"Bima, tidak perlu marah begitu. Nina kan cuma mau membantu," tukas Sulastri, mencoba mencairkan suasana.Namun, Bima tidak menjawab ibunya. Dia memalingkan wajah dan berjalan pergi, meninggalkan Nina yang tampak kebingungan dan kesal.Bima melangkah menuju dapur, tempat Maya berdiri. Tatapan matanya sejenak beralih ke arah Bima yang mendekat, tapi dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.Bima menghela napas, lalu mendekat. "Aku tahu tadi kamu sibuk bantu-bantu. Maaf kalau kamu jadi repot. Aku tidak tahu acara ini akan sebesar ini," katanya pelan, mencoba membuka percakapan.Maya hanya mengangguk kecil. "Tidak masalah. Toh, cuma diminta bantu-bantu sedikit. Aku istri kamu, kan? Wajar kalau aku disuruh-suruh," jawabnya.Sementara itu, Nina berdiri di ruang tamu, memandang ke arah dapur dengan ekspresi kesal. Tangannya mengepal erat, bibirnya mengerucut."Nina, jangan ambil hati. Bima memang keras kepala, tapi dia akan tahu mana yang lebih baik untuknya," bujuk Sulastri.Namun, Nina tida
Malam itu, Bima pulang lebih awal dari biasanya. Dia melihat Maya sedang duduk di ruang keluarga, membaca buku. Maya menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, tetapi ekspresinya tetap dingin ketika memandang Bima.Bima berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. "May, aku ingin kita bicara,"Maya meletakkan bukunya dan menatap Bima. "Tentang apa?"Bima menghela napas, lalu menggenggam tangan Maya dengan hati-hati. "Tentang kita,” Dia sengaja diam sejenak. “Aku sadar selama ini aku banyak salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu,"Maya terdiam, mencoba membaca ketulusan di wajah suaminya. "Kamu yakin? Aku sudah terlalu sering kecewa,"Bima mengangguk. "Aku yakin,” sahutnya. “Aku ingin kita memulai lagi. Aku akan berusaha untuk menjadi suami yang lebih baik,"Maya akhirnya mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca saat memandang Bima. “Kamu tahu, aku selalu peduli padamu. Atas semua hal. Tapi aku merasa … setelah kamu semakin sukses, kamu juga
Bima duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen. Di tangannya ada sebuah map tebal berisi informasi yang baru saja dia dapatkan setelah berhari-hari menyelidiki."Jadi ini alasan Maya begitu tertutup tentang keluarganya," gumam Bima sambil membaca isi dokumen itu.Dokumen itu menyebutkan bahwa Maya adalah anak tunggal dari Rizal Alendra, pemilik sebuah perusahaan besar di bidang properti bernama Alendra Group. Perusahaan ini pernah menjadi salah satu yang terkemuka di tanah air, sebelum akhirnya mengalami kejatuhan akibat kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tua Rizal dan Desi Alendra.Kecelakaan itu terjadi lebih dari satu dekade lalu, di sebuah jalan tol yang lengang saat malam hari. Sebuah truk kehilangan kendali dan menghantam mobil yang ditumpangi orang tua Maya. Maya—yang saat itu masih remaja berhasil selamat karena tidak ikut dalam perjalanan tersebut.Bima membaca lebih lanjut. Ada beberapa aset keluarga Rizal Alendra yang masih tersembunyi
Seminggu kemudian, rumah Bima dipenuhi dengan suara tawa dan obrolan. Meja makan dipenuhi hidangan mewah, dari makanan pembuka hingga dessert yang menggugah selera. Bima berdiri di dekat pintu masuk, menyambut keluarganya yang datang satu per satu. Maya ikut menyambut di sebelahnya."Akhirnya kalian mengadakan perayaan seperti ini. Sudah lama sekali tidak ada acara keluarga di rumahmu, Bim," komentar Sulastri saat masuk ke dalam rumah."Iya, Ma. Ini untuk merayakan enam tahun pernikahan kami," ujar Bima dengan nada bangga. Dia melirik Maya dan menggenggam erat tangan istrinya itu."Kau pasti sangat menghargai istrimu," komentar Harjono sambil menuangkan minuman ke gelasnya. Bima tersenyum tipis. "Tentu saja, Pa. Maya pantas mendapatkan yang terbaik,""Bagus kalau kau mulai sadar, Bima. Istrimu sudah sangat sabar selama ini," timpal Sulastri.Maya sedikit tersipu. Selama menikah dengan Bima, Sulastri tidak pernah memujinya secara terang-terangan seperti ini."Gaunmu cantik sekali, Kak
