“Ma ... sebenarnya ada yang mau Laras minta sama Mama. Tapi, takut Mama enggak izinin.”Aku penasaran dengan apa yang akan putriku katakan, masih menunggunya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya dia maksud.“Mama keberatan enggak kalau Ana dan adiknya tinggal di sini? Lagi pula, kita kan dikasih rezeki yang bagus, Ma sama Allah. Laras rela kalau setiap hari enggak dikasih uang jajan, asalkan Ana dan adiknya bisa tinggal sama aku di sini.”Aku paham maksud Laras. Ternyata, rasa empati dalam diri putriku sangat tinggi. Sebagai seorang ibu, tentu saja aku bangga melihat perubahan sikapnya yang menjadi positif, tadinya Laras manja menjadi sangat peduli terhadap sesama. Aku mengangguk dengan lembut dan mengusap pipi putriku yang terus saja berterima kasih dengan mata berkaca-kaca tanda haru.“Ana siapa, sih? Kok aku enggak tahu?”Kini Nana malah kepo siapa Ana yang dimaksud Laras. Pelan-pelan putriku menceritakan pengalamannya sampai bisa bertemu dengan seorang bocah kecil yatim piatu
Aku langsung memangku bocah balita tersebut, dan menghujaninya dengan pelukan dan ciuman di pipi. Sungguh gemas, melihat pipinya yang semakin lama kian gembul.Ya, siapa lagi kalau bukan putra dari Mas Egi. Hanya dia satu-satunya yang memanggilku Mama selain Laras.Beberapa bulan kami tak bertemu, ternyata membuat Fian semakin menggemaskan.“Fian sama siapa datang ke sini?” tanyaku dan dia hanya menjawab dengan cara mengarahkan telunjuknya saja ke arah ruang tamu.“Sama Oma?” tanyaku kembali, tetapi dia hanya menggeleng.“Terus sama siapa, dong?”“Papa ....” jawab Fiandra dengan aksen cadelnya. Aku tak percaya Mas Egi datang ke sini. Pasalnya, menurut Tante Ambar, sepupuku itu sedang ditugaskan di luar kota sementara. Akan tetapi, kenapa dia sudah ada di kota ini? Apakah pekerjaannya telah selesai?“Mas Egi udah balik lagi ke kota ini?” semburku dengan pertanyaan begitu sampai di ruang tamu.“Astagfirullah, Ras. Aku sampai kaget kamu datang tiba-tiba begitu.”Aku meringis ketika meli
“Ras. Apa kamu ada keinginan untuk menikah kembali?”“Maksud Mas Egi apa?”“Ya enggak apa-apa. Mas kan mau tahu aja. Kalau ada pria yang melamarmu untuk jadi suami dan ayah dari anakmu apa kamu mau terima apa enggak?” tanya Mas Egi membuatku terkekeh.“Siapa yang mau sama wanita tua seperti aku, Mas. Umurku saja sudah hampir kepala empat. Lagi pula, menikah tak sesederhana yang dipikirkan. Setelah kegagalanku bersama Mas Ezran. Entahlah, aku bisa menerima laki-laki untuk jadi suami atau tidak. Yang kupikirkan sekarang hanya ingin fokus sama masa depan Laras,” balasku panjang lebar.Mas Egi mengembuskan napas berat. Aku merasa ada kekecewaan di helaan napasnya. Ada apa dengan Mas Egi?“Harusnya, Mas Egi aja yang cari istri dan Ibu buat Fiandra. Lagian, sampai kapan Mas akan melajang. Apa enggak mau setiap pagi ada yang siapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerja, mengurus rumah, bantu Mas Egi didik Fian dan nemenin di tempat tidur,” godaku dengan alis naik turun.“Kau ini. Malah membalik
Pasalnya, aku tak ingin memberikan harapan yang akan membuat Mas Egi kecewa. Kuharap, penolakan ini takkan membuat hubungan kami merenggang.“Mas. Aku minta maaf ....”Aku menyesal kenapa kami harus berada di situasi tak nyaman seperti ini. Tatapan Mas Egi kembali meredup. Aku tak enak telah mematahkan harapannya.“Maaf ....”Kata maaf terus saja aku lontarkan. Namun, reaksi Mas Egi membuat diri ini mengerutkan dahi. Ia tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata dari sudut matanya.“Jangan tegang begitu. Aku hanya bercanda barusan. Sudah kutebak, kamu pasti akan menolakku. Tapi, aku suka melihat ekspresi wajahmu yang terlihat syok begini. Itu lucu sekali. Jadi ingat masa-masa muda dulu saat aku kita masih remaja. Kamu sering kujahili dengan pura-pura kesakitan hanya karena kamu dorong. Ya, seperti sekarang kamu bikin aku pengen ketawa.”Aku syok bukan main mendengar pengakuan Mas Egi yang hanya menjahiliku. Bagaimana aku bisa lupa kalau sepupuku itu luar biasa usil, dan kali
POV Ezran“Kamu enggak bisa perlakuan aku kek gini, Mas. Memangnya kau siapa hah?” teriak Sinta mulai meradang di kantor polisi ini. Ia tak terima aku sudah melaporkan dia dan hendak menjebloskan dirinya ke penjara atas sesuatu yang telah dia lakukan terhadap Rasti beberapa hari yang lalu.“Memangnya mau kamu bagaimana? Aku harus diam saja ketika anak, mantan istri dan adikku terancam gara-gara kau? Tidak akan pernah kubiarkan kau berbuat seenaknya lagi! Aku sudah cukup mengikuti segala permainanmu! Aku muak!” tekanku dengan nada sedingin mungkin.Ya, aku sudah muak berpura-pura bahagia hidup bersama Sinta dan mengikuti segala perintah wanita ini. Diriku memang pernah tertarik dengannya dan sampai bermain hati di belakang Rasti dulu. Namun, ketika sadar dan mencoba mengakhiri hubungan kami. Sesuatu telah terjadi serta terpaksa membuatku tetap bertahan untuk menjadi kekasih Sinta.“Ah. Kau sudah bosan hidup damai rupanya. Kau tahu, Mas. Mantan suamiku takkan pernah membiarkan kamu hidu
Di hadapan orang-orang, aku sungguh terpaksa untuk membentak Rasti dan Laras. Pun, menghunjamkan kata-kata menyakitkan sesuai keinginan Sinta. Berat, sungguh-sungguh berat ketika aku harus melakukan sandiwara yang begitu menyesakkan dada.Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti wanita-wanita yang kusayangi. Meski nurani memberontak, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.Jika kalian mengatakan aku bodoh! Ya, dengan tegas aku memang seperti itu. Kenapa aku tak melawan wanita seperti Sinta dan memperbaiki keadaan serta berterus-terang terhadap Rasti?Sudah kulakukan cara agar bisa terbebas dari belenggunya dan mencoba memperbaiki semua. Ingin kukatakan kepada Rasti kalau aku masih sangat mencintainya, pun untuk Laras kalau ayahnya ini sungguh merindukan dia.Namun, ini tak sesederhana itu. Sinta ternyata kuketahui memiliki dukungan seseorang di belakangnya yang saat itu aku tak tahu siapa. Yang pasti bukan orang biasa dan memiliki kekuasaan. Setiap aku akan berbuat sesuatu, wanita itu pasti
Karta berkata jika Mas Ezran datang ke rumah ini. Akan tetapi, aku tak menemukannya di mana pun. Aneh sekali. Ke mana mantan suamiku itu pergi?Aku segera berlari ke depan rumah, benar saja mobil Mas Ezran terparkir tak jauh dari rumah ini. Kulihat juga seorang pria hendak masuk ke dalam mobil tersebut.“Mas ...,” teriakku memanggil. Mas Ezran menoleh dan menghentikan gerakannya.“Karta bilang Mas Ezran datang, tapi pas kulihat enggak ada. Kenapa Mas Ezran pergi?” cecarku saat telah berdiri di hadapannya.“Tidak apa-apa, Ras. Hmm ... aku hanya takut kedatanganku mengganggu kesenangan kalian saja. Makanya aku mengurungkan diri untuk menemui kalian,” jawabnya. “Oh enggak apa-apa, Mas. Enggak ganggu kok. Kebetulan Tante Ambar dan Mas Egi sedang berkunjung ke sini. Kalau Mas Ezran mau ikutan silakan. Laras pasti senang Mas datang,” cakapku. Mantan suamiku tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya.“Aku ke sini untuk bertemu kamu, Ras,” gumam Mas Ezran dengan lirih. Terdengar pelan diteling
Mungkin saja karena sepupuku itu tak suka kepada Mas Ezran karena mengingat pengkhianatannya padaku dulu. Ya, bisa jadi.“Ya sudah, Ras. Mas pulang dulu. Nitip salam untuk Laras dan semua orang.”Aku mengangguk. Mas Ezran langsung memasuki mobilnya dan melajukan kendaraan tersebut meninggalkan rumah ini. “Apa kamu masih punya perasaan sama mantan suami kamu, Ras?” tanya Mas Egi menyusulku masuk ke dalam rumah.Aku menoleh sambil menaikkan alis sebelah.“Kenapa Mas Egi bertanya seperti itu?”“Ya tanya aja, Ras. Kulihat si Ezran itu sepertinya masih mengharapkan kembali sama kamu. Dari cara dia menatap itu beda.”Aku terkekeh mendengar ucapan Mas Egi. Lalu, menggeleng beberapa kali sambil tak bisa menyembunyikan tawa geli.“Dia masih punya istri, Mas. Sinta masih menjadi istrinya meski katanya sudah dilaporkan ke kantor polisi.”“Kalau dia sudah bercerai dengan Sinta, apa kamu bersedia kalau dia minta rujuk lagi?” Pertanyaan apa itu? Aku sama sekali tak berpikiran sampai ke sana. Aku
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah