“ raisa” aku mengetuk pintu kamar raisa, sedari kemarin tak keluar kamar, aku tau ia sedang marah, entah marah pada mas damar, padaku atau pada dirinya sendiri.“ Sayang” sebelum aku mengetuknya lagi raisa sudah membukanya dan berdiri diambang pintu siap dengan seragam biru putihnya. Tak sepatah katapun yang ia ucapkan. Ia lalu berjalan menuju meja makan meletakan tas beratnya duduk dan meneguk segelas air dalam gelas.“ telor mata sapi” aku menghidangkan di piring di depan raisa, ia mendongak mata beningnya menatapku ia menyimpan kesedihan dan itu membuatku sesak. Ia tetap diam tak ada protes dengan apa yang aku masak. Aku ingin mendengar ia mengatakan bosan dengan masakan telor goreng, aku juga ingin mendengar ancaman ia tak mau makan lagi kalau menu nya masih sama seperti biasa saat ia sedang ceria.Raisa hampir menghabiskan isi piringnya mengunyah dengan cepat meski terlihat sulit menelan karna menahan tangis. aku menghentikan kunyahanku menatap raisa yang kini menahan bulir di
Aku kekamar mencari dompet kecil berwarna merah muda, tempat biasanya aku menyimpan uang. Aku mendengkus saat yang kudapati hanya satu lembar uang sepuluh ribuan dan satu lembar uang dua ribuan. Aku mengoyangkan dompet memastikan tak ada yang tertinggal disana dan benar saja pecahan lima ratus perak menggelinding di lantai sempat kaki menahanya agar tak menggelinding semakin jauh. Setidaknya ini cukup untuk membeli sepapan tempe dan beberapa potong tahu. Dan setelah ini aku harus mencari pekerjaan. menerima uang dari mas damar rasanya berat. meski ia mengatakan ini hak ku dan lain sebagainya.Warung buk bariah seperti tak kehabisan pembeli bahkan di siang hari seperti ini. Buk yuni sudah membawa satu kresek besar sayuran hijau, bayam, kangkung, ayam dan entah apa lagi. Ia sudah selesai berbelanja tapi ia duduk di bangku kayu diikuti mbak utami yang belum dapat apa-apa.“ Buk, beli 2 tempe dan tahunya lima ribu aja ” buk bariah masih sibuk memilah kulit bawang merah yang mengering.
Bab 6LiburanRumah besar berwarna olive muda dan warna putih di beberapa kusennya, asri bergaya klasik. Suasana terlihat lengang aku memberanikan untuk mendekat mengetuk pintu rumah.“ assalamualaikum” ketukan pertama belum ada sahutan dari dalam, kuulangi lagi sampai dua kali belum juga ada sahutan. Ku melepaskan nafas beratku mengurungkan untuk mengetuk lagi memilih pergi. Baru tiga langkah handle pintu terdengar di tekan perlahan aku membalik badan. Aku menatap seseorang baju tarakota berdiri di ambang pintu, rambutnya rapih clean bagian depan cepol belakang, hanya sedikit keruput yang terlihat wajahnya masih berseri aku tebak ia rutin melakukan perawatan salon.Aku mendekat sambil membenahi ujung jilbabku yang aku kaitkan di bahu.“ bu permisi, apa masih nerima pekerja buat bantu-bantu dirumah ini” tak menjawab ia hanya menganguk sekali lalu mempersilahka untuk masuk rumahnya.Aku memperhatikan setiap sudut rumah, terawat dan rapi. Aku mengekor pada perempuan berjalan l
DamarBerat meski hanya untuk menampakkan wajahku padany,a laila terlanjur sakit hati. aku beranikan melangkah menuju rumah, mungkin saja laila masih mengis seperti yang ia lakukan saat terakhir aku kerumah ini.Aku menatap atap rumah yang sudah tak kokoh hanya tinggal beberapa bulan lagi rumah ini bisa di tempati aku menyewanya hanya satu setengah tahun tanpa sepengetahuan laila.Atas keinginan ibu aku menjemput raisa, berusaha berbakti padanya dengan mengikuti semua yang ia katakan termasuk menikahi aruna.“ Raisa” tak ada sahutan dari dalam, pintu langsung terbuka saat aku mendorongnya. Sepi dan lengang. Tak terdengar suara ribut benturan wajan dan spatula saat laila masak, atau teriaknya saat membangunkan raisa.“Laila” ucapku lirih, menuju kamar kami tak kudapati ia disana, semua terlihat rapi bantal yang sudah tertata dan mukena yang terlipat di letakan kursi kayu dan di nakas alquran yang terbuka, aku menutupnya. Setelah membaca laila lupa menutup dan meletakan dengan benar.
