POV Ibu Mertua
****
‘Biar saja Lutfan mengembalikan dompet ini. Toh, ini sudah tak seampuh dulu. Sekarang sudah ada yang lebih ampuh lagi,’ batinku sembari mengambilnya dari tangan Lutfan. ‘Aku langsung ke kamar saja, biar dikira ngantuk.’Setelah mendapatkannya, tanpa berkata apa pun aku langsung pergi menuju ke dalam kamar.Brak!Pintu kamar tertutup sempurna. Untuk sementara aku aman bersama dompet ini. Lutfan dan Salwa masih mengira jika yang ada di dalam dompet adalah surat-surat berharga. Mereka memang penurut. Syukur saja mereka tidak membukanya.“Bu, itu dompet isinya apa?” tanya bapak.“Ini dompet isinya rahasia dong, Pak,” ucapku santai.Dari dulu bapak memang orangnya sangat mengalah. Segala macam yang kulakukan pasti dia tak bisa mencegahnya. Ya, aku sudah semaksimal mungkin melayaninya dalam segala hal, seharusnyPOV Eliza****“Huuuft! Untung saja mbak Salwa percaya dengan semua ucapanku. Kalau nggak, gawat banget dong. Gajiku yang sangat besar seketika bisa melayang. Nggak boleh terjadi. Ibu di kampung masih butuh banyak biaya untuk pengobatannya. Ayo Eliza, kamu pasti bisa!”Aku berbicara sendiri sembari menyusuri jalan kembali ke dalam kamar.Cklek!Aku membuka pintu dan segera masuk ke dalamnya. Tempat ternyaman selama aku bekerja di rumah ini.Kamar ini berukuran lebih kecil dari yang lainnya. Letaknya pun di belakang, tak jauh dari dapur. Meski begitu, disetiap kamar sudah disediakan kamar mandi. Jadi, saat akan melaksanakan tugas, aku tak jauh-jauh pergi ke kamar mandi yang ada di luar untuk membersihkan diri.“Sudah sebulan lebih ternyata aku bekerja di sini. Tempatnya nyaman, makan pun bebas. Nggak salah aku ambil pekerjaan ini. Tentunya kalau melakukan tugas khusus
POV Eliza****Kini tinggal kami berdua yang berada di dalam kamar. Benar sih kata bu Yuni. Mas Lutfan sekarang ini seperti mayat berjalan. Tapi ada saatnya nanti dia mau tersenyum dan sedikit berbicara. Serta akan berubah menjadi buas saat gairahnya mulai bergejolak. Ya, meski tak seperti mas Lutfan yang asli, tapi sudah membuatku tetap bahagia. Menikmati malam berdua saja di dalam kamar seperti ini.Sebelum melakukannya, aku membimbing mas Lutfan untuk duduk di atas kasur. Aku ingin memandanginya terlebih dulu sepuas hati ini. Tak lupa, aku pun bebas melakukan apa saja kepadanya saat ini.Pandangannya kosong. Memang benar hanya raganya saja yang ada bersamaku. Entah dimana jiwa mas Lutfan sekarang ini. Aku tak mau pusing memikirkannya. Itu adalah urusan bibi Susi. Aku hanya melakukan sesuai tugas saja.Tugasku sebelum melakukan hal itu adalah membuatnya terpancing untuk bergairah kepadaku terlebih dulu. Dia m
Kring, kring, kring ….Bunyi alarm terdengar sangat nyaring. Ternyata secepat ini matahari sudah akan menampakkan dirinya lagi.Perlahan kukerjapkan mata untuk mengumpulkan kesadaran. Setelah mataku benar-benar terbuka, aku melihat mas Lutfan yang masih sangat terlelap di sampingku.Segera aku bangkit dari pembaringan dan duduk untuk sesaat. Aku melihat ke arah mas Lutfan. Dia menjadi sering sekali berkeringat. Wajahnya pun terlihat sangat lelah. Aku sengaja memegang bajunya pun sedikit basah karena keringatnya.“Kamu capek banget ya, Mas? Kalau berkeringat karena panas kayaknya nggak mungkin. Ada AC kok. Kamu kalau tidur keluar banyak keringat pasti karena kecapekan. Sampai-sam
Sekitar pukul enam kurang sepuluh menit aku baru keluar dari kamar. Mas Lutfan selalu mencegahku saat akan pergi darinya. Jadi, aku pun menurutinya saja. Toh, ibu mertua yang menyuruhku untuk bersantai. Tidak mungkin jika tiba-tiba beliau datang menyuruhku untuk membantunya.“Dek, dari tadi sebenarnya perutku udah lapar lho.”Kami berjalan menuju ke meja makan. Hanya sekitar sepuluh menit lagi sudah harus sarapan bersama. Jadi langsung saja ke sana. Keperluan toko kami siapkan mendadak saja nanti.“Sekarang porsi makanmu jadi banyak ya, Mas. Ternyata perkataan ibu benar ya?”“Ck! Benar apanya? Kebetulan saja, Dek. Tau sendiri ‘kan, toko ramai terus. Mungki
Ada jeda keheningan yang terjadi, tapi tak lama mereka tersenyum bahagia.“Salwa hamil, Fan? Benar itu Wa?” tanya ibu mertua seraya mendekatiku.“Iya Bu, Alhamdulillah hasi tespek positif.”“Syukur kalau begitu, Wa. Ibu akan segera menjadi nenek.”Beliau memelukku. Sepertinya beliau sangat bahagia dan merasa terharu. Aku melihat matanya berbinar-binar.“Iya Bu, Ibu sama bapak akan menjadi nenek dan kakek.”“Iya, kamu harus berhati-hati. Jangan sampai kecapekan ya?”Beliau melepas pelukannya dan kembali duduk di kursi tepat di sebelahku.“Iya Bu, tapi Salwa mau tetap ke toko.”Sedikit ragu mengucapkannya. Aku takut ibu mertua langsung melarangku untuk pergi ke toko.“Ya nggak apa-apa. Tapi dengan syarat kamu hanya mengawasi. Tidak boleh ikut turun tangan melayani. Sekali pun seda
Mobil sudah rapi terpakir di halaman toko. Ya, lumayan luas karena memang digunakan untuk tempat parkir juga.“Dek tunggu, biar aku yang bukain pintu,” ucap mas Lutfan seraya tersenyum.“Tumben Mas?”Keningku sedikit mengerut, bibirku pun mengembang. Mas Lutfan bertambah manis kepadaku. Atau mungkin aku sedang hamil. Katanya kalau istri sedang hamil, suami akan lebih perhatian. Sebenarnya mas Lutfan dari awal sudah perhatian. Tapi kalau buka pintu mobil tetap saja aku yang akan melakukannya sendiri. Mungkin hanya hari ini saja dia begini. Syukuri saja deh.“Hehe, nggak apa-apa ‘kan?”Kini dia sudah berada dibalik pintu. Dia serius melakukannya.“Iya Mas, nggak apa-apa sih. Makasih ya?”Aku meraih tangannya yang ia julurkan kepadaku. Kami berjalan bersama. Tak lupa aku menggandeng lengannya.Setelah pintu toko terbuka, semua kar
“Kamu nggak pakai peniti dan gunting lipat yang Ibu berikan tadi pagi, Wa?”Akhirnya pertanyaan keluar dari mulut beliau setelah sekian lama mengoreksiku.Sudah pasti, rasaku ingin meledak dibuatnya. Kenapa harus membahas hal itu lagi sih? Aku hanya ingin ke kamar dan menenangkan perasaanku saja. Bukan justru ditambah dengan pertanyaan seperti ini.“Ada kok, Bu. Tadi aku lihat Salwa menyimpannya di dalam tas,” jawab mas Lutfan.“Kenapa nggak dipakai?”“Kata siapa, Bu? Dari tadi Salwa memakainya terus. Ini saja sudah di rumah. Jadi, tadi di mobil sengaja dicopat untuk disimpan di dalam tas.” Mas Lutfan yang selalu menjawab pertanyaan beliau. “Yuk Dek, kamu ngantuk ‘kan?”Meski aku mendiamkannya, ternyata mas Lutfan masih saja perhatian. Dia menyelamatkanku dari intrograsi yang dilakukan oleh ibu mertua.Kami kembali berjalan menu
POV Ibu Mertua****Setelah Lutfan dan Salwa pergi. Segera kuhampiri Eliza yang masih muntah di dalam kamarnya. Jarak haid terakhir Salwa dan Eliza tak terlalu lama, sudah pasti Eliza pun hamil. Sungguh senang jika memang seperti itu. Sudah akan punya cucu, kini tahap terakhir akan segera kulakukan.Menumbalkan janin yang ada di dalam rahim Eliza adalah sebuah pungkasan yang akan membuat uang yang didapat Lutfan berlimpah ruah. Kebahagiaanku ternyata berlipat-lipat.Waktu itu pun Eliza bersedia akan melakukan tahap ke dua. Dia memang wanita yang cerdas dan baik hati. Dia bisa memilih kesempatan emas yang sedang menghampirinya.Setelah ritual menumbalkan janin, mungkin dalam waktu dua bulan aku hanya mengandalkan penglaris yang berasal dari tanah kuburan itu saja. Eliza harus pulih dulu dan baru boleh berhubungan lagi dengan Lutfan. Setelahnya uang akan kembali mengalir dengan derasnya. Atau mungkin proses itu tidak m
“Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m
Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men
Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba
Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.
POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem
POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”
Waktu bergulir begitu cepat. Toko kami masih laris seperti biasa. Ya, tentunya bertambah banyak orang yang datang membeli di toko kami. Sudah beberapa kali juga, ada uang yang tiba-tiba muncul di dalam laci. Jumlahnya pun lumayan besar, sekitar lima jutaan. Seperti awal kejadian ini dimulai. Kami tak percaya, namun kejadian itu benar terjadi di depan mata kepalaku sendiri. Hanya ditinggal sebentar saja, sudah ada segepok uang yang muncul di sana.Hari ini malam ju’mat. Saatnya Afif dan temannya beraksi kembali. Semoga saja dia menemukan jawabannya malam ini juga. Semua menjadi gamblang dan tak ada lagi kecurigaan.“Dek, malam ini penyelidikan ke dua. Semoga semua lancar dan mendapat jawabannya ya? Aku mau hidup tenang. Masalah ini selesai. Uang aneh yang tiba-tiba muncul, bisa terjawab juga. Aku nggak mau nafkah yang kuberikan padamu dan anak kita nggak halal, Dek. Aku nggak mau.”“Iya Mas, semoga saja penyelidikannya la
Seperti pagi-pagi biasanya, aku akan bangun lebih dulu. Mas Lutfan tak akan mau bangun meski alarm berdering sangat nyaring. Sama sekali tak mengganggu tidurnya. Jadi heran, ada orang yang seperti itu.“Mas, bangun dong. Udah tambah siang lho. Ayo sholat subuh dulu.”Aku mengucapkannya di dekat telinganya. Dia suka kalau aku melakukannya. Semoga saja masih mempan dan mau cepat bangkit dari kasur.“Iya Sayang … udah pagi aja ya?”Untung saja, dia langsung sadar. Jurus itu, ternyata masih manjur.“Iya, ayo bangun. Mandi sekalian biar segar.”“Lho, kan tadi malam kita nggak begituan, Dek. Kamu katanya capek, jadi aku nggak tega. Masa harus mandi sekarang.”“Biasanya juga gitu ‘kan? Mau habis itu atau nggak, ya kita mandi.”“Apa iya, Dek? Kamu nggak gitu lho? Kadang juga nunggu selesai masak baru mandi.&rdq
POV Afif****“Mar, buruan. Ntar malah orangnya jadi curiga.”“Iya, ini mau turun.”Dengan sangat berhati-hati, Damar turun dari mobil. Dia sengaja menuntun motor menjauhi mobil sebelum menyalakannya. Takutnya, orang tadi justru melihat lagi ke arah kami.Damar sudah lumayan menjauh dariku. Kini dia menyalakan motornya, menyelinap agar tak ketahuan. Sedangkan aku, menunggu orang itu benar-benar menyalakan motornya dan mencari jarak aman untuk membututinya. Ada Damar yang sudah siap sedia, dia akan langsung membuntuti orang itu dengan bergerilya.“Lho, malahan ngerokok dulu.”Aku geregetan saat mengetahui orang itu justru santai menghisap rokoknya. Dia santai sekali, apa nggak mau cepat-cepat pulang?“Eh, kamu sembunyi dimana? Dia malah ngerokok.”Damar memasang earphone di telinganya. Kami terhubung dengan sambun