Kata demi kata yang diucapkan secara terburu-buru, penuh emosi, dan tidak bisa dikendalikan telah melukai hati kecil Raden tanpa disadari. Kini mata wanita itu dipenuhi dengan rasa amarah yang sama besarnya. "Kenapa kamu tidak menyerah saja? Apa kamu tahu, jika kamu terus seperti ini, kamu justru melukai semua orang di sekitarmu karena keegoisan itu?"
Kala hati Raden semakin lama membeku dengan kepalan tangan yang semakin mengeras, justru mata Anna mulai diselaputi oleh air mata dan berusaha membendung sebaik mungkin.
Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Hanya ada tatapan mata yang saling beradu, udara yang panas meski pendingin sama sekali tidak rusak, dan dua manusia yang saling memikirkan pendapatnya sendiri di dalam otak.
Raden menjadi orang pertama yang menghembuskan nafas bersamaan dengan tangan yang terkulai lemas, namun itu tidak menandakan pendiriannya goyah. Sama sekali keliru. "Seandainya semua memang bisa semudah itu. Tapi, kamu salah Anna. Perus
Kini, setelah bertahun-tahun hanya melihat perusahaan Kusuma Jaya dari jauh, Noah resmi diangkat sebagai salah satuchief di sini. Yakni, CFO. Memang mustahil jika langsung menggoyahkan Raden dari kursinya saat ini meski sempat dilanda skandal, penurunan performa, dan kedatangannya sebagai pewaris resmi. Tapi tidak apa-apa. "Segini saja sudah cukup baik untuk sekarang." Tanpa sadar Noah menyampaikan isi pikirannya dengan suara rendah sembari memandang langit bersih tanpa awan. Ketika Noah terus tersenyum penuh kemenangan atas hal ini, di lain ruangan ada orang yang tidak bisa tenang memikirkanchiefbaru. Para dewan komisaris telah setuju untuk memberi jabatan itu pada Noah dengan mudah, apakah kelak mereka akan berbuat hal yang sama kepadanya? Tentu saja ada kemungkinan atas hal itu. "Apakah dia akan bertindak lanjut dengan cepat?" Selain itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang masih berkaitan dengan masa lalu dan sama sekali tid
"Lalu, bagaimana kehidupan Kakak setelahnya dan bagaimana cara Kakak bisa bertemu dengan Malik Dwi Setiawan?" ***** Padahal baru sehari berlalu, tapi anak laki-laki itu sudah merasa melewati seminggu lamanya. Ingatan akan tubuh-tubuh Ayah, Ibu, dan dua saudara lainnya yang terbujur kaku dengan peluru yang tersemayam, darah merah gelap mengalir di mana-mana tidak bisa lepas dari ingatannya. Kini kondisinya sama sekali tidak bagus meski matahari telah menampakkan cahaya. Dengan kaki yang terluka akibat bergesekan dengan aspal, tidak ada makanan atau minuman yang dikonsumsi padahal sudah berjalan sejauh ini, seperti ingin meninggal saja. Namun, di sela-sela kepayahan dalam berjalan, Noah masih memikirkan satu saudara yang tersisa. "Apakah Raden baik-baik saja?" Saudaranya yang paling terasingkan itu sengaja ditempat di kamar pembantu, kamar belakang dan kecil di rumah itu. Meski selama ini Raden adalah anak yang paling ditinggalkan dan kelihatann
Waktu mengalir secara cepat, tak terasa sudah tiba makan malam di mana keluarga Setiawan akan menyambut kedatangan Noah. Untuk kali pertama bagi Ariel melihat sosok pria itu secara langsung. Sedangkan Elisa, meski telah diberitahu dan turut diundang, dia memutuskan untuk tidak datang. "Sama sekali dia tidak akan datang, ya?" tanya Masya masih dengan harapan. Anak-anaknya menggeleng yakin. Tentu saja sebagai seorang ibu, Masya berharap dapat berkumpul dengan sang anak lagi sejak pertengkaran hari itu. Tapi karena Elisa sudah menjadi wanita dewasa, ia tak bisa memaksa. Terdengar suara pagar dibuka dari belakang. Malik beranjak dari kursi dan berkata, "Mungkin itu Noah. Aku akan keluar untuk menyambutnya." "Aku ikut," ucap Masya ikut menyusul sang suami. Sedangkan Ariel dan Erik mencoba mengintip dari balik jendela. Mobil hitam dengan tipe yang baru saja dikeluarkan akhir-akhir ini, muncul seseorang dengan jas formal, rambut yang tersisir rapi ke belakang, dan s
Di saat Malik dan Noah masih berduaan di belakang untuk membicarakan sesuatu, Ariel dan Erik masuk ke dalam kamar yang sama. Tinggal Masya sendiri lah di ruang makan selain para pembantu yang sibuk membersihkan piring kosong dan bolak-balik ke dapur. "Kenapa Erik juga masuk ke kamar Ariel?" heran Masya sembari menatap lurus pintu kamar Ariel di lantai dua. Padahal Ariel adalah tipe orang yang paling tidak suka jika seseorang masuk ke kamarnya, apalagi jika itu adalah Erik, si anak bontot yang jahil. Tidak mungkin mendadak Ariel berbaik hati. Atas dasar rasa penasaran, Masya berjalan menaiki tangga untuk menguping sebentar. Hanya sekedar memeriksa apa yang kedua anaknya perbuat bukan hal yang salah, kan? Saat berada di depan pintu kayu dengan sebuah stiker hitam besar bertuliskan 'ketuk pintu kalau masih punya tangan', tangan Masya memiringkan gagang pintu dan berusaha membuka tanpa membuat suara. Bukannya dia mengaku dia tak punya tangan jika berpatok pada st
Manusia adalah sesuatu yang kompleks, tidak mudah untuk dipahami. Terkadang manusia itu sendiri tak bisa memahami adirinya dengan baik. Ada beberapa hal yang tak mampu dijelaskan dengan kata-kata, hanya dapat dirasakan. Misal seperti perasaan rindu yang tidak bisa diungkapkan begitu saja. Saat ini, sembari berdiri membatu, ada seorang pria bertubuh tinggi sedang menatap langit dari balik kaca jendela. Tidak lupa dengan segelas anggur di tangan. Minuman itu tak kunjung diminum, menandakan sang empunya sedang fokus dengan pikiran lain. Langit senja terlihat begitu indah, setidaknya ada beberapa orang di luar sana yang sedang tersenyum melihat keindahan alam. Tetapi hal itu tak berlaku bagi pria tersebut. Alih-alih terkesima, justru dia memikirkan sosok lain, mengira-ngira apakah orang yang dia pikirkan sedang melihat ke arah langit yang sama. "Kenapa ... harus dia?" gumamnya berbisik, hanya dia sendiri yang bisa mendengar pertanyaan tersebut. Setelah bertanya,
Agar tidak melulu terbawa masa lalu, Anna menyempatkan waktu untuk berolahraga ringan di luar. Akhir-akhir ini tempat favorit untuk melakukan jogging adalah taman di dekat area hotel. Taman penuh kehijauan dan bunga, memang ditujukan untuk bersantai atau berolahraga ringan. 'Aku harus menanam bunga ini kalau punya taman,' batin Anna kala berhenti sejenak setelah melihat bunga-bunga yang cantik di semak-semak dan berselancar di internet untuk mengetahui namanya. Setelah itu, dia kembali melanjutkan aktivitas sebelumnya. Seperti biasa, kaki Anna membawa perempuan itu untuk mengelilingi taman untuk tiga putaran. Tempatnya yang cukup luas membuat Anna sudah kelelahan sendiri di akhir putaran ketiga. Selain itu, dia juga sudah puas melihat pemandangan seluruh taman selama berlari. Dengan tangan dan handuk kecil yang menyeka dahi dan leher, mata Anna mencari tempat duduk. Sekarang matahari cukup bersinar dengan terik sampai-sampai peluh keringat tak henti-hentinya
Tanpa menunggu waktu lama, Raden telah mendapatkan perawatan dari dokter. Sebagai sekretaris, Laila memastikan bahwa sang bos mendapatkan pengobatan dengan cepat dan tidak mengalami kecelakaan lebih serius. Selama setengah jam lebih dokter profesional dan dua orang perawat lain yang mengikuti memeriksa luka Raden dan mengobati. “Kita hanya perlu menunggu Pak Raden kembali sadar. Setelah itu, saya akan kembali memeriksa apa yang telah terjadi.” Memang Laila sudah berkata bahwa sebelum kepalanya tak sengaja terbentur pinggir meja, Raden sempat berteriak seperti kesakitan. Itu juga kenapa Laila langsung meninggalkan pekerjaan di meja dan masuk ke ruangan Raden. Makanya sang dokter merasa mungkin Raden mengalami gejala lain sebelum jatuh dan terbentur meja. “Kira-kira butuh berapa jam untuk beliau sadar?” tanya Laila hati-hati sekaligus cemas. Si dokter berusaha memperkirakan jawaban sambil menoleh ke tempat Raden berbaring. “Paling cepat satu jam, paling lama mu
Seusai diperiksa oleh dokter, Raden hanya mendapat pernyataan bahwa dia memerlukan istirahat sampai besok. Setelahnya dia bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Lalu di saat itu juga ponselnya berdering. Laila segera mengambil tanggung jawab untuk mengecek siapa peneleponnya dan untuk beberapa detik matanya menatap ke arah Raden dengan ragu. Tentu saja itu berhasil membuat Anna penasaran. "Siapa itu? Jika dia orang penting, jangan dibuat menunggu." "Ini adalah Bu Anna yang menelepon, Pak." Laila sudah memiliki dugaan bahwa sang bos akan menyuruh dia menolak telepon tersebut, hubungan mereka 'kan masih sangat buruk. Maka dari itu dia tertegun ketika justru Raden mengulurkan tangan untuk mengambil alih teleponnya. "Bapak ingin menjawabnya?" Dengan yakin Anna menjawab, "Iya." Tentu saja itu adalah telepon dari Raden dan dia bisa mendapatkan informasi terkini mengenai tubuhnya dari situ. "Cepat berikan pada saya." Alhasil benda tipis itu berpindah tempat