Bab 138. Permintaan Raja Mental“Pak Deva, sebaiknya kita keluar! Agar Mbak Alisya bisa menenangkan diri dulu, mari!” Damar memanggil Deva. “Mbak Alisya sedang emosi, kita tunggu di luar saja!” lanjutnya sambil berbalik. Deva mengikutinya.“Kenapa cuma dibawa keluar! Bawa ke kantor Bapak, Pak Damar!” sergah Alisya tidak senang. Tapi Bu Ainy segera menghampirinya. Pak Wahyu dan Raja hanya membisu.“Nak Raja, sebaiknya Nak Raja ikut keluar juga! Biarkan Ica istirahat dulu!” Bu Ainy mengusir Raja secara halus.“Baik, Bu. Saya mau ke ruangan Papa dulu. Sya, kalau ada apa-apa, telpon aku, ya!” ucap seraya mencium kening Adante lalu beranjak pergi.“Kenapa Ibu enggak maksa Pak Damar agar Mas Deva dipenjara? Mas Deva udah ngancam Ibuk kan, Buk!” cecar Alisya begitu Raja berlalu.“Sabar, Ca!!” bujuk Bu Ainy membelai kepala putrinya. Sebaiknya dinginkan dulu hatimu! Deva memang salah. Tetapi tak perlu kau tuntut sampai ke kantor polisi segala. Kalau memang kau tidak mau lagi rujuk
Bab 139. Ayah Mertua Siuman Dengan Sentuhan Alisya“Maksud Ibu, apakah Pak Damar menyukai Alisya?” tanya Raja kaget.“Wah, kalau itu ibu tidak tahu, Nak Raja! Ibu tidak bis amemahami isi hati seseoraang. Yang jelas Nak Damar meminta agar kami menjaga Ica setelah mengalami peristiwa waktu itu. Maaf, ya, Nak Raja, permisi, tolong tutup pintu lifnya!”“Baik, Bu. Saya paham. Pak Damar mungkin hanya mengkhawatirkan Alisya saja. Tapi, ini masalah nyawa, Buk! Papa saya sedang sekarat. Menjelang nafas terakhirnya dia menyebut nama Alisya. Mumpung Alisya masih sada di sini, tidak bisakah kalian luangkan beberapa detik saja waktu kalian untuknya? Tolong, Sya! Sebenci apapun kamu terhadap Mama dan Mas Deva, tolong ingat Papa! Apakah Papa seperti Mama? Pernah Papa menyakiti hatimu? Tolong kamu pikirkan baik-baik!”Alisya dan Bu Ainy saling tatap. Membenarkan apa yang yang dilontarkan oleh Raja. Alisya menghela nafas panjang, lalu berucap pelan.“Baiklah, aku temui Papa sebentar!”“Terima
Bab 140. Pukulan Telak Batin Alina“Pak Damar?” ucapnya dengan bibir bergetar. Tak ada suara yang terdengar. Seorang pria berseragam te;ah berdiri tepat di sampingnya, mengangguk sopan kepada Alina, lalu tersenyum kepada Raja.“Kita pulang sekarang?” tanya pria itu lagi menoleh kepada Alisya. Tangannya sudah tak lagi memeluk bahu wanita itu.“Eem,” sahut Alisya masih sangat terkejut. Sama seperti Bu Ainy, wanita paruh baya itu merasa tak enak kepada Damar. Berharap kalimatnya tadi tak sempat didengar oleh pria ini.“Permisi ya, Bu, Pak Raja!” ucap Damar lagi lalu menoleh kepada Bu Ainy. “Kita pulang, Bu!” ajaknya yang dijawab dengan anggukan oleh wanita itu.Mereka berlalu, menapaki koridor lantai empat rumah sakit itu menuju lif. Pintu lif terbuka, satau persatu mereka masuk.“Maafkan sikap saya tadi, Mbak Alisya. Saya agak lancang. Maafkan saya, Bu, saya tak bermaksud merendah Mbak Alisya saat memeluk bahunya. Saya hanya ingin melindungi Ibu dari hinaan wanita tadi. Tidak ada
Bab 141. Alina Mengamuk“Ya, Bu. Tolong panggilkan Alisyanya ya, secepatnya, jangan sampai pasien drop lagi! Permisi!” sang perawat menutup pintu kembali.Alina dan Raja terpaku, saling tatap tanpa bicara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Alina yang tak habis pikir denagn sikap dan permintaan Haga Wibawa. Rasa bencinya kepada Alisya semakin bertambah saja. Bagaimana mungkin perempuan itu bisa mempengaruhi semua keluarganya. Semua seolah-olah begitu mengagungkan Alisya, dan semua berubah sangat membenci dirinya.Sedangkan Raja sibuk dengan pikirannya tentang kemungkinan yang akan terjadi. Dilema melanda hatinya. Sang papa ingin bertemu Alisya, sementara Alina pasti tidak suka. Bagaimana cara membujuk sang mama agar bisa menerima kehadiran Alisya? Padahal, andaipun Alina bisa menerima kehadiran Alisya, belum tentu Alisya mau datang setelah kejadian tadi pagi.Alina menghela nafas panjang, Raja berbuat yang sama. Keduanya dilanda kebingungan yang sama parahnya.“Ada-ada sa
Bab 142. Deva Pulang ke Rumah Alisya“Tidak, itu tidak benar!” Raja berusaha menghalangi ibunya. Pria itu menghadang di depan pintu.“Jangan halangi mama!” teriak Alina mendorong bahu kanan putranya. Wanita itu lalu menerobos dan melenggang pergi dengan emosi membara.“Mama! Ini tidak akan menyelesaikan masalah! Siapa yang akan mengurus Papa, Ma! Sedang aku harus mengurus Aisyah! Aisyah juga sakit, Ma!” Raja menjejeri langkah ibunya.“Bukan urusan mama! Terserah! Mama sudah tak peduli!”“Ma!”“Mulai sekarang urus urusan masing-masing saja! Mama udah bosan! Terserah!” Alina mengibaskan tanagn kanannya ke udara, berjalan makin cepat menuju lif. Raja terus saja mengikutinya.Raja menghentikan langkah saat Alina sudah sampai di depan lif. Wanita itu menekan tombol turun. Tak lama pintu lif terbuka. Alina masuk ke dalamnya. Raja menghentak nafas dengan kasar, begitu sang Mama lenyap dari pandangan. Dengan langkah lesu, dia kembali ke dalam kamar.Pria itu kembali menghela nafas, pikiran
Bab 143. Deva Di Kamar MonaFlash back“Wo, kamu di mana? Tunggu aku di depan!” perintah Alina kepada supir pribadinya melalui sambungan telepon.“Baik, Nyonya!” jawab sang supir patuh. Segera dia bergerak ke areal parkir khusus roda empat rumah sakit besar itu. Mengeluarkan mobil dari deretan parkir, langsung menuju pintu utama. Dua menit kemudian, Alina sudah berada di dalam mobil mewahnya. “Ke rumah ya, saya mau tidur. Sudah seminggu tidak menyentuh kasur,” perintahnya seraya menyenderkan kepala di sandaran jok bangku tengah.“Baik, Nyonya!” sahut sang supir fokus ke jalan raya.“Saya capek sekali, Wo! Gara-gara menemani suami tak tau diri itu. Sekalinya sadar bukanya bersyukur, malah mikirin menantu yang tak berguna itu. Dasar sama-sama orang kampung, miskin, ya, begitu. Merasa senasip, mungkin. Jadi dibelain terus. Bukannya bersyukur, sudah kuangkat derajatnya dari pemuda miskin, kampungan, menjadi direktur utama sebuah perusahaan ternama. Dasar orang miskin, ya, gitu!” ome
Bab 144. Deva Pulang ke Rumah AlisyaMona adalah seorang pelayan di café langganan Deva, tetapi tugasnya hanya sebatas menemani minum, bukan menemani tidur. Namun, kalau yang mengajak tidur adalah si tampan Deva, dia tak akan menolak. Mona sudah tertarik pada pria itu sejak awal mengenal beberapa minggu yang lalu. Waktu itu Deva minta ditemani minum hingga mabuk. Mona yakin, kalau pelanggan baru itu sedang dilanda masalah besar. Wajah tampan itu terlihat sangat kusut. Tak segan Mona menawarkan diri, mengurai sedih yang sedang melanda pria yang sudah menambat hatinya itu.Namun, Deva menolak. Penolakan yang tak membuat Mona sakit hati, melainkan semakin menumbuhkan rasa di hati. Mona semakin jatuh hati. Dia ingin sekali masuk ke dalam kehidupannya. ingin menjadi pelipur lara. Tak apa meski Deva telah berisitri, baginya menjalin hubungan secara diam-diam saja pun tak apa. Tak akan dia tuntut pernikahan, begitu keinginannya. Namun, Deva tak menginginkannya. Penolaka
Bab 145. Deva Hendak Mengusir Malah Diusir“Hey, Bik! Bik Iyah mau ke mana?!” teriak Deva seraya turun dari mobil lalu mengguncang-guncang besi pagar.“Bentar, saya izin dulu ke dalam!” teriak Bik Iyah, menoleh ke belakang, lalu buru-buru masuk ke dalam.“Bibik mau izin sama siapa? Biiiiik! Awas, ya! Aku pecat Bibik sekarang juga!” ancam Deva lagi. Namun, Bik Iyah tak menghiraukan, perempuan itu terus saja berjalan masuk langsung menemui Alisya di kamar Adante. Deva yang merasa dipermainkan semakin terbakar emosi.“Hey, kamu! Buka gerbangnya! Kamu …. security baru, kan? Aku perintahkan, buka gerbang ini!” Deva berteriak lagi sambil memukul-mukul besi dengan batu yang dia pungut di sekitar itu. Suara riuh itu membuat suasana tambah bising.“Sabar, Pak! Tolong jangan membuat keributan! Tak perlu saya menelpon Bos saya untuk mengusir Anda, kan?” Arul yang sejak tadi merasa jengah mulai mengancam.“Bos kamu? Astaga! Siapa Bos kamu, ha? Aku Bos kamu, tau enggak! Mamaku, kan, yang men
Bab 195. TamatSidang ditutup, Alisya duduk lemas di bangkunya. Sidang pertama kasus perceraiannya ini terpaksa ditunda. Terggugat tidak menghadiri sidang. Entah Deva ke mana. Pengadilaan agama memutuskan sidang ditunda dua minggu mendatang.“Ayo, pulang, Ca! Nunggu apa lagi?” Bu Ainy menepuk lembut bahu Alisya.“Iya, Ibu pulang diantar Pak Arul, ya! Ica mau langsung ke kantor.” Alisya meraih tas lalu bangkit perlahan.“Iya, mungkin Deva sudah ada di kantor. Ibu menjadi mikir seribu kali untuk perceraian kalian ini.”“Ibu mikir apa? Kok sampai seribu kali?” tanya Alisya lemas, lalu berjalan keluar ruang sidang. Bu Ainy mengiring di sisinya.“Entahlah, yang jelas Ibu merasa sedih. Akhir-akhir ini Deva sangat berubah. Dia juga terlihat sangat pasrah. Ibu enggak tega, Ca. Apalagi Rena dan Tasya seringkali Ibu pergoki menangis berdua, diam-diam menelpon Deva. Sepertinya mereka juga sangat terpukul dengan rencana perpisahan kalian ini.”“Ya. Tapi itu hanya sebentar. Selanjutnya merek
Bab 194. Alisya Menolak Damar“Naik apa, Pak Deva?” tanya Damar mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman.“Naik ojek saja, Pak. Mari!” sahut Deva tersenyum, lalu melangkah cepat menuju gerbang. Dengan sigap Pak Arul membuka pintu gerbang untuknya. Deva berdiri sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Menunggu ojek yang melintas. Dia harus berhemat. Persediaan uang di dompet sudah semakin menipis. Untuk menyewa taksi terlalu mahal baginya saat ini.Damar dan Alisya menatapnya dengan tatapan miris.“Sebentar, Pak Damar!” ucap Alisya lalu berjalan menuju garasi. Buru-buru membuka pintu mobil, dan masuk ke dalamnya.“Mbak Alisya mau ke mana?” tanya Damar mengikutinya.“Sebentar,” sahut Alisya memundurkan Alphard putih itu, kemudian memutar pelan.Damar hanya menatap bingung, saat mobil itu melaju ke luar gerbang dan berhenti di dekat Deva yang masih menunggu ojek di sana.Pintu samping mobil terbuka. Alisya turun dan berjalan menghampirinya. “Bawa saja mobilnya! Besok pagi cepat d
Bab 193. Alisya Mulai Dilema“Papa mau ke mana?” Rena menghentikan langkah Deva. Mereka baru tiba di kota setelah melakukan perjalanan jauh ke desa Fajar. Deva berniat langsung pulang ke kontrakannya setelah memasukkan mobil ke dalam garasi.Alisya yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah ikut menghentikan langkah, menoleh kepada putrinya di teras depan.“Papa pulang dulu, ya, Sayang! Udah hampir malam. Rena mandi, makan, lalu istirahat, ya!” sahut Deva setelah membalikkan badan menghadap gadis kecil yang kini berstatus sebagai putri majikan itu.“Jangan pergi! Papa udah janji sama Rena! Papa akan menjadi pengganti Papa Fajar! Papa udah janji enggak akan pernah pergi lagi! Papa udah janji enggak akan pisah lagi sama Mama! Papa udah janji enggak akan –““Rena! Masuk!” sergah Alisya menghentikan rengekannya.“Tapi, Mama! Papa mau pergi lagi! Papa enggak boleh pergi lagi! Rena mau sama Papa!” Rena tak menghiraukan. Dia malah nekat mengejar Deba, lalu memeluk lengan pria itu.“Rena, m
Bab 192. Jangan Jatuh Cinta Lagi, Alisya!“Pak Deva, hati-hati nyetirnya, ya! Titip Mbak Alisya dan Rena!” titah Damar kepada Deva.“Baik, Pak.” Deva menjawab patuh. Meski cemburu menggigit hati, namun Deva berusaha mengerti. Alisya bukan miliknya lagi. Melainkan milik Damar sesaat lagi. Begitu perceraian mereka diputuskan oleh Pengadilan Agama.“Saya baik-baik saja, Pak Damar. Kalau Bapak sibuk, sebiknya tidak usah ke rumah! Selesaikan saja kasus Sonya!” Alisya berusaha menolak niat Damar secara halus.“Tentu, Mbak. Kasus Bu Sonya akan usut sampai tuntas. Kalau dibiarkan, dia akan tetap menjadi ancaman bagi ketenangan Mbak Alisya. Mbak tenang saja, ya!” Damar tetap berkeras. Alisya hanya bisa diam. Sudah beberapa kali dia mengusir pria ini bila datang ke rumhnya. Berkali sudah dia menunjukkan sikap bahwa dia sama sekali tak membuka hati. Bahkan dia juga sudah menjalin kerja sama dengan Luna, tunangan Damar. Namun, Damar tak surut juga. Pria itu selalu mencari cara dan alasan untu
Bab 191. Kehancuran Sonya di Tangan Sang Selingkuhan“Aku gak selingkuh, Lex, beneran. Aku berani bersumpah, aku enggak mungkin suka sama supirku sendiri,” lirih Sonya membuat Alex makin geram. Tetapi dia tak boleh tunjukkan sekarang. Sonya harus dia taklukkan dulu.“Baik, Sayang! Aku percaya padamu,” ucapnya seraya memeluk wanita itu.“Kamu percaya padaku, Lex?” ulang Sonya melonjak lega. Ada harapan tumbuh di sanubarinya.“Iya, Sayang! Aku percaya. Maaf, jika tadi aku sempat berbuat kasar. Itu kulakukan karena aku sempat begitu cemburu buta. Aku terlalu cinta sama kamu, Sonya. Maafkan aku!”“Iya, Lex. Aku tahu. Aku juga cinta sama kamu. Aku tetap setia hingga detik ini. Aku mau nikah sama kamu. Kamu udah janji mau nikahin aku, kan, Lex?”“Iya, Sayang! Tapi secara siri dulu, ya! Kamu tahu aku belum bisa menceraikan istriku, kan? Meski begitu, kamu adalah wanita yang paling istimewa bagiku. Kau adalah ratuku, Sayang!”“Ya, udah. Nikah siri juga gak apa-apa. Tolong selamatkan aku, y
Bab 190. Polisi Mengejar Sonya“Sakit, Lex! Ammpun …!” rintih Sonya saat Alex menghujamkan miliknya di bagian sensitif tubuh Sonya. Pria itu bergerak dengan cepat dan liar di atas tubuh wanita itu. Semakin Sonya merintih kesakitan, semakin kencang gerakannya. Kesakitan Sonya adalah hiburan baginya. Semakin kencang tangis Sonya, semakin terbang dia ke surga kenikmatan. Alex bagai kesetanan. Terbang semakin tinggi, hingga rintihan Sonya terdengar hanya sayup-sayup samar.Dan saat dia sampai pada pelepasan yang ke sekian kalinya, baru dia menyudahinya. Pria itu ambruk di samping tubuh telanj*ng Sonya denga peluh membasahi sekujur badan. Alex merasa harga dirinya kembali setelah dikhianati. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Bagaimana, lebih hebat siapa? Aku atau supir kesayanganmu itu, hem?’ bisiknya seraya menggigit daun telinga Sonya.Wanita itu bergeming. Jangankan untuk bersuara, bernafas saja dia merasa sangat tersiksa. Sakit di sekujur tubuh terutama di areal kewan
Bab 189. Sonya Di Markas Alex“Terima kasih ya, Allah! Engkau telah mengembalikan Papa buat Rena. Semoga papa dan mama tidak pernah berpisah lagi, aamiin,” ucap Rena menengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan setelah kata amin.“Sayang, ada yang mau mama bilang, tolong Rena dengar baik-baik, ya!” kata Alisya ingin menjelaskan kesalah pahaman putrinya.“Iya, Ma. Rena akan dengar.” Rena segera memasang wajah serius.“Begini sebenarnya, antara mama dan papa Deva, kami ….”“Maaf, Bu Alisya, tolong pikirkan dulu sebelum mengatakan apa-apa!” Deva memotong ucapan Alisya. Alisya tercekat. Bibirnya terkatup rapat.“Ingat, kita ke sini untuk menjemput Rena dan membawanya ke rumah sakit, bukan? Bagaimana perasaannya bila tahu yang sebenarnya, sedangkan kondisi Fajar tak mungkin kita tutupi darinya. Dia akan sangat kecewa. Tentang kita, kita bisa menunda menjelaskan padanya. Tapi tentng Fajar, kita harus jujur,” lanjut Deva lagi.Alisya menelan saliva. A
Bab 188. Binar Bahagia Di Mata Rena“Beberapa personil akan menjemput Bu Sonya, Mbak Alisya mau ke mana sekarang?” tanya Damar mengiringi langkah Alisya keluar dari kantor polisi itu. Deva sengaja berjalan agak jauh, pria itu belum bisa berucap apa-apa pada Alisya. Rencana Sonya yang hendak melenyapkan Alisya masih sangat mengejutkannya, juga membuatnya merasa sangat bersalah pada Alisya.“Saya mau pulang, mau menenangkan diri dulu. Terima kasih atas bantuan Bapak, selanjutnya saya mau Sonya diproses segera. Hari ini mungkin dia gagal melenyapkan saya, tapi besok, bisa saja dia mengulanginya!” jawab Alisya langsung menuju mobilnya.Deva buru-buru membukakan pintu mobil untuknya. Alisya masuk dan menyenderkan tubuh lemasnya di sandaran kursi.“Baik, Mbak pulang dulu! Istirahat saja di rumah. Saya akan urus semuanya. Tolong nanti kirim nomor keluarga Pak Fajar, ya!” pinta Damar berdiri tepat di samping jendela mobil, pria itu melongokkan kepalanya ke dalam, ke dekat Alisya.Deva yang
Bab 187. Pengkuan Ayu di Kantor Polisi“Saya ikut?” tanya Deva menunjuk dadanya. Alisya tak menyahut, dia langsung berjalan mendahului ke luar ruangan. Memberi instruksi kepada Deby lalu langsung menuju lif. Seperti orang bingung, Deva mengikutinya. Namun, saat Alisya menuju areal parkir, pria itu menghentikan langkah.“Bapak nunggu apa?” tanya Alisya kembali menghampirinya.“Eeem, saya lupa kalau saya sudah tak punya mobil. Maaf, saya naik taksi saja. Kita jumpa di kantor polisi. Saya duluan,” jawab Deva lalu melangkah pergi.“Maaf, Pak Deva! Pakai mobil saya saja!” Alisya menghentikannya. Deva berbalik. “Bapak yang nyetir!” titah Alisya menyodorkan kunci mobilnya.Ragu Deva meraihnya. Betapa harga dirinya serasa remuk redam. Akan lebih terhormat rasanya bila dia naik angkot saja, daripada menumpang di mobil mantan istrinya. Namun, ini adalah perintah dari sang Direktur Utama. Jika membantah, dia khawatir kehilangan pekerjaan.Dengan langkah berat dia berjalan menuju areal parkir VI