Setiap sore aku selalu bermain di teras rumah bersama Hafiz, anak yang masih imut-imutnya itu sudah mulai belajar memiringkan tubuhnya. Biasanya jam segini Bang Habib sudah pulang, tapi entah kenapa sekarang ia pulang lebih lama. Aku berpikir mungkin saja ada lembur di kantornya.Entah mengapa tiba-tiba aku mengalami pusing yang luar biasa, rasanya mual dan ingin muntah. Berkali-kali aku pergi kekamar mandi untuk muntah, sementara Hafiz kubawa masuk kedalam dan kuletakkan di depan tv supaya ia lebih tenang. Untung saja tidak lama kemudian Bang Habib pulang, aku merasa lebih tenang dan segera memintanya untuk membelikan obat."Bang belikan obat masuk angin dong," pintaku diambang pintu kamar mandi lalu masuk kedalam lagi karena terus saja ingin muntah. Bang Habib mengejarku masuk kedalam kamar mandi, ia langsung memijat pundakku agar aku lebih baik."Kamu kenapa Dek?" tanyanya khawatir."Aku masuk angin deh kayaknya, kepalaku pusing banget. Mau muntah terus," sahutku memijat pelipis ya
Aku mengalami mual yang luar biasa, bahkan untuk bangkit dari tempat tidur saja susah. Aku sangat bingung mengapa hamil yang kali ini sangat menyiksa, padahal dulu waktu hamil Hafiz tidak seperti ini.Bang Habib bangun dan membuat sarapan sendiri pagi ini, untung saja sekarang ia sangat pengertian, tidak seperti dulu yang maunya di layani tanpa tau kondisi istrinya."Dek, Abang telefon Ibu ya suruh kesini biar ada yang urus kamu. Abang takut kamu kenapa-kenapa, kasian kamu nanti jaga Hafiz sendirian," ujar Bang Habib sebelum pergi kerja."Sheila takut ngerepotin Ibu Bang," sahutku lirih menahan rasa sakit dikepala."Uda gapapa, ibu uda biasa Abang repotin," ucap Bang Habib yang langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Sebenarnya aku memang sangat butuh bantuan Ibu mertuaku saat ini, rasanya aku pun tidak sanggup jika mengurus Hafiz sendirian dalam posisi mual-mual."Sebentar lagi Ibu kesini, kamu sarapan dulu aja mumpung Hafiz masih tidur. Tadi uda abang masakin nasi goreng, A
POV HABIB…Aku sangat kesal dengan Sheila, ada saja tingkahnya untuk mengerjaiku. Sheila pasti sengaja tidak memberitahu Ibu bahwa ia sedang hamil, karena dia ingin membuatku terkena omelan Ibu."Ayo, Habib anterin Ibu pulang," ajakku menenteng helm."Ihh, ngusir kamu bib?" tanya Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka."Ya bukannya mengusir, nanti Ibu dicariin Ayah kalau gak pulang-pulang," kilahku, padahal aku memang sengaja ingin Ibu cepat-cepat pulang agar bisa memarahi Sheila. Jika ada Ibu disini aku tidak berani berkutik sedikitpun, karena Ibu pasti akan menerkamku jika berani menyentuh menantu kesayangannya."Assalamualaikum." Tiba-tiba saja terdengar suara Ayah dari depan pintu, beliau menenteng dua buah tas besar masuk kedalam rumah."Waalaikumsalam. Itu Ayah datang," ujar Ibu sambil menunjuk keluar."Loh, kok Ayah bawa tas besar-besar mau kemana?" tanyaku bingung."Ya mau menginap disini lah! Sheila lagi sakit nanti gak ada yang jagain cucu kesayangan Ayah, jadi Ayah sama Ib
POV HABIB…Dengan secepatnya aku membawa sepeda motorku melaju, tidak ada sedikitpun terdengar tangisan Hafiz dalam gendongan Ayah."Ayah Hafiz tidur?" tanyaku dalam keadaan panik."Iya, sudah kamu fokus bawa motor aja. Hafiz gak kenapa-kenapa kok,"sahut Ayah.Sesampainya dirumah sakit dengan segera aku menggendong Hafiz dan menuju resepsionis, saat melihat keadaan Hafiz perawat disana langsung membawa Hafiz ke UGD. Apakah separah itu sakit yang diderita Hafiz fikirku. Hatiku gelisa berjalan mondar-mandir di depan pintu tempat Hafiz dirawat, sesekali aku mengintip dari cela kaca pintu. Putra sulung kesayanganku sedang di kerumuni tiga perawat dan satu orang Dokter. Pikiranku semakin berkecamuk, tidak henti-hentinya aku memanjatkan doa untuk kesembuhan putraku.Drttt…Tidak lama kemudian ponselku bergetar, dengan cepat aku mengeluarkannya dari dalam saku. Tertulis jelas Mbak Rina manajer kantor yang menelpon, aku lupa meminta izin cuti hari ini."Assalamualaikum Habib," ucap Rina manaj
