Gue duduk di ruang tamu, ngerasa gelisah. Entah kenapa pikiran gue terus aja ke Bin. Gue tahu dia bukan tipe orang yang gampang ceroboh, tapi tetep aja gue khawatir. Rasanya aneh dia pergi buru-buru kayak tadi tanpa ngejelasin apa-apa.
Gue ambil ponsel di meja, terus coba kirim pesan ke dia. Nomornya online, jadi gue tahu dia pegang ponsel, tapi sampai sekarang nggak ada balasan. [Bin, lo kemana? Lo baik-baik aja?] Gue tungguin balasannya sambil nonton TV di sofa. Drama Korea yang tadi seru sekarang nggak lagi menarik perhatian gue. Gue bolak-balik ngelirik layar ponsel, tapi tetap nggak ada tanda-tanda dia baca pesan gue. Menit berganti jadi jam, dan malam makin larut. Tapi dia masih nggak bales, bahkan pesan gue pun belum dia baca. Gue ngerasa makin resah, tapi gue juga nggak tahu harus ngapain. Entah udah jam berapa ini. Gue mulai ngerasa ngantuk berat, tapi tetep nggak ada kabar dari dia. Mata gue makin bGue sama Bin duduk berdampingan di sofa, tapi suasananya aneh banget. Setelah insiden tadi, rasanya kayak ada yang ngeganjal di udara. Gue nggak tahan sama canggung ini, jadi gue buru-buru buka mulut."Eh, udah jam tujuh, Bin. Kok lo nggak sekolah sih?" tanya gue, nada suara gue dibuat santai banget, kayak nggak ada apa-apa yang baru aja terjadi."Nggak," jawab Bin singkat, tapi nadanya serius. "Gue mau temenin lo belajar di rumah."Gue melotot nggak percaya. "Ah, alesan aja! Biar lo bisa bolos, 'kan?" Gue bangkit dari sofa, berusaha mengakhiri percakapan ini. "Dah ah, gue mau mandi!"Tapi tiba-tiba Bin narik tangan gue. Tarikannya nggak keras, tapi cukup bikin gue balik duduk di sampingnya lagi. Gue ngelihat ke arah dia, dan tatapan seriusnya bikin gue berhenti ngomong."Gue serius, Yu," katanya pelan tapi tegas. "Mulai detik ini, gue akan anterin lo ke sekolah. Pulang juga gue yang jemput."Tatapannya tajam, bikin gue nggak bis
Air mata gue meluncur bebas tanpa permisi, nggak peduli sama gengsi atau apa pun. Gue ngerasa dada gue sesak, kayak ada beban berat yang nggak bisa gue tahan lagi. Melihat luka itu di tubuh Bin, hati gue rasanya mencelos.Entah kenapa, rasanya nyesek banget lihat dia terluka kayak gini. Setelah tinggal bareng, gue baru sadar ada sisi lain dari Bin yang selama ini gue abaikan. Dia mungkin nyebelin, suka godain gue, dan sering bikin kesel, tapi dia juga selalu ada buat gue. Caranya melindungi gue, perhatiannya yang kadang dia samarkan dengan sikap cueknya, semua itu bikin gue nggak bisa benci dia."Lo harusnya bilang, Bin!" Suara gue serak, marah bercampur frustasi.Bin malah kelihatan kaget. "Eh, kenapa lo nangis? Gue nggak kenapa-kenapa, Yu," katanya, suaranya rendah, lembut, sambil naruh tangannya di bahu gue."Gue takut, Bin! Gue takut! Jangan sampai lo kenapa-kenapa di luar sana!" Gue makin terisak. Air mata gue nggak bisa gue tahan lagi.
"Gue laper," kata gue, dengan nada datar tapi penuh usaha buat ngalihin situasi. Gue langsung nyomot nasi uduk yang masih tersisa di piring, pura-pura sibuk makan.Bin ngeliatin gue sambil ketawa kecil. "Muka lo merah banget, Yu!" katanya, suaranya jelas penuh godaan.Gue langsung melotot ke dia, tapi nggak berani lama-lama, takut dia makin ngegodain. Ih, nyebelin banget!"Udah lah, makan aja sana, jangan ngurusin muka gue!" Gue ngomel sambil fokus ke nasi uduk di depan gue, padahal jantung masih berdebar kayak mau copot.Tapi dia masih ketawa, kayak nikmatin banget ngeliat gue salah tingkah. Gue nggak mau kalah. Dengan mantap, gue habisin nasi uduk itu sampai nggak tersisa, pura-pura nggak peduli sama dia.Tapi jujur, gue tahu dia lagi ngelihatin gue. Dan gue nggak tahu harus gimana sama rasa yang tiba-tiba aneh ini.Selesai makan dan minum, gue langsung merasa lega, tapi si Bin masih aja lihatin gue. Nggak ngerti dia lagi mikir
Setelah denger Bin mengigau, gue berusaha abaikan itu. Namanya juga mimpi, walau ada sedikit rasa penasaran yang nyelip di hati gue. Apa maksudnya semua itu? Tapi gue nggak mau mikir terlalu jauh, takut baper sendiri.Perlahan, gue ambil selimut dari sofa dan gue selimutin Bin. Gue biarin dia tetap di posisi itu, tidur dengan tenang. Wajah polosnya bikin hati gue terasa hangat, meskipun tadi dia sempat bikin gue bingung.Pelan-pelan, gue beresin buku-buku yang berserakan di dekat dia. Gue tumpuk rapi di meja, takut ganggu tidurnya kalau bikin suara berisik. Setelah semuanya rapi, gue ambil buku gue sendiri dan pindah ke ujung meja.Akhirnya, gue belajar sendiri. Tapi jujur aja, konsentrasi gue nggak sepenuhnya ada di tugas-tugas ini. Pikiran gue masih ke Bin, ke igauannya tadi. Gue ngelirik dia beberapa kali.Dia masih terlelap, napasnya teratur, wajahnya damai banget. Tapi gue ngerasa kayak ada misteri yang belum gue pahami tentang dia. Apa yang
"SG," kata Bin pelan, suaranya terdengar berat. "Ini Serigala Hitam," terang dia sambil meremas kertas ancaman itu.Semua yang ada di sini, termasuk gue, langsung terdiam. Aura hangat tadi berubah jadi mencekam."Nggak bisa tinggal diem! Gue harus bertindak!" kata Bin dengan nada tegas dan penuh amarah."Lo nggak bisa sendiri, kita pasti ikut," timpal MJ, berdiri di samping Bin dengan ekspresi siap tempur.Bin mengangguk pelan, tapi sebelum bergerak, dia lihat gue dulu. "Yu, lo nggak bisa di sini sendirian. Bilang aja rumah kita kemasukan maling. Jadi salah satu dari kita harus anter lo pulang ke rumah ibu lo." Tangannya meraih kedua bahu gue, menatap gue penuh rasa cemas.Gue geleng-geleng kepala keras. Perasaan gue kacau banget antara takut, cemas, dan nggak rela. "Nggak bisa, Bin. Jangan pergi. Semua ini nggak akan ada habisnya!"Menurut gue, udah paling bener kalau diem aja. Tapi Bin emang keras kepala."Nggak bisa,
Iky liatin layar HP-nya yang dari tadi geter terus. Kayaknya itu telepon. Gue langsung perhatiin, pasti itu Bin."Halo, Bin? Iya, gue udah nyampe di rumah ibunya Ayu. Dia baik-baik aja, kok ... Iya, iya, siap. Pulangnya lo ke sini aja, ibunya Ayu juga khawatir. Oke, santai!"Begitu Iky nutup telepon, gue langsung nanya, "Gimana Bin? Dia beneran baik-baik aja?" Nada suara gue jelas nggak bisa nyembunyiin rasa cemas.Iky duduk lagi di sofa, nyender santai. "Tenang aja, Yu. Dia baik-baik aja. Lo nggak usah kepikiran. Gue di sini jagain lo sampai Bin balik."Gue ngangguk pelan, tapi pikiran gue masih nggak tenang. Bin emang kelihatan kuat, tapi siapa tahu apa yang dia rasain?"Nggak apa-apa 'kan, Tante, kalau Iky di sini nungguin Bin?" Iky nanya sopan ke ibu gue yang masih berdiri di ruang tamu.Nyokap senyum kecil sambil ngangguk, meski mukanya kelihatan masih khawatir. "Aduh, kalian ini anak-anak muda kok tanggung jawabnya gede ban
Entah kapan gue akhirnya ketiduran, tapi rasanya nyaman banget. Mungkin karena gue udah lihat dia di sini, aman-aman aja. Tapi tidur gue nggak tenang, ada mimpi aneh yang malah bikin gue makin salah tingkah.Di mimpi itu, gue lagi rebahan di ranjang ini, dan tiba-tiba Bin ada di samping gue. Dia meluk gue, erat banget, kayak nggak mau lepas. Anehnya, gue nggak nolak. Gue diem aja, malah senyum-senyum nggak jelas.Tapi mimpi itu langsung buyar pas gue kebangun. Posisi gue tiduran miring, pelan-pelan gue buka mata sambil berusaha sadar sepenuhnya. Dan pas mata gue udah kebuka lebar, gue langsung lihat Bin di depan gue.TANPA BAJU!Gue otomatis teriak kecil dan mundur mendadak, saking kagetnya hampir jatoh dari ranjang. Tapi refleks Bin cepet banget. Dia langsung nangkep gue, tangannya melingkar di pinggang gue buat nahan gue jatoh."Sshht! Apaan sih berisik! Sampe kaget gitu!" suara Bin terdengar ketus, tapi tangannya masih erat nahan gue.Gue buru-buru ngelepasin diri dan duduk dengan
"Gue nggak bisa setengah-setengah, Yu. Gue harus tuntasin semua ini," kata Bin akhirnya, suaranya lirih, lembut banget, sampai bikin hati gue ngilu.Kata "setengah-setengah" tiba-tiba ngingetin gue sama omongan Iky waktu itu. Dia bilang Bin nggak pernah setengah-setengah kalau udah sayang. Dan sekarang, hawa di sekitar gue rasanya makin panas, makin berat.Tangan gue, entah kenapa, bergerak lagi. Gue pegang bahu dia erat, terus jari-jari gue turun ngeraba dada dia yang memar itu."Ini pasti sakit, Bin ... sekarang baru memar ... gimana kalau nanti_""Kenapa lo setakut ini kalau gue terluka?" Potong Bin. Matanya masih natap gue, dalam banget, dan tangannya narik pinggang gue makin nempel ke perutnya.Gue kaget, balik natap dia. Semua perasaan yang selama ini gue pendam, semua gengsi yang gue pasang, kayak udah nggak ada artinya lagi sekarang."G-gue ..." Napas gue nggak beraturan. Tapi akhirnya gue tarik napas dalam-dalam dan bila
Dua Tahun KemudianDua tahun sudah berlalu sejak semua kekacauan itu terjadi. Sekarang hidup gue jauh lebih tenang, lebih teratur, dan lebih bahagia.Mbin akhirnya masuk kuliah tahun lalu, sementara gue sendiri udah jadi seniornya. Iya, gue senior Bin sekarang. Kocak banget nggak sih? Tapi di kampus, semua orang udah tahu kalau kita suami istri. Udah bukan rahasia lagi kalau kita kemana-mana selalu berdua.Dan ... kalau pulang, ada si kecil yang selalu nungguin gue.Iya, setelah setahun lebih kuliah, gue dan Bin akhirnya memutuskan buat nggak menunda punya anak. Sekarang, gue udah jadi ibu dari seorang bayi laki-laki yang super lucu.Namanya Bintang.Dia baru enam bulan, tapi ya ampun, ganteng banget! Mirip banget sama Bin, kayak versi mininya. Makanya kita sengaja kasih nama Bintang, biar tetep ada unsur "Bin" di namanya."Dia yang nyinari hidup gue sekarang."Kadang gue suka mikir, nanti kalau gue lulus kuliah
Begitu sampai di kampus, gue langsung menuju bangku taman buat duduk sebentar. Pagi ini matahari nggak terlalu terik, tapi tetep aja gue ngerasa gerah, apalagi pakai turtleneck gini. Tapi nggak ada pilihan, kan ya?Baru aja pantat gue mendarat di bangku, Siska dan Arum langsung nanya dengan tatapan penuh kecurigaan."Kenapa jalan lo aneh?""Nggak apa-apa ah," gue buru-buru jawab, berusaha santai sambil langsung duduk. Tapi ya tetep aja, gue tahu mereka pasti sadar.Si Nunu, yang udah lebih pengalaman dalam hal beginian, duduk di samping gue sambil nyengir penuh arti. Bedanya, dia agak menjauh dari anak-anak GGS lain, kayak mau nyulik gue buat interogasi."Tch, belah duren si Mbin euy!" katanya sambil nuduh terang-terangan.Gue langsung melotot ke arah dia."Yaaa! Shibal Sekiya anjir!" Gue spontan ngumpat pake bahasa Korea, ala-ala drama yang biasa gue tonton.Tapi si Nunu malah ngakak, makin jadi anjir!
Pagi ini gue bangun dengan tubuh masih terasa remuk. Gue mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk dari celah tirai jendela.Mbin ada di samping gue, masih kebluk tidur, napasnya teratur, dan... tanpa baju!Astaga! Gue juga!Refleks, gue langsung narik selimut buat nutupin badan gue, walau sebenarnya udah nggak ada gunanya juga. Malam tadi dia udah melihat semuanya, menyentuh semuanya, dan... merasakan semuanya.Gue buru-buru meraih baju-baju gue yang bertebaran di lantai, yang dia lempar sembarangan semalam. Ckck, gila, predator memangsa ini mah. Tapi ya, dia lembut banget, karena tahu ini pertama kalinya buat gue.Semalam, dia sempat khawatir dan kasihan lihat gue kesakitan. Tapi pada akhirnya, dia juga nggak bisa nahan lagi.Gue bangkit dari ranjang dengan kaki yang terasa pegal, lalu tertatih masuk ke kamar mandi. Begitu gue berdiri di depan cermin, gue langsung menahan napas.Ya ampun.Ref
"Maafin aku, Yu." Napasnya terasa hangat di tengkuk gue, sedikit bergetar, seolah menyimpan semua beban yang selama ini dia pikul sendirian. Lalu perlahan, dia menarik diri dari pelukan, menatap gue lekat-lekat dengan mata yang menyimpan banyak cerita. Ada kelelahan, ada kesedihan, tapi juga ada ketulusan di sana. "Terus kamu nggak daftar kuliah karena harus urus Mama, ya?" tanya gue pelan. Dia nggak langsung jawab, cuma tersenyum tipis sebelum menuntun gue duduk di tepi ranjang. Tangannya masih menggenggam tangan gue, erat seolah nggak mau kehilangan lagi. "Ya, itu keadaannya. Nggak apa-apa 'kan, Yu? Aku bisa daftar kuliah tahun depan. Sementara nunggu, aku mau urus bengkel dulu. Mama juga udah sembuh, udah bisa jalan, ke toilet sendiri," katanya lirih. Suaranya sedikit bergetar, dan matanya yang berkaca-kaca menatap ke awang-awang, seakan sedang mengenang masa-masa sulit yang baru saja dia lewati.
Mbin menggenggam tangan gue erat, seakan nggak mau gue ragu atau malah mundur. Dia menuntun gue masuk ke dalam rumah, ke tempat yang dulu gue anggap sebagai rumah gue juga. Hawa di dalam masih sama seperti yang gue ingat, hangat, tapi tetap terjaga kondisi rumahnya.Dia terus menuntun gue ke arah kamar utama. Setiap langkah yang gue ambil terasa semakin berat, karena gue nggak tahu apa yang bakal gue temuin di dalam sana. Perasaan gue nggak enak, tapi gue tetap mengikuti langkahnya.Begitu Mbin membuka pintu kamar, pandangan gue langsung tertuju pada dua sosok yang gue kenal betul.Gue terdiam. Jantung gue serasa berhenti berdetak sejenak.Di dalam kamar itu, duduk seorang wanita di kursi roda. Beliau menoleh ke arah gue dengan senyum lembut yang begitu gue rindukan."Mama?" Gue menyebutnya pelan, hampir seperti bisikan.Ibunya Mbin, yang selama ini gue panggil 'Mama', menatap gue penuh kasih sayang. Tapi kenapa ... kenapa beliau
Akhirnya, momen yang selama ini gue tunggu-tunggu juga datang. Gue sama temen-temen diterima di universitas impian. Meskipun minat kita beda-beda, tetep aja kita selalu kompak dan kumpul bareng. Anak-anak GGS, yang udah dikenal sebagai sosok pemberani dan berjiwa teknik, pada ambil jurusan Teknik Mesin, ada juga yang masuk jurusan Manajemen buat ngelola bisnis bengkel kita nanti. Sementara itu, gue sendiri memilih jurusan Sastra Bahasa, persis seperti yang gue rencanakan dari dulu. Meskipun gedung fakultas kita beda, tapi setiap sore, kita selalu ngumpul di satu spot di taman kampus, tempat yang udah jadi saksi dari tawa, cerita, dan rindu yang kita bagi bersama. Tapi, ada satu hal yang bikin hati gue masih berat, yaitu Bin. Dia selalu bilang bakal nyusul daftar kuliah, bilang "Tunggu, Yu, nanti aku bakal nyusul daftar kuliahnya." Tapi sekarang udah lewat enam bulan, dan gue belum pernah lihat dia muncul di hadapan gue, nggak di kampus m
