BAB : 51Kabar demi kabar yang didengar oleh Andira. Ada Alan?***Sungguh, kali ini Andira pun sangat terkejut dengan kabar yang didapat dari Winda. Nampak mulutnya ditutup dengan sebelah tangannya, karena reflek terkejut. "Minum dulu, An!" Winda yang melihat nafas Andira mulai memburu, mengambil gelas yang berada diatas nakas, lalu memberikan pada Andira.Dengan tangan sedikit gemetar, Andira menerima gelas dari Winda. Dan tak butuh waktu lama, gelas tersebut kosong karena di tenggak habis oleh Andira. Kini, nafasnya kembali tenang. Walaupun masih nampak seperti habis lari maraton, dan terlihat menghembuskan nafas berkali-kali, Andira kembali tenang seperti sedia kala. Hati dan pikirannya masih bisa dikendalikan dengan baik, sehingga Andira pun kini kembali seperti semula."Sumpah, Mbak. Aku sangat terkejut dengan kabar yang Mbak katakan padaku tadi!" Lirih, Andira berucap. Andira benar-benar tak menyangka bahwa mertua dan suaminya sendiri lebih memilih percaya pada seorang penj
Bab : 52Rasa kecewa diselimuti amarah di tengah kesibukan yang melanda.***Ruangan yang mewah dan nyaman rupanya tak membuat Alan terlena begitu saja. Saat ini ia sedang disibukkan oleh rencana meeting yang dijadwalkan siang ini. Dibantu oleh sekretarisnya, Alan begitu sibuk mempersiapkan bahan untuk presentasi bersama klien. Tok tok!Suara ketukan pintu membuyarkan Alan pada kesibukannya. Ia pun menghentikan aktivitasnya sejenak, untuk mengetahui siapa yang datang menemuinya."Masuk!"Lalu tak lama, nampak seorang wanita yang juga tengah sibuk itu menghampiri Alan."Maaf, Pak, untuk laporan yang akan digunakan sebagai bahan promosi, mengalami banyak kendala," Dengan rasa tak enak hati, perempuan yang sepertinya sekretaris Alan itu berucap.Alan menghembuskan nafas pelan. Mulai terlihat frustasi di wajahnya. "Kenapa?""Pak Rangga hari ini tidak masuk kantor, Pak!" Alan mendesah pelan. Bayangannya kembali memutar mengingat kejadian tadi pagi di rumah keluarga Rangga. Alan melihat j
BAB : 53Rasa khawatir mulai merambah ketika mendengar kabar tentang Andira.***Nampak jam tersebut menunjukkan angka 09:50 pagi. Itu artinya, ia harus ngebut menyelesaikan pekerjaan yang masih menumpuk sebelum bel istirahat nanti. "Aku harus bergerak cepat!" gumamnya, lalu mengambil telepon untuk menghubungi karyawan lain yang bisa membantunya."Iya, Pak, ada yang bisa dibantu?" tanya karyawan yang sengaja Alan panggil untuk menemuinya."Kamu pelajari data yang saya kasih. Lalu kerjakan laporan yang berantakan. Waktumu tak lama, tolong manfaatkan sebaik mungkin. Jika selesai sebelum jam istirahat, kamu ikut saya meeting hari ini!""Baik Pak, akan saya kerjakan dengan sebaik mungkin!" ucap Karyawan tersebut, lalu meninggalkan ruangan Alan dengan muka berbinar.Alan pun tak asal memanggil pengganti untuk menyelesaikan tugas Rangga. Sudah tentu itu adalah karyawan pilihan yang Alan percaya. 'Padahal posisinya sangat bagus saat ini. Namun sayang, Rangga tak melaksanakan tanggung jawabn
Bab : 54Rasa yang mulai mengusik hati.***"Andira … kamu tidak boleh pergi!" gumam Alan pelan, sambil mengemudikan mobilnya dengan kencang. "Semoga aku masih bisa menemuinya di rumah!" gumamnya lagi. Alan sangat takut bahwa tadi pagi adalah pertemuan terakhir antara dirinya dan Andira.Rumah tampak sepi ketika Alan menginjakkan kakinya di depan pintu. Sang Bibi pun beberapa kali menguap ketika membuka pintu untuk tuannya yang baru pulang tersebut. Memang sudah larut malam, wajar saja jika penghuni rumahnya sudah tidur di kamar masing-masing."Bi, Andira ada kan?" Alan yang dilanda cemas pun bertanya pada Bibi."Ada di kamarnya, Pak," Alan yang mendengarnya pun bernafas lega. Ia nampak menarik nafas dalam, lalu menghembuskan kasar. Seakan menghilangkan beban yang mengganjal. Sang Bibi yang melihat tingkah majikannya menyipitkan mata. "Aneh banget si Bapak, emang kenapa gitu?" gumamnya. Lalu meninggalkan sang majikan setelah kembali mengunci pintu rumahnya.Alan pun bergegas menuju k
BAB : 55Ini tentang rasa, dan semua seakan terasa nyata.***"Mungkin Bunda sedang mandi, sayang. Kita tunggu sebentar ya!" ujar Alan, namun Riana masih merengut karena tak puas dengan jawaban sang Ayah."Perasaan Mama juga gak enak, Lan. Coba kamu temui Andira sebentar. Nggak mungkin Andira mandi jam segini, kamu tahu bahkan biasanya jam segini Andira sudah aktif membantu Bibi dengan keadaan sudah rapi!"Ucapan sang Mama membuat jantung Alan berdetak tak karuan. Ia pun tak dapat menahan rasa khawatirnya. "Maaf saya baru turun, Bu, Mas," Sontak saja semua menoleh mendengar suara tersebut. Dan ternyata memang Andira yang baru gabung dengan mereka. "Maaf, Sayang, Bunda baru turun. Sini, peluk Bunda dulu!" Andira merentangkan tangan pada Riana, lantas Riana pun langsung menghambur ke pelukan Andira.Alan memandang Andira tanpa mengedipkan mata. Sungguh, ia merasa benar-benar melihat Renata dalam diri Andira kali ini. Andira yang nampak semakin cantik, cukup mengusik hati Alan. "Mas,
Bab : 56Dilema dengan keadaan dan perasaan.POV ANDIRA***"Bu Andira sakit?" tanya Bibi yang sedang mempersiapkan sarapan di dapur. "Ah, tidak, Bi, saya nggak kenapa-napa," ujarku tersenyum, sambil mengiris bahan-bahan yang akan dimasak pagi ini. Namun sepertinya Bibi tak percaya, beliau mendekatiku lalu mengamati wajahku. "Tapi Bu Andira mukanya pucat lo," ujar Bibi yang masih di depanku.Aku tersenyum, "Nggak, Bi, beneran saya gapapa!" ujarku kekeh, dengan masih mengiris bahan yang akan dimasak. Kali ini biar saja Bibi yang memasak, aku hanya bisa membantunya saja. Badan pun rasanya sangat lemas. Namun lemas bukan karena sakit, tapi hati yang memang sedang tak karuan mengingat kondisi Bapak yang sakitnya semakin parah. Jantung Bapak semakin melemah, untuk itu Bapak juga harus istirahat total dirumah. Untuk sementara, Ibu yang mengurus beberapa usaha Bapak.Semalam aku menceritakan semua masalahku dengan Ibu. Tentu saja tanpa diketahui oleh Bapak. Seperti yang sudah kuduga sebelu
BAB 57.Tingkah Aneh Mas Alan.***Bagaimana kabarmu hari ini, Andira?" tanya Bu Lestari ketika kami sedang berada di ruang tengah. "Seperti yang Ibu lihat, saya baik-baik saja. Oh ya, kapan Ibu ada jadwal terapi lagi?" tanyaku. Karena sekarang beliau sudah mulai melakukan terapi agar bisa berjalan seperti semula. "Besok sore, Andira, makasih atas dukungannya selama ini. Jujur, saya senang ada kamu dirumah ini. Selain Riana, Alan pun sepertinya juga sangat senang dengan keberadaanmu disini,"Aku menghela nafas panjang mendengar ucapan Bu Lestari. Benarkah seperti itu? "Andira, terima kasih atas dukungannya selama ini. Saya tidak tahu, jika tidak ada kamu mungkin akan selamanya berada di kursi roda ini." ujar Bu Lestari. Menyesal yang berlebihan membuat Bu Lestari kehilangan semangatnya. Dan alhamdulillah, akhirnya beliau mau menjalankan terapi untuk kesembuhan kakinya."Jangan berbicara seperti itu, Bu. Seharusnya saya yang berterima kasih karena telah dirawat sedemikian rupa disin
Bab : 58Ketika salah tingkah mulai menyapa.POV ANDIRA"Andira,""Iya, Mas,""Hmm … nanti saja deh, kita makan dulu!"Aku melotot mendengar ucapannya barusan. "Kenapa Mas Alan jadi aneh begini?" Batinku bertanya. Namun aku berusaha untuk bersikap biasa saja, walaupun hati sedang bertanya tentang tingkah aneh Mas Alan hari ini. Aku mulai menyendok nasi di depanku. Tak lupa Bu Lestari juga turut kuambilkan serta. Karena memang nasinya berada di dekatku, dan aku pun senang melayaninya."Makasih, Sayang," ucap Bu Lestari layaknya berbicara dengan anak sendiri. Dan jujur saja aku sangat terharu mendengarnya. "Sama-sama, Bu," ucapku seraya membenarkan posisi duduk."Makasih juga, Andira," Hah?! Aku melotot mendengar suara Mas Alan. Dan baru kusadari, ternyata aku mengambilkan untuknya juga. Kenapa aku gak ngeh? Duh, malu kan? Karena biasanya juga Mas Alan ngambil sendiri. Ini reflek karena melayani Bu Lestari tadi, atau mungkin karena salting dengan tatapan Mas Alan yang ah … entahlah.
Bab : 108Bersamamu, aku bahagia, Mas,"Biar saja, Pak, saya bisa mengatasinya." titahku, lantas penjaga itu membungkuk permisi.Hatiku perih melihat penampilan mantan Ibu mertua yang sekarang terlihat lebih kurus. Istri Mas Rangga yang sedang menggendong anaknya pun tak kalah kusut. Namun kemana Mas Rangga? Kenapa meninggalkan Ibu dan istrinya? Aku hampir lupa kalau Mas Rangga adalah karyawan Mas Alan. Tentu saja dia beserta keluarganya pun menghadiri acara ini."Andira, maaf jika dulu Ibu pernah jahat sama kamu. Ibu sangat menyesal. Coba dulu Ibu tak menyia-nyiakan kamu, mungkin sampai sekarang kamu masih menjadi istri Rangga.""Maksud Ibu apa?" Istri Mas Rangga seakan tak terima mendengar ucapan sang mertua."Diam kamu! Menikahi kamu adalah kesalahan terbesar Rangga!" sungut Ibu melotot tajam. Sepertinya perangai Ibu masih seperti dulu. Inikah yang katanya menyesal? Bahkan sama menantunya pun masih seperti itu. "Bu, Mbak, sudah, tak usah ribut, ini tempat umum. Ibu tenang saja, s
Bab : 107Kejutan yang membuatku terharuMas Alan menghela nafas, lalu menghembuskannya pelan. "Kita akan pergi ke pesta, sayang.""Pesta?""Iya, pesta. Pesta pernikahan kita." Entah kejutan apa lagi yang akan diberikan untukku kali ini. Rasanya sudah tak bisa berkata-kata lagi dihadapannya. Bagaimana dia menyiapkan semua ini, tanpa meminta persetujuanku?"Aku sengaja memberikan kejutan untukmu, sayang. Mas yakin, pasti kamu akan senang." Mas Alan menggenggam tanganku."Tapi, kenapa harus mengadakan pesta, Mas?" tanyaku lirih. "Sayang, dengar, Mas hanya ingin menunjukkan ke semua orang bahwa Mas sudah menikah dan mempunyai istri secantik kamu. Memangnya kamu mau, karyawan Mas di kantor menganggap Mas masih single?" ucapnya dengan menggenggam jari ini.Senyumku mengembang mendengar penuturannya. Tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta padamu, Mas. Sungguh, hati ini selalu sejuk dengan segala tingkah manismu. Bahkan berkali-kali kamu selalu membuatku jatuh cinta."Makasih banyak, Mas.
Bab : 106Malam pertama yang indah."Terus gimana, Bunda? Apakah setelah itu sang pengembaranya ketakutan?" tanya Riana yang sudah menguap beberapa kali."Awalnya memang ketakutan, Sayang. Lalu tak lama ada seseorang yang datang menyelamatkannya. Tentu sang pengembara itu sangat senang mendapat bantuan. Hingga akhirnya sang pengembara menemukan temannya yang tengah tersesat. Pastilah teman sang pengembara senang, karena telah bertemu dengan teman seperjuangan." Aku menutup buku setelah membacakan dongeng pada anak gadisku. Dan ternyata Riana sudah pulas dengan memeluk guling kesayangannya.Setelah menaruh buku di meja, kukecup sejenak kening Riana yang baru saja memejamkan mata. 'Sungguh, Bunda menyayangimu, Sayang, walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Bunda. Tapi Bunda akan berusaha menjadi Bunda yang baik untukmu." Batinku, sembari menata selimut agar nyaman dengan tidurnya.Aku mulai beranjak dari kamar Riana setelah memastikan ia tertidur dengan nyaman. Waktupun sudah menunjukk
Bab : 105Badai orang ketigaDreett … dreett ….Kami yang tengah bercengkrama berdua, terkejut mendengar ponsel Mas Alan berdering. Siapa yang menelpon? Bukannya Mas Alan sedang mengambil cuti? Penasaran, aku pun ingin beranjak mengambil ponsel yang masih tergeletak tersebut, namun Mas Alan menghalangiku."Biar Mas yang ngambil, Sayang. Ganggu aja, siapa sih yang nelpon?" gerutunya, sembari melangkah mengambil ponsel."Bu Puspita, Sayang," ucapnya ragu.Dahiku mengernyit, untuk apa Bu Puspita menelpon? "Angkat aja, Mas!" ujarku. Karena aku sendiri penasaran dengan maunya Bu Puspita kali ini. "Assalamualaikum, Bu," jawab Mas Alan setelah mengangkat telepon. Sejenak, Mas Alan terdiam dengan masih menggenggam ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Bu Puspita, aku tak mendengarnya. Lebih baik aku menunggu disini saja."Maaf, Bu, saya tidak bisa. Saya sedang bersama istri saya!" Suara Mas Alan terdengar pelan, namun tegas.Aku meneguk ludah kuat. Kenapa Bu Puspita masih saja menggang
Bab : 104Kamu sempurna di mataku, Mas,Duh, Mas, meleleh hatiku melihat sikapmu seperti ini. Biarlah dikata seperti anak abege yang baru mengenal cinta. Nyatanya hatiku sedang berbunga-bunga melihat sikap manisnya. Sedangkan Yulia terlihat sangat kesal, tatapan matanya tajam ke arahku seakan mau menerkam."Hari ini adalah hari bahagia mereka, Bu, tolong jangan rusak momen indah mereka. Andira sekarang sudah menjadi menantu saya, tanpa mengurangi rasa sayang kami terhadap Renata yang sudah bahagia di alam sana. Jika Ibu ingin dihargai, tolong hargai kami disini!" Suara Mama pelan, namun menusuk. Menusuk bagi yang berpikir, tapi entah jika bagi Bu Puspita. Namun melihat raut wajah Bu Puspita, sepertinya mati kutu. Nyatanya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mulutnya seperti terkunci."Bukan begitu, Bu, saya hanya ingin memberitahu pada Andira, itu saja!" Kilah Bu Puspita pelan."Andira pasti paham, Bu. Iya kan, Sayang?" Mas Alan mengedipkan mata ke arah ku."Tentu saja, Sayang. Sebaga
Bab : 103.Dia yang selalu menyejukkan hati.Aku bernafas lega setelah mobil sudah terparkir manis di depan rumah. Perjalanan panjang ini terasa lebih menyenangkan karena seseorang yang berada disampingku."Sudah sampai rumah, Sayang." Mas Alan melepas seatbelt yang masih menempel di tubuhnya."Iya, Mas. Udah malam ternyata." ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan angka 20,00. Aku keluar dengan Mbak Tuti yang menggendong Kania. Dan ternyata Kania pun sudah tertidur pulas. Sedangkan Mas Alan berjalan beriringan denganku sampai kami masuk ke dalam rumah."Duh, menantu Mama baru nyampe rumah." ujar Mama menyambutku."Assalamualaikum, Ma," ucapku dengan mencium takzim tangannya."Waalaikumsalam, Sayang. Pasti capek baru pulang. Istirahat dulu, nanti kita makan malam bareng!" ujar Mama."Ayo sayang!" Mas Alan mengajakku beristirahat sejenak. Aku pun mengikuti langkahnya dengan tangan ini tak lepas dari genggamannya.Mas Alan melepas sweaternya setelah kami masu
Bab : 102Hari yang dinanti pun tiba.Satu tahun kemudian.Hidup memang penuh dengan cobaan dan ujian. Begitu pun hidupku yang pernah mengalami keterpurukan hingga berada di titik terendah. Namun aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuannya. Dan bersamaan dengan itu Allah hadirkan Mas Alan sebagai penyembuh lukaku, pelengkap hidupku, dan sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku.Saat ini aku sedang mematut diri di depan cermin. Sedang menunggu detik-detik dimana sebentar lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Gamis mewah berwarna putih serta hijab yang berwarna senada pula, kubiarkan menjuntai lebar menutupi dada yang kukenakan saat ini. "Masya Allah … adik Mbak cantik banget!" ujar Mbak Winda yang menghampiriku di kamar.Mbak Winda rela datang kesini hanya untuk menyaksikan pernikahanku. Padahal jarak dari rumahnya ke kampungku tidaklah dekat. Terharu, itulah yang kurasa saat melihat Mbak Winda kesini."Iya, Mbak Andira aslinya u
BAB 101. Penyesalan Selalu Datang Belakangan.POV RANGGA"Mas, minta uang dong buat beli skin care! Tuh lipstik aku sudah habis!" Lisa datang menyodorkan lipstiknya yang sudah ia korek dengan jarinya. Apakah Lisa tak melihat aku yang baru saja pulang kerja? Belum apa-apa sudah disuguhi dengan permintaan yang menyebalkan."Sudahlah, Lis, tak usah beli lipstik segala. Kamu tahu buat makan aja sekarang kita susah!" Pekikku. Sungguh, pusing sekali rasanya memikirkan semua masalah yang terus menerpa. Setiap berada di rumah selalu berakhir dengan keributan. Tidak dengan Ibu, tidak dengan Lisa, dan kadang seringnya Ibu yang berdebat dengan Lisa. Membuat kepala ini semakin pusing."Ah, Mas jahat. Coba kalau Ibu yang minta, pasti dibeliin. Kenapa aku yang istrimu minta uang buat beli lipstik saja susah, Mas?"Selalu seperti ini. Mempermasalahkan uang yang tak sepatutnya di bahas. Lisa sibuk meminta uang buat lipstik, sedangkan baru kemarin Ibu mengeluhkan beras yang sudah mulai menipis."Aku
Bab : 100Menjaga Hati***Aku melotot di depannya dengan jarak yang dekat. Biar saja, biar Mas Alan tahu kalau aku juga bisa marah. Menjengkelkan sekali. Mentang-mentang sudah sampai sini malah seenaknya seperti itu. Namun pandangan ini dikacaukan oleh bulu-bulu halus yang berada di pipi, membuat orang yang berada di depanku ini terlihat, sempurna. Sejenak, aku mengagumi ciptaan Tuhan yang amat sempurna."Kamu cantik banget kalau sedang marah. Apalagi menatapku dengan penuh cinta seperti itu." Aku gelagapan dan segera membuang muka. "Siapa juga yang memperhatikan wajahmu. Nyebelin banget sih!" gerutuku. Padahal sebenarnya sedang menyembunyikan rasa malu yang luar biasa. Sedangkan Mas Alan hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Baru bertemu sehari dengannya, kenapa jadi se-menyebalkan ini?"Sebentar, Andira. Saya punya sesuatu untukmu." Mas Alan mengambil plastik yang berada di meja depan, lantas kembali mendekat ke arahku."Pakailah ponsel ini, Andira! Sudah saya simpan semua nomor sa