Kaki-kakiku tidak sanggup lagi untuk melangkah, aku berjalan dengan gontai sembari berpegangan pada dinding-dinding bangunan. Air mata terus saja mengalir tanpa henti, aku tau air mata ini tiada artinya, air mata ini tidak bisa memberi kesembuhan untuk Hafiz. Akan tetapi, aku tidak dapat menahannya untuk tidak jatuh. Kini duniaku terasa runtuh luluh lantah habis seperti diterpa tsunami."Habib kamu kenapa?" tanya Ayah dengan mimik wajah panik, aku hanya terdiam sembari terus merintih. Cengeng? Ya aku memang cengeng untuk masalah anak dan istriku. Aku baru saja berusaha untuk menjadi Suami dan Ayah yang baik, tetapi ada saja ujian yang menerpa jalan hidupku."Habib jawab Ayah, kenapa kamu nangis!" seru Ayah menggoyang-goyangkan tubuhku yang membuat aku jatuh dan terduduk lemas di lantai. Aku meraung-raung di bawah Kaki Ayah, dan terus saja memanggil nama Hafiz."Bicara Habib! Bicara, ada apa dengan Hafiz!" teriak Ayah semakin panik."Ha… Ha… Hafiz menderita jantung bocor Ayah," sahutku
"Nak," ujar Ayah menepuk bahuku pelan."Ada apa Ayah?" tanyaku membalikkan badan."Ayah pulang dulu mengambil keperluan kita untuk menginap disini, kamu jaga Hafiz sendiri dulu gapapa kan?""Iya gapapa kok. Oh ya, Ayah aku titip ambilkan laptop kerjaku ya, nanti tanya Sheila aja dimana soalnya aku harus menyelesaikan pekerjaanku, jika tidak aku bisa kena PHK.""Iya, nanti Ayah bawakan. Sudah tidak ada yang lain kan?""Tidak, itu saja."Ayah langsung berlalu pergi keluar meninggalkan aku seorang diri, untuk sekarang kami tidak diperbolehkan masuk kedalam ruangan Hafiz dirawat. Jadi, mau tidak mau kami hanya bisa menunggunya dari luar saja.Aku duduk disana sambil memainkan ponsel di tangan, aku mencoba mencari tahu dari internet dimana bisa mencari Dokter Ahli jantung. Akan tetapi, hasilnya nihil dan benar yang dikatakan Dokter Revan di daerah sini sangat susah menemukannya. Kalaupun ada, Hafiz harus melakukan operasi di luar provinsi yang terdapat Dokter ahli jantung."Habib," sapa se
"Maaf Wenda, aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku tidak ingin menyakiti istriku, dan kini aku sedang dilanda masalah. Jadi, aku mohon sama kamu jangan membuat masalah baru, kita berteman saja." Aku melepas genggaman tangan Wenda yang begitu erat, seketika mimik wajah Wenda berubah. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya memerah, seakan ia sedang menahan tangis."Oke, maaf ya sudah ganggu!" pamitnya yang langsung berlalu pergi. Belum sempat saling bertanya ada keperluan apa dirumah sakit, Wenda malah langsung saja terang-terangan mengungkapkan perasaannya, dan kini malah pergi begitu saja.Kami putus bukan sebab keinginan kami sendiri, dan bahkan tidak ada kata putus dalam hubungan kami. Kesibukan masing-masing mengejar pendidikan lah, yang membuat kami tidak lagi saling berkabar dan lost kontak. Kami berkomitmen untuk saling menunggu sampai sama-sama sukses nanti akan bertemu lagi dan menikah, tetapi sayangnya belum lagi terlaksana janji itu aku sudah di jodohkan oleh kedua orang tuaku.