Akhirnya, setelah puas memata-matai Rocky alias Iky dan Jeni, kita semua mencar dan pergi dari food court setelah makan. Perut kenyang, hati agak lega, tapi otak gue masih muter-muter mikirin obrolan yang tadi gue denger.Seperti biasa, Arum langsung lengket sama Bang M, entah mereka mau ke mana. Siska juga udah pergi duluan bareng Bang Jinu, mesra banget kayak dunia milik mereka berdua. Tinggal gue, Hasan, dan Nunu yang masih berdiri di parkiran basement, kayak anak ilang nggak punya tujuan."Gue pulang bareng Hasan ajalah," kata gue tiba-tiba, sambil melipat tangan di dada dan melirik tajam ke Hasan yang baru aja ngeluarin motornya. "Mau gue ceramahin dia!"Hasan yang lagi masang helm langsung ngebelalak. "Hah? Ceramahin apaan, sih?"Nunu ketawa dikit sebelum masukin kunci ke motornya dan nyalain mesin. "Ya udah, gue cabut duluan ya. Lo hati-hati ama si Setan cewek nih, San!" katanya sambil nyengir ke Hasan.Hasan malah ketawa sambil ng
Nunu akhirnya balik dari toilet, dia ikutan mantau Iky sama Jeni.Jeni Langsung ganti baju pake baju yang di pilih Iky tadi, terus gue, Nunu sama Hasan berdiri jauh dari seberang toko, lihat Iky sama Jeni bergerak keluar toko.Kita ikutin mereka pelan-pelan, sementara pasangan Jinu-Siska, Bang M-Arum kelihatan mulai ngikutin juga dengan jarak yang lumayan jauh juga dari gue.Iky menuju food court, kita juga duduk cari meja kosong agak jauh tapi tetep bisa kelihatan mantau iky sama Jeni.Dari kejauhan, gue lihat Iky duduk di seberang Jeni. Mereka kelihatan ngobrol, tapi ekspresi Iky masih datar kayak biasanya.Jeni nyengir kecil sambil nunjuk-nunjuk menu di tangannya, kayak lagi nawarin sesuatu ke Iky. Gue bisa nebak, pasti dia maksa Iky buat pesen makanan bareng."Kayaknya Jeni bakal mesenin makanan buat mereka," bisik Nunu, nyikut lengan gue pelan.Gue mengangguk, mata masih fokus ke mereka. Benar aja, beberapa menit ke
Kita terus ngikutin Iky dari belakang, menjaga jarak biar nggak ketahuan. Gue pikir mereka bakal langsung pulang ke rumah Jeni, tapi ternyata motor Iky malah belok ke arah pusat kota dan akhirnya berhenti di parkiran mall."Jeni ngajak ke mall?" gumam gue sambil turun dari motornya Nunu."Ya baguslah, biar mereka bisa berduaan," sahut Nunu santai sambil melepas helmnya.Gue masih memperhatikan mereka dari jauh. Jeni turun lebih dulu, terus nungguin Iky yang lagi matiin mesin motor. Dari cara Jeni berdiri yang sedikit berjinjit sambil ngelirik Iky, kelihatan banget dia excited. Sementara Iky, seperti biasa, mukanya datar. Tapi entah kenapa, dia nggak kelihatan seketus tadi pagi.Hasan juga turun dari motornya, terus jalan ke arah gue dan Nunu. "Jadi gimana nih? Kita ngikutin ke dalem?" tanyanya, suaranya agak berbisik biar nggak ketahuan yang lain."Iya lah! Masa sampe sini doang," jawab Nunu enteng.Gue masih agak ragu. "Tapi kal