Jum'at pagi kali ini awan mendung, cuaca pun sedikit berkabut. Namun kegiatan yang biasa berlangsung tetap terlangsung. Yakni Jumsih, alias Jum'at bersih. Eva selaku ketos menghimbau goro untuk bagian barat. Sisanya ia tak tahu menahu lagi. Boleh bayangkan sebesar apa Taruna Bangsa? Eva tak akan sanggup menanganinya seorang diri. Ada banyak anggota inti OSIS yang lainnya. Biarkan mereka memilih kawasan masing-masing.
Di ujung lapangan, masih kawasan kelas 10. Segerombolan cewek duduk santai di taman kelas mereka. Bergosip ria dengan tangan sok sibuk memungut daun yang nyatanya nanti mereka buang lagi ke situ, lalu mereka pungut lagi. Begitu saja terus diulang-ulang.
"Sumpah!! Gue masih gedek kalo inget kejadian kemarin!" Cewek berbanda army mengenakan kalung pas yang melingkari leher jenjang putihnya itu bersuara.
Rautnya tampak menahan emosi dengan bibi
Seharusnya saat ini wayah ekskul Matematika. Eva serius mengikutinya dalam satu tahun terakhir karena ia berambisi ingin mewakili TB dalam ajang OSN tingkat nasional. Namun, hari ini ia merelakan jadwal ekskul terbengkalai hanya karena masalah baru yang muncul. Siapa bilang Eva akan santai setelah diancam beasiswanya dipertangguhkan? Tentu saja ia sangat kepikiran. Bahkan waktu seminggu yang diberi rasanya sangat singkat sekali untuk bertemu pada deadline. Yakinlah, tanpa beasiswa itu ia tidak akan bisa tembus bersekolah di TB. Sekelas sekolah elite kota Jakarta yang mayoritas murid-muridnya adalah dari anak para pengusaha dan pebisnis kaya raya. Eva berselonjor kelelahan. Ia sudah mencari di seluruh ruangan kelas 12 IPS 2 namun nihil. Bahkan Eva sudah mencari dengan kelelangan kelas tanpa ada orang lain lagi selain dirinya.
Berdiri sendiri di bawah pohon bintaro hiasan parkiran, Eva meremas tali tas ranselnya dengan pandangan mengitari SMA TB yang luas ini. Bahkan ketika anak-anak ekskul Matematika telah pulang pun, Eva tetap masih konsisten berada di kawasan sekolah mencari absen guru yang nyatanya tak kunjung ditemukan hingga saat ini. Helaan napas kasar, campuran antara rasa lelah dan kesal entah pada siapa. Tergopoh-gopoh seorang satpam sekolah menghampiri Eva hingga gadis itu tersadar dari ketercenungannya. "Neng! Kenapa belum pulang? Sekolah sudah sepi, guru-guru juga sudah pulang semua. Tinggal Neng sendiri aja." Pak Satpam itu berucap dengan raut yang harap-harap cemas. Eva menghela napas dibuatnya. Saat ini pikirannya saja masih kusut memikirkan absen guru yang tak kunjung ketemu. Bayangkan beasiswanya akan dipertangguhkan d
Kendaraan mewah terparkir secara acak tak beraturan di pekarangan rumah Arta yang luas. Semua itu karena ulah teman-temannya. Memang dasar mereka itu selalu sembarangan. Bahkan dirinya di sini masih mengutak-atik ponsel, mereka sudah masuk lebih dulu dan caper pada maminya. Arta abai. Biarkan saja mereka berbuat semaunya. Setelah rampung sedikit urusan dengan anggota Kompeni dari kelas 10 tadi, ia beranjak turun dari mobil dan ternyata ada Reza yang masih menunggunya. Tak salah menjadikan Reza wakil untuknya. Cowok itu patuh dan sangat setia. "Hai, Tan. Makin cantik aja." Belum apa-apa Yoyon langsung menggoda Zahra, mami dari bosnya itu. Yoyon tebak ketika masa sekolah dulu Zahra ini adalah primadona sekolah. Sudah tua begini saja masih kinclong, padat, dan cantik. Berbetulan dengan Zaki yang berjalan keluar bersa
Sabila berenang ke pinggiran kolam. Ia naik ke atas dan sudah ada Rehan di sana. Cowok itu bertelanjang dada karena ikut berenang mengiringinya tadi. Rehan naik duluan dan memeriksa ponsel. Ada panggilan tak terjawab dari Yoyon. Ia menaruh kembali benda pipih itu ketika Sabila datang menghampirinya. "Gampang banget," ucap gadis itu mendengus remeh. Ia meraup wajahnya sendiri dengan jemarinya yang mungil. Menggemaskan sekali di mata Rehan. "Itu kan airnya cuma sepinggang lo, Dek." Rehan meledeknya, suka sekali melihat wajah comel itu memberengut kesal. Terbukti bahwa setelah itu bibir mungil Sabila mengerucut dengan mata menyipit. Ia menghentak-hentakkan kakinya tak suka. Jelas-jelas ia berenang betulan tadi, tinggi air pastinya tak berpengaruh. Mau tinggi atau rendah
Bangunan megah dengan gerbangnya yang besar dan menjulang tinggi serta eksterior yang begitu memanjakan mata adalah markas Kompeni. Tempat itu akan selalu menjadi titik kumpul. Kumpulan anak laki-laki tanpa ada satu pun spesies kaum hawa di dalamnya. Yups, Kompeni hanya beranggotakan kaum laki-laki saja. Jika ada perempuan masuk ke dalam markas ini, sudah dipastikan mereka merupakan kekasih dari salah satu anggota. Nuansanya aesthetic dengan barang-barang yang disusun sedemikian unik. Meski hanya ada laki-laki, markas Kompeni selalu tampak bersih loh. Hal itu dikarenakan mereka membuat jadwal piket setiap harinya, pun beberapa anak arsitektur ikut mendiami markas ini hingga mereka dapat menciptakan ruangan indah dan nyaman untuk dinikmati bersama. "Ter, lo ke sekolah nggak?" Arta menanyai Tero, salah satu anggota dari kelas 10.
Membuka pintu mobil cukup lebar, dengan sekali hentakan Edo mendorong Aurel masuk ke dalamnya. Tak menunggu lama Edo mengelilingi mobil itu kemudian masuk di kursi kemudi. Ia mengunci seluruh pintu dengan rapat. Kaca mobil tampak gelap dari luar. "Sabar, Sayang. Kita nggak akan telat," komentar Aurel melihat Edo terlalu terburu-buru. Sementara Edo mengatur napasnya yang memburu. Lirikan matanya melihat gadisnya itu hendak membuka jaket yang melingkar di pinggang rampingnya itu. "Gak ada yang liat lagi," ucap Aurel seakan tahu apa yang ada dalam pikiran Edo. Namun Edo tetap mencegah perbuatannya. "Tetep kayak gini sampai kita di lokasi," titahnya sarat akan perintah yang tak boleh ditentang. Membuat Aurel mendengus pasrah karenanya.
Kedatangan Rehan Gunandya di kawasan kelas sebelas tentu begitu menggemparkan. Ada apa gerangan abang kelas mereka datang ke ranah adik kelas. Berjalan seorang diri penuh keangkuhan dan semua orang menyingkir memberikan jalan untuknya yang diketahui sebagai putra tunggal kaya raya. Banyak gadis jatuh hati pada sosoknya, tetapi sangat disayangkan mulut Rehan sangat tajam ketika berbicara. Siapa pun pacarnya nanti, maka cewek itu harus siap mental dengan omongan juga sikapnya yang kasar itu. "Eva!" Satu kata yang keluar dari bibirnya ialah sebuah nama. Nama dari seorang gadis yang saat ini sedang membaca modul Matematika yang tebalnya setara kamus satu miliar. Hal ini dilakukan karena ketertinggalannya pada materi ekskul Matematik kemarin yang tak ia ikuti akibat bolos mencari absen guru. Dug! Mej
Kegiatan belajar mengajar masih berlangsung dengan khidmat. Namun hanya tinggal menghitung menit maka kegiatan ini akan segera usai. Mengingat urusan dengan Arta yang belum selesai, Eva tak bisa duduk dengan tenang. Arah tatapannya bukan lagi menperhatikan penjelasan pak Thabrani yang sedang menerangkan bahwa adab itu lebih tinggi daripada ilmu. Melainkan menatap jendela yang menghamparkan lapangan luas di luar sana. Istirahat ini Arta menyuruhnya untuk datang ke markas mereka tepat waktu. Ingatkan bahwa Arta tak menerima alasan terlambat. Eva sangat takut akan amarah cowok itu. Karena tak tenang Eva selalu menoleh ke sana dan kemari sebagai gerakan spontanitas. Hingga tak sengaja ia mendapati Uma sedang bermain ponsel di bawah meja. Eva berbisik pelan memanggil sahabatnya itu. "Mamaku kirim pesan kalau dia mau pe
Tristan adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua saudara perempuannya tidak tinggal serumah dengan orang tuanya. Tertinggal hanya Tristan yang masih duduk di bangku kelas 12 di SMA Garuda, salah satu SMA unggulan di Bandung. Kakak pertamanya menikah dengan seorang prajurit nasional yang bergabung dengan angkatan laut. Dia saat ini sedang mengandung keponakan pertama Tristan. Sedangkan adik keduanya sedang menjalani semester akhir pendidikan kedokteran di Spanyol."Kak Keinara belum lahir? Aku belum pernah mendengarnya," ucap Eva merasakan betapa sepinya rumah sepupunya.Betapa tidak, Tristan yang kerap berada di markas karena menjabat sebagai ketua geng motor membuat orang tuanya harus selalu menyendiri di rumah. Beruntung om Abian dan tante Azka bekerja di bidang yang sama. Mereka sukses membuka cabang restoran yang mereka kelola di pusat kota setiap provinsi di Indonesia. Bahkan untuk rencana ke depan, mereka akan memperluasnya hingga ke luar negeri.“Tujuh bulan lagi, Eva,” uc
Baru saja pikiran Eva terganggu karena sikap Bima yang tetap jahat padanya padahal Eva sudah berbesar hati hendak berdamai dengan cowok itu, kini Eva dikejutkan kembali dengan keadaan kelasnya yang jauh dari kata baik-baik saja.Kursi di sebelahnya, artinya tempat duduk teman sebangkunya. Telah habis diorat-oret menggunakan tinta hitam hingga tampak kotor sekali. Pelakunya adalah seorang cheerleader Taruna Bangsa. Tahu? Merusak satu aset saja milik Taruna Bangsa maka akan dikenakan denda yang tak main-main. Mungkin bagi mereka para anak orang kaya ini, hal itu bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan karena mereka sangat mampu. Namun Uma? Bisa saja mereka yang merusak, tapi justru Uma yang diwajibkan membayar denda karena bangku ini adalah bangku Uma.Eva sangat tahu persis bagaimana sulitnya ekonomi sahabatnya itu. Membayar sekolah saja sudah mati-matian bahkan sering tak bawa uang jajan. Sering melihat Uma setiap hari membawa bekal ke sekolah? Itu karena dia tak bawa uang. Ingat dia p