"Kalau gitu Om permisi masuk dulu. Oh ya, kamu uda ketemu Habib?" tanya Om Arifin menghentikan langkahnya."Sudah tadi didalam Om, kalau boleh tau istri Habib kemana ya Om? Kok tidak kelihatan, hanya Om dan Habib saja yang disini?" "Istrinya Habib sedang sakit dirumah, kalau dia ikut kesini dan tau keadaan anaknya Om takut dia malah semakin drop. Jadi, memang sengaja tidak Om kasih buat ikut, biar di jaga tante dia di rumah.""Oh gitu…""Kalau gitu Om permisi dulu ya Wen," kata Om Arifin melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti."Iya Om, silahkan!"Kini aku sudah mendapat jawabannya, aku malah semakin merasa bersalah dan simpati dengan apa yang terjadi pada istri Habib. Bagaimana bisa aku meminta untuk menjadi madunya, disaat dia mengalami masa-masa sulit seperti ini. Kejam! Sungguh kejamnya diriku ini.Hari yang sangat melelahkan untukku, banyak pelajaran yang dapat aku ambil hari ini. Bahkan perlahan aku mencoba untuk merelakan Habib, karena sekarang aku sudah tau bagaimana kead
Tidak terasa waktu sudah menjelang magrib, setelah selesai makan Bang Habib langsung mencuci piring. Hari ini ia sangat memanjakan aku sampai-sampai mencuci piring saja pun ia yang mengerjakan sendiri, semua ini ia lakukan hanya semata-mata untuk menebus semua kesalahannya tadi.****Keesokan harinya seperti biasa aku ikut dengan Bang Habib saat berangkat kerja, ia akan mengantarkan aku ke rumah sakit untuk menjaga Aisyah. Syukurlah ini hari terakhir Aisyah dirawat, karena keadaannya yang sudah mulai membaik sore ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang.“Hati-hati di jalan ya Bang,” kataku sambil mencium punggung tangan Bang Habib.Ia mengelus kepalaku dengan lembut lalu berkata, “adek juga hati-hati ya, jangan genit-genit sama Dokter yang ada disini.”“Siapa maksud Abang? Dokter Revan?”“Ya, pokoknya semua Dokter lah. Gak hanya Dokter saja pokoknya semua laki-laki,” ucapnya menoel hidungku pelan.“Ya ampun, Dokternya juga pilih-pilih. Mana mungkin mau sama Ibu beranak satu,” kataku m
"Tuh lah, rasain! Punya istri cantik, pintar, baik hati, rajin disia-siakan," sindir ku padanya. "Iya lah Abang salah, itu kan masa lalu gak usah dibahas lagi. Jadi sekarang Adek mau makan apa, biar Abang masakin?""Oke, karena Abang yang nantangin. Adek mau makan ayam geprek, sambalnya yang pedes ya Bang. Soalnya anak Abang lagi pengen makan yang pedes-pedes nih," ujarku sambil mengelus perut yang sudah mulai membuncit. "Siap Bos," kata Bang Habib yang ikut mengelus perutku. "Kalau gitu Abang keluar dulu ya, mau beli bahan-bahannya. Adek tunggu di kamar aja nanti kalau uda matang Abang panggil," imbuh Bang Habib mengelus kepalaku dengan lembut. Aku tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala, lalu ia mencium keningku dan mencubit pipiku dengan gemas.Bang Habib berlalu pergi keluar kamar, tidak lama kemudian aku mendengar suara deru motornya pergi dan tidak butuh waktu yang lama ia sudah kembali. Awalnya aku susah curiga mengapa ia sangat cepat kembali, karena tukang potong ayam b
