"Arrgghh benar-benar tidak tahu diri kamu! Maumu apa sebenarnya?!" tantangku kecewa pada Yanti.Dia mendongak .... "Sekarang maumu gimana?!"Sikapnya sudah benar-benar kelewatan. Menguras habis kesabaran, untung saja dia bukan anak kandungku. Kalau iya, sudah jadi perkedel anak itu di tanganku."Jawab Yanti! Jangan diam saja! Itu lho Om-mu tanya." Kulihat Rudi pun terbawa emosi sama denganku. Lain dengan Kumala yang bersikap sebaliknya. Terlihat sekali jika Kumala melindungi gadis pengecut itu."Oke ... saya akan kasih kamu dua pilihan. Pertama, jika kamu tetap ingin tinggal di sini, maka sekolahmu harus berhenti sampai di sini ...."Yanti mendongak dengan raut wajah terkejut. Mungkin dia tidak pernah mengira, jika kami akan melakukan hal itu."Bukan hal itu saja ... saya sebagai pengganti wali dari orang tuamu, memutuskan pula untuk mengakhiri ikatan kita sebagai keluarga."Kali ini bukan hanya Yanti yang terhenyak, Sari, Kumala, Rudi bahkan Pak Wongso kaget begitu mendengar ucapank
Sampai di toko sudah hampir jam sepuluhan, dengan cekatan aku membuka dibantu oleh kedua anak buahku. Kalau hari Minggu begini, banyak orang jalan-jalan atau sekedar mencuci mata menghabiskan waktu luang.Tetapi ada pula yang sengaja datang dari luar kota, untuk mencari barang yang memang mau dijual lagi maupun untuk persiapan lebaran. Tentu saja, bagi yang ambil banyak akan dapat harga grosir, lain dengan yang eceran. Bagi pedagang seperti kami, jika pengambilan banyak, kami hanya main omzet saja. Beda ceritanya kalau eceran. Terkadang kami ambil laba sekitaran sepuluh ribu hingga lima belas ribu, karena adanya resiko mati ukuran dan warna.Tak terasa karena kesibukan yang tak henti-henti, waktu pun bergulir dengan cepat begitu saja. Suamiku tidak datang ke toko, karena masih menyelesaikan masalah Yanti. Aku juga sengaja tidak meneleponnya, takut saling mengganggu.Hari sudah hampir senja ketika aku tiba kembali di rumah. Kulihat Mbak Romlah sudah selesai dengan tugasnya. Makanan pu
"Ibu sudah sarapan?" "Sudah tadi, Nak. Kok tumben belum berangkat?"Pagi ini sengaja aku tidak berangkat bareng Mas Alif. Karena rencananya mau nunggu Uswatun dulu dari pasar. Sambil menunggu, aku menyiapkan bahan-bahan yang hendak kuracik."Yanti jadi tinggal ma siapa, Nduk?" tanya Ibuku hati-hati."Sama orang tua angkatnya Sari itu Buk, kenapa memangnya?"Kulihat Ibu mengerjapkan matanya. Pandangannya menerawang lalu berkaca-kaca. Sesaat kemudian terdengar beliau bicara lagi."Ibuk ini bukannya mau adu domba, tapi ... kalau tidak bilang, kasihan kamu.""Soal apa, Buk?"Aku mengalihkan perhatianku sejenak dari bumbu-bumbu yang hendak kuracik. Ingin tahu, perihal apa yang hendak dibicarakannya."Gak sekali dua kali, si Yanti itu datang bawa teman. Bahkan temannya ada bilang. Owh, tua bangka ini ya Yan? Kasih racun saja biar cepat mati!" ucap temannya sinis pada Ibu."Astaghfirrullah ... Ibuk kenapa gak bilang sama aku?" "Nduk ... Nduk, kamu itu seharian kerja pontang-panting, masa d
[Kayanya, rumahmu ada hantunya, Mbak. Baru aku tinggal sebentar ke bawah, uangku yang tinggal selembar satu-satunya di dompet, raib entah kemana. Untung uang yang dari pean aku umpetin di balik sakuku.] "Allah ... bencana apalagi ini?" keluhku kesal setelah membaca pesan dari Uswatun.Segera saja kuhubungi Uswatun. Sampai nada dering kelima, masih belum juga diterimanya panggilanku. Baru ketika untuk kedua kali akan menghubunginya lagi. Sebuah pesan masuk darinya.[Rumahmu beneran ada tuyulnya lho, Mbak. Masa iya, uangku tiba-tiba sudah di selipan baju yang masih kutaruh di atas kasur?! Sampai bingung jadinya.]Dahiku berkerut membaca pesan darinya. Tak mungkin bukan, dalam sekejap hilang, terus bisa balik lagi. Apalagi kalau tuyul yang ambil, pasti sudah hilang uang itu.[Sari masih tidur?][Masih ... malah sampai ngorok-ngorok.]Kukantongi ponselku, tak lagi membalas pesan Uswatun. Biar nanti setelah pulang, aku tanyakan lagi. Segera aku naik ke lantai atas, tempat di mana usaha ka
Ponselku seketika berdering, ketika aku hendak mengangkatnya, Sari turut masuk ke dalam kamar. Aku bingung harus gimana, sementara Mbak Aira terus-terusan meneleponku.Sambil mengawasi Sari, aku mengirim pesan pada Mbak Aira.[Ada Sari Mbak, nanti saja aku jelaskan di rumah.]Langsung centang biru, tetapi tanpa balasan darinya. Aku mematikan ponselku, lalu menaruh di atas nakas tempat tidur."Kamu mau cari apa Sar?"Sari tampak kebingungan menjawab pertanyaanku, tangannya sibuk menggaruk kepalanya. Salah satu tanda jika orang itu melakukan kesalahan. Yang kupelajari dari salah satu buku psikologi.Tampak Sari memunguti remahan-remahan dan juga membersihkan makanan yang berhamburan di sela-sela lipatan baju. Aku keluar kamar, menuju musholla kecil yang berada di pojok. Memakai mukena yang sudah ada di sajadah, kemudian bergegas sholat Dhuhur. Begitu selesai sholat, kulihat Sari telah usai pula membereskan pekerjaannya tadi. Segera kuambil mukena yang tadi dirubungi semut dan bercak ma
"Tumpukan apa Dek, yang ada di selipan baju? Potongan ikan ayam? Siapa yang menaruhnya?" tanya Mas Alif sekali lagi, membuat aku dan Uswatun tidak tahu harus menjawab apa."Eh itu, siang tadi pas Uswatun bersih-bersih lemari, nemuin remahan makanan di selipan susunan baju. Gak pa pa kok Mas. Barangkali lupa taruh," kilahku."Mana ada seperti itu? Terus, siapa yang sudah naruh makanan di situ?" tanya Mas alif sedikit emosi, membuat kami berdua khawatir. Aku mengedikkan bahu tanda tak mengerti. Lalu kusodorkan gawaiku yang berisi foto yang diambil Uswatun tadi siang. Uswatun tampak gemetar di sampingku."Itu di selipan baju siapa?" tanya Mas Alif sambil memperhatikan dengan seksama gambar di ponselku."Di selipan mukena dan baju sholat, Mas. Biasanya memang aku sediakan untuk tamu yang kebetulan menginap atau numpang sholat di rumah kita."Kuambil kembali gawaiku dari tangan Mas Alif. Menyodorkan segelas air mineral kepadanya, guna mengurangi emosi. Tetapi, Mas Alif hanya meletakkan di
"Izinkan, saja Dek! Gak balik ke rumah kita juga gak pa pa! Malah enak." Sontak aku pun kaget mendengar ucapannya."Kok gitu sih?""Emm ... dari pada ntar datang lagi, bikin masalah baru."Aku mengerutkan keningku, tidak paham dengan maksud suamiku."Anak seperti Sari itu, biasa hidup di jalanan. Mudah mempengaruhinya, apalagi hal yang buruk. Pasti cepat dia menanggapinya. Selama ini, kalau keluarga mendiang Ibunya itu orang baik, gak mungkin mereka berencana licik di belakang kita. Kamu saja yang belum aku kasih tahu akan hal ini.""Emang ada yang tidak aku ketahui? Apa itu?""Lebaran nanti gak usah belikan Sari banyak-banyak belanjaan. Cukup belikan saja seperlunya. Perhiasan yang kamu belikan, suruh lepas semua. Kecuali anting, biar saja dipakai."Aku diam, mencoba mencerna semua perkataan suamiku. Takutnya dia cuma berprasangka yang tidak-tidak pada keluarga mendiang Ibunya Sari.~~~~~Waktu terus bergulir, puasa sudah dapat dua puluh hari. Firda dan Sari juga sudah pernah batal
"Diam kamu! Kamu cuma pembantu di sini! Aku ini ponakan Om alif!""Plaaakk ...!"Tangan Uswatun menampar pipi kanan Sari dengan keras. Seketika membuatku terhenyak, yang membuat lebih terkejut lagi. Mas Alif sudah berdiri di pembatas tangga dengan pandangan menusuk. Tak ada pembelaan sedikit pun buat kedua keponakannya.Sari tampak menangis sambil memegangi pipinya yang masih merah. Matanya menatap penuh kebencian pada Uswatun. Seakan-akan tidak menerima atas tamparan Uswatun."Apa ... mau melawan?" bentak Uswatun kesal.Sementara Sari masih tetap menatap Uswatun dengan pandangan dendam."Kemasi barangmu! Kalau perlu bawa semua. Jangan sampai ada yang kelupaan!" ucap Mas Alif tegas pada ponakannya."Us ... bantu Sari sampai selesai! Pastikan yang bukan miliknya, jangan sampai terbawa!""Ke bawah dulu, Dek!" ajaknya lalu langkah kakinya menapak turun anak tangga. Aku turut membuntuti di belakangnya."Apa aku bilang? Benar 'kan dugaanku, Dek?""Iya ...." jawabku lirih tak lagi membanta
"Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok
"Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh
Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.
Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar
"Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl
Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be
"Tapi, Bi, kedatangan saya ini, untuk mem-batalkan rencana pernikahan ka-mi," tutur Anwar dengan terbata."Apa!? Kenapa bisa begitu? Kamu jangan mempermalukan kami!" seru Murni sambil mencak-mencak tak karuan.Ikhsan sampai bingung menenangkan istrinya itu. Ikhsan sendiri yang sedari tadi diam pun, ikut terkejut mendengar penuturan Anwar.Sementara Tika, saking terkejutnya, sampai tak bisa bicara apa-apa. Tiba-tiba saja, Yanti keluar dari balik kelambu kamarnya. Sebuah bantal dia lempar tepat ke muka Anwar."Dasar b*jing*n kamu! Aku gak bakal terima kamu giniin! Kamu tetap harus menikahiku. Apa perlu aku bilang yang sesungguhnya?" teriak Yanti dengan menantang Anwar.Anwar sampai tergeragap karena lemparan itu tepat mengenai mukanya. Yang membuatnya makin bingung, adalah ucapan Yanti yang meminta pertanggung jawaban padanya.Benar-benar pusing Anwar dibuatnya. Karena selama pacaran pun, Anwar tidak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama bersama Yanti. Paling cuma panggilan aja y
Aira tampak keluar dari kediamnanya. Menghampiri gerobak belanja milik Bang Ujo. Nampak di sana beberapa ibu yang lain sedang berbelanja pula."Eh Mbak Aira, mau belanja apa Mbak?" sapa Bang Ujo ramah.Sementara Aira hanya membalasnya dengan senyuman. Wanita cantik itu segera memilah-milah dagangan milik Bang Ujo. Tempe, tahu, diambilnya beberapa buah. Tangannya juga sibuk mengambil telur puyuh yang sudah dikemas dalam plastik kecil-kecil."Dagingnya ada Bang?" tanya Aira pada Bang Ujo."Mau masak apa Mbak Aira?" Bu Agus yang sedari tadi memperhatikan Aira yang sibuk memilih-milih sayuran pun, ikut bertanya."Ini Buk, si Vian minta dimasakin semur daging," balas Aira ramah."Mbak Aira tuh, memang jago kalau masak. Aku terkadang mau tanya resep masakannya, tapi malu," timpal tetangganya yang masih mudah."Kenapa malu, gak pa pa. Saya malah senang bisa berbagi ilmu," ujar Aira ramah."Dagingnya mau berapa kilo, Mbak Aira?" tanya Bang Ujo."Setengah kilo saja, Bang. Tambahin tulang mudan
Sampai di rumah, mata ini tak dapat terpejam hingga larut malam. Bayangan Yanti terus saja menghantui. Rasanya masih tidak percaya saja, jika dia bisa berbuat sekeji itu.Jika mendengar dari Mama atau Bu Kumala, pasti aku juga tidak bakalan percaya. Tetapi, ini aku dengar sendiri dari rekaman yang diperdengarkan Om Alif. Pantas saja, sikap Mbak Us begitu ketus ketika kami tadi datang berkunjung ke rumah tersebut.Kubuka aplikasi hijau, kucari nama Yanti di sana. Terlihat on, padahal sudah pukul dua belas malam. Apalagi yang akan direncanakan oleh gadis edan itu?Segera kuganti namanya di kontakku dengan Nini Lampir. Sesudah mengetik itu, kulempar ponselku asal. Ada sedikit rasa lega, karena aku sudah tahu perihal yang sebenarnya.Bangkit dari rebahan, kuambil sarung dan peci. Lalu segera membersihkan diri untuk bersuci. Kugelar sajadahku, lalu memohon pada Sang Pencipta. Agar mendapatakan petunjuk dariNya.~~~~~Pagi masih begitu dingin, kulihat Mama sudah sibuk di dapur. Bau harum ma