semakin menunduk, agar mas barra tak menyadari .Aku bisa bernafas lega, mas barra tak mengenaliku, karna aku yang jauh berbeda dengan dulu tak ada jilbab, tak ada wajah kusam dan tak juga telihat tua.Tak bisa membayangkan bagaimana menertawakan dengan keadaanku sekarang. Harusnya dari dulu aku menyadari bahwa roda berputar, kehidupan akan berganti. Aku meninggalkan mas barra demi mas damar yang mengejarku dan dengan harta yang lebih banyak. Aku menunggu beberapa saat sampa makan malam keluarga selesai. aku tak lapar, hanya lelah aku ingin segera pulang.Langah kaki terdengar teratur, aku menengok ada gadis berambut menutupi bahunya, tangannya penuh dengan piring kotor yang tertumpuk.“ Biar saya saja, nona”Aku meraih piring-piring yang di bawanya tapi ia memertahan. Dan memasukan ke wastafel.“Nggak papa saya saja, disana masih ada bekas sayur tante” dengan ramah ia mengatakan.Mas barra masih duduk disana, Aku menghindari bertatap muka dengannya aku khawatir ia mengenaliku, me
Pov Barra Mataku cepat beralih saat melihat sesorang berdiri di depan gerbang. Wajahnya tak asing untukku hanya sekarang lebih terlihat tirus. Ia tak sempat melihatku karna sengaja mebuka kace sedikit. Tak menyangka di pertemukan dengan keadaan yang begitu berbeda laila perempuan yang dulu aku dambakan .[laila kalau kamu gelapnya malam biarkan aku jadi barra sampai terang tiba]Laila mengembangkan senyum usai mendengarkan itu Aku menggelengkan kepala mengingat bagaimana dulu omong kosong itu keluar dari mulutku. Hari ini seperti permintaan Mama, aku mengajak lintang ke rumah mama, sebenarnya aku malas menuruti keinginan mama mertuaku tapi ia terus memaaksa kadang ada perdebatan perdebatan antara kami Rumah mama terlihat begitu sepi, hari hari di laluinya seperti itu, tak ada alya, lintang atau aku membersamainya. Lintang berlari bersemangat masuk kerumah. Menghamburkan pelukan pada mama, perempuan yang disebutnya nenek itu memeluk lama nan penuh kehangatan ia mengusap punggung d
Bab 10 Damar Kehidupan yang berbeda jauh dengan yang aku jalani dulu tak ada aktivitas pagi yang begitu menyibukkan. Aruna selalu meminum kopi dan duduk santai di ruang santai Tak ada riuh aktivitas memasak atau keriwehan lain. Hanya hening di pagi hari di rumah besar aruna. “ ternyata kita aja nggak cukup mas” aku yang mendekat mencium bahunya kini mendongakkan kepalaku. “ aku nggak mau hamil diusiaku yang segini mas” perlahan aku melepasakan tangan yang aku lingkarkan pada pinggangnya. “ kamu bisa menjemput raisa, mengajaknya tinggal bersama kita disini, pasti menyenangkan punya anak perempuan yang sudah besar” " tak perlu mendengarkan orang lain, aku kamu cukup. lagi pula tak semudah yang kita fikirkan raisa, tetep memilih hidup bersama ibunya meski kehidupanya kekurangan. Belum lagi rasa bencinya padaku belum hilang” Aruna juga tahu bagaimana raisa tak bersemangat saat liburan bersamanya. “ kamu ini ayahnya, kamu punya hak atas dia” aruna bicara penuh penekan. " lagi pul
