"Alhamdulillah, Mbak Aira sudah bangun. Gimana, apa masih sakit?" tanya Aba tua yang baru kuketahui bernama Aba Romli."Alhamdulillah, sudah enakan Ba. Tapi, kok badan saya sakit semua ya. Seperti habis dipijat gitu," terangku sambil memegang beberapa bagian tubuhku yang sakit."Gak apa-apa. Insya Allah nanti akan membaik dengan sendirinya. Ada yang lagi ngajak main-main Mbak Aira.""Maksudnya, Ba?" "Nanti biar Mas Alif yang menceritakan. Saya pesan, kalau sakit langsung baca ayat kursi ya. Hafal 'kan?" tanya Aba Romli lagi."Insya Allah hafal, Ba.""Ya sudah, saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa, bilang saja sama Ustad Karim. Biar dia langsung menghubungi saya. Assalamu'alaikum ....""Wa'alaikumsalam," jawab kami bersamaan.Aba Romli pun pulang diantar Ustad Karim, sementara Mas Alif mengantar kepergian sampai depan pintu gerbang."Makan dulu, Mbak. Ini aku bawakan soto ayam kampung."Uswatun membawa semangkok kuah soto bersama nasi ke dalam kamarku."Kamu kapan yang datang? Kok mun
"Aduh sakit, Mak! Siapa yang main dukun? Mak lebih percaya pada kedua orang itu dari pada anak Mak sendir?!" seru Tika.Kembali sapu lidi itu dipukulkan Bu Marmi ke tubuh Tika hingga berkali-kali. Alif, Pak Wongso dan Paman Asrul tampak masih tercengang tanpa ada satu pun dari mereka yang melarang Mak Marmi."Dasar anak gak tahu diuntung kamu. Musyrik Tika! Musyrik! Apa kamu tidak tahu itu!" sarkas Bu Marmi sambil tangannya tak henti memukuli Tika.Setelah beberapa saat, wanita renta itu tampak berhenti memukul. Napasnya nmapak ngos-ngosan. Tak lama kemudian pingsan di sebelah Tika.Semua orang yang berada di tempat itu menjerit. Paman Asrul bersama Alif dan Pak Wongso membaringkan Bu Marmi di kasur lipat yang berada di ruangan tersebut sambil menunggu Mantri datang.Tika tampak menangis di samping tubuh renta Bu Marmi."Mak ... ma'afkan Tika Mak. Janji gak bakal ke dukun lagi Mak," isak Tika pilu.Sementara Paman Asrul beserta kedua tamunya tampak geleng-geleng kepala menyaksikan kel
Berita kematian Bu Sumarmi pun terdengar telinga Alif dan Aira. Sebenarnya mereka ingin bertakziah juga ke sana. Hanya saja melihat kondisi Aira yang tidak memungkinkan, Alif pun memutuskan untuk tidak datang. Melalui perantara sepupu Aminah yang satu kota dengannya, Alif menitipkan sejumlah uang sebagai ucapan bela sungkawa. Sebetulnya bisa saja dia menitipkan pada Murni, tetapi pasti juga dia masih di kampung Ibunya. Sambil menyembuhkan luka psikis yang diderita istrinya, Alif mengajak keluarga kecilnya liburan untuk sementara waktu ke daerah pegununungan.Mbak Romlah bertugas menjaga kebersihan rumah tersebut. Toko pun tetap buka diawasi Uswatun kala siang. Malamnya dia tinggal di rumah Alif bersama Mbak Romlah, mumpung suaminya sedang tour Wali Songo bersama bapak-bapak jama'ah tahlil kampungnya.Hampir sepekan, Alif bersama keluarga kecilnya berada di villa yang sengaja mereka sewa. Anak-anak mereka juga terlihat bahagia sekali. Suasana baru membuat pikiran kembali ceria.Seming
"Jadi, bagaimana Pak Alif? Apa benar saudari Sari keponakan Bapak?"Kembali kedua orang tamuku tadi masih belum juga mendapat jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan. Bang Harun tampak tidak tenang dengan duduknya. Sesekali netra tuanya menatap ke Mas Alif, lalu berganti kepada tamu tadi. Suamiku beringsut dari duduknya, kini punggungnya lebih condong ke depan."Kami memang keluarganya, saya Omnya dan itu Abang saya, Pakdenya."Mas Alif berbicara sambil dagunya di arahkan ke Bang Harun."Tapi itu dulu. Sebelum mereka sendiri yang tidak menganggap kami keluarganya.""Maksud Bapak?" tanya kedua tamu tersebut bersamaan."Ceritanya panjang, Pak. Gak bakal selesai kalau pun saya ceritakan saat ini juga. Sebaiknya Bapak mengunjungi orang yang mereka anggap keluarga.""Tetapi Sari menunjuk Bapak sebagai keluarganya, alamat ini pun kami dapatkan dari pengakuannya," ujar Bapak yang bertopi.Sesaat kami saling terdiam kembali. Kedua tamu tadi terlihat saling mengerutkan dahi. "Mereka masih
Kupikir, setelah aku ikut Ibu Kumala. Hidupku akan berubah, lebih santai tanpa ada aturan ini dan itu. Ternyata, khayalan tak seindah kenyataan. 'Bodohnya aku!'Ibu Kumala, aku memanggilnya demikian. Orang yang jelas-jelas tanpa ada ikatan darah atau pun perkawinan dengan keluargaku, malah aku panggil Ibu. Ya, aku hanya menuruti keinginannya saja, supaya aku mendapat kebebasanku, tetapi malah sebaliknya.Tante Aira yang sudah jelas, istri dari Omku malah aku sia-siakan kebaikannya. Menyesal, tentu saja. Ibarat pepatah, nasi telah menjadi bubur. Jadi aku tinggal mencari pelengkapnya agar terasa nikmat di lidahku.Nyatanya, semua tidak semudah itu. Sejak aku keluar dari rumah tersebut, kehidupanku malah amburadul. Sekolah pun terpaksa terbengkelai di tengah jalan. Lanjut tidak, lulus pun tidak. Sia-sia sudah.Di rumah Ibu Kumala, pekerjaan rumah malah tak ada habisnya. Padahal, rumahnya hanya sepetak pekarangan milik Tante Aira. Semua pekerjaan aku yang mengerjakannya. Pagi sebelum Sub
Namaku Kumala, ibu muda dengan lima orang anak yang masih kecil-kecil. Anak pertama duduk di kelas empat, nomer dua kelas tiga, nomer tiga masih TK, nomer empat baru empat tahun. Sedangkan yang bungsu baru berumur dua bulan. Anakku memang banyak, karena pada dasarnya suamiku memang menyukai anak kecil. Mas Rudi, bekerja sebagai sales alat-alat pertanian. Kalau pas banyak orderan ya banyak pula gaji yang diterimanya. Tetapi kalau pas lagi sepi, ikut pula mengurangi gajinya.Suatu hari aku bertemu dengan Sari. Gadis manis yang dari ceritanya, sudah tidak punya orang tua. Karena kulihat dia sedang mencari pekerjaan, maka aku pun menawarkan padanya untuk bekerja di rumahku awalnya.Tetapi semakin ke sini, Sari tidak seperti yang kubayangkan. Dia sangat pemalas, apa-apa juga mesti disuruh terlebih dahulu. Aku pun berpikir ulang untuk menggajinya. Hingga suatu hari, aku pun mengemukakan keberatanku padanya."Sar ... Ibu mau ngomong.""Ya Bu, mau bicara apa?""Kalau kamu seperti ini, Ibu ti
Waktu terus berjalan, Alif dan Aira benar-benar fokus pada anak-anak mereka dan pekerjaan keduanya. Bagi Aira dan Alif kini, masa depan buah hati mereka adalah segalanya. Kini si sulung Firda pun tengah duduk di bangku Universitas. Vian juga sudah duduk di bangku SMP. Dan si bungsu Jaya sudah mau masuk TK. Aira dan Alif benar-benar memberi perhatian kepada ketiganya, agar mereka tidak salah jalan.Sebuah panggilan masuk di ponsel Aira, tanpa nama. Hanya sebuah foto saja, tetapi Aira belum menggubrisnya. Karena dia sedang belanja kain.Hingga dua kali, nomer itu terus menghubunginya. Tetapi, karena masih di jalan, panggilan itu pun terlewat lagi, begitu saja. [Assalamu'alaikum]Sebuah notifikasi masuk, menyapanya dengan sebuah salam. Aira pun membukanya, takut ada pelanggan yang menanyakan pesanan di tokonya.[Wa'alaikumsalam. Ya Bunda, ada yang bisa saya bantu?] balas Aira.[Ini aku Tika, Ra. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Boleh aku telpon?]Deg ....'Kenapa dia
Pintu kuhempas dengan kasar, sebagai bentuk pemberontakanku pada kedua Bibiku. Terbaring di kasur reot, udara yang pengap dan menyiksa indera penciuman. Angan ini berkelana tak menentu rimbanya.'Kenapa aku harus yang minta ma'af pada mereka? Ada tidak ada Tante Aira dan Om Alif, aku akan tetap dengan Mas Anwar!'Tak perduli Bi Tika dan Bi Murni ngomong apa, aku gak akan perduli lagi. 'Arrrggghh ... kenapa jadi serumit ini?'Kenapa mau nikah saja harus minta restu darinya. Yang mau nikah juga aku, pun menjalaninya nanti, aku sendiri.Bagaimana mungkin meminta restu dari mereka? Jangankan restu, menelepon mereka saja sudah bikin ketakutan. Apalagi sampai menemui mereka.Aku masih ingat, ketika Om Alif memintaku dengan baik-baik agar aku pulang ke rumah mereka lagi. Tak kuperdulikan sama sekali, malah aku lempari mukanya dengan kotoran yang sampai kapan pun, tak mungkin dapat dilupakan olehnya.'Menyesal? Untuk apa? Semua akan berlalu dengan sendirinya pikirku. Tetapi, kini apa?'Sebua
"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be
"Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y
Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan
Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma