Maya sedang duduk di sofa kecil di kamar hotelnya ketika ponselnya berdering. Melihat nama Hana di layar, dia segera menjawab panggilan itu."Halo, Han," sapanya dengan nada tenang."Maya! Kamu di mana sekarang?" Suara Hana terdengar kesal. "Tadi Bima datang ke kafe, marah-marah, nanya soal kamu. Kamu dimana, sih?"Maya terdiam sejenak, merasa bersalah. "Maaf, Han. Aku di Hotel Grand Vista, kamar 1204. Kalau kamu mau datang, aku jelaskan semuanya,"Tanpa banyak bicara lagi, Hana menutup telepon.***Sekitar setengah jam kemudian, Hana tiba di kamar Maya. Begitu pintu terbuka, dia langsung masuk dan menatap Maya dengan tangan bersilang di dada."Kamu pikir ini lucu, May?" omel Hana. "Pergi tanpa bilang apa-apa dan sekarang aku yang harus menghadapi suami kamu yang ngamuk-ngamuk di kafe?"“Maaf, Han,” Maya menundukkan kepalanya. “Aku memang tidak ingin merepotkanmu. Lagipula, aku butuh waktu sendirian,”Hana menghela napas panjang dan duduk di sofa di depan Maya. “Harusnya kamu tetap ka
Saat Sulastri datang ke rumah Bima sore harinya, Bima sudah ada di rumah. Pria itu duduk murung sambil memainkan gelas di tangan. Bahkan tak menoleh ketika Sulastri masuk dengan cepat ke dalam rumah tanpa permisi.“Bim, Mama mau bicara sama kamu,” ucap Sulastri tegas.Bima menghela napas. “Ada apa lagi, Ma?”"Ini soal Maya," Sulastri langsung masuk ke topik utama. "Mama rasa sudah waktunya kamu berhenti mempertahankan pernikahan yang tidak ada gunanya ini,"Bima menatap ibunya dengan alis berkerut. “Apa maksud Mama? Maya tetap istriku!”Sulastri menyilangkan tangan, ekspresi wajahnya dingin. "Istri, tapi apa gunanya jika dia tidak bisa memberikan keturunan untukmu? Kamu tahu keluarga kita b
Di kamar hotel tempat Maya menginap, Hana duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat. Maya berdiri di depan cermin, masih mengenakan pakaian kerja yang sederhana. Wajahnya tampak lelah, tapi raut mukanya bahagia.“May, kenapa kamu tidak mencoba ubah penampilan?” celetuk Hana. “Katamu, kamu ingin memulai hidup baru,”Maya menoleh, mengerutkan dahi. "Maksudmu? Penampilan aku kenapa? Aku rasa ini sudah cukup," Dia mematut diri di depan cermin.Hana tersenyum kecil sambil menggeleng. “Kalau kamu ingin meninggalkan masa lalumu, kamu juga harus meninggalkan gayamu yang lama,”Maya terlihat ragu. “Haruskah?”“Aku tidak bilang kamu harus dandan berlebihan atau pakai baju super mew
Reza melangkah maju, mencoba mengendalikan situasi. “Ini bukan tempat untuk membuat keributan. Jika Anda ingin berbicara dengan salah satu karyawan kami, Anda harus melakukannya dengan cara yang sopan,” Suara Reza menggelegar tegas.Bima menatap Reza dengan mata tajam. "Sopan? Aku suami Maya! Aku punya hak untuk bicara dengannya sekarang juga!"Maya akhirnya memberanikan diri untuk muncul dari balik tubuh Reza. "Apa yang kamu lakukan di sini, Bima?"Bima terlihat sedikit terkejut melihat penampilan baru Maya. Penampilan Maya yang kini berbeda—dengan pakaian elegan, rambut tertata rapi, dan aura percaya diri membuatnya terdiam sejenak. Namun, amarahnya tak mereda. Dia menunjuk Maya dengan penuh emosi.“Jadi sekarang kamu bekerja di sini? tanya Bima
