Air mata Nisa mulai menetes.
“Transfer saja ke rekening pribadiku, Bang.” Nisa melepaskan genggaman tanganku, kemudian membalikkan badan memunggungiku. Kudengar dia sedikit terisak, aku memang selalu begitu setiap kali dia meminta diantar check up atau anak-anakku sakit.
“Pergi sendiri kan bisa, nanti bianyanya aaku transfer ke renkeningmu, aku sibuk!” kalimat itu yang selalu aku ucapkan.
Sungguh aku benar-benar menyesal melakukannya, karena sikap cuekku aku kehilangan kesempatan untuk memiliki keturunan lagi, dan yang lebih buruk lagi, aku telah membuat wanita yang menemaniku mengarungi bahtera rumah tangga selama 15 tahun terakhir kehilangan hal yang paling berharga. Aku telah merusak rahimnya.
“Ini semua salahku, jadi izinkan aku merawatmu sekali ini saja. Abang mohon.”
“Pergi Bang, ada banyak orang di sini. Tenang saja kami s
“Jadi Abang mau belikan aku perhiasan?”“Enggak.”“Loh terus ngapain di sini?”“Cuma lihat-lihat.”“Abang bohong pasti mau ngasih aku kejutan ‘kan, aku ga suka kejutan biar aku pilih sendiri aja Bang.”“Siapa yang mau membelikanmu perhiasan?”“Ya Abang lah, ini Bang aku suka yang ini.”“Ini Pak, barangnya.” Penjaga toko malah menyerahkan paper bag padaku.“Itu apa, Bang?”“Ini hadiah buat sepupuku yang mau menikah.”“Boleh aku lihat?”“Enggak.” Aku menjauhkan paper bag itu dari jangkauan Santi, menyembunyikannya di balik badanku. Tapi Santi tak mau menyerah dia malah berusaha mengambilnya dariku.
“Saya Arga, salam kenal Mbak Nisa.” Lelaki muda itu tersenyum. Ramah pada istriku.“Ekhem-Ekhem.” Aku sengaja berdehem. Aku ini bukan lelaki bodoh yang tak peka, jelas sekali dia menyukai istriku. Caranya memandang Nisa. Tersenyum lalu gelagatnya sungguh mengundang curiga. Laki-laki itu terlihat sedikit gelagapan. Dia mulai mengulurkan tangannya padaku.“Saya Irwan, pemilik rumah ini.” Sengaja kurangkul pundak Nisa. Dia tak menolak, hanya menatap heran padaku, tapi kemudian tersenyum kecut sembari memalingkan wajahnya ke arah jalan raya.“Mbak Nisa, memang enggak kenal saya?” Nisa terlihat mengerutkan dahi, laki-laki ini kenapa gayanya sok akrab sekali dengan istriku.“Maaf saya lupa.”“Saya Agra adik kelas Mbak waktu di SMK, masih inget? Murid terlebay?” Nisa tiba-tiba saja tersenyum.&l
“Abang enggak punya alasan? Sudahlah aku pergi, wassalamu’alaikum.”“Sa, Abang mohon jangan pergi.” Kutahan kopernya agar tak bisa ditarik Nisa.“Kalau gak punya alasan, berati memang pernikahan kita juga sudah tak punya alasan untuk tetap bertahan. Lepaskan!”“Yasudah, kalau gitu biar Abang antar ke rumah Ibu.” Aku membawa kopernya menuruni tangga dengan cepat. Nisa terlihat kesal meski dia tak meluapkannya lewat ucapan. Aku menunggunya di depan pintu. Dia berjalan cukup pelan. Mungkin luka operasinya belum sepenuhnya sembuh.“Aku bisa pulang sendiri Bang, kembalikan kopernya!”“Udah biar Abang aja!” Aku segera memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil.” Sialnya saat aku sibuk dengan kopernya Nisa malah sudah berjalan ke luar gerbang.Bodoh! Kenapa aku malah fok
“Tunggu sebentar Sa, mobil itu yang di depan benar milikmu atau pemberian orang lain?”“Memangnya siapa yang mau memberiku mobil, Bang?”“Ya, mungkin aja Pria lain.” Nisa malah tertawa.“Abang pikir aku punya selingkuhan lalu memerasnya untuk mendapatkan mobil?”“Hmmm lalu itu mobil dari mana?”“Sudah kubilang itu mobilku. Abang selalu memberiku banyak uang dan semua itu aku kumpulkan. Aku tak sehina itu untuk membalas pengkhianatan abang dengan hal yang sama.” Aku terdiam sejenak. Apa memang benar dia membeli mobil memakai uangku. Aku memang selalu memberinya uang banyak. Pantas saja dia tak pernah memakai pakaian yang modis ternyata uangnya disimpan sampai jadi mobil. Soal uang aku memang tak pernah perhitungan dengannya, tapi hebat juga ya bisa cukup untuk membeli mobil. Rasanya sedikit aneh
Langkah kami terhenti. Sejenak pandangan kami bertemu. Tampak jelas di sana, bibir Nisa sedikit bergetar seolah hal yang akan dia katakan penuh kesakitan.“Enggak kok, aku akan tetap di sini.” Istriku tersenyum canggung, meski aku kurang peka, tapi jangan berbohong di depanku juga. Pasti ada sesuatu yang sedang disembunyikan.“Sudahlah ayo pergi! Seharusnya akan lebih baik kalau kita pergi ke sini saat malam jadi bisa menyaksikan pertunjukan air mancurnya.” Nisa malah mengalihkan topik pembicaraan kami. Kini dia bersiap melangkah pergi. Kutarik lengannya lalu menenggelamkan tubuh kurus itu dalam pelukan. Bobotnya banyak berkurang setelah aku memintanya untuk berbagi suami.“Malu Bang, dilihat orang.”“Aku enggak peduli Sa, jangan pergi. Kemarin aku hampir saja kehilanganmu, kamu membuatku takut.”“Bang jangan begini, lepaskan
PoV Irwan“Kang, ini hot tangnya.” Penjual makanan itu malah menyerahkan hot tang padaku, sedang emosi begini Hutang hotang, menjengkelkan sekali.“Tunda saja dulu Bang, nanti saya ambil. Ini uangnya ga usah kembalian, saya ada urusan sebentar.”“Alhamdulillah, makasih Kang,” ucap penjual itu, kulirik sekilas dia begitu bahagia hanya karena kembalian 30 ribu yang tak kuminta.“Mana Zifia Han, Kamu tinggalkan dia di rumah?” tanyaku sinis.“Maaf Bang ini cuman salah paham di-dia sekertarisku.”“Sekertaris kamu bilang? Mau dia siapa mu aku tak peduli, kenapa pakai suap-suapan segala? Keluar kamu!” Reihan tampak gugup tapi dia keluar juga, sedang perempuan yang bersamanya tampak gemetar ketakutan, tapi dia tetap duduk di sana.“Zifia lagi hamil kamu malah selingkuh, otakmu
PoV NisaSaat kita hidup sederhana di rumah kecil yang halaman depannya mengarah pada pesawahan. Kita sering makan di gubuk tengah sawah, meski lauk pauknya sederhana hanya tempe goreng dan ikan asin. Aku merasa sangat bahagia, perlakuanmu saat itu begitu manis. Terlebih ketika kamu menyuapiku sembari mengucapkan janjimu.“Setelah kita sukses nanti, kita akan kembali ke tempat ini, menyuapimu lagi seperti ini, tapi tentunya bukan dengan ikan asin, ikan gurami mungkin.” Lelakiku itu tertawa kecil. Aku tak bisa ikut tertawa waktu itu, malah menangis terisak. Hidup kami pas-pasan sekali, tapi entah kenapa rasanya lebih bahagia saat kami lebih sering kekurangan dibanding sekarang serba berlebihan tapi tak ada lagi cinta di dalamnya. Dia mengusap pipiku pelan-pelan.“Jangan nangis,” ucapnya lembut. Dia mengangkat lenganku, lalu menempelkan telapak tanganku di kepalanya. Bang Irwan mengangkat tanganya dan menaruhnya
PoV IrwanSejenak keheningan tercipta, netranya menatapku dalam diam.“Kamu ragu?” tanyaku kembali. Dia kembali mengangguk, seketika ada perasaan bahagia yang mulai mendesir ke dalam hati, meski belum yakin sepenuhnya. Aku telah berhasil membuat dinding keyakinannya mulai goyah. Tinggal sedikit lagi untuk membuatnya roboh.“Ayo pergi Bang, kita jalan lagi. Reina Raina, sudah habis ‘kan? Kita ke sana liat air mancurnya.”“Ayo, Mah.” Kedua anak kecil itu bersemangat sekali. Mereka menggandeng tangan papahnya dengan erat. Bang Irwan menatapku sambil tersenyum, baru tadi pagi dia memohon agar mau diimami salat subuh, sekarang mereka telah lupa dengan kesalahan Papahnya. Anak-anak memang mudah sekali berubah. Andai saja kamu juga seperti itu Bang.“Pah lihat deh ke sana, ada gelembung.”“Raina mau?” tanyaku.
“Aku kan udah bilang Abang gak perlu lakuin ini! Kenapa Abang malah nekat? Sekarang aku sama siapa? Aku bener-bener sendirian.”Samar-samar kudengar suara perempuan terus mengoceh. Sepertinya letaknya tak jauh, tetapi karena telingaku yang sedikit berdengung jadi membuyarkan segalanya. Benarkah kamu takut kehilanganku, Sa? Sebagai apa, papahnya anak-anak atau suamimu? Aku masih berusaha membuka mata yang asih terasa berat sedang wanita di sampingku masih saja terus menangisi diriku, ah dia pikir aku selemah itu, hanya donor darah saja akan membuatku kehilangan nyawa.Rendah sekali penilaianmu padaku Nisa!“Abang jahat tahu gak, di saat aku benar-benar ingin...hiks hiks hiks.”Akhirnya aku berhasil membuka mataku pelan-pelan, bisa kulihat dengan jelas kalau wanita itu benar-benar Nisa, dia tengah duduk di sampingku sembari menunduk ke dekat lenganku.Kuusap pucuk kepalanya den
Baru saja kaki ini melangkah beberapa kali, tiba-tiba sosok laki-laki dengan perawakan tinggi datang mendekat ke arah Nisa, dari kejauhan bisa kulihat laki-laki itu seolah tengah memberi kekuatan pada Nisa. Entah apa yang mereka bicarakan terlalu sakit untuk mendekat bahkan jika itu hanya satu langkah.Kau tak butuh aku kah Nisa? Jika memang kamu bahagia bersama dia, aku ikhlas!“Bang Irwan, tunggu!” Baru saja kuputar tubuh ini untuk kembali ke mobil. Suara perempuan yang amat akrab di telinga, malah berteriak memanggilku. Gegas kuputar kembali badanku menghadap ke arah sumber suara.“Abang!” Kenapa, ada apa sebenarnya mata Nisa mengembun, lalu tak lama dia malah berlari ke arahku.“NISA!” Hampir saja dia tertabrak motor yang melintas dengan cepat.Bukannya segera menghindar Nisa malah tetap berdiri mematung di tengah jalan. Dia ini kenapa, raut wajahnya kenapa begitu frustasi? Bahunya bahkan sampai naik turun. Pengend
Sejenak kami menikmati saat kedua mata itu saling menatap. Kami sama-sama rindu, tetapi kenapa rasanya sulit sekali bersatu. Aku tahu bukankah kamu juga rindu Sa, dari sorot mata aku bisa tahu ada kerinduaan yang mendalam.Kenapa malah memilih jalan yang sulit, kalau kita bisa kembali? Masih ada waktu sebelum sidang keputusan itu di gelar seminggu lagi.“Masih ada waktu Sa, pikirikan semuanya baik-baik! Datang ke persidangan sekali saja, aku pamit. Jaga kesehatan ya!” ucapku.“Boleh kucium keningmu sekali Sa ....”“Enggak, berhenti jadi orang yang enggak tahu diri!”“Kenapa memangnya? Aku bakal lakuin apa pun selagi itu bisa membuatmu kembali.”“Anda pikir saya akan luluh dengan semua perlakuan anda, enggak semudah itu.”“Mudah, selama masih ada cinta di hatimu, aku gak akan menyerah.”“Terserah, hiduplah semau Anda!”Nisa pun pergi meneruskan langkahnya yang sempat t
“Bangun!” Suara lembut Nisa membangunkan tidurku, bisa-bisanya aku tidur di sini“Anda mau bangun atau mau saya panggilkan satpam?”“Astaghfirrullah Sa, kamu kok jadi kejam begini?”“Kenapa memangnya? Ini rumah saya, saya berhak menentukan siapa yang boleh masuk,” ucapnya.Aku tahu Sa, kamu hanya sedang berpura-pura kejam. Lihatlah dirimu! Kau bahkan tak berani menatap wajahku, kalau memang benar-benar membenci harusnya kau melihat ke arah mataku memandang, agar aku tahu dengan jelas kalau kamu tengah menantang. Kalau begini, kamu hanya membuatku gemas saja Nisa. Kamu tak cocok berperan jadi wanita jahat.“Kenapa Anda tersenyum?”“Kamu lebih cocok akting jadi bidadari." Dia sedikit mendecak, lalu tak lama mengerlingkan matanya malas, tangannya kini mulai bergerak membuka gembok.“Mau ke mana?” tanyaku.“Macul!”“Hahhaha." Dari sekian banyak kata kenapa juga dia harus
