Respon itu hilang.Kay mematung. Jantungnya berdegup kencang. Ia sangat berharap wanita itu segera sadar.“Livy?” panggilnya lagi. Ia menghela napas karena jemari itu tak memberi respon lagi.Kay beranjak. Dia meninggalkan ruangan Livy untuk menemui anaknya.Richard menatap kedatangan Kay.“Tadi Livy merespon. Jarinya bergerak,” lapor Kay tanpa ditanya.“Semoga Livy segera pulih. Kalau Albern sudah pulih total, Papa ingin membawanya menemui Livy.”Kay mengangguk, pertanda setuju dan mendukung rencana ayah mertuanya.**Setelah beberapa hari ,Albern pun sembuh. Seperti rencana Richard, dia membawa cucunya menemui ibu susunya.“Ma…” Albern memanggil. Dia sangat mengenal Livy.“Coba Al cium Mama Livy,” ucap Richard pada cucunya. Dia mendekatkan Albern pada Livy.Albern mengecup pipinya. “Mama…” panggil Albern. Anak itu pun merengek. Ia mengulurkan tangannya, seakan meminta Livy untuk sadar dan ingin digendong olehnya.Sementara itu, Livy masih berada di alam mimpinya. Bertemu dengan Fabi
Kay teringat pada ucapan Livy malam itu. Yang mengatakan kalau dia masih dan akan selalu mencintainya.“Apa ucapanmu malam itu benar?” tanya Kay, mengabaikan ucapan Livy yang begitu jelas menyindirnya.Livy tidak menjawab.“Malam di mana aku menyentuhmu,” lanjut Kay memperjelas.Wanita yang baru pulih itu, tak ingin menjawab.“Kenapa kau malah diam?” Kay kembali bertanya.“Apa pentingnya?” balas Livy singkat.“Aku hanya sekedar ingin tahu.”“Memangnya apa yang kau dengar malam itu? Kau mabuk. Semua yang kau dengar pasti salah. Tidak benar seperti itu. Aku hanya sedang memuaskanmu. Aku wanita murahan yang pantas dilakukan seperti itu kan?”Kay terdiam. Kini dia menyadari apa yang ayah mertuanya ucapkan. Tidak mungkin seseorang yang jahat akan mengakui kesalahannya dan merendahkan dirinya sendiri. Apa mungkin Livy memang memiliki alasan lain hingga menyakiti dirinya di masa lalu?“Bisakah kamu berkata jujur? Ceritakan semuanya sejak awal?” tanya Kay.“Sejak awal yang mana yang Tuan maks
“Maksud Tuan? Anak angkat? Tidak…” tolak Livy dengan suara pelan.“Saya mohon, Ibu Livy…”“Tidak, Tuan. Saya ini wanita yang jahat. Saya ini wanita yang rendah. Tidak pantas untuk Tuan angkat menjadi anak angkat Tuan.”“Ibu Livy tidak punya siapa-siapa lagi, kan? Ada banyak orang jahat di luaran sana, Ibu Livy. Semua bisa melakukan hal jahat pada Ibu Livy. Tinggallah bersama kami, bersama Albern, Ibu Livy akan aman. Bahkan dari ‘siapa pun’” tekan Richard.Kay masih terus terdiam. Dia tidak merespon. Dia tidak mendukung dan juga tidak menolak.“Tidak Tuan… Saya tidak akan sanggup. Biarkan saya menata kembali kehidupan saya di tempat lain. Semenjak tugas saya menjadi Ibu Susu sudah selesai, saya sudah merencanakan untuk meninggalkan kota ini. Pergi jauh dan menghilang dari pandangan seseorang yang tidak ingin melihat saya. Karena saya sudah jahat dan memberikan banyak luka di hidupnya.”Kay langsung menatap Livy. Ia tahu kalimat itu ditujukan untuknya.Richard menghela napas Dia pun pah
Kay tidak dapat menjawab ucapan Livy. Meski logikanya mengatakan kalau dia bisa lebih marah dan lebih tidak terima. Nyatanya dia tidak melakukannya. Dia hanya diam dengan tatapan yang begitu dalam pada Livy ketika mendengar semua luka yang Livy rasakan.Keduanya sama-sama tidak bisa memaafkan. Luka yang mereka rasakan terlalu sakit. Tetapi mereka akan tinggal di bawah atap yang sama. Kecanggungan tentu tidak dapat dielakkan.Begitulah yang Richard lihat saat mereka sudah tiba di rumah. Livy sudah keluar dari rumah sakit. Mulai di perjalanan pulang hingga sampai di ruang tengah, Kay hampir tidak berbicara sama sekali. Begitu juga dengan Livy. Hanya Albern yang terus mengoceh karena bahagia melihat Livy pulang bersama mereka.“Livy… Mulai sekarang, kamar kamu berada di sebelah kamar Albern. Papa sudah renovasi sehingga lebih luas dan lebih nyaman. Semoga kamu suka.”“Terima kasih banyak, Pa”“Kay… Papa sudah membersihkan kamar Jenna. Semua barangnya sudah Papa buang. Kita tidak perlu me
“Ka- kalian datang?” sambut Kay. “Papa…” sorak Albern mengulurkan tangannya pada Kay. Kay mendekati mereka. Ia langsung mengambil Albern dari Livy. Ia menatap wanita itu, namun Livy terlihat tak ingin menatapnya. “Silakan duduk…” ucap Kay canggung. Livy mengangkat tas jinjing berisi keperluan Albern. Reflek Kay membantunya hingga membuat kepala mereka terbentur satu sama lain. “Maaf maaf,” ucap Kay. Livy langsung berdiri. Dia mengusap keningnya. Kay langsung mengangkat tas itu dan menaruhnya ke sofa. Livy pun duduk di sana. Hening. Kay menggendong Albern sambil berjalan mendekati jendela kaca yang luas di ruangannya. Ia menunjukkan kota yang padat dari sana pada anaknya. “Al… Kamu tidak sabar ya mau mengambil alih semua pekerjaan Papa, sampai kamu benar-benar ingin ke kantor?” tanya Kay terkekeh sambil mencium pipi anaknya. “Lihat sana…” Kay menunjuk jalanan kota yang padat dari posisi mereka. Livy hanya duduk diam sambil memainkan handphone-nya. Kay meliriknya. Ia merasa
Livy menatap Kay. Entah kenapa hatinya justru mengingat kejahatan pria itu. Membuatnya enggan untuk menuruti ucapannya.Kay terdiam. Bukannya Livy merebahkan diri di sebelah Albern, ia justru membalik badan dan keluar dari kamar itu.Livy kembali duduk di sofa. Ia diam sedang pikirannya begitu berisik. Mengingatkannya akan perlakuan Kay yang mendorongnya, membuatnya pendarahan hingga keguguran, memenjarakannya dan tidak percaya kalau itu adalah anaknya. Rasanya sangat sakit jika dia mengabaikan semua sakit dan pahitnya itu dengan menuruti semua ucapan Kay, meskipun itu demi Albern.‘Aku memang mencintai Albern. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Tetapi, aku berberat hati jika terus melakukan semua yang diminta olehnya. Laki-laki yang begitu tega dan tidak punya hati.’ Livy membatin.Sementara itu di kamar, Albern masih terus memanggil-manggil Livy. Kay mencoba menenangkannya.“Mungkin Mama Livy sedang ke toilet. Jadi, tidak apa-apa Al dan Papa yang di sini, ya?” bujuknya.Untuk
Livy langsung menggeser bahunya. Dia menatap tajam ke belakang. Melotot pada Kay pertanda tidak suka. “Apa yang kamu lakukan?!” bentak Livy geram. Kay panik. Dia menekan keningnya dan salah tingkah. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan itu lancang?” lanjut Livy masih marah. “A- ku tiba-tiba teringat masa lalu,” jawab Kay panik. Dia langsung menghindar dari belakang Livy. “Masa lalu apa yang sedang kamu bahas?” tanya Livy dingin. Kaay bisa merasakan kebencian Livy padanya dan rasa tidak terima atas perbuatannya. Kay menatap mata Livy. Dia bertanya di dalam hati. Tidak mungkin Livy lupa dengan masa lalu dan kebiasaan mereka kan? “Kau pun salah orang. Livy yang dulu sudah mati. Terbunuh oleh kebencian dan dendammu. Lalu masa lalu mana yang kau sedang ingat?” tanya Livy dingin. Kay benar-benar hanya bisa terdiam. Ia merasakan kebencian Livy padanya yang tidak main-main. “Sekali lagi kamu kurang ajar, aku akan bilang ke Papa Richard!” tegas Livy. “Aku tidak mau, besok-besok ada yang
Setelah memastikan Livy dan Albern tertidur lelap di kamarnya, Kay kembali mencoba fokus pada pekerjaannya. Ia terlihat sangat serius di depan komputer. Saat dia duduk menyandarkan punggungnya di kursinya yang empuk, dia baru sadar kalau dia sudah sangat fokus sejak tadi.‘Aku tidak pernah merasa setenang ini dan sefokus ini dalam bekerja. Entah kenapa aku merasa semua ini karena aku melihat Livy yang begitu lelap bersama Albern di kamarku, di dekatku, di sisiku…’ batin Kay.Wajah dan sorot matanya masih ke layar komputer, namun pikirannya malah penuh pada Livy dan anaknya.Kay melihat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Waktu sudah berjalan hampir satu jam. Belum ada tanda-tanda kalau Albern akan bangun. Begitu juga dengan Livy.Kay mendongakkan kepalanya. Dia mengusap wajahnya. Ia menghela napas yang panjang lalu membuangnya perlahan.Tiba-tiba Livy mendorong pintu kamar itu. Dia berjalan ke arah toilet.Kay yang sadar langsung mengubah posisi duduknya yang tak karuan. Sep
“Siapa yang berbicara barusan?” tanya Kay. Suaranya pelan dan datar namun berhasil membuat pegawainya yang berbisik-bisik terdiam, kaku, menunduk tak berkutik.Kay memberikan Albern pada Livy.Livy menggendong Albern. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan bisikan itu. Apa yang salah? Semua oran tahu bahwa dia memanglah babu, sebatas ibu susu.“Siapa yang baru saja bicara seperti itu?!” bentak Kay.Semua mereka bergidik takut.“Papa…” Albern memanggilnya lembut. Anak itu tidak pernah melihat ayahnya marah dan membentak tegas seperti itu.Emosi Kay teralihkan. Dia menatap anaknya.“Livy, kamu bisa ke ruanganku. Bawa Albern,” jelas Kay lembut.“Tidak perlu menegur mereka,” ucap Livy dengan tenangnya. Namun, justru ucapannya itu membuat Kay semakin kesal dan emosi pada pegawainya.Kay merangkul Livy. Melanjutkan langkah mereka bersama untuk masuk ke dalam lift.Pegawai biasanya itu langsung menghela napas lega. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Lalu mendesis merasa beruntung kar
Livy menjauhkan tatapannya. “Ya,” jawabnya, menyibukkan diri dengan merapikan body and hair care milik Albern.“Ya sudah, Papa makan dulu ya? Al dan Mama siap-siap,” ucapnya. Kay masih menatap Livy, yang sibuk, atau berpura-pura sibuk agar tidak menatapnya. “Hm, kamu sudah makan?” tanyanya.Livy menatapnya lagi. “Belum,” jawabnya.“Oh. Ka- kalau begitu ayo makan bersama,” ucap Kay.“Ya, duluan saja,” jawab Livy.Kay mengangguk. Ia menggendong Albern dan membawanya keluar kamar. “Ayo temani Papa makan,” ucapnya.Setelah Livy membereskan kamar Albern, dia pun keluar kamar. Baru saja dia menutup pintu, Albern sudah berlari menangkapnya.“Eh Al?” sapa Livy, gemas. Dia langsung menggendong anak itu.“Papa…” ucap Al, menunjuk ke arah dapur.“Mau sama Papa?” tanya Livy.Al mengangguk.Kening Livy mengernyit. Padahal tadi Kay sudah membawanya, dia yang kembali, lalu kenapa meminta untuk kembali pada ayahnya di meja makan? Namun, dia tidak mungkin mendebat anak kecil yang belum mengerti apa-ap
Livy tidak menjawab. Namun, hatinya juga tak marah mendengar ungkapan harap dari Kay.Kay menatap wajah Livy, yang pandangannya tidak membalasnya. Arah pandangannya menunduk, menatap gelas atau meja, yang pasti tak menatap sorot mata Kay yang penuh harap.Kembali hening.Livy meraih gelasnya, lalu kembali minum. Usai ia meletakkan kembali, barulah dia bersuara. “Aku—aku…” Ragu. Tak tahu harus bagaimana menyampaikan. “Aku rasa, sekarang… justru aku—aku tak pantas untukmu.”“Aku yang tak pantas untukmu,” timpal Kay. Ia tidak terima dengan ucapan Livy. “Aku yang tidak pantas untukmu, karena kejahatan dan kekejamanku padamu saat aku tidak tahu semuanya, benar-benar bukan seperti manusia yang punya hati. Aku yang tidak pantas,” potong Kay. “Tidak apa-apa, Livy. Aku mengerti,” sambungnya pelan.Livy terdiam. Dia juga belum bisa memaafkan luka itu jika mengingatnya.“Aku ke kamar Albern dulu,” lirih Livy, lari dari perbincangan dan pembahasan mereka yang dingin dan tak berujung. Ia membawa g
Livy tidak bisa menjawab ucapan Richard. Lagi pula pertanyaan itu tak untuk dijawab, melainkan untuk dirasakan. “Aku ke kamar Al dulu, Pa,” ucapnya pelan. Ia menunduk lalu berjalan, meninggalkan Richard. Ia menuju kamar Albern.Dan begitulah, malam itu tak menunjukkan perubahan besar untuk hubungan keduanya. Tidak ada pelukan, tidak ada amarah yang meledak. Namun, diamnya mereka seakan menyiratkan kalau semua itu adalah permulaan. Mungkin, tak mungkin mengulang masa lalu, tak bisa, tetapi bisa saja menyusun kembali hal yang jauh lebih dalam.Kay tahu, luka yang ditinggalkannya terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan penyesalan. Ia tidak berharap untuk dimengerti, apalagi dicintai kembali. Tapi malam itu, ucapan maaf Livy saat tiba di rumah, seakan memintanya masuk ke dalam ruang luka, dan membiarkannya melihat dari dekat. Livy pun sangat menyesal tak memberitahu semuanya di masa itu.Di kamar Albern, saat memandangi anak yang sudah lelap itu, tatapannya justru menuju lamunan. Dia
Setelah lama di pemakaman, hening, diam tanpa sanggup membahas semuanya kembali ke belakang, akhirnya Kay beranjak. “Kita pulang?” tanyanya.Suaranya masih serak, khas suara baru selesai menangis, atau memendam kepedihan yang tak terungkapkan.Livy pun beranjak, tanpa menjawab, tanpa menatap Kay. Dia melangkah lebih dulu, meninggalkan Kay beberapa langkah di belakangnya. Ada banyak hal yang disesalkan, tetapi tak berguna untuk diungkapkan kembali. Membuatnya masih menitikkan air mata. Tangannyaa pun sibuk menepisnya.Kay melihat kalau Livy juga tidak dapat membendung air matanya. Andai saja dia bisa memeluk, menenangkannya seperti yang sering dia lakukan dulu. Namun, semua itu tinggal kenangan, bayang-bayang semu yang tak tahu apa mungkin akan terulang. Tangannya serasa tak akan sampai, meski Livy tepat berada di depannya.Livy masuk ke dalam mobil. Tepat setelah Kay bergerak cepat membukakan pintu untuknya. Ia duduk diam dan keheningan kembali menguasai mereka.Perjalanan mereka sama
Livy reflek melangkah mundur. Ia menatap Kay dengan kebingungan dan sedikit tidak percaya. Kay bahkan sudah mencari tahu sejauh itu. Sedalam itu rasa sakit yang dia simpan?“A- aku bahkan tidak tahu kalau mereka mengubur kandunganku. Aku tidak tahu usianya berapa. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa,” isak Livy, menutup mulutnya. Perih di masa lalu membuat tubuhnya sedikit gemetar.Tatapan Kay teduh dan iba. Dia bisa merasakan betapa sakit dan pahit yang Livy alami di masa lalu. Ia pun merasa semakin bersalah karena sudah membenci Livy selama itu.Andai boleh mengikut hati, Kay ingin sekali meraih tangan Livy, menggenggamnya hingga memeluknya erat seakan memberikan kekuatan untuk saling menguatkan. Ia ingin mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Sayangnya, Kay tidak berani melakukan semua itu setelah jahat dan kejam yang dia berikan tanpa henti padanya.Ia pun menunduk. Napasnya sesak. Terdengar saat dia mencoba menghela napas menyembunyikan air matanya. “Aku minta maaf. Tapi, a
“Kay?” Richard tidak menyangka bahwa menantunya itu bahkan akan menghukum dirinya sendiri. “Aku pantas dihukum, Pa. Aku sudah sangat kejam pada Livy. Dia pantas memutuskan ini,” ucap Kay, kelu. Livy menutup mulutnya setelah menjatuhkan kertas yang harusnya dia tandatangani. Dia tidak bisa mengambil langkah itu meski ia belum bisa memaafkan Kay. “Kamu pikir aku akan memaafkanmu dengan menghukummu seperti ini?” lirih Livy sedikit geram walau masih terisak. Kay tidak menjawab. Dia hanya menunduk. Penyesalan di dirinya terlihat amat begitu dalam. Livy menatap pria paruh baya yang terkapar lemah dengan napas satu satu. “Urus apa yang sudah kamu lakukan ini!” ujar Livy, tegas. “Semuanya justru membuatku semakin sakit!” Ia beranjak. Pergi masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Ia mengurung diri di sana. Richard menyentuh kedua bahu Kay dan menuntunnya untuk bangkit. “Papa paham. Papa tahu kamu sedang membuktikan penyesalanmu. Papa tahu kamu sedang membalas luka-lukamu. Tapi, lebih baik
Setelah tidak bisa menjelaskan apa-apa pada Pak Sopir sepanjang perjalanan, Livy akhirnya tiba di rumah dengan kepanikan yang luar biasa. Tubuhnya bahkan gemetar. “Nyonya? Nyonya Livy? Ada apa?” pekikan Bibi Eden mengundang Richard keluar dari kamarnya. Livy menggeleng. Dia tidak tahu haru menjelaskan dari mana. Dia menutup wajah, mengusap mukanya dan menutup mulutnya. “Livy? Ada apa? Tenang dulu…” Richard mencoba menenangkan. Ia pun menatap wajah Pak Sopir yang masih dalam kebingungan. “Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya pula. Pak Sopir hanya bisa menggeleng. Belum sempat jawaban keluar dari mulut Livy, tiba-tiba mobil Kay dan anak buahnya pun tiba di pelataran rumah. Livy semakin panik. Dia reflek berjalan ke arah belakang Richard, bahkan memegang lengan baju pria yang sudah menganggapnya seperti anak. “Livy…” Kay sampai di ruang tengah, setelah berlari menghampiri. “Ada apa sebenarnya?” tanya Richard. Suaranya menjadi tegas. “Bi. Bibi Eden. Tolong awasi Albern.
Hari-hari setelah Livy pulang ke rumah berjalan dengan pola yang hampir sama. Kay hanya terlihat saat pagi hari—menyapa Albern, menggodanya dengan lelucon kecil, lalu pamit dengan ciuman singkat di kening putranya. Kadang ia menoleh ke Livy, kadang tidak. Bila pun iya, tatapannya cepat dialihkan. Kondisi Livy pun sudah baik. Dia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya. Memang, dengan jarangnya Kay berada di rumah, bisa meminimalisir sakit hati dan lukanya yang belum sembuh sepenuhnya. Tetapi, dengan sikap Kaay yang seperti itu, datang, pergi seakan hilang, membuat Livy tak percaya dengan upayanya yang meminta maaf. Malam hari Kay akan pulang. Kadang Livy sudah tertidur. Kadang pura-pura. Tapi Kay tak pernah lagi masuk ke kamarnya, apalagi menyapanya. Hanya suara langkah kaki dan suara pintu dari kamar Albern yang terdengar oleh Livy. Ya, setidaknya pria itu tidak benar-benar melupakan anaknya. Livy mulai terbiasa dengan semua itu. Ia tidak mencari. Tidak juga bertanya. Sebab Rich