Sementara Ferdi memilih duduk menunggu di ruang tamu, sambil mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tasnya."Alhamdulillah Rizki sudah membaik, Sin!" ucap Hana duduk di tepi ranjang, melihat Rizki yang tengah tidur pulas."Iya Alhamdulillah, Han! Aku ke dapur sebentar ya, Han!" pamitku pada sahabatku,Aku ke dapur mengambil minuman dan pisang cokelat yang tadi aku bikin, dengan nampan aku berjalan ke depan di ruang tamu, aku lihat Hana sudah kembali duduk di samping Ferdi."Minum dulu, Hana! Ferdi!" ucapku menyuguhkan makanan dan minuman yang aku bawa dan meletakkanya di meja, berkas-berkas yang Ferdi keluarkan, ia letakkan di meja sudut, memang ruang tamuku ada meja kecil di sudut."Permisi" ucap seseorang dari luar pagar rumah. Pesanan makananku sudah datang rupanya. Aku segera keluar untuk mengambil makanan yang kupesan melalui aplikasi online.Aku kembali masuk ke dapur dan mengeluarkan makanan itu, kemudian memasukkannya ke dalam piring saji."Hana, Ferdi! Ayo kita makan dulu,"
Besok aku akan ke galeri, dan mulai memantau semuanya. Aku tak ingin sampai kecolongan, apalagi Mas Yudi pasti sedang butuh uang untuk membeli mobil atas permintaan jalangnya itu.Pagi hari aku berencana akan ke galeri hari ini, setelah mengantar Rizki berangkat ke bimba, tentunya.Selepas subuh, aku sudah selasai mencuci dan memasak, aku bangun lebih pagi, karena mulai hari ini aku akan kembali terjun mengurus galeri.Aku sedikit memakai bedak dan mengoles tipis lipstik di bibirku, entah mengapa aku lebih suka memakai make up natural dan tidak berlebihan atau menor. Setelah selesai sarapan kami berangkat.******Aku sudah duduk di ruang kerja Mas Yudi sekarang, ruangan yang akan menjadi ruang kerjaku sekarang.Untuk Mas Yudi, aku sudah menyiapkan ruangan sebuah ruangan yang lebih kecil untuknya, sekarang pekerjaannya ada di bawah pengawasanku, jadi ia tak bisa seenaknya apa lagi mengenai dana operasional di galeri ini.Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, Mas Yudi belu
"Bagaimana dengan Rizki? Apa kamu nggak kasihan?" pertanyaan Hana membuatku sedikit terdiam, memang ada sedikit kesedihan, jika mengingat anak yang menjadi korban atas sebuah perceraian."Han, kamu lihat aja sekarang, Mas Yudi lebih banyak waktunya untuk perempuan murahan itu ketimbang untuk Rizki, bukankah itu sama saja, dia sudah tak peduli dengan Rizki. Keputusanku sudah bulat, toh juga nanti setelah kami resmi bercerai, aku tak kan menghalangi Mas Yudi untuk bertemu anakna," cerocosku."Iya kamu benar Sin! Baiklah jika itu keputusan yang terbaik. Aku hanya bisa bantu doa semoga semua berjalan lancar.""Aamiin..." Aku menutup sambungan telepon, usai berpamitan sebelumnya.Di saat Hana sahabatku akan memulai hidup baru dengan pernikahannya, keadaanku justru sebaliknya, rumah tanggaku hancur karena orang ketiga, aku hanya bisa mendoakan semoga rumah tangga sahabatku tidak mengalami nasib yang sama.Ting! Sebuah notifikasi pesan masuk dari Hana.Kontak Nomor yang dikirimkan Hana, Pa
Aku melajukan kendaraanku menuju kantor pengacara, sesuai arahan yang telah di kirimkan Pak Budi, tak lupa aku membawa semua berkas-berkas yang diminta."Permisi! Selamat Siang, Mbak! Saya mau bertemu dengan Pak Budi," ucapku pada seorang wanita cantik petugas resepsionis."Selamat siang, Bu! Maaf dengan ibu siapa?" jawabnya dengan ramah, senyum manisnya tersungging di bibirnya, menampakkan deretan gigi putihnya."Saya, Sintya!" sahutku."Oh, Ibu Sintya! Mari Bu, saya antar ke ruangan Pak Budi, beliau sudah menunggu."Aku mengikuti langkah wanita yang aku taksir bernama Tia itu, terlihat dari nametag yang tersemat di dada kirinya.Tok! Tok! Tok! Permisi.Tia mengetuk pintu ruangan, yang bertuliskan nama Budi Hermawan, S.H. yang aku yakini ini ruang kerja Pak Budi."Masuk." Suara sahutan seseorang dari dalam ruangan."Tunggu sebentar ya, Bu!" ucap Tia dan kemudian dia masuk ke dalam meninggalkan aku di depan pintu. Kemudian tak berapa lama ia keluar dan mempersilahkan aku masuk."Sela
Sebelum aku meninggalkan galeri tadi, Rizal juga mengirimkan sebuah video, di mana Mas Yudi dan Eva tengah bercu*bu di ruang kerja Mas Yudi, mungkin kejadian itu terjadi sekitar bulan lalu, dan Rizal baru menunjukkan padaku saat ia tau aku akan memilih jalan perceraian."Aku juga memergoki suamiku tengah berhubungan badan dengan perempuan itu sebelum mereka menikah, dan Hana saksinya. Karena ia berada di tempat itu bersamaku," jelasku."Boleh aku lihat foto dan videonya?" tanyanya.Jemariku menari di atas layar ponselku, mencari semua foto dan video yang pernah Rizal dan Hana kirimkan, kemudian menunjukkan semuanya pada Budi."Baik, semua foto dan video ini sudah cukup kuat, dan dengan adanya Hana yang menjadi saksi saat itu, ini lebih menguatkan. Besok aku akan memasukkan berkas ini ke pengadilan." Budi meriksa semua berkas yang aku bawa."Bagaimana dengan anak kalian? Sekali lagi apa kau benar-benar serius ingin bercerai dengan suamimu?" Kali ini ia bertanya dengan sorot mata serius
Ting! Sebuah notifikasi pesan masuk, aku melirik jarum jam menunjukkan angka dua dini hari. Siapa yang mengirim pesan dini hari begini, apa Mas Yudi, membalas pesanku tadi malam. [Oke, Sin! Mas pulang besok] Sebuah pesan dari Mas Yudi.Hari ini hari Minggu, jadi aku dan Rizki santai di rumah, mungkin sekarang sudah saatnya aku bicara pada Mas Yudi kalau aku menginginkan bercerai. "Assalamualaikum," Suara Mas Yudi memasuki rumah ini, Rizki nampak asyik menonton serial kartun bus kecil yang berwarna warni."Ayah!" teriaknya menghambur ke pelukan Mas Yudi."Anak Ayah udah sehat nih," ucap Mas Yudi, di gendongnya Rizki, sambil mencium pipi gembil putranya.Terpancar rona bahagia di wajah mereka, terselip rasa rindu dengan kehangatan keluargaku dulu, tapi mengingat goresan luka yang telah mereka torehkan di hatiku, rasanya begitu sesak di dada."Rizki, lanjutkan nonton televisinya, ya! Ayah mau bicara sebentar sama Mamah." Mas Yudi menurunkan tubuh Rizki. Bocah lima tahun itu menganggu
"Aku licik? Untuk menghadapi orang sepertimu yang sudah berani bermain api denganku, memang harus dengan cara licik, Mas!" ucapku tak mau kalah."Setelah semua uang tabunganku kamu ambil, sekarang galeri juga kau ambil! Apa maumu Sintya?" Mas Yudi tampak gusar."Aku mau melihatmu dan jalangmu menderita, Mas! Sama seperti apa yang kamu lakukan padaku, itu sangat menyakitkan.""Benar-benar kau sudah gila, Sintya!" Mas Yudi tampak begitu marah. Raut wajahnya merah padam."Kau yang mengajariku, Mas! Kau yang memulai bermain gila, jadi aku mengikuti permainanmu," jawabku santai.Aargghh! Brak!Mas Yudi terlihat begitu frustasi, dan menggebrak meja."Ayah! Mah, Ayah kenapa, Mah?" tiba-tiba Rizki berlari menghampiri kami, mungkin mendengar suara ayahnya barusan."Ayah nggak apa-apa, Sayang! Rizki main ke luar dulu, ya! Mamah sama Ayah masih ingin bicara," titahku, ia pun menurutinya dengan wajah tertunduk, ia berjalan pelan keluar."Aku sudah memasukkan berkas perceraian kita, kita tinggal t
Aku masuk ke kamar Rizki dan menutup pintu dengan kasar. Kali ini benar-benar membuatku sebal. Meskipun status mereka sudah suami istri, tapi tetap saja hati ini terasa sesak saat melihat mereka bersama, rasanya aku ingin cepat-cepat mengakhiri ini, agar lebih tenang.Aku meraih ponsel pintarku, dan menghubungi Budi pengacara yang menangani kasus perceraianku.Beberapa kali aku mencoba menghubungi beliau tapi tidak tersambung, saat melihat date di layar ponselku, seketika membuatku menepuk jidat, hari ini hari minggu, sudah pasti Budi sedang menikmati hari liburnya, pantas saja ia tak menjawab panggilan teleponku."Sin, Mas pergi dulu, ya!" Suara Mas Yudi, di balik pintu kamar. Mau pergi, mau kemana, aku tak peduli, tak kuhiraukan pamitnya."Udah lah, Mas! Ngapain juga sih kamu pamit sama Mbak Sintya, lagian kan kamu udah mau ceraikan dia." Ucapan perempuan itu, membuatku geram, aku bangkit dan membuka pintu kamar."Heh, perempuan jalang, tutup mulutmu! Silahkan kalian pergi dari sin
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K