Bab 104. Pesona Supir Merangkap Gig*lo Tampan“Ka-kamu mau ke showroom?” Mawar terkejut. Kedua alis palsunya saling menaut“Iya, saya mau memerksa laporan keuangan showroom. Mama jagain papa di rumah, ya! Bujukin Papa, masa dari pagi enggak mau makan gara-gara mama tinggal arisan? Sepertinya papa cemburu, tuh, kalau Mama berkeliaran di luar,” kata Sonya lalu menyambar tas sandangnya di atas nakas.“Tapi, Mama rasa kamu enggak perlu, deh, ke showroom! Santii bilang semau baik-baik saja, kan? Kamu juga baru pulang kerja, sepertinya kamu lelah. Lebih baik kamu istirahat saja, Sonya!”“Saya kuat, kok, Ma! Saya masih muda, jadi masih enerjik. Lagian Showroom udah lama tidak dicek. Kata Santi dia sedang memegang uang hasil penjualan seminggu ini. Aneh aja, kenapa dia mesti megang uang, coba. Kenapa pelanggan tidak langsung transfer saja ke rekening Showroom. Sepertinya ada yang tak beres. Saya akan selidiki ini, Ma! Jangan sampai showroom milik papa kenapa-napa, iyakan?”“Tapi, gak me
Bab 105. Deva Harus Meninggalkan Rumah Yang Sudah Terjual“Kamu di mana Ai? Kenapa kamu pergi diam-diam? Bukankah kita sudah berbaikan tadi malam? Aku sudah meminta maaf, bukan? Aku juga sudah penuhi keinginanmu. Aku tak lagi membayangkan Alisya saat kita bersama. Tapi kenapa kau pergi juga, apa lagi yang salah denganku, Ai?” lirih Raja menghentak nafas panjang.Pikirannya sangat kalut, tak sadar dia mengaduk-aduk makanan di dalam piring dengan sendok di tangan. Belum satu suappun masuk ke dalam mulut makan malam itu.“Jadi kamu belum tahu keberadaan Aisyah?” ketus Alina menoleh ke arahnya. Haga Wibawa lebih memilih diam, tak ingin ikut campur. Percuma berbicara, Alina pasti akan langsung mematahkan setiap ucapannya. Di rumah ini, Alinalah yang berkuasa. Sang suami hanya pelengkap status saja.Saat Alina sakit parah dulu, benar Haga Wibawa yang memimpin perusahaan dan juga rumah tangganya. Namun, begitu Alina sembuh setelah dirawat dengan telaten oleh Alisya, Alina kembali k
Bab 106. Raja Pergoki SonyaRaja menekan bel yang tersedia di dekat pintu rumah Dr. Ilham. Menahan napas, pria itu berdebar. persis seperti seorang pesakitan yang terbukti membuat kesalahan. Raja siap menerima hukuman. Masalahnya sekarang, apakah Aisyah akan memaafkan dan mau diajak pulang? Entahlah. Pria itu merasa makin deg-deg an.Dak ketika terdengar langkah kaki mendekat, jantungnya makin bergemuruh dasyat. Anak kunci diputar, terdengar sedikit hentakan, lalu pintupun terkuak.“Mas Raja?”Suara lembut itu membuat hatinya sedikit sejuk. Seraut wajah yang tetap saja terlihat manis menyembul dari balik pintu. Rika, istri sang kakak ipar. Wanita yang dulu pernah membuka pintu hati dengan begitu lebar buat Raja. Rika yang sempat terluka karena cintanya tak berbalas.“Ri-Rika, selamat malam! Aisyah di sini, bukan?” tanya Raja setelah berhasil menguasai perasaanya.“Ada, Mas! Masuklah!” Rika melebarkan daun pintu.“Mas Ilham tidak di rumah?” tanya pria itu melangkah masuk, sembari cel
Bab 107. Tertangkap Basah Berbuat Maksiat“Aku bahagia sekali, astaga …. Kamu luar biasa, Mas!” Terdengar racauan dari mulut Sonya. Perempuan itu kembali dibawa terbang oleh Fajar. Untuk kesekian kalinya, dia akan sampai pada pelempasannya.“Aku juga sangat bahagia, kamu juga luar biasa, Mbak!” Fajar balas memujinya. Ranjang sederhana ukuran tiga kaki itu berderit-derit dengan ganasnya. Sepasang manusia yang tengah menikmati indahnya maksiat itu sama sekali tak tergangu karenanya. Masing-masing mamacu dia, encari titik klimaks yang akan terjadi sesaat lagi.“Aku hampir, Mas! Dikit lagi …. aku sampai, Mas …! Aaaaach …. Mas Fajar …. Auuuugh …!” Sonya meleguh panjang.Tubuh Fajar ambruk di sampingnya. Keduanya terpejam dengan napas yang masih tersengak-sengal. Sonya tidur miring, menggeser tubuhnya gara menghadap Fajar. Kasur ini terlalu sempit, mereka harus tidur sambil berpelukan.“Mas Fajar, kalau toh kamu bisa membahagiakan seorang perempuan senikmat ini, kenapa Alisya me
Bab 108. Intan Berdarah“Intan! Kau keterlaluan! Kenapa kau masukkan laki-laki ini ke sini?” Fajar gegas turun dari kasur lalu menyambar celana boxer miliknya yang berserak di lantai. Tanpa pakaian dalam karena kain segitiga kedua manusia durjana itu berada di bawah kaki Raja. Dan Raja sedang merekamnya.Sonya meraih selimut usang di sebelah kaki kasur, lalu buru-buru menutup rubuh bugilnya. Sang perempuan jalang lalu bangkit, sebelah tangan memegangi sleimut di dada. tangan sebelah lagi mencoba merebut ponsel Raja.“Apa yang kamu lakukan Raja! Siniin hape kamu! Siniiinnnn …!” teriaknya kencang.Raja meninggikan ponselnya untuk menghindari serbuan tangan Sonya. Fajar sudah selesai memakai celana boxernya, kini dia melangkah mendekati Fajar. “Kamu merekam apa, Bung! Hey! Sini hapenya! Serahkan padaku!” perintahnya langsung merebut benda pipih itu.“Pergi Mas Raja! Biar saya yang halangi mereka!” Intan mendorong tubuh Raja ke luar kamar, wanita itu kemudian memalangkan tubuhnya di a
Bab 109. Rumah Baru Alisya“Kita mau ke mana, Tan?” Ningsih bertanya di dalam keremangan malam dengan suara serak. Langkahnya makin lama makin pendek, wajah mendungnya kian gelap, segelap selimut pekat yang memeluk malam. Hanya bias lampu jalan sebagai penerang.“Mama duduk di sini dulu, ya! Mama pasti capek, kan? Sabar, ya! Intan mau nelpon seseorang. Semoga dia bisa memberi tumpangan buat kita sampai esok tiba. Yang penting malam ini ada tempat berteduh. Besok kita pikirkan langkah selanjutnya. Duduk sini!”Intan memapah ibunya menuju sebuah halte. Belum jauh dari kontrakan Fajar. Gadis itu lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana panjang yang dia kenakan. Meng-aktifkan benda itu lalu mencari sebuah nomor yang sempat dia lupakan. Tetapi, kali ini dia benar-benar sedang dia butuhkan.Alhamdulillah, nomornya masih aktif dan sedang online,” gumamnya bersyukur lega.“Hallo, Intan, kamu apa kabar? Ada apa tengah malam begini nelpon? Kamu baik-baik saja?” Terdengar sapaan dari ujung
Bab 110. Ibunda Alisya Mulai Bertindak“Lho, kok, kita ke sini, Mas? Mas Anton enggak salah?” Alisya kaget saat mobil Anton berhenti di depan sebuah rumah mewah.“Tidak, Bu. benar, ini kok rumahnya. Saya turun dulu, ya, biar saya buka gerbangnya.” Anton bergegas turun setelah meraih tumpukan kunci di atas dashboard mobilnya.“Ca, ini … bukannya rumah kamu?” tanya Ainy, ibunda Alisya yang baru datang dari kampung. Sengaja Alisya menelepon kedua orang tuanya kemarin sore. Dia ingin ditemani saat pindahan ke rumah yang baru saja dia beli. Alisya juga ingin sang ibu membawakannya ramuan khusus untuk masuk angin. Akhir-akhir ini dia sering masuk angin, meski dia tahu itu adalah bawaan hamil mudanya.“Bukan rumah saya, Bu. Tapi rumah Mas Deva. Saya juga bingung ini, kenapa Mas Anto membawa kita ke sini? Dia pasti salah alamat. Tapi, kok, dia pegang semua kunci itu, ya?” jawab Alisya sangat bingung.“Coba pastikan dulu, Nduk! Jangan sampai Nak Deva mengusir kita semua. Bapak pasti engg
Bab 111. Deva Mabuk, Pulang Ke Rumah Alisya“Jangan lari-lari, Dante! Itu licin! Awas jatuh!” Haga Wibawa langsung menyambar handuk yang tersampir di di sudut bangku panjang. Buru-buru melilitkannya sebatas pinggang, lalu mengejar Adante.“Nenek!” Dante tak menghiraukan peringatan sang kakek. Bocah tiga tahun itu teramat gembira melihat kedatangan Ainy. Hampir saja kali kecilnya terpleset karena lantai yang licin. Tetapi dengan sigap Ainy meraih tubuhnya.“Astaga, kamu kok, kurus kering begini, Nak? Kenapa?” sesal Ainy memeluk cucunya.“Nenek! Mama sama nenek, ya? Mana mama, Nek?” tanya Adante di dalam pelukan Ainy. Kerinduan pada Alisya, dia tumpahkan di dada sang nenek.“Mama di rumah, Sayang! Kita jumpai dia ya! Ayuk, ikut nenek! Bik, tolong ambilkan pakaiannya!” titah Ainy kepada Bik Siti.“Maaf, Bu, tapi Bang Dante enggak boleh ke mana-mana! Ini perintah Pak Deva,” sahut Bik Siti menunduk.“Kau ambil sekarang atau aku sendiri yang mengambilnya? Tolong cepat, ya! Aku tidak mau ad