Bab 11Sepanjang hari berlarut dalam kesedihan, ayah tak pernah mendapat simpatiku seteah menikah lagi. Meski kadang ia membujukku dengan berbagai hal, memberiku barang barang mahal yang aku suka, mengajaku jajan atau mengajakku belanja ke mall.Menurutku istri baru ayah cukup cantik. Kulitnya bening seperti kaca dan pakain-pakaiam modis dan terlihat mahal. Begitukah sifat alami laki laki ia akan cepat bepaling dengan mengemukakan berbagai alasan padahal alasan sebenarnya ibu tak cantik lagi seperti dulu. Kata ayah begitu, ibu primadona. “ hai cantik, mataku mengerjap menoleh kearahnya tante aruna mendekat padaku menyodorkan eskrim coklat.Aku memperhatikan setiap detail yang ia kenalkan baju santai tapi tetap modis dan sepatu bagus miliknya berwarna putih sporty nan casual.“ Instagram kamu apa? Nanti tante follow” ia mendekatiku yang sedari berkutat dengan handponeku, tak penting yang kulakukan hanya melihat reels lucu-lucu, itu hanya pengalihan untuk membuatku terliahat sibu
happy reading jangan lupa kasih luv💖“raisa” ucapku, raisa masih betah di kamar meskipun aku sudah pulang, ia selalu sibuk dengan ponselnya hanya gelak tawa yang aku dengar. Bukan karna mengobrol denganku tapi ia tertawa karna melihat ponsel pintarnya.“ oiya hampir lupa, tadi ada yang kesini nyariin ayah, raisa bilang nggak ada terus nyariin ibu?”“ siapa, raisa kenal?” ia menggeleng.“katanya mau kesini kalau ibu pulang” ucapnya lagi.Aku tak pernah membuat janji dengan siapapun apa lagi laki-laki, kalaupun teman mas damar bukannya mereka tahu kalau mas damar sudah menikah lagi dan tk tinggal disini.Aku sudah selesai sholat magrib dan membaca belembar mushaf alquran, raisa lebih dulu makan, ia lebih suka memesan dari pada yang aku masak, mas damar menghujaninya uang.Aku mengunyah satu suap capcay, buk soraya selalu membawakan sayur yang aku masak sebagian untukku. Suapan terakhir lalu aku meminum air putih. Membawa piring kotor kedapur untuk langsung mencuci.“Tok tok” aku segera
Bab 11Sepanjang hari berlarut dalam kesedihan, ayah tak pernah mendapat simpatiku seteah menikah lagi. Meski kadang ia membujukku dengan berbagai hal, memberiku barang barang mahal yang aku suka, mengajaku jajan atau mengajakku belanja ke mall.Menurutku istri baru ayah cukup cantik. Kulitnya bening seperti kaca dan pakain-pakaiam modis dan terlihat mahal. Begitukah sifat alami laki laki ia akan cepat bepaling dengan mengemukakan berbagai alasan padahal alasan sebenarnya ibu tak cantik lagi seperti dulu. Kata ayah begitu, ibu primadona. “ hai cantik, mataku mengerjap menoleh kearahnya tante aruna mendekat padaku menyodorkan eskrim coklat.Aku memperhatikan setiap detail yang ia kenalkan baju santai tapi tetap modis dan sepatu bagus miliknya berwarna putih sporty nan casual.“ Instagram kamu apa? Nanti tante follow” ia mendekatiku yang sedari berkutat dengan handponeku, tak penting yang kulakukan hanya melihat reels lucu-lucu, itu hanya pengalihan untuk membuatku terliahat sibu
Bab 10 Damar Kehidupan yang berbeda jauh dengan yang aku jalani dulu tak ada aktivitas pagi yang begitu menyibukkan. Aruna selalu meminum kopi dan duduk santai di ruang santai Tak ada riuh aktivitas memasak atau keriwehan lain. Hanya hening di pagi hari di rumah besar aruna. “ ternyata kita aja nggak cukup mas” aku yang mendekat mencium bahunya kini mendongakkan kepalaku. “ aku nggak mau hamil diusiaku yang segini mas” perlahan aku melepasakan tangan yang aku lingkarkan pada pinggangnya. “ kamu bisa menjemput raisa, mengajaknya tinggal bersama kita disini, pasti menyenangkan punya anak perempuan yang sudah besar” " tak perlu mendengarkan orang lain, aku kamu cukup. lagi pula tak semudah yang kita fikirkan raisa, tetep memilih hidup bersama ibunya meski kehidupanya kekurangan. Belum lagi rasa bencinya padaku belum hilang” Aruna juga tahu bagaimana raisa tak bersemangat saat liburan bersamanya. “ kamu ini ayahnya, kamu punya hak atas dia” aruna bicara penuh penekan. " lagi pul
Pov Barra Mataku cepat beralih saat melihat sesorang berdiri di depan gerbang. Wajahnya tak asing untukku hanya sekarang lebih terlihat tirus. Ia tak sempat melihatku karna sengaja mebuka kace sedikit. Tak menyangka di pertemukan dengan keadaan yang begitu berbeda laila perempuan yang dulu aku dambakan .[laila kalau kamu gelapnya malam biarkan aku jadi barra sampai terang tiba]Laila mengembangkan senyum usai mendengarkan itu Aku menggelengkan kepala mengingat bagaimana dulu omong kosong itu keluar dari mulutku. Hari ini seperti permintaan Mama, aku mengajak lintang ke rumah mama, sebenarnya aku malas menuruti keinginan mama mertuaku tapi ia terus memaaksa kadang ada perdebatan perdebatan antara kami Rumah mama terlihat begitu sepi, hari hari di laluinya seperti itu, tak ada alya, lintang atau aku membersamainya. Lintang berlari bersemangat masuk kerumah. Menghamburkan pelukan pada mama, perempuan yang disebutnya nenek itu memeluk lama nan penuh kehangatan ia mengusap punggung d
semakin menunduk, agar mas barra tak menyadari .Aku bisa bernafas lega, mas barra tak mengenaliku, karna aku yang jauh berbeda dengan dulu tak ada jilbab, tak ada wajah kusam dan tak juga telihat tua.Tak bisa membayangkan bagaimana menertawakan dengan keadaanku sekarang. Harusnya dari dulu aku menyadari bahwa roda berputar, kehidupan akan berganti. Aku meninggalkan mas barra demi mas damar yang mengejarku dan dengan harta yang lebih banyak. Aku menunggu beberapa saat sampa makan malam keluarga selesai. aku tak lapar, hanya lelah aku ingin segera pulang.Langah kaki terdengar teratur, aku menengok ada gadis berambut menutupi bahunya, tangannya penuh dengan piring kotor yang tertumpuk.“ Biar saya saja, nona”Aku meraih piring-piring yang di bawanya tapi ia memertahan. Dan memasukan ke wastafel.“Nggak papa saya saja, disana masih ada bekas sayur tante” dengan ramah ia mengatakan.Mas barra masih duduk disana, Aku menghindari bertatap muka dengannya aku khawatir ia mengenaliku, me
DamarBerat meski hanya untuk menampakkan wajahku padany,a laila terlanjur sakit hati. aku beranikan melangkah menuju rumah, mungkin saja laila masih mengis seperti yang ia lakukan saat terakhir aku kerumah ini.Aku menatap atap rumah yang sudah tak kokoh hanya tinggal beberapa bulan lagi rumah ini bisa di tempati aku menyewanya hanya satu setengah tahun tanpa sepengetahuan laila.Atas keinginan ibu aku menjemput raisa, berusaha berbakti padanya dengan mengikuti semua yang ia katakan termasuk menikahi aruna.“ Raisa” tak ada sahutan dari dalam, pintu langsung terbuka saat aku mendorongnya. Sepi dan lengang. Tak terdengar suara ribut benturan wajan dan spatula saat laila masak, atau teriaknya saat membangunkan raisa.“Laila” ucapku lirih, menuju kamar kami tak kudapati ia disana, semua terlihat rapi bantal yang sudah tertata dan mukena yang terlipat di letakan kursi kayu dan di nakas alquran yang terbuka, aku menutupnya. Setelah membaca laila lupa menutup dan meletakan dengan benar.