Baik Arta maupun Tristan, keduanya sama-sama membatu dan saling melempar tatapan tak menyangka satu sama lain. Bagaimana mungkin Arta baru mengetahui bahwa Eva adalah adik Tristan? Ternyata ada banyak informasi tentang Eva yang Arta belum ketahui. Ia pikir Eva hanyalah siswi miskin biasa yang kebetulan menjadi ketua OSIS. Rupanya Eva tidak sesederhana itu."Lo temen adek gue?" kelakar Tristan tak dapat menutupi rasa terkejutnya."Dia adek kelas gue," ralat Arta segera sembari menunjuk Eva yang hanya setinggi bahunya itu dengan dagunya. "Nyokap Eva nitipin Eva ke gua," lanjutnya kemudian dengan aura keposesifan yang sangat kental. Selebihnya agar Tristan tidak salah paham saja, kenapa adik kelas dan kakak kelas bisa sedekat ini.Mendengar hal itu Tristan semakin terkejut. "Oh lo deket sama adek gue?" berondongnya pada Arta seraya menatap Eva bangga. Pintar juga adiknya ini cari circle. Sementara Eva menyengir polos merespon tatapan abangnya."Kak Arta!" panggil Eva pada Arta, membuat ke
Eva menyukai suasana sejuk dan tenang di malam hari. Ia baru saja selesai mandi. Masih dengan gulungan handuk di kepala, merasa lebih segar dan lebih baik. Mabuk di dalam bus selama perjalanan benar-benar menguras tenaga. Eva lemas sekali dibuatnya.Eva duduk di pinggiran kasur dengan tangan aktif menggosok-gosokkan handuk pada rambut agar cepat kering. Dalam satu kamar ini terdapat empat orang anak OSN, termasuk Eva sendiri.Mereka duduk berkumpul di sofa seraya memakan berbagai macam cemilan yang Eva sendiri ngiler melihatnya. Tentu saja perutnya lapar keroncongan. Seharian ia hanya makan satu gembung pemberian Arta di bus tadi. Namun, untuk minta Eva malu. Dirinya tidak dekat dengan mereka. Pun hendak ngumpul bareng, Eva segan sendiri. Akhirnya ia sok sibuk dengan rambutnya."Gue ada hairdryer tuh di dalam tas kalo mau make," celetuk Cia salah satu teman sekamar Eva di hotel ini.Eva tersenyum kaku. Eva tahu bahwa itu adalah alat untuk mengeringkan rambut. Namun, Eva tidak tahu car
Aurel bersama dua adik kelasnya, Eva dan Uma saling bersenda gurau dan membicarakan hal random untuk mereka bahas. Hingga di mana Selin beserta dua temannya datang memasuki kantin dan duduk di salah satu bangku kosong yang berada di pojok kiri, Eva langsung melirik Aurel memberikan isyarat lewat tatapan mata. Aurel mengangguk pasti menanggapinya. Dia berdiri sembari membawa gelas minumannya yang masih terisi setengah. Tentu saja tindakannya itu diikuti oleh Eva. Sementara Uma yang tidak tahu apa-apa hanya menatap kedua orang itu dengan mata mengerjab bingung. Pada akhirnya ia hanya ikut-ikutan Aurel dan Eva saja menuju bangku di mana Selin bersama dua temannya itu berada. "Hai, Aurel!" sapa salah satu teman Aurel dengan senyum manis tetapi penuh manipulatif. "Are you wanna join here?" tanyanya sok asik. Sayangnya sapaan basa basi tersebut tidak mendapat gubrisan apapun dari Aurel. Justru Aurel mendengus remeh memandang ketiga orang itu dengan tatapan jijik yang sangat kentara. Aurel
Jika hendak menganalisa akun lambe turah masing-masing sekolah favorit di Jakarta Selatan ini, maka sudah pasti Taruna Bangsa akan menjadi miss dalam mencari sensasi. Followers dan jumlah upload-nya nyaris sebanding, terus bertambah setiap hari karena pasti selalu ada saja hal-hal mengejutkan yang diposting oleh adminnya. Diketahui bersama pula bahwa admin akun gosip SMA ternama tersebut tidak hanya segelintir orang saja, tetapi hampir seluruh siswi dari kelas 12. Oleh karena itu sulit bagi mereka yang tidak punya kekuasaan untuk mencari tahu dalang yang sebenarnya jika terjadi sesuatu.Tak peduli hanya kabar burung yang belum pasti kebenarannya seperti separuh video yang dapat mengundang salah paham bahkan menciptakan kontroversi, yang mereka tahu hanya memposting itu semua dan menyebarkannya untuk menarik perhatian para netizen! Mungkin salah satu penyebabnya adalah karena gila kepopuleran sehingga berbagai cara dilakukan sampai kehausan sensasi!Usai menenangkan Eva yang bersedih,
Wajah Eva muram karena buku diary-nya tak kunjung ketemu hingga sekarang. Eva menelungkupkan wajahnya di meja makan. Menghela napas berusaha mengingat-ingat kembali dengan otaknya yang mungil itu di mana buku diarynya, kenapa tidak ditemukan di manapun juga."Mama liat diary aku nggak?" tanya Eva penuh harap kepada mamanya yang baru datang ke dapur."Terakhir kamu taruh di mana emangnya?" jawab Vina tenang dengan mata yang sudah menyorot barang-barang anaknya yang diletakkan begitu saja di atas meja.Eva menghela napas lelah. "Seinget aku terakhir aku taruh di dalam tas. Tapi aneh banget bisa nggak ada!" Tak kunjung mendapat respon dari mamanya, Eva kesal berakhir menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan dan mulai menangis. Eva kesal, sangat. Siapa yang sudah mengambil barang rahasianya itu?"Eh, kamu bawa apa nih?" Vina segera mengambil duduk di samping putrinya, berupaya mengalihkan perhatian Eva agar tak bersedih lagi.Eva berdecak kasar karena keadaan hatinya yang buruk. Namun ka
Eva membingkai kotak kado dari Arta. Bungkusnya menggemaskan dengan dihiasi pita-pita kecil. "Ini siapa yang ngebungkus, Kak? Gemoy banget bungkusannya!" celoteh Eva dengan senyum lucu terpatri di bibirnya."Sabila," jawab Arta singkat sembari memperhatikan Eva yang mulai membuka bungkus kado darinya tersebut.Mata Eva membulat kaget. "Seals!" jeritnya tertahan membekap mulutnya sendiri. Eva sampai mengerjab menoleh pada Arta berulang kali.Sebuah boneka anjing laut berwarna cream dengan bentuk yang sangat menggemaskan masih terbungkus plastik sudah berada di tangan Eva sekarang. Ini adalah boneka yang sama persis Eva lihat ketika pergi ke pasar bersama mamanya maupun ketika pergi ke mall bersama Arta kemarin.Hati Eva menghangat melihat tatapan lembut yang Arta berikan padanya. Arta baik sekali sampai bisa mengerti Eva sejauh ini. Eva benar-benar merasa terharu. Pasalnya di umur yang ke-17 tahun ini Eva belum pernah mempunyai boneka. Eva ingin memilikinya walaupun hanya satu. Namun h
Berjejer rapih moge di parkiran markas Kompeni. Arta bersama rekan anggota inti yang lainnya sudah duduk siap di atas motor mereka masing-masing. Saat ini mereka akan pergi ke sekolah untuk latihan basket sebagai persiapan lomba nanti. Tak ada yang berhak untuk pergi mendahului sebelum ketua mereka pergi. Karena Arta masih sibuk mengutak-atik ponselnya, yang lain pun hanya duduk diam di atas motor masing-masing menunggu Arta selesai dengan urusannya.Sebelum melajukan motornya, Arta menelpon Eva lebih dulu menanyakan kondisi cewek itu sekarang. Apakah masih sibuk dengan urusan rumah tangganya itu atau sudah selesai. Hari pun sudah siang, sesuai dengan perjanjian Arta pada Eva sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah Eva sekarang ini.Saat panggilan terangkat, terdengar suara malu-malu Eva yang menyapanya. Arta tersenyum mendengar itu. "Lo hari ini ke sekolah nggak buat latihan atau belajar gitu untuk olimp MTK besok?"Di sana Eva mengernyit bingung Arta menanyakan hal itu padanya. "N