Nina merespons dengan antusias. Ini adalah sesuatu yang sangat dia tunggu-tunggu. Apalagi Bima sendiri yang datang menemuinya, haus akan belaiannya. Mereka tenggelam dalam permainan yang begitu panas. Sesekali Nina memekik kenikmatan ketika Bima mulai memainkan titik sensitifnya.Setelah semuanya usai, Nina bersandar di dada Bima sambil memainkan jemarinya di pundak pria itu."Bima, kamu tahu aku selalu ada untukmu, kan? Apa pun yang kamu butuhkan, aku bisa memberikannya," bisik Nina dengan suara manja.Bima tidak langsung merespons. Wajahnya tetap terlihat keras, matanya memandang lurus ke depan seakan pikirannya berada di tempat lain.Setelah keheningan panjang, Nina beringsut dari pelukan Bima. Matanya menatap wajah pria itu dengan penuh harap. Dia mengira, mungkin setelah permainan yang baru saja terjadi, Bima akan mengucapkan sesuatu yang menunjukkan bahwa dia menginginkan Nina. Tapi nyatanya Bima membisu.Bima tiba-tiba duduk di tepi ranjang, meraih bajunya dengan gerakan terges
Bima duduk di dalam mobilnya yang terparkir di sudut jalan, cukup jauh dari gerbang utama kantor Reza. Namun dia masih bisa dengan jelas mengawasi pintu masuk kantor itu. Sejak pagi buta, dia sudah ada di sana. Menunggu dengan gelisah. Matanya terus memperhatikan setiap mobil atau taksi yang berhenti di depan gedung, berharap melihat sosok Maya turun.Kepalanya bersandar pada kursi, namun pikirannya tidak tenang. Wajah Bima menunjukkan kelelahan akibat kurang tidur. Dalam hatinya, rasa marah, frustasi, dan ketakutan bercampur menjadi satu. Dia tahu Maya tidak akan kembali ke rumah, apalagi setelah pertengkaran terakhir mereka. Tapi Bima juga tahu, dia tidak bisa membiarkan Maya pergi begitu saja.Tepat ketika dia hampir menyerah, sebuah mobil berhenti di depan gedung. Bima tahu persis itu mobil milik Maya. Dari sana turun Maya dengan penampilan yang berbeda dari yang biasa dia kenal.Bima membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rambut Maya yang dulu selalu terger
Saat Bima membuka pintu mobil, ponselnya berdering. Nama Nina muncul di layar, membuat alisnya terangkat. Awalnya Bima ragu untuk mengangkat, tetapi bunyi dering itu seolah memaksanya.“Ada apa?” tanya Bima dengan nada kesal.“Aku butuh bicara. Ini penting,” Suara Nina terdengar parau.Bima menghela napas panjang. “Aku tidak bisa. Aku baru saja—”“Aku di kafe biasa. Kalau kamu peduli padaku dan anak kita, kamu akan datang sekarang,” potong Nina.Kata-kata itu membuat Bima terdiam sejenak. Frustasi bercampur rasa bersalah menghantui pikirannya. Bima menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke kursi penumpang. Dengan perasaan dilema, dia menyalakan mesin mobil dan melaju menuju kafe tempat Nina menunggu.***Setibanya di kafe, Bima menemukan Nina duduk di sudut ruangan. Wajah Nina terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi ada senyuman kecil yang dia berikan saat melihat Bima mendekat.“Kamu datang juga,” kata Nina pelan.Bima duduk di hadapannya tanpa membalas senyuman itu. “Jadi, apa y
"Kamu pikirkan saja apa yang lebih penting sekarang,” Sulastri duduk di samping Bima. Begitu dekat, seakan tidak ingin orang lain dengar. “Masa depan anakmu atau apa kata orang? Maya tetap istri sahmu di mata hukum, jadi warisan itu tetap aman. Tapi Nina harus kamu jaga, karena dia mengandung darah dagingmu," terang Sulastri.“Maya sudah pergi dari rumah, dan dia pasti tidak akan terima kalau tahu aku menikah lagi. Walaupun secara siri," balas Bima dengan nada frustrasi.Sulastri mendesah panjang. Dia melirik Bima sedikit kesal. "Kamu itu laki-laki, Bima. Kamu harus bisa mengatur semuanya,” tuntutnya. Maya sudah mendapatkan semua dari kamu. Rumah, kehormatan, status … ““Rumah itu rumah peninggalan orang tua Maya,” potong Bima cepat. “Mama lupa?”Sulastri mengedipkan mata cepat. Lalu menggeleng. “Tapi Nina memberikan sesuatu yang lebih berharga! Yaitu anak. Kalau kamu sampai kehilangan anak ini, itu kesalahanmu sendiri,”Bima diam, menatap kosong ke lantai. Di dalam hati dia tahu apap
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau
Semua orang yang ada di dalam ruangan menatap Bima dengan ekspresi tak percaya. Sulastri menutup mulut dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur putranya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan nama yang baru saja disebut Bima.Reza hanya bisa berdiri diam di tempat. Rahangnya mengatup rapat. Hatinya terasa sesak, meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpikiran jernih. Dia mempercayai Maya, tetapi mendengar nama tunangannya disebut dalam kondisi seperti ini membuat perasaan Reza campur aduk.Maya sendiri tampak terpaku di tempat. Wajahnya mendadak pucat, tangannya gemetar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa."APA?" Semua mata langsung tertuju pada Nina. Dia melangkah maju, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Apa yang barusan dia katakan?" ulangnya. "Kenapa dia menyebut nama wanita ini?"Tidak ada yang menjawab. Hanya suara elektrokardiograf yang terus berbunyi di latar bel
Mereka berdua menoleh. Sulastri berdiri dengan ekspresi penuh amarah, sementara Reza berdiri tak jauh di belakangnya. Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Nina yang hendak dia gunakan untuk menampar wajah Maya.Nina merasakan rahangnya mengeras. Dia merasa dikhianati. Semua orang tampak membela Maya. Dengan cepat dia menepis tangan Sulastri yang menahan tangannya.“Jangan seperti ini,” tegur Sulastri, geram. "Rumah sakit bukan tempatmu untuk melampiaskan amarah. Apa kamu lupa Bima sedang koma?”Nina mendengus tajam. Matanya berkilat penuh kemarahan. Dia berbalik menatap ibu mertuanya dengan ekspresi tidak percaya. "Aku istrinya! Aku berhak marah!” pekiknya. “Tapi sekarang Ibu malah yang membela Maya? Sejak kapan Ibu berpihak pada wanita ini?!" Dia menunjuk Maya dengan murka."Aku tidak membela siapa pun,” sambar Sulastri. Sama-sama emosi. “Maya ada di sini karena dia merasa berutang budi pada Bima. Dia mendonorkan darahnya saat keluarga belum ada yang datang. Apakah itu salah
Sulastri menggeleng pelan. “Aku yang salah. Aku tidak lihat jalan,”Alih-alih menanggapi, Reza mengambil kantong makanan yang tadi dia letakkan. “Maya belum makan sejak tadi. Saya membawakan ini untuknya,” katanya lalu mengangkat kantong itu.Sulastri memandang pria itu lebih lama. Seolah mencoba membaca hatinya. Ada sesuatu yang tulus dalam cara Reza berbicara, yang membuat Sulastri tak bergeming.Sulastri mengamati pria itu yang masih berdiri di sana, memegang kantong makanan untuk Maya. Wajah Reza tenang, tidak menunjukkan kemarahan seperti yang dia harapkan dari seorang pria yang seharusnya merasa tersaingi."Kenapa kamu diam saja saat Maya menunggui Bima?" tanya Sulastri tiba-tiba.Reza sedikit mengernyit. “Apa maksud Ibu?”"Kamu calon suami Maya, tapi justru membiarkan dia menjaga pria lain selama berhari-hari. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah menarik Maya pulang sejak lama," ujar Sulastri. Tatapannya tajam menelusuri wajah pria itu, mencari reaksi.Namun Reza tetap tenang.