Bab 6LiburanRumah besar berwarna olive muda dan warna putih di beberapa kusennya, asri bergaya klasik. Suasana terlihat lengang aku memberanikan untuk mendekat mengetuk pintu rumah.“ assalamualaikum” ketukan pertama belum ada sahutan dari dalam, kuulangi lagi sampai dua kali belum juga ada sahutan. Ku melepaskan nafas beratku mengurungkan untuk mengetuk lagi memilih pergi. Baru tiga langkah handle pintu terdengar di tekan perlahan aku membalik badan. Aku menatap seseorang baju tarakota berdiri di ambang pintu, rambutnya rapih clean bagian depan cepol belakang, hanya sedikit keruput yang terlihat wajahnya masih berseri aku tebak ia rutin melakukan perawatan salon.Aku mendekat sambil membenahi ujung jilbabku yang aku kaitkan di bahu.“ bu permisi, apa masih nerima pekerja buat bantu-bantu dirumah ini” tak menjawab ia hanya menganguk sekali lalu mempersilahka untuk masuk rumahnya.Aku memperhatikan setiap sudut rumah, terawat dan rapi. Aku mengekor pada perempuan berjalan l
Aku kekamar mencari dompet kecil berwarna merah muda, tempat biasanya aku menyimpan uang. Aku mendengkus saat yang kudapati hanya satu lembar uang sepuluh ribuan dan satu lembar uang dua ribuan. Aku mengoyangkan dompet memastikan tak ada yang tertinggal disana dan benar saja pecahan lima ratus perak menggelinding di lantai sempat kaki menahanya agar tak menggelinding semakin jauh. Setidaknya ini cukup untuk membeli sepapan tempe dan beberapa potong tahu. Dan setelah ini aku harus mencari pekerjaan. menerima uang dari mas damar rasanya berat. meski ia mengatakan ini hak ku dan lain sebagainya.Warung buk bariah seperti tak kehabisan pembeli bahkan di siang hari seperti ini. Buk yuni sudah membawa satu kresek besar sayuran hijau, bayam, kangkung, ayam dan entah apa lagi. Ia sudah selesai berbelanja tapi ia duduk di bangku kayu diikuti mbak utami yang belum dapat apa-apa.“ Buk, beli 2 tempe dan tahunya lima ribu aja ” buk bariah masih sibuk memilah kulit bawang merah yang mengering.
“ raisa” aku mengetuk pintu kamar raisa, sedari kemarin tak keluar kamar, aku tau ia sedang marah, entah marah pada mas damar, padaku atau pada dirinya sendiri.“ Sayang” sebelum aku mengetuknya lagi raisa sudah membukanya dan berdiri diambang pintu siap dengan seragam biru putihnya. Tak sepatah katapun yang ia ucapkan. Ia lalu berjalan menuju meja makan meletakan tas beratnya duduk dan meneguk segelas air dalam gelas.“ telor mata sapi” aku menghidangkan di piring di depan raisa, ia mendongak mata beningnya menatapku ia menyimpan kesedihan dan itu membuatku sesak. Ia tetap diam tak ada protes dengan apa yang aku masak. Aku ingin mendengar ia mengatakan bosan dengan masakan telor goreng, aku juga ingin mendengar ancaman ia tak mau makan lagi kalau menu nya masih sama seperti biasa saat ia sedang ceria.Raisa hampir menghabiskan isi piringnya mengunyah dengan cepat meski terlihat sulit menelan karna menahan tangis. aku menghentikan kunyahanku menatap raisa yang kini menahan bulir di