POV SHEILA… Rasa trauma masa lalu kini menghantuiku. Seandainya kamu jujur sejak awal Bang, aku tidak mungkin akan sesakit ini. Coba kau ada diposisiku sebentar saja, agar kau tau betapa hancurnya saat kebohongan-kebohongan mu menggerogoti batinku.Aku menyeka air mata yang membasahi pipi, setiap teriakan demi teriakan tidak di hiraukan oleh Bang Habib. Ia tetap kekeh mencengkram kaki-kakiku kuat, enggan memberi cela aku untuk pergi. "Tolong tetap disini Dek, malu sama Umi dan Abi kalau setiap ada masalah kita libatkan mereka. Aisyah sedang sakit, jangan buat tambah beban pikiran orang tua lagi," lirih Bang Habib merayu. Aku menelan saliva dengan susah payah, memang apa yang dikatakannya benar. Akan tetapi, hatiku terasa perih saat melihat wajahnya. Entah mengapa bayang-bayang wajah Wenda membuat aku membenci suamiku sendiri.Aku mulai mengendur dan meredam ego perlahan. Tanpa berkata apa-apa aku berbalik kembali masuk ke dalam kamar, ku hempaskan tas di tangan dan kuletakkan Hafiz
"Aku bawa mobil kok, jadi tidak perlu diantar. Kalau begitu aku pamit pulang ya, assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Wenda pun pergi menghilang masuk kedalam mobilnya, ia menyalakan mesin mobil lalu membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada Hafiz."Mau aku antar," cibir Sheila menyindirku lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa sambil memainkan cream kue dengan sendok, tampaknya ia merasa sangat kesal denganku. Aku datang menghampirinya, lalu duduk tepat di sampingnya. Aku berusaha untuk membujuk Sheila dengan cara menggodanya, tetapi ia tidak peduli dan malah membalikkan tubuhnya membelakangiku. Bahkan ia juga menjauhkan Hafiz dariku, aku tidak dapat menyentuh anakku sendiri. Sontak hal itu membuat aku lepas kendali, emosi yang sejak tadi terpendam kini aku keluarkan semuanya "Kamu ini kenapa sih Dek? Dikit-dikit ngambek, buat suami bosen aja dirumah!" seruku kesal. "Oh jadi Abang bosan dirumah? Jadi, kenapa gak ikut Wenda pergi aja tadi!" sahutnya bersungu
Dia tinggal ngomong sih enak, gak ngerti posisiku seperti apa. Dia juga gak tau bagaimana kebaikan Wenda selama ini pada keluargaku, jadi bisa saja Ridwan bicara seperti itu.Aku menyesap kopi susu dingin yang diberi oleh Ridwan, kini rasanya aku tidak ingin memikirkan masalah apa pun. Otakku sudah terasa buntu memikirkan masalah pekerjaan, dan kini malah di tambah lagi perihal wanita yang tiada habisnya. Aku kembali masuk ke dalam kantor dan kembali bekerja. Niat hati tidak ingin memikirkan hal itu lagi, tetapi tetap saja aku kepikiran. Bagaimana bisa Sheila merencanakan hal seperti itu, kenapa dia bisa berpikir sejauh itu sih. Apa mungkin Risa hanya mengada-ngada saja? Ah Entahlah… Hari mulai menjelang sore, dengan pikiran yang masih berkecamuk aku pulang menunggangi kuda besi kesayanganku. Sepanjang perjalanan aku masih terus saja memikirkan ucapan Risa, bagaimana jika yang ia katakan benar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya hati Wenda nantinya. Dulu aku dan Wend
"Abi, silahkan duduk sini. Sheila buatkan teh ya," kata Sheila yang langsung bangkit dan hendak ke dapur. "Tidak usah repot-repot, Abi hanya sebentar kok," tolak Abi menahan Sheila. Sheila pun kembali dan duduk disamping Abi lalu berkata, "ini sebenarnya ada apa Abi?"Abi tersenyum tipis lalu menatapku, aku terus menunduk ketakutan. Jantungku berdetak tidak karuan, keringat dingin terus saja mengalir dari dahi."Jadi gini Shel, Umi kan sedang sakit. Kamu boleh gak jaga Aisyah dari pagi sampai siang saja, setelah itu Darwis yang bakal gantikan. Abi juga harus jaga Umi dirumah," tutur Abi pelan. Aku langsung merasa sangat lega saat mendengar penuturan beliau. Duh, Abi malam-malam sudah buat olahraga jantung saja batinku."Habib izinkan Sheila menjaga Aisyah untuk beberapa hari saja menggantikan Umi?" tanya Abi seraya menatapku. "Eh… Kalau Habib sih mengizinkan Abi, apalagi selama ini Aisyah yang selalu menemani Sheila saat menjaga Hafiz," sahutku sedikit gagu akibat spot jantung baru
"Hust, jangan berisik Bang. Hafiz sedang tidur," ujar Sheila yang sedang berbaring diranjang sambil menyusui Hafiz. Aku mengelus dada lega, karena hampir saja jantungku copot rasanya. Aku berjalan keluar sambil mengendap-ngendap tidak mengeluarkan suara agar Hafiz tidak terbangun, begitu juga dengan Sheila yang ikut melangkah keluar mengekori aku. "Kamu kenapa sih bang teriak-teriak begitu?" tanya Sheila."Aku pikir kamu gak ada dirumah, soalnya gak biasa-biasanya kamu dan Hafiz gak menyambut aku pulang kerja," sahutku sambil memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Oh itu tadi Hafiz gak tidur siang asik main aja, jadi jam segini uda minta tidur.""Ntar dia tidur sampai magrib?""Nggak Bang, palingan jam lima nanti uda bangun."Aku hanya menganggukkan kepala pelan, ingin rasanya aku bertanya pada Sheila apakah Darwis ada kesini dan bercerita yang aneh-aneh, tapi aku tidak memiliki keberanian sebesar itu. Saat ingin memulai bicara saja lidahku terasa keluh, bibirku enggan terbuka. "A
Sesampainya di rumah sakit, aku menemukan Mbak Aisyah sendirian di ruangan tempat ia dirawat. Tumben sekali Umi tidak ada, padahal biasanya beliau selalu menemani Mbak Aisyah. "Umi kemana Mbak?" tanyaku tiba-tiba yang membuat Mbak Aisyah terkejut. "Astagfirullah Darwis, kamu ini kebiasaan banget ya buat orang terkejut! Kalau masuk ketuk pintu dulu kek, ngucapin salam kek!" Protes Mbak Aisyah. Sementara aku hanya cengar-cengis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Ya maaf Mbak, namanya lupa. Hehehehe…""He… He… He… Kebiasaan banget lupa, masih muda kok uda pikun!" cetusnya dengan ekspresi wajah galak. Aku hanya mengerucutkan bibir pura-pura merajuk karena dimarahi olehnya, dan aku pun mengambil posisi duduk disamping ranjang sambil menopangkan dagu menatap Mbak Aisyah."Kenapa kamu liatin aku seperti Itu?" tanya Mbak Aisyah dengan ketus. "Gapapa, Mbak cantik aja hari ini," rayuku sambil mengerlingkan sebelah mata.Bukannya tersipu malu seperti wanita lain saat di goda, Mbak
Keesokan harinya saat dalam perjalanan pulang dari sekolah, mataku melihat pemandangan yang membuat aku terhenyak. Bisa-bisanya Om Habib sedang duduk berdua bersama seorang wanita di sebuah taman kota, hatiku bertanya-tanya siapakah wanita itu, apakah mungkin itu selingkuhan Om Habib? Wilayah ini memang cukup jauh dari rumahnya, jadi ia pasti bisa bebas berselingkuh.Cih, dasar lelaki mata keranjang! Jika memang sudah sifatnya tukang selingkuh pasti tidak akan bisa berubah. Dengan emosi yang membuncah aku menghampiri mereka, dan spontan membogem wajah Om Habib sekuat mungkin. Sakit rasanya melihat wanita yang begitu baik malah di khianati, karena gara-gara lelaki seperti Om Habib lah aku kehilangan Kakakku. "Dasar, laki-laki gak tau diuntung! Bisa-bisanya selingkuh lagi setelah diberi kesempatan kedua!" teriak ku kesal. Wanita itu berteriak-teriak saat melihat aku memukul Om Habib sampai bibirnya berdarah dan tersungkur di tanah. Saat ia hendak menolong Om Habib, dengan cepat aku la