Kupikir, setelah aku ikut Ibu Kumala. Hidupku akan berubah, lebih santai tanpa ada aturan ini dan itu. Ternyata, khayalan tak seindah kenyataan. 'Bodohnya aku!'Ibu Kumala, aku memanggilnya demikian. Orang yang jelas-jelas tanpa ada ikatan darah atau pun perkawinan dengan keluargaku, malah aku panggil Ibu. Ya, aku hanya menuruti keinginannya saja, supaya aku mendapat kebebasanku, tetapi malah sebaliknya.Tante Aira yang sudah jelas, istri dari Omku malah aku sia-siakan kebaikannya. Menyesal, tentu saja. Ibarat pepatah, nasi telah menjadi bubur. Jadi aku tinggal mencari pelengkapnya agar terasa nikmat di lidahku.Nyatanya, semua tidak semudah itu. Sejak aku keluar dari rumah tersebut, kehidupanku malah amburadul. Sekolah pun terpaksa terbengkelai di tengah jalan. Lanjut tidak, lulus pun tidak. Sia-sia sudah.Di rumah Ibu Kumala, pekerjaan rumah malah tak ada habisnya. Padahal, rumahnya hanya sepetak pekarangan milik Tante Aira. Semua pekerjaan aku yang mengerjakannya. Pagi sebelum Sub
Namaku Kumala, ibu muda dengan lima orang anak yang masih kecil-kecil. Anak pertama duduk di kelas empat, nomer dua kelas tiga, nomer tiga masih TK, nomer empat baru empat tahun. Sedangkan yang bungsu baru berumur dua bulan. Anakku memang banyak, karena pada dasarnya suamiku memang menyukai anak kecil. Mas Rudi, bekerja sebagai sales alat-alat pertanian. Kalau pas banyak orderan ya banyak pula gaji yang diterimanya. Tetapi kalau pas lagi sepi, ikut pula mengurangi gajinya.Suatu hari aku bertemu dengan Sari. Gadis manis yang dari ceritanya, sudah tidak punya orang tua. Karena kulihat dia sedang mencari pekerjaan, maka aku pun menawarkan padanya untuk bekerja di rumahku awalnya.Tetapi semakin ke sini, Sari tidak seperti yang kubayangkan. Dia sangat pemalas, apa-apa juga mesti disuruh terlebih dahulu. Aku pun berpikir ulang untuk menggajinya. Hingga suatu hari, aku pun mengemukakan keberatanku padanya."Sar ... Ibu mau ngomong.""Ya Bu, mau bicara apa?""Kalau kamu seperti ini, Ibu ti
Waktu terus berjalan, Alif dan Aira benar-benar fokus pada anak-anak mereka dan pekerjaan keduanya. Bagi Aira dan Alif kini, masa depan buah hati mereka adalah segalanya. Kini si sulung Firda pun tengah duduk di bangku Universitas. Vian juga sudah duduk di bangku SMP. Dan si bungsu Jaya sudah mau masuk TK. Aira dan Alif benar-benar memberi perhatian kepada ketiganya, agar mereka tidak salah jalan.Sebuah panggilan masuk di ponsel Aira, tanpa nama. Hanya sebuah foto saja, tetapi Aira belum menggubrisnya. Karena dia sedang belanja kain.Hingga dua kali, nomer itu terus menghubunginya. Tetapi, karena masih di jalan, panggilan itu pun terlewat lagi, begitu saja. [Assalamu'alaikum]Sebuah notifikasi masuk, menyapanya dengan sebuah salam. Aira pun membukanya, takut ada pelanggan yang menanyakan pesanan di tokonya.[Wa'alaikumsalam. Ya Bunda, ada yang bisa saya bantu?] balas Aira.[Ini aku Tika, Ra. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Boleh aku telpon?]Deg ....'Kenapa dia
Pintu kuhempas dengan kasar, sebagai bentuk pemberontakanku pada kedua Bibiku. Terbaring di kasur reot, udara yang pengap dan menyiksa indera penciuman. Angan ini berkelana tak menentu rimbanya.'Kenapa aku harus yang minta ma'af pada mereka? Ada tidak ada Tante Aira dan Om Alif, aku akan tetap dengan Mas Anwar!'Tak perduli Bi Tika dan Bi Murni ngomong apa, aku gak akan perduli lagi. 'Arrrggghh ... kenapa jadi serumit ini?'Kenapa mau nikah saja harus minta restu darinya. Yang mau nikah juga aku, pun menjalaninya nanti, aku sendiri.Bagaimana mungkin meminta restu dari mereka? Jangankan restu, menelepon mereka saja sudah bikin ketakutan. Apalagi sampai menemui mereka.Aku masih ingat, ketika Om Alif memintaku dengan baik-baik agar aku pulang ke rumah mereka lagi. Tak kuperdulikan sama sekali, malah aku lempari mukanya dengan kotoran yang sampai kapan pun, tak mungkin dapat dilupakan olehnya.'Menyesal? Untuk apa? Semua akan berlalu dengan sendirinya pikirku. Tetapi, kini apa?'Sebua