Sulastri yang mendengar suara keras Nina dari ruang makan segera bangkit dan berjalan cepat ke arah pintu. Matanya melebar saat melihat Nina berdiri di luar dengan wajah penuh air mata.“Ada apa ini?” teriak Sulastri. Dia menghampiri Nina, sambil melirik Bima yang tampak kaku di ambang pintu.Nina menatap Sulastri dengan mata merah banjir air mata. “Tante ... aku hamil. Anak ini ... anak Bima!” serunya dengan suara yang bergetar.Sulastri membeku sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Apa? Apa maksudmu, Nina? Hamil? Anak Bima?”“Ya, Tante,” kata Nina, suaranya semakin lantang. “Kalau Tante tidak percaya, tanyakan saja padanya!” Dia menunjuk Bima dengan tangan gemetar.Sulastri menatap Bima, yang masih berdiri kaku. “Bima! Apa maksud semua ini? Apa yang Nina katakan benar?” tuntutnya.“Ma, ini bukan waktu atau tempat untuk membahas ini,” kilah Bima.“Jawab Mama, Bim!” desak Sulastri dengan mata melotot tajam.“Tante, aku tidak akan berdiri di sini jika bukan kare
Di lantai dua, Maya berdiri membeku di balik pagar tangga. Dia menggenggam erat pegangan kayu, mencoba menahan tubuhnya agar tidak limbung. Setiap kata yang keluar dari mulut Sulastri menusuk hatinya seperti pisau."Anak ... penerus ... keluarga sempurna," Kata-kata itu bergema di pikiran Maya.Maya mengepalkan tangannya, kuku-kukunya hampir menancap ke kulit. Napasnya tersengal, bukan karena lelah. Melainkan karena rasa marah dan kecewa yang begitu besar.Dia mengintip dari celah tangga, melihat Sulastri meninggalkan Bima di sofa. Lalu pria itu hanya terduduk dengan kepala tertunduk. Maya berharap, setidaknya Bima akan membelanya. Tapi tidak. Bima membiarkan ibunya mendikte kehidupan mereka.Tanpa menunggu lebih lama, Maya berbalik masuk ke kamarnya. Menutup pintu dengan suara pelan agar tidak menarik perhatian siapa pun. Namun, begitu pintu terkunci, dia melepaskan semua perasaannya. Air mata mengalir deras di pipinya, dan dia terduduk di lantai. Tubuhnya gemetar menahan emosi."Mun
“Bima?!” Nina menjerit. Dia mengguncang tubuh Bima yang tergeletak di lantai ruang tamu. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidur di sini?"Bima mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran. Tanpa menjawab pertanyaan Nina, dia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Nina mengikutinya, menatap Bima yang tampak begitu rapuh.“Kamu kenapa?” tanya Nina dengan wajah cemas.Bima berhenti di depan wastafel, menggenggam erat gelas yang dia pegang. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan nada ketus.Nina mendekat, menyentuh lengan Bima dengan lembut. “Aku mencemaskanmu. Aku takut sesuatu terjadi di rumah,”Bima menepis tangannya dengan kasar. “Cemas? Harusnya kamu sadar, kamulah yang menyebabkan rumah ini hancur!”Mendengar itu, Nina tersentak. Wajahnya berubah masam. "Jadi sekarang semua ini salahku? Bim, kamu yang selalu bilang kalau kamu tidak bahagia dengan Maya. Kamu yang mendekati aku. Jangan menyalahkan aku untuk pilihan yang kamu buat sendiri,"Bima menatap Nina de
Sulastri tiba di rumah Bima dengan wajah marah dan penuh emosi. Dia langsung membuka pintu tanpa mengetuk, lalu masuk ke ruang tamu. Bima yang sedang duduk di sofa dengan kepala menunduk, segera berdiri saat mendengar keributan itu."Bima! Apa maksudnya ini?" seru Sulastri dengan nada tinggi. "Maya pergi dari rumah? Kamu membiarkan istrimu pergi begitu saja?!"Bima menghela napas panjang. “Kami bertengkar ... semuanya berantakan," jawabnya, sedikit terbata."Tentu saja semuanya berantakan! Kamu pikir istri mana yang tidak marah kalau suaminya menghamili wanita lain?!" Sulastri menatapnya tajam. "Maya itu istri yang baik dan tidak pernah menyusahkan. Kamu yang menghancurkan semuanya, Bima,""Ma, aku sudah berusaha memperbaiki semuanya. Aku bahkan membelikan Maya kalung berlian, mencoba untuk lebih perhatian ... tapi dia tetap memilih pergi," Bima mencoba membela diri, meski suaranya terdengar lemah. “Berlian?” Mata Sulastri melebar. "Tapi sejujurnya, aku tidak heran dia pergi. Wanita
Raka menelan ludah. Berusaha tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia melirik sekilas ke luar ruangan. Femil masih berdiri di sana, seolah menunggu dan mengawasinya.Bima menatapnya tajam. “Aku tunggu sampai kamu mau bicara,”Raka menghela napas panjang, mencoba menyusun jawaban yang masuk akal. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tidak dengan Femil yang berdiri di sana, dengan belati tersembunyi di balik jaketnya.“Nina memberiku uang untuk usaha,” jawab Raka.Alis Bima terangkat. “Usaha?”Raka mengangguk. “Aku dan Vina berencana membuka usaha. Kami sudah lama membicarakannya. Tadinya aku mau cari modal sendiri, tapi Nina tahu rencana ini dan menawarkan bantuan. Itu saja,”Bima menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari kata-kata Raka.“Usaha apa?” tanya Bima akhirnya.Raka menghela napas. “Kami ingin membuka butik kecil. Vina sudah lama ingin punya bisnis sendiri,”Ekspresi Bima tetap tajam. “Kenapa Nina tidak bilang apa-apa padaku soal ini?”Raka ber
Raka menghela napas panjang. Lalu bersandar ke kursi, mencoba menunjukkan ekspresi tenang meskipun hatinya berdebar. “Aku sudah bilang, kan? Itu bukan urusanmu, Kak. Uang itu adalah urusan pribadiku dengan Nina,”Bima mendekat lagi, tangannya bertumpu di meja kerja Raka. Sorot matanya semakin tajam, penuh kecurigaan. "Uang ratusan juta itu berasal dari kartuku. Jadi, tentu menjadi urusanku sekarang,"Raka terdiam. Dia tahu Bima tidak akan menyerah sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.“Atau aku harus bicara langsung dengan Nina?” tanya Bima, karena Raka tidak lagi bicara.Raka menatap Bima dengan rahang mengeras. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat."Aku sedang butuh uang dan Nina menawarkan bantuan," jawab Raka. Hanya itu yang terlintas di otaknya sekarang.Bima menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. "Butuh uang? Untuk apa?"Raka menggeram pelan. "Kamu tidak perlu tahu," katanya keras.Ruangan itu terasa semakin sempit karena tatapan tajam Bima yang ti
Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terpaku pada laporan transaksi kartu kredit yang baru saja dia terima melalui email dari bank. Sebuah transaksi besar—ratusan juta rupiah—keluar dari salah satu kartunya.Dia menggeser kursi sedikit mendekat. Matanya menyusuri setiap detail laporan itu. Waktu transaksi, tempat, dan jumlah yang tertera membuat hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Dia tidak ingat pernah mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.Dengan rahang mengeras, Bima menghela napas dalam. Dia berusaha mengingat, tapi tidak ada satu pun pengeluaran yang sesuai dengan nominal tersebut.Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dan menekan nomor layanan bank. Setelah beberapa nada sambung, suara operator wanita menjawab.“Selamat siang, Pak Bima. Ada yang bisa kami bantu?”“Saya ingin konfirmasi transaksi di kartu kredit saya. Ada jumlah yang tidak saya kenali,” Bima langsung ke intinya.Operator itu meminta beberapa detail untuk
Maya masih berdiri di tempat, hatinya diliputi kebingungan. Kenapa Bima ada di sini?Bima yang masih berdiri di depan nisan orang tua Maya, menundukkan kepalanya sejenak. Seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. Udara di pemakaman terasa hening, hanya suara dedaunan yang berguguran terbawa angin yang terdengar di antara mereka."Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu, May," kata Bima akhirnya. Suaranya terdengar berat. "Aku hanya ingin melayat. Aku merasa bersalah pada ayah dan ibumu … ""Merasa bersalah?" ulang Maya, dingin.Bima menarik napas panjang, lalu berjongkok di depan nisan. Tangannya menyentuh batu dingin itu dengan penuh hati-hati, seolah sedang berbicara langsung kepada orang yang telah tiada. "Mereka menerimaku dengan baik saat aku menikah denganmu. Mereka mempercayaiku, menganggapku bagian dari keluarga. Aku berjanji di hadapan mereka untuk menjaga dan membahagiakanmu … tapi aku gagal," jelas Bima.Maya mengerutkan kening. “Semua sudah berlalu … “"Aku mengkh
Maya menutup mulut dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap Reza, kemudian orang tua pria itu. Yang tampak begitu bahagia dan penuh harap.Segalanya terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikir oleh Maya bahwa malam ini akan menjadi momen di mana hidupnya akan berubah selamanya.“Maya?” panggil Reza. Kali ini sedikit lebih khawatir karena wanita di hadapannya masih belum merespons.Maya menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.Hingga akhirnya, dia mengangguk. “Ya … Aku mau,”Seolah dunia berhenti berputar sejenak.Seketika suara tepuk tangan terdengar dari orang tua Reza. Bahkan beberapa tamu di restoran yang menyaksikan momen tersebut ikut bersorak.Reza tersenyum lega, lalu dengan hati-hati menyematkan cincin itu ke jari manis Maya. Setelahnya dia bangkit dan langsung menarik Maya ke dalam pelukannya.“Terima kasih. Aku sangat bahagia sekarang,” bisik Reza sambil memeluk M
