Vero pulang menumpang mobil Mischa. Hal ini disebabkan karena Vano menangis, menanyakan papanya yang tak kunjung pulang. Memiliki anak ternyata semerepotkan itu. Vero tidak hilang ingatan masa kecilnya. Daddynya dulu juga kerap membawanya kemana-mana. Dibanding dekat dengan sang Mommy, ia justru tak ingin lepas dari laki-laki yang ia baru temui ketika usia tiga tahun.Waktu mendebarkan yang seumur hidupnya tak akan pernah Vero lupakan. Supermarket itu kini menjadi salah satu aset keluarganya. Daddy-nya ingin terus menyimpan sejarah dimana ia dipertemukan dengan wanita dan anak yang ia sia-siakan. Sebuah penebusan dosa yang indah, karena sampai detik ini Raynald Husodo tak sedikitpun melonggarkan usaha untuk membahagiakan mereka.Di dalam mobil milik istrinya yang telah dihibahkan, Vero berjanji pada dirinya sendiri. Kelak ia akan melakukan semua yang Daddynya lakukan untuknya. Anak-anaknya akan menjadi manusia paling beruntung karena telah dilahirkan ke dunia. Sama sepertinya yang tak
"Bini gue Tin! Ampun!" "Minta cerai?" Vero menggumpal kotak donat yang dirinya bawa, melemparkannya tepat mengenai wajah Justine. Sembarangan! Kalau Vero analisa, manusia seperti Justine ini ibarat netizen yang selalu menarik asumsi sebelum sebuah tayangan selesai ditayangkan. Asal ada bahan menarik, kelengkapan informasi tak lagi menjadi hal penting.'Siapa yang mau cerai Just?!' Vero membelalakan mata. Bucin membuat Clara menelan mentah-mentah ucapan suaminya. "Vero, Yang.." "Ngibul, Cla! Suami lo kurang jatah makanya taik banget congornya!" diseberang sana Clara misuh-misuh. Vero tak terlalu ingin menanggapi. Ia berkunjung di sela-sela aktivitas kerjanya hanya untuk membagi perasaannya. Berkonsultasi menangani ke-insecure-an wanita hamil. “Dia dateng-dateng mukanya asem banget, Yang. Pasien kamu nih kayaknya. Aku mau sambil nerusin kerjaan bentar. Kamu temenin dia ya..”‘Nggak mau! Paling receh masalahnya!’Mendengus, Vero segera menjawab penolakan manusia yang suaranya kelua
Langkah kaki Vero melambat. Penampilannya yang acak-acakan semakin kusut saat mendengar suara tawa menyeruak, memasuki gendang telinganya. Melewati ruang tamu, tawa tersebut justru semakin keras terdengar hingga kurcaci-kurcaci yang mendiami palung terdalam hati Vero berbaris rapi untuk upacara pengibaran bendera kecemburuan.Sepanjang dunia persilatannya dengan Justine, baru ini hatinya sesak melihat Justine menghibur seorang wanita. Sialnya wanita itu adalah istrinya dan laki-laki itu kini telah berhasil membuat Vero insecure untuk pertama kalinya.‘Apa yang lucu sih Mi, sampai kamu segitunya ketawa?’ Buku-buku jari Vero memutih menahan kepingan hati terakhirnya supaya tak ikut hancur. Tawa Stefany tak pernah selepas ini ketika bersamanya. Wanita itu juga tak pernah sampai menghapus air di sudut mata karena cerita dan tingkahnya. Lantas, mengapa bersama Justine respon wanitanya berbeda? Seperti bukan Stefany yang ia kenal. Mereka bahkan dulunya musuh bebuyutan. Anak-anak kalangan bo
"Abang tuh rajin banget sih masuk rumah sakit?!" Vallery menghentak kakinya. Ia panik sampai berlari seperti orang gila ketika mendapat telepon dari Mommy-nya, mengira jika kakak laki-lakinya kritis. "Kamu kok masih pake itu Dek?!" "Apa?" sentak Vallery galak. Ia meneruskan pandangannya pada apa yang Mellia lihat. Gadis itu berdecak. "Ya gara-gara Mommy!" melepaskan pengait apron khusus pegawai cafe-nya, bibir Valery tetap terus melanjutkan unek-unek dalam hatinya. "Makanya Mommy jangan telepon sambil nangis-nangis. Ngiranya Abang beneran parah, pake segala bilang Abang sesak napas.." tapi yang ia lihat pria itu biasa saja. Menempel erat pada kakak iparnya alih-alih terkapar tak berdaya layaknya penderita asma yang kambuh. "Ya emang!" Mellia mencubit pinggang putrinya. Ia kesal karena putrinya berkata seolah ia seorang pembohong. "Bukan kamu aja yang kesetanan, Valley! Mommy sama Daddy sampai nabrak orang." Anak kesayangan mereka berada diambang hidup dan mati, tak mungkin suaminya
