“Tidak, Na. Kalian semua tak memiliki salah apa pun. Jangan pula berpikir yang enggak-enggak. Itu buat Kakak sedih. Meskipun, hubungan kita hanya sebatas menantu dan ipar, tetapi Kakak bersyukur dengan menikah dengan Mas Ezran, Kakak bisa mengenal kalian. Kakak sudah menganggap Mama dan Papa orang tua kandung sendiri pun juga kamu, Na.”Nana memelukku dengan erat, bahunya mulai bergetar. Aku tahu, dia pasti sedih dengan perpisahanku dengan Mas Ezran. Nana memang paling akrab denganku dari pada saudara lainnya. Tak kuasa, air mataku pun mulai merebak. Kami sama-sama terisak. Bukan karena sedih dan menyesal telah berpisah dengan Ayah Laras. Namun, aku hanya terharu dengan dukungan yang keluarga mantan mertua berikan.**Selama tiga hari, Nana menginap di rumahku. Sebelum lusa kembali lagi ke Singapura karena pekerjaannya sebagai dosen di sana. Dia hanya diberikan izin cuti selama satu Minggu. Karena otak cerdasnya serta lulusan terbaik, setelah lulus S3 akhirnya Nana bisa mendapatkan
POV Ezran“Bang. Aku enggak terima, ya, kalau Abang lebih pilih cerai sama Kak Rasti demi seorang pelakor. Kurang Kak Rasti itu apa sih? Apalagi, kalian udah punya Laras. Apa Abang enggak kasihan lihat Laras sakit hati?” cecar Nana, adik kandungku yang katanya baru beberapa hari di Indonesia. Kami berdua bertemu di salah satu restoran milikku.Aku menganjurkan napas. Akan sulit sekali memberikan adikku pengertian. Dia pasti terus saja menyalahkanku tentang masalah ini. Nana memang begitu, lebih dekat dengan kakak iparnya. Bukan. Lebih tepatnya mantan kakak ipar, dibandingkan dengan aku, kakak kandungnya sendiri. Apalagi, Mama dan Papa, mereka lebih menyayangi Rasti dibandingkan kepadaku.“Kamu enggak bakalan ngerti, Na. Ini masalah hati. Abang tak bisa kehilangan Sinta,” pungkasku.“Lalu, Kak Rasti? Sampai tega Abang berani kehilangannya? Apa Abang tak mencintainya lagi? Dia istri yang sudah bertahun-tahun menemani Bang Ezran dari nol. Apa Abang lupa bagaimana dia berjuang meyakinkan
Panggilan pun dimatikan secara sepihak. Aku yang tak tenang terus saja mondar-mandir gelisah tak menentu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadap Mama? Salahku memang, harusnya diri ini lebih bersabar untuk meyakinkan Mama dan Papa untuk menerima Sinta. Kucoba untuk menghubungi Papa kembali. Namun, ponselnya sudah tak aktif lagi semakin menambah rasa khawatir di dada ini. Kemudian, teringat kepada Mbok Surti, asisten rumah tangga keluargaku yang sengaja diajak dari Indonesia. Kucoba untuk melakukan panggilan kepadanya, dan yang membuatku lega, telepon dariku akhirnya diangkat juga setelah beberapa kali panggilan tak terjawab.“Halo, Den.”“Halo, Mbok. Lama banget angkat teleponnya?” ketuaku karena sedikit kesal.“Maaf, Den. Si Mbok lagi nganter Nyonya sama Tuan besar naik taksi. Nyonya tadi sesak napas. Jadi, Tuan bawa nyonya ke Rumah Sakit dulu. Ini lagi di jalan, Den.” Ucapan Mbok Surti semakin membuatku gelisah. “Mbok. Sini ponselnya. Dasar memang anak kurang aj*r. Masih berani
“Ada angin apa kamu ke sini? Berani-beraninya seorang pelakor sepertimu datang menemuiku,” sembur Nana dengan lantang menghampiri Sinta.Istri baru Mas Ezran tersebut hanya terkekeh serta melirikku sinis.“Inikah cara kalian menerima tamu di rumah ini? Sungguh tak sopan. Bukannya menyambut, datang-datang langsung menghina orang.”“Dan kamu, Ras. Ternyata benar, kamu yang sudah mempengaruhi adik Mas Ezran untuk tidak menerimaku sebagai kakak ipar. Harusnya, kamu ikhlas. Karena suamiku lebih memilihku dari pada kamu,” ketusnya membuat mataku terbelalak.Bagaimana Sinta berpikiran picik seperti ini? Seolah dirinya tak mengenaliku saja selama ini. Padahal, semua sifatku dia tahu sepenuhnya. Persahabatan kami yang panjang harusnya membuat Sinta memahami diriku.Namun, apa yang kudengar darinya sekarang? Sinta menyalahkanku atas penolakan Nana dan orang tuanya? Bahkan, tak ada sedikit pun aku berpikiran kotor seperti yang Sinta tuduhkan kepadaku. Bukankah harusnya aku yang marah kepadanya?
“Bukankah itu kenyataannya?” sergah Sinta tak mau kalah berdebat.“Tunggu, Sin. Apa maksudmu berkata seperti itu? Bahkan, Mas Ezran sendiri yang menyerahkan segalanya kepada kami. Bukan salahku jika suamimu itu lebih memilih mengambil harta dengan bagian yang kecil. Lagi pula, Sin. Mas Ezran memberi Laras nafkah tiap bulan itu bagian dari kewajibannya sekarang. Meskipun, kami sudah bercerai sekali pun, Laras tetap lah putrinya. Tanggung jawabnya sebagai Ayah memberikan nafkah untuk memenuhi kebutuhan putrinya sendiri.”“Halah. Kamu pun make duit itu, kan? Harusnya kamu jangan merongrong Mas Ezran lagi. Sekarang, semuanya adalah milikku. Kamu sudah tak berhak lagi mendapatkannya.”Sinta terus saja menghinaku. Ia terus saja menodongkan tuduhan yang sama sekali tak beralasan. Perdebatan antara Nana dan kakak ipar barunya tersebut tak terelakkan. Sama-sama tak mau mengalah dan terus saja beradu mulut pedas. Bahkan, sumpah serapah terus saja Sinta ucapkan kepadaku dan Nana.Kenapa dengan S
“Kalian obrak Abrik rumah ini dan seret mereka keluar. Rumah ini, hanya Mas Ezran yang berhak mendapatkannya,” titah istri baru Mas Ezran tersebut. Wanita yang sama sekali sudah tak kukenal. Aku tak menyangka dia bisa sekejam ini kepada aku dan Laras. Dendam apakah yang membuatnya seperti membenciku dengan dalam?Para preman itu melangkah maju. Namun, aku pun menghadang mereka berdua, pun Kiki melakukan hal yang sama denganku. Kami berdua merentangkan tangan bersama-sama.“Jangan macam-macam di rumahku. Kalau tidak, kalian akan kulaporkan ke kantor polisi!” pekikku tak terima dengan perlakuan mereka.“Bener, Nya. Jangan biarin mereka sewenang-wenang begini. Apalagi, Mas Karta juga sudah jadi korbannya. Nyonya akan lebih gampang buat membuat laporan karena ada bukti,” dukung Kiki di sebelahku. Asisten rumah tanggaku itu sama kesalnya denganku. Benar juga yang Kiki katakan. Aku harus melaporkan segala perbuatan kriminal Sinta ke kantor polisi. Kalau tidak, mereka akan berbuat semena-m
“Sinta. Apa-apaan kau ini!” Mas Ezran datang sambil berteriak memanggil istri barunya. Ia memandang nyalang dan sangat tajam menusuk, seolah ingin menelan Sinta dengan bulat-bulat.“M-mas E-Ezran ...,” gumam Sinta terdengar lirih.Wajahnya berubah menjadi melunak melihat mantan suamiku, dengan mimik yang dibuat-buat seolah tertindas.“Mas. Suruh Rasti melepaskanku. Berani-beraninya dia mengunci tanganku dari belakang begini. Dia sudah menyakitiku, Mas,” panggil Sinta dengan suara mendayu dan dibuat semen derita mungkin. Aku hanya bisa memutar bola mata dengan malas.Inikah sifat Sinta sesungguhnya? Manipulatif dan tukang memutar balikkan fakta yang ada. Mas Ezran menatap ke arahku, mungkin juga melirik ke arah tanganku yang sedang memegang lengan istri tercintanya.Seketika, teringat ucapan Sinta yang menginginkan rumah ini dan mengusir kami dari tempat tinggalku sendiri. “Bohong. Aku melakukannya karena Sinta mau mencelakai Nana pakai Vas bunga di tangannya,” bantahku. Kembali Mas
Mataku mengerjap beberapa kali masih mencoba menormalkan penglihatan. Rasa ngilu dan perih terasa di kepala. Rupanya, kejadian beberapa waktu lalu ternyata benar adanya. Apalagi, ketika kuraba ternyata ada sebuah perban yang menempel di kepala yang tak terbalut kerudung. Aku tak menyangka, Sinta bisa seberingas itu. “Alhamdulillah Mama udah sadar.”Suara lantang Laras terdengar. Benar, putriku satu-satunya itu baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar milikku, lalu dirinya langsung memelukku dengan erat. Kentara sekali kekhawatiran di raut wajahnya untukku.“Bentar, ya, Ma. Laras panggilin Tante Nana dulu, dari tadi Tante khawatir sama Mama,”Laras berteriak dari pintu memanggil mantan adik Iparku. Tak lama, dengan tergesa Nana datang dan langsung memelukku erat. Dia menangis dalam pelukanku seolah aku sedang terluka parah saja.“Jangan cengeng. Kakak enggak apa-apa, kok. Ini hanya luka kecil,” imbuhku.“Idih, Tante Nana nangis. Cengeng kek anak kecil aja,” goda Lara
7 tahun kemudian.“Sayang. Gimana anak-anak? Sudah ngasih tahu kalau mereka sebentar lagi punya adik?” kecup Mas Egi di puncak kepalaku dengan hangat.“Sudah, Mas. Tapi aku cemas. Aku kan sudah enggak muda lagi. Usiaku saja sudah lebih dari kepala empat. Gimana kalau aku tak bisa melahirkan normal?” ujarku sedikit khawatir. Pasalnya, kehamilanku sekarang sungguh tak biasa.Aku malah kebobolan dan hamil di usia pernikahanku yang menginjak tahun ketujuh. Apalagi, sekarang kami berdua sama-sama sudah tak muda lagi. Aku takut ini malah beresiko untuk janin di dalam kandunganku.Bahkan, Laras sekarang sudah berumur 24 tahun. Apa kata orang, bukannya dapat cucu malah memberikan adik lagi buat putra putri kami.“Tenang saja sih. Kan sekarang zamannya sudah canggih. Alat-alat penunjang kesehatan pun sudah lengkap. Jadi, kamu tak perlu khawatir. Semuanya pasti lancar. Tenang, ya,” ucap Mas Egi menenangkan.Awalnya, Laras memang terkejut dan syok akan mendapatkan adik di usia yang sudah sebesar
Semenjak semalam, memang tak ada yang berubah dari sikap Mas Egi. Dia tetap menjadi suami dan ayah yang hangat untuk anak-anak. Bahkan, karena kebiasaan Fian yang memanggil suami baruku ini dengan sebutan Abi, anak-anak lain mengikutinya. Sampai dengan, kepergian kami ke Singapura pun berjalan dengan lancar. Di sana, aku, Mas Egi serta anak-anak menginap di hotel yang hanya berjarak 15,66 km dari Bandar Udara Internasional Changi Singapura.Aku sengaja menyewa dua kamar, satu untukku dan Mas Egi, lalu kamar lainnya untuk anak-anak dan Kiki. Untunglah, di hotel ini tersedia kamar yang terdapat dua kasur dalam satu ruangan, sehingga cukup untuk tidur anak-anak. Bagaimana tidak, kami berangkat satu keluarga ditemani Kiki juga. Total semuanya sekitar tujuh orang. “Sayang. Kita istirahat dulu, yuk. Mama dan Abi juga sudah lelah,” ajak Kiki kepada anak-anak sesaat setelah kami tiba di hotel. Asisten rumah tangga yang sudah kuanggap keluarga sendiri itu pun seolah mengerti situasiku sekar
“Mama. Yeeey akhilnya Fian bisa ketemu Mama. Fian kangen, pengen peluk,” pekik Fiandra dengan aksen cadelnya. Putra semata wayang Mas Egi dan sekarang juga sudah menjadi anakku pun menghambur ke dalam pelukan. Dia melingkarkan tangannya ke leher sambil sesekali mencium pipi, mau tak mau aku juga mencium gemas pipi putra sambungku ini.“Mama cantik banget, kaya peri yang ada di buku,” celetuk Fiandra membuatku tersenyum. “Makasih. Fian juga hari ini ganteng,” jawabku.“Fahri ganteng enggak?” tanya Fahri yang masih memandang ke arahku dan Fian. “Ganteng dong. Fian sama Fadil sama-sama anak Mama yang ganteng. Kalau gitu, peluk dong.”Fadil kembali memelukku bersamaan dengan Fiandra. Aku bersyukur, Mas Egi tak keberatan kalau aku tetap mengasuh Fadil dan Ana serta mengadopsi mereka, menjadikan keduanya bagian dari keluarga kami sekarang. Mas Egi sama sekali tak keberatan, bahkan dia cukup senang kalau keluarga kami akan banyak anak-anak. Menurutnya, Ana dan Fadil, mereka sama-sama anak
“Bukannya Ezran mau minta rujuk sama kamu?” cetus Mas Egi dengan nada suara yang seperti kesal.Hah? Dari mana Mas Egi tahu niat sebenarnya mantan suamiku tadi datang? Atau ini hanya kebetulan saja?“Dari mana Mas Egi tahu?”Aku terhenyak mendengarkan ucapan dari Mas Egi. Penasaran bagaimana dia bisa tahu maksud Mas Ezran databg ke sini? Padahal, jelas-jelas tak ada dia saat mantan suamiku itu meminta rujuk tadi.“Tebakan saja. Lagi pula, kami ini sama-sama laki-laki, jadi bisa tahu apa yang ada di pikirannya,” ujarnya sambil menyalakan mobil dan fokus ke depan.“Hmmm ... tapi ... aku tak mungkin kembali lagi padanya.” Mas Egi menoleh, alisnya menukik tajam.“Kenapa? Bukannya kamu masih mencintainya? Aku takkan menghalangimu, kamu masih bisa memikirkan segalanya sebelum pernikahan kita terjadi dan semuanya terlambat,” ketusnya.“Maksud Mas Egi ini apa? Aku memang sudah memaafkannya, tetapi untuk kembali kepada Mas Ezran itu mustahil. Aku sama sekali sudah tak merasakan apa pun untuk
“Diminum dulu, Mas, tehnya,” ucapku demi mengurai ketegangan yang ada.Mas Ezran mengangguk, kemudian meneguk teh hangat yang dihidangkan Kiki tadi. Menyesap kemudian meminumnya beberapa tegukan.“Jadi, berita rencana pernikahan kalian yang kudengar beberapa hari yang lalu di kantor polisi itu benar? Maaf, aku tak sengaja mendengar obrolan bawahan Mas Egi di sana saat menanyakan kasus Sinta.”“Iya, Mas. Aku dan Mas Egi memang memutuskan untuk menikah. Kami berdua sudah mendaftarkan surat-surat izin sebagai persyaratan. Hari ini, Mas Egi dan aku akan menghadiri sidang BP4R untuk mendapatkan pemberian izin nikah dari atasan Mas Egi,” jelasku.“Apa kamu yakin untuk menikah dengannya?” tanya Mas Ezran tiba-tiba. Membuatku sontak memandang heran.“Maksud Mas Ezran apa?” “Apa tak ada kesempatan kita ... untuk kembali lagi, Ras?” Akhirnya, aku tahu maksud pertanyaan Mas Ezran. Dia ingin memintaku untuk rujuk dan kembali berumah tangga kembali dengannya.Jujur, setelah semua yang telah terj
“Nyonya. Ada Pak Ezran datang,” panggil Kiki ketika aku tengah merias diri karena habis mandi.“Suruh masuk, Ki. Sebentar lagi aku ke sana. Oh iya, Bi. Laras masih belum berangkat, kan?”“Belum nyonya. Non Laras masih nunggu temannya di teras,” jelas Kiki. Pasalnya, putriku itu akan pergi bersama Alisa untuk kerja kelompok. Untuk Mas Ezran, aku tak tahu ada perlu apa dia datang ke rumah ini hendak menemuiku. Mungkin saja, ada kepentingan tentang Laras yang mendesak sehingga harus mengobrol denganku. Biasanya, mantan suamiku itu hanya mampir ke rumah untuk menemui Laras saja. Itu pun tak lama, mampir sebentar lalu Mas Ezran dan putriku akan pergi keluar bersama-sama. Mungkin saja menghabiskan waktu berdua yang jarang dilakukan karena kesibukan mantan suamiku itu.Tak seperti biasanya, seminggu bisa meluangkan waktu dua kali untuk bertemu dengan Laras, sekarang dia hanya datang dua minggu sekali. Lalu, sekarang Mas Ezran berniat menemuiku? Sebenarnya ada apa?“Ya sudah, Ki. Sebentar
Aku dan Mas Egi yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing tersentak mendengar panggilan dari Dokter yang baru saja keluar ruangan operasi. Mas Egi langsung berdiri dan menghampiri serta mencecar Dokter tersebut, menanyakan keadaan Tante Ambar sekarang. “Tenang Pak Egi. Tenangkan diri dulu,” ujar dokter tersebut dengan raut wajah lelah dan sendu. Pria yang usianya seperti tak jauh denganku itu menghela napas panjang. Tiba-tiba saja firasatku tak enak. “Ibu Ambar mengalami luka robek yang cukup parah dan telah mengeluarkan darah dengan banyak, beliau telah berusaha berjuang untuk sembuh. Kami pun pihak medis rumah sakit ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan beliau, tetapi Tuhan berkehendak lain. Bu Ambar tak bisa bertahan lagi dan mengembuskan napas terakhirnya sesaat setelah operasi berjalan dengan lancar,” papar Dokter tersebut .Dunia seketika mendung. Mas Egi langsung berlari dan Masuk ke dalam ruangan operasi. Aku kembali terduduk dengan lemas di kursi. I
“Rasti, Tante sudah menganggapmu putri kandung sendiri,” ucapnya dan langsung terjeda karena Tante Ambar terlihat meringis kesakitan.Aku dan Mas Egi bahkan meminta dokter kembali menanganinya, tetapi segera dihentikan oleh Tante Ambar. Beliau tetap kekeh memintaku untuk mendengarkan ucapannya.“Tante takut ini ucapan Tante yang terakhir buat kamu,” bisiknya dengan suara yang semakin lemah.“Bisakah Tante meminta satu hal terakhir kepadamu, Ras?”Aku tak kuasa menahan pilu melihat keadaan wanita yang sudah kuanggap pengganti orang tuaku ini, dengan air mata yang semakin merebak, aku mengangguk dan siap mendengarkan apa yang hendak Tante Ambar ucapkan. “Tante ingin kamu menjaga Fiandra. Satu lagi, Ras. Bisakah kamu menerima cinta Egi dan menikah dengannya? Dengan begitu, kamu bisa dengan leluasa menjaga Fiandra, begitu pun Laras tak perlu lagi menerima orang baru sebagai Papa sambungnya. Dia juga sudah setuju kalau kamu menikah lagi, apalagi dengan Egi. Laras sangat senang dan setuju
Aku terduduk dengan lemas sambil memangku Fiandra. Begitu pun Mas Egi. Kami berdua tak bisa berkata-kata melihat keadaan Tante Ambar.“Mas. Apa Tante Ambar akan baik-baik saja?” tanyaku kepada Mas Egi yang saat ini tengah menutup wajah dengan telapak tangannya. Terlihat sekali kekalutan di wajah pria itu.“Semoga saja, Ras,” gumamnya lirih.Hening, kami berdua hanya diam setelahnya sambil menimbang-nimbang pertanyaan yang harus kusampaikan kepada Mas Egi.“Mas ....”Sepupuku itu bergumam dan mengangkat wajahnya memandangku. “Apa yang Tante Ambar katakan benar?”Mas Egi mengangguk, dia tersenyum masam. “Iya. Tapi ... lupakan saja, Ras. Aku tak mungkin memaksamu untuk menerimaku, bukan? Mama memang yang mengatakan perasaanku sebenarnya kepadamu. Tapi ... aku paham jika kamu memang belum siap menerima pria lain untuk menjadi suami. Tenang saja, aku akan berusaha untuk mengubur perasaan ini.” Ucapan Mas Egi terdengar menyakitkan. Benarkah dia sungguh memiliki perasaan padaku? Bukankah