Maya melangkah keluar dengan gaun sederhana berwarna biru tua. Rambutnya yang tergerai lembut berayun setiap kali dia melangkah. Maya sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, tapi tetap merasa sedikit gugup.Begitu dia sampai di lobi, Reza turun dari mobil dan berjalan menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Begitu menawan. Senyum khasnya langsung menghangatkan hati Maya.“Kamu cantik,” puji Reza. Matanya menelusuri wajah Maya dengan penuh kekaguman.Maya tersipu. “Terima kasih. Kamu juga terlihat … luar biasa,” balasnya.Reza terkekeh pelan. “Jadi, siap untuk makan malam?”Maya mengangguk. “Tapi … kita mau makan di mana?”Reza membuka pintu mobil untuk Maya. “Itu kejutan,” katanya sambil tersenyum misterius.Maya menaiki mobil dan duduk, sementara Reza menutup pintu dan segera mengambil tempat di belakang kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan apartemen. Lampu kota mulai menyala satu per satu, tampak begitu indah.“Setidaknya b
Siang itu, suasana rumah keluarga Harjono terasa lebih ramai dari biasanya. Meja panjang di tengah ruangan dihiasi dengan piring-piring berisi berbagai masakan mulai dari ayam panggang, sup hangat, hingga aneka lauk yang menggugah selera.Harjono sebagai kepala keluarga, duduk di kursi utama. Di sampingnya Sulastri tampak sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk. Wajahnya berseri-seri, terutama saat melihat Abi yang digendong oleh seorang pengasuh di dekat meja makan.“Lihat bayi kecil ini,” kata Sulastri. “Abi makin besar dan tampan saja. Dia benar-benar cucu kebanggaan keluarga Harjono,”Nina yang duduk di sebelah Bima hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Sulastri.“Tentu saja,” sahut Harjono sambil menyantap makanan. “Abi adalah penerus keluarga ini,”“Ibu, bagaimana kabar toko?” Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.Sulastri tersenyum dan mulai berbicara panjang lebar tentang tokonya. Dia memutuskan untuk membuka toko sembako beberapa bulan lalu, untuk mengisi waktu luang.D
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Nina mendengar suara mobil Bima memasuki garasi. Dia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan senyum manis yang sudah dia latih sepanjang hari.“Sayang, kamu sudah pulang,” sapa Nina lembut saat Bima melangkah masuk ke dalam rumah.Bima tampak lelah. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar dan kemejanya kusut setelah seharian bekerja.“Iya. Hari ini benar-benar melelahkan.” Bima menghela napas panjang sambil melepas sepatu.Nina dengan sigap menerima tas kerja Bima dan meletakkannya di meja. “Kamu mau makan dulu atau langsung mandi?” tanyanya dengan suara lembut.Bima mengusap wajahnya. “Mungkin mandi dulu biar segar,”Nina mengangguk mengerti. “Aku sudah siapkan air hangat di kamar mandi,”“Terima kasih,” jawab Bima singkat sebelum berjalan ke kamar mereka.***Setelah beberapa saat, Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama. Dia duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponsel, sesekali membalas pesan yang m
Suasana bengkel yang tadinya bising dengan suara mesin kini terasa sunyi di antara mereka. Seolah waktu melambat.“Aku tidak butuh tes DNA itu,” kata Nina keras. “Aku yakin, Abi itu anak Bima,”Femil menyipitkan mata, ekspresinya berubah dingin. “Kamu datang padaku, meminta bantuanku. Tapi kamu masih yakin Abi adalah anak Bima?”Nina menghela napas dengan frustrasi. “Ini bukan soal siapa ayah Abi!” teriak Nina. Aku butuh uang, dan kamu satu-satunya orang yang bisa membantuku sekarang,"Femil terkekeh sinis, menyilangkan tangannya di dada. “Kamu pikir aku akan membuang uang lima puluh juta begitu saja untukmu tanpa alasan yang jelas? Aku hanya butuh kepastian,"Nina mendengus. "Femil, tolonglah. Kamu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kumintai tolong," mohon Nina. Dari ekspresinya, tampak jelas kalau dia sangat putus asa.Femil menatapnya tajam. “Jika kamu yakin Abi itu anak Bima, kenapa tidak langsung meminta bantuannya? Kenapa malah datang kepadaku?"Nina terdiam. Dia t