Jika Vero telaah lebih lanjut, apa yang sedang Mischa lakukan mengingatkannya pada pejuang cinta. Tapi siapa?! Sosok itu begitu dekat, seolah melekat dalam dirinya. Bukan gue kan?! Gue cool kok dulu waktu deketin Stef.. “Siapa ya?” Ia mulai bertanya-tanya. Demi menemukan jawaban, Vero mengabsen setiap tingkah menjijikan teman barunya itu. Pertama, Mischa selalu berusaha dekat dengan adiknya. Segala cara pria itu lakukan termasuk menjilat Daddy-nya. Poin ini tidak asing dalam benak Vero. Ia seperti pernah melihat pemuda macam ini sebelumnya. Mendesak Ray agar pria penuh kekuasaan tersebut membantu sosok yang belum Vero bisa tebak. Kedua, memaksa Vallery menerima cinta anak itu. Dan kini usahanya berbuah manis. Memang tidak ada hasil yang menghianati kerja keras.“Sekilas mirip gue sih. Bedanya dia nggak tahu diri aja.” gerutu Vero. Ia sedang berada di kantor. Menatap rokok di atas asbak yang sengaja ia nyalakan. Fungsi dari amunisi tersebut tentu untuk menemaninya berpikir. Kata pa
"KEJUTAAAN!" Teriak Ray dan Mellia menyemprotkan pita-pita ke atas kepala anak dan menantunya. Hari ini merupakan perayaan tujuh bulanan Stefany, beberapa hari yang lalu orang tua Stefany diterbangkan dari bandara Ahmad Yani agar bisa melengkapi prosesi syukuran calon penerus Husodo itu."What's going on?" tanya Vero lengkap dengan picingan matanya. Kulit-kulit kening Vero kusut, sekusut pikirannya memikirkan tindakan aneh kedua orang tuanya. "Daddy bawa Papa dan Mama kalian ke Jakarta." Ya, kalian. Ray tidak hanya menerima kehadiran menantunya tapi juga keluarga besarnya. Besannya telah menjadi bagian Husodo sejak detik dimana tangan Papa Stefany menjabat telapak putra kebanggaannya. Sebuah harga yang pantas karena pria itu mau menyerahkan secara paksa putrinya. "Excuse me.. Mereka memang disini kan.. Dimana spesialnya?!" Vallery membalikan tubuhnya. Ia menarik dan mengeluarkan nafas mirip ikan pembersih kaca. "Amazing!" kikiknya terlalu geli dengan pertunjukkan dihadapannya."Me
Vero membuka matanya. Ia merasakan haus di kerongkongannya. Laki-laki itu menguap, memutuskan beranjak dengan gerakan kecil agar wanita yang terlelap disampingnya tidak ikut bangun. "Abis lagi," desah Vero membalikan gelas berada di atas nakas. Tak ada cairan terjatuh dari sana. Kering! Gelasnya kosong. "Mau nggak mau deh!" ia melirik Stefany, istrinya masih bergelung memeluk guling. "Sebentar ya Mami, Papi ke bawah dulu ambil minum. Kering banget ngelawak terus dari tadi." pamit Vero walau Stefany jelas tak mendengarnya. Ia kan si sopan, jadi tidak boleh asal nyelonong pergi begitu saja. Rasanya seperti menemukan oase ketika dirinya terdampar di kompleknya raja Firaun. Air mineral dingin dengan cita rasa manis di after tastenya melambungnya Vero ke awang-awang. “It works!” kekehnya bersenang-senang. Kesenangan tersebut terhenti berkat bel pintu yang terus saja ditekan. “Manusia nggak ada adab! Namu tengah malem gini! Satpam gimana sih! Main dibukain pager aja!” gerutu Vero.
"Pak.." Vero memukul punggung tangan karyawan perempuannya. "Nggak usah kebanyakan nonton sinetron ya! Nggak ada tuh abis ini panas-panas asmara nancep di jantung saya!" Vero meminta karyawannya menyingkirkan tangannya. "Duit saya ini tadi terbang pas ngeluarin HP!" "Panah-panah Pak Vero!" koreksi karyawan yang tak Vero ketahui namanya. Malas saja.. Ia bukan pria lajang yang perlu mengantongi identitas calon pencuri hartanya yang tak sengaja jatuh. "Kamu cantik sih," tak ada angin dan hujan Vero memberi pujian, mengembangkan garis senyum lawan bicaranya. Setelah barang incarannya terselamatkan, Vero melanjutkan kalimatnya, "Tapi cantikan istri saya."Vero bangkit. Wanita memang mudah ditipu. Heran Vero jadinya. Baru disebut punya paras menawan saja lupa tujuan hidup. Sungguh payah sekali jenis perempuan seperti karyawannya yang tadi. Mentalnya lemah akan godaan. "Lumayan seratus ribu." Vero memasukkan pecahan merah tersebut pada saku bagian dalam jasnya. Rejeki di depan mata tentu