Kata-katanya itu, yang dia ucapkan barusan kenapa begitu menusuk, kalau kamu bisa mempercayaiku sedalam itu lalu kenapa kamu malah jatuh cinta lagi pada wanita lain.“Benar kan kamu yang menyuruhnya ke sini!”Ah perasaan ini kenapa juga mataku tiba-tiba menghangat, kubanting daun pintu dengan keras, menutupnya tanpa peduli dia masih berdiri di luar sana.Tapi tangan Bang Irwan secepat kilat menahan agar pintu itu tak cepat tertutup.“Pergi saya bilang! Anda gak mengerti bahasa manusia! Kalau saya bilang pergi ya pergi!”“Saya akan pergi, kalau kamu berhenti berpura-pura, untuk apa merendahkan dirimu demi membuatku cemburu Nisa?”“Iti hakku! Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!”“Cukup Nisa!” Bang Irwan menarik tubuh ini, menenggelamkan pada dada bidang miliknya.“Mau sampai kapan
Luka ini belum pulih seutuhnya, tapi kamu malah hadir membawa belati, menusuknya semakin dalam, mengoyak hingga perih kembali mendera.~~Aku menyerah pada takdir, kalau hanya aku yang berjuang bagaimana bisa rumah yang tiang-tiangnya sudah rapuh di makan usia tetap kokoh berdiri. Apalagi yang kamu lakukan dengan sengaja merobohkan satu persatu tiang itu tanpa kenal ampun pada akhirnya rumah itu akan runtuh, tinggal menunggu waktu. Terlalu banyak kata maaf yang terucap. Sejenak biarkan aku menyendiri, merenungi nasib diri yang juga berhak bahagia. Tak ada pernikahan yang sempurna, akan datang masa di mana kesakitan menyelimuti hari. Memang menyesakkan, tetapi selagi raga mampu di gerakkan maka kehidupan akan terus berjalan.Aku pernah meyakini, ini hanya tentang ujian, bukan akhir sebuah ikatan suci. Sekali lagi, pasti bisa di perbaiki tentu saja harus bisa di kembalikan seperti semula. Kuulangi kalimat itu setiap hari, jam , hingga waktu
“Mana ada Sa, sampai mati pun kamu akan tetap jadi istriku.”Begitu mendengarnya Nisa malah duduk di trotoar menghadap pada tanah lapang yang ditumbuhi semak belukar, hujan yang terus mengguyur kotaku akhir-akhir ini, membuat tanaman-tanaman liar ini tumbuh lebih cepat, padahal biasanya di musim kemarau tempat ini begitu gersang.“Aku udah gak mau, terlalu sakit Bang, buat hidup sama-sama lagi kayak dulu.” Nisa membuka suara lagi, netranya mulai mengembun.“Percaya sama Abang Sa, kali ini Abang janji gak akan pernah lagi nemuin Santi, apa pun alasannya,”“Terus yang di rumah sakit itu apa? Abang bilang mau melupakan Santi, tapi kenyataannya? Di saat aku percaya kalau Abang udah berubah, malah Abang....”Nisa terlihat menghirup nafas sejenak, lalu bibirnya sedikit bergertar, seolah yang dia katakan sangat menyakitkan.“Malah apa?&
Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu Sa, dulu memang kita hampir tak pernah sejalan, masih teringat dengan jelas saat kamu sering kali mengalah mengikuti kemauanku meski itu bertentangan dengan dirimu, seperti saat kamu tak ingin menunda kehamilan dengan mengikuti program keluaganya berencana, kamu menurut saja saat kubilang aku tak ingin punya anak dulu sebelum kehidupan kita membaik.Tuhan ternyata mendengar doaku, Dia mengabulkannya 11 tahun penantian, setelah kami punya segalanya, Tuhan baru berkenan menitipkan amanahnya pada kami, Raina dan Reina. Ucapan itu mampu menjadi penentu takdir kehidupan, di masa depan.~~“Gak akan ada kata pisah di antara kita Sa,” ucapku.Nisa tak menjawab, hanya menatapku datar tanpa ekspresi.“Ayo bangun kita salat subuh, abis itu lari pagi!” Kutarik lengannya agar dia segera bangkit dari tempat tidur.“Lari pagi? Enggak ah Abang aja.&
Aku sengaja berdehem, hingga membuatnya sedikit gelagapan, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Abang sejak kapan di sini? Maaf ya Adek gak denger Abang masuk ini, sebentar ya.” Nisa langsung bangkit dari tempatnya mengambil tas kerjaku meletakkannya di ruang kerjaku.Penasaran dengan apa yang membuat Nisa sefokus itu, kubuka laptopnya, rupanya di sedang menulis sesuatu, seperti sebuah cerita, tapi rasanya ini bukan sebuah diari lebih seperti novel romans, dia menulis kah?“Abang kopinya?” Secangkir kopi panas dia suguhkan di atas meja ruang tamu tepat di hadapanku.“Kamu nulis apa? Novel?”“Ya Bang, iseng aja, Abang baca ya? Aku jadi malu.” Nisa malah salah tingkah, dia benar-benar terlihat malu, sedang aku hanya tersenyum kecut menatap datar wajahnya yang malu-malu.“Kenapa? Abang gak suka?”