angin. Busuk. Seakan semua makanan yang telah disantap dari kemarin-kemarin bertumpuk, mengendap, dan melesat dalam bentuk uap panas nan ganas.“Hazerst—huekk!”Entah apa bahan ta
Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m
“Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan
Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha
Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab
Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang
“Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S