Malas sekali aku menemui mereka, yang ada pasti mereka menyuruhku mendatangi rumah kedua orang yang sengaja aku benci, Tante Aira dan Om Alif. Apalagi jika harus meminta ma'af pada mereka. Tak akan pernah kulakukan."Mau tidak mau, kamu harus menemui Alif dan Aira! Minta ma'af pada mereka berdua!" suruh Kakek Asrul dengan tegas padaku.'Tuh kan, apa aku bilang. Tahu gitu aku tadi lebih baik tidur.'"Aku yang minta ma'af pada mereka, Kek? Ngapain? Lagian sudah berlalu, buat apa juga. Pasti mereka sudah lupa," jawabku santai.Bibi Tika dan Bi Murni menatapku dengan sorot kemarahan. Wajah mereka tak kalah mengerucutnya seperti mulutnya."Dasar anak kurang ajar kamu! Lihat pake cermin mukamu yang penuh kemunafikan itu! Untung saja Alif dan Aira tidak melaporkanmu ke Polisi."Bibi Tika membuka mulut, menceramahiku. Kini tatapan kami saling beradu. Aku tidak mau dianggap bocah kecil lagi."Aku bukan Bibi! Baru diancam saja sudah ketakutan!" cibirku padanya. Sontak semakin memerah muka Bi T
Pagi itu, sebelum aku pergi menjemput tunanganku."Eh Mas Anwar, duh yang mau jadi pengantin rajin amat," sapa Bu Kumala pagi itu sewaktu aku mencuci sepeda motorku. Karena mau aku pakai untuk menjemput Yanti, tunanganku.Aku hanya tersenyum saja mendengar ledekan Bu Kumala. Sambil terus membersihkan motor baru kesayanganku."Jadi kapan yang mau nikah, Mas? Dapat orang mana?" Aku hanya tergelak saja menanggapi kekepoan Bu Kumala, tidak biasanya juga dia menyapaku. Mungkin Ibuku yang memberitahunya jika aku sudah bertunangan."Mas Anwar ini, ditanya dari tadi kok senyum-senyum saja. Dapat orang mana?" tanyanya sekali lagi."Jadi malu saya yang mau bilang, Bu.""Lho, kenapa malu Mas?""Itu lho Bu, si Yanti yang pernah tinggal di rumah Ibu," terangku."Hah!?"Jelas sekali Bu Kumala terkejut. Mulutnya sampai membulat lebar. Untung saja tidak ada lalat yang masuk. Kutepuk jidatku sendiri sambil tertawa membayangkan hal tersebut."Mas Anwar lagi menertawakan saya ya?" tuduh Bu Kumala mak
Akhirnya aku telah sampai di rumah Bi Murni, meski pengap aku berusaha menahannya. Rasanya hari ini benar-benar hari kesialanku.Untung saja aku tadi bisa mempertahankan kesucianku, kalau tidak, entah apa jadinya. Kembali kurenungi perjalanan yang telah kulewati, begitu banyak kesedihan yang kualami. Bahkan, Mas Anwar yang kupikir akan menjadi pelindungku pun, nyatanya seorang bajingan.Tak mungkin, tiba-tiba aku meminta Bibiku membatalkan pertunangan ini. Karena sedari awal, aku begitu menginginkannya. Bisa-bisa dicincang habis aku sama kedua Bibiku.Lampu notifikasi ponselku berkedip, sebaris pesan tampil di layar depan.[Maafkan, Mas, Sayang. Terpaksa kulakukan, untuk membuat hati Mama luluh. Kamu paham 'kan maksud, Mas?]Aku sengaja membiarkan pesan itu, rasa sakit akibat tamparannya saja belum hilang. Apalagi, perlakuannya yang hendak memperkosaku.[Kamu masih marah? Coba lihat m-bangkingmu. Barusan Mas transfer satu juta buat kamu.]Benar saja, sebuah notifikasi pemberitahuan ua
Di rumah Aira."Jadi gimana, Mas? Beneran Mas gak kasihan pada?" tanyaku pada Mas Alif."Buat apa harus kasihan padanya? Harusnya yang dikasihani itu kamu, Dek.""Kok aku?" Mas Alif menghampiriku, lalu menangkup wajah ini dengan kedua jemarinya."Setelah apa yang Yanti lakukan padamu, apa hatimu tidak terluka? Apa masih bisa kamu mema'afkannya? Bukan hanya mencoreng namamu saja, dia bahkan sampai membuat harga dirimu pun turut diinjak-injak."Aku mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Mas alif. Memang ada benarnya juga. Tetapi, jika meletakkan diriku sebagai seorang Ibu. Menikah tanpa restu itu suatu bencana."Belum lagi ketika mengingat, bagaimana bocah tengil itu mempermalukanku di hadapan Kumala dan Rudi dulu. Bahkan, anak kandungku sendiri saja, tak berani menyebutku dengan 'kamu' sambil menunjuk jarinya padaku."Sejenak kulihat Mas Alif mengambil napas panjang. Lalu menghembuskannya bagai melepas beban berat. Kueratkan jemariku pada pergelangan bahunya."Ma'afkan aku, Ma
"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be
"Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y
Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan
Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma