Di hadapan orang-orang, aku sungguh terpaksa untuk membentak Rasti dan Laras. Pun, menghunjamkan kata-kata menyakitkan sesuai keinginan Sinta. Berat, sungguh-sungguh berat ketika aku harus melakukan sandiwara yang begitu menyesakkan dada.Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti wanita-wanita yang kusayangi. Meski nurani memberontak, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa.Jika kalian mengatakan aku bodoh! Ya, dengan tegas aku memang seperti itu. Kenapa aku tak melawan wanita seperti Sinta dan memperbaiki keadaan serta berterus-terang terhadap Rasti?Sudah kulakukan cara agar bisa terbebas dari belenggunya dan mencoba memperbaiki semua. Ingin kukatakan kepada Rasti kalau aku masih sangat mencintainya, pun untuk Laras kalau ayahnya ini sungguh merindukan dia.Namun, ini tak sesederhana itu. Sinta ternyata kuketahui memiliki dukungan seseorang di belakangnya yang saat itu aku tak tahu siapa. Yang pasti bukan orang biasa dan memiliki kekuasaan. Setiap aku akan berbuat sesuatu, wanita itu pasti
Karta berkata jika Mas Ezran datang ke rumah ini. Akan tetapi, aku tak menemukannya di mana pun. Aneh sekali. Ke mana mantan suamiku itu pergi?Aku segera berlari ke depan rumah, benar saja mobil Mas Ezran terparkir tak jauh dari rumah ini. Kulihat juga seorang pria hendak masuk ke dalam mobil tersebut.“Mas ...,” teriakku memanggil. Mas Ezran menoleh dan menghentikan gerakannya.“Karta bilang Mas Ezran datang, tapi pas kulihat enggak ada. Kenapa Mas Ezran pergi?” cecarku saat telah berdiri di hadapannya.“Tidak apa-apa, Ras. Hmm ... aku hanya takut kedatanganku mengganggu kesenangan kalian saja. Makanya aku mengurungkan diri untuk menemui kalian,” jawabnya. “Oh enggak apa-apa, Mas. Enggak ganggu kok. Kebetulan Tante Ambar dan Mas Egi sedang berkunjung ke sini. Kalau Mas Ezran mau ikutan silakan. Laras pasti senang Mas datang,” cakapku. Mantan suamiku tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya.“Aku ke sini untuk bertemu kamu, Ras,” gumam Mas Ezran dengan lirih. Terdengar pelan diteling
Mungkin saja karena sepupuku itu tak suka kepada Mas Ezran karena mengingat pengkhianatannya padaku dulu. Ya, bisa jadi.“Ya sudah, Ras. Mas pulang dulu. Nitip salam untuk Laras dan semua orang.”Aku mengangguk. Mas Ezran langsung memasuki mobilnya dan melajukan kendaraan tersebut meninggalkan rumah ini. “Apa kamu masih punya perasaan sama mantan suami kamu, Ras?” tanya Mas Egi menyusulku masuk ke dalam rumah.Aku menoleh sambil menaikkan alis sebelah.“Kenapa Mas Egi bertanya seperti itu?”“Ya tanya aja, Ras. Kulihat si Ezran itu sepertinya masih mengharapkan kembali sama kamu. Dari cara dia menatap itu beda.”Aku terkekeh mendengar ucapan Mas Egi. Lalu, menggeleng beberapa kali sambil tak bisa menyembunyikan tawa geli.“Dia masih punya istri, Mas. Sinta masih menjadi istrinya meski katanya sudah dilaporkan ke kantor polisi.”“Kalau dia sudah bercerai dengan Sinta, apa kamu bersedia kalau dia minta rujuk lagi?” Pertanyaan apa itu? Aku sama sekali tak berpikiran sampai ke sana. Aku
“Ana?” pekik Laras langsung menghampiri anak tersebut disusul olehku.“Fadil kenapa?”“Fadil sakit, Kak. Badannya panas banget. Tapi Ana enggak punya uang buat bawa dia ke dokter. Hari ini Ana enggak jualan soalnya kemarin aja dagangan sisa banyak. Makanya, belum dikasih izin jualan lagi,” papar bocah tersebut membuatku tak kuasa menahan pilu. Ya Allah. Kasihan sekali kedua anak ini. Bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup berdua dalam garis kemiskinan begini? Sebagai seorang ibu, hatiku kembali terenyuh. Perih, melihat anak sekecil ini harus berjuang sendiri tanpa Keluarganya satu pun.“Kita bawa ke rumah sakit, ya. Biar Fadil bisa diobati sama dokter,” ajakku langsung memangku tubuh kecil balita laki-laki tersebut yang masih saja kejang-kejang.Saat tanganku tak sengaja menyentuh kulitnya, ternyata suhu tubuh balita ini sungguh panas. Ana menatapku bimbang, sepertinya anak itu bingung sebenarnya siapa aku?“Tenang saja, Na. Ini Mama kakak yang kemarin kakak ceritakan,” ujar La
“Ana suka salat enggak?”Anak itu mengangguk, membuatku mengelus puncak kepalanya dengan lembut.“Berdoa sama Allah, ya. Biar adik Fadil cepat sembuh kembali,” sambungku. Laras yang bersebelahan dengan Ana langsung mengiyakan ucapanku. Dia mengajak Ana untuk pergi ke Musala untuk salat dhuhur bersama dan berdoa untuk kesembuhan sang adik.Kebetulan, aku memang sudah melaksanakannya tadi sebelum menjemput Laras.Gadis kecil itu antusias mendengar ajakan Laras, membuatku tersenyum sekaligus sedih mengingat Fadil masih dalam kondisi yang belum stabil. Ya Allah, sembuhkanlah bocah balita tersebut. Setelah, sembuh aku berniat untuk mengadopsi mereka dan menjadikan keduanya anak angkatku, sehingga aku yakin rumah akan semakin ramai setelah kehadiran mereka.**“Sayang. Habis ini kamu ajak Ana pulang ke rumah, ya. Sebentar lagi hari mulai sore,” perintahku membuat Laras mengangguk.Saat ini, kami tengah makan sesuatu di kantin rumah sakit untuk sekedar mengisi perut karena seharian belum m
“Assalamualaikum.”“Waalaikumsallam.”Aku menoleh ke arah pintu masuk. Melirik ke asal suara pria yang datang barusan. Terlihat Mas Egi datang menghampiri dengan tersenyum. Tak lupa, sebuah kantong keresek penuh sudah dijinjing di tangan kanannya.Aku sudah dapat menebak apa yang ada di dalam plastik putih transparan tersebut.“Lho, Mas. Kenapa masih berseragam?” tanyaku heran dengan penampilannya yang masih memakai seragam polisi.“Tadi, ada sebuah kasus yang harus kutangani, Ras. Kebetulan, tak jauh dari sekolah SMA kita dulu. Pas pulang, tidak sengaja lewat sana dan teringat nasi pecel kesukaan kamu. Jadinya, mampir dulu dan langsung berkunjung ke sini,” jawab Mas Egi.Pria yang masih terlihat tegap meski telah memasuki usia kepala empat itu menyodorkan plastik di tangannya kepadaku.“Duduk dulu, Mas,” titahku mempersilahkan sepupuku tersebut duduk di sofa yang tersedia.Mas Egi mengangguk, lalu dia menghempaskan bobot tubuhnya dan duduk bersandar terlihat kelelahan sangat kentara
“Ras. Kapan anak balita ini pulang? Oh iya, Laras di rumah sama siapa? Kenapa enggak bilang kalau lagi jaga di rumah sakit. Kalau seperti itu kan Mama bisa menemani Laras di rumah.”“Fadil besok pagi sudah boleh pulang, Mas. Kalau Laras di rumah sama Kiki dan Ana juga. Kakak dari anak kecil ini. Maaf, Mas. Enggak ngabarin. Tapi, bukan apa-apa. Aku hanya tidak mau merepotkan Tante Ambar. Lagian, harus mengurus Fiandra juga. Jadi, aku tahu Tante juga pasti sibuk.”Mas Egi menghela napas panjang lalu matanya menatapku.“Kamu itu selalu begitu. Seperti sama siapa saja. Kita kan masih keluarga. Jadi, Mama juga pasti takkan merasa direpotkan kalau kamu minta bantuan sesuatu. Malahan beliau pasti akan senang. Masalah Fiandra, justru dia akan senang kalau bisa kumpul sama Laras. Di rumah tak punya teman bermain.”Ya, putra semata wayangnya Mas Egi memang hanya bermain sendirian di rumah. Apalagi, tinggal di kompleks perumahan yang tertutup dan rata-rata para penghuninya jarang sekali ke luar
“Ma, apa Mama enggak kepikiran buat nikah lagi?” tanya Laras ketika dia tengah berada di kamarku ini. Katanya, malam ini, Laras ingin tidur berdua denganku saja. Sudah lama sekali memang kami tak pernah lagi sekasur bersama. Terakhir kali, dulu saat Mas Ezran masih ada dengan kami. Ketika rumah tangga kami baik-baik saja.“Kok kamu nanya itu? Tumben?”“Ya enggak apa-apa. Aku hanya kasihan lihat Mama kesepian seperti sekarang. Biasanya, kan. Mama tidur juga suka ada yang nemenin, ada yang ngelindungin kita terutama Mama dan manjain Mama juga,” papar Laras membuatku menoleh dengan heran.Dari mana putriku bisa paham tentang itu semua?“Kok kamu bahas itu? Memangnya kamu ngerti itu semua?”Aku bertanya dengan mata yang menyipit. Sekaligus penasaran apa yang akan menjadi jawabannya.“Ya ngerti lah, Ma. Laras kan udah gede. Laras juga tahu Mama butuh pendamping lain pengganti Ayah. Laras dukung kok kalau Mama nikah lagi.”Lagi-lagi ucapannya membuatku terkejut. Bagaimana aku lupa, putriku
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah