Bab 6

"Cinta! Cinta seperti apa? Dan satu hal lagi, jangan jadikan Anggia sebagai alasan kita untuk terus bersama. Karena selama ini pun kau tidak pernah ada waktu untuk bersamanya." Cerca ku yang muak mendengar alasan yang menjadikan Anggia sebagai tumbal keegoisannya.

"Ok, terserah! Kamu terlalu sombong dengan kekayaanmu, kalau bukan karena aku! Belum tentu perusahaan ini akan berkembang. Kamu nggak ngerti apa-apa Alexa," geramnya mulai memperlihatkan sifat aslinya.

"Oh, Ok. Wajar dong aku sombong. Semua milik ayahku tentu dan sudah sudah pasti sekarang menjadi milikku. Kamu nggak lupakan, suamiku sayang! Ya, untuk kerja kerasmu selama ini takkan ku pungkiri, ada keringatmu disana. Tapi ku harap kau juga tak lupa, berapa banyak uang perusahaan yang kau mainkan untuk jalan bersama gundikmu itu! Dan satu lagi, ku harap kau juga tak lupa, kalau dulu kau pernah mengajariku dan aku pernah duduk di kursi itu?" Ucapku sedikit pongah dan panjang lebar, sedikit menunjukkan taring di hadapan suami yang sedang mencoba hitung-hitungan akan jasanya pada perusahaan, sambil aku menunjuk ke arah kursi pengendali semua aktivitas perusahaan.

Terpaksa aku menyombongkan diri, agar ia sadar siapa dirinya sebelum menjadi atasan di perusahaan Papaku. Walau dalam hati sedikit ada rasa iba menggelayut. Perasaan yang membuat sedikit merasa tak nyaman.

Laki-laki yang masih menjadi suamiku itu masih diam berdiri terpaku. Mungkin ia sedang memikirkan ucapan yang baru saja ku lontarkan padanya. Biarlah sejenak ia merenung, agar menyadari kesalahannya. Meski aku tak terlalu yakin ia akan berpikir jernih. Secara otaknya sudah sedikit bergeser karena berselingkuh.

"Sudahlah! Ribut disini hanya akan jadi konsumsi yang lain, lebih baik kita bahas nanti dirumah." Ucapku lagi yang berlalu meninggalkannya tanpa pamit.

"Kalian pasti berpikir kalau tindakanku terlalu kejam sebagai seorang istri yang merampas kembali hakku!"

Kalian pasti memiliki jawaban sendiri, tapi menurut ku ini setimpal dengan apa yang telah ia lakukan padaku. Setidaknya dengan begini justru aku berharap suami yang dulu begitu aku agungkan, sadar diri siapa dirinya. Tanpa campur tangan ku dalam tiap jengkal karirnya kini, dia bukanlah siapa-siapa. Hanya seonggok sampah yang aku pungut menjadi hiasan yang bernilai. Sayangnya, lelaki itu malah kemaruk dan lupa diri. Bahkan bermain api dengan sahabat yang sama moralnya dengan dirinya.

Ku lirik meja kerja di depan ruangan suamiku, tak terlihat wanita murahan itu disana. Apa mungkin ia sadar diri dan mengemas semua barang-barangnya?

Aku harap begitu, karena hadirnya di perusahaan ini sudah tidak aku butuhkan lagi. Seandainya saja ia bisa menjaga Marwah sebagai wanita dan sahabat, mungkin Sintya masih duduk manis di kursi kerjanya. Gadis itu cantik dan cerdas. Tapi sayang, kelebihannya itu ia salah gunakan. Seandainya saja ia terus ada di jalan yang benar, apa yang ia punya bisa merubah kehidupan perekonomian dan financialnya dimasa depan.

Lagi-lagi itu semua hanya pemikiran ku saja, sedangkan wanita itu telah memilih jalannya sendiri.

Apa salahku, hingga ia tega menjadi duri dalam daging dalam rumah tanggaku?

Pertanyaan yang entah kapan bisa aku tanyakan padanya.

Sudahlah! Memikirkannya sama saja membuka luka, membuang waktu dan energi ku saja.

Kembali aku melangkah, melewati koridor. Terlihat karyawan dan staf sibuk berjibaku dengan pekerjaannya masing-masing. Ada rasa lega di hati, karena masalah intern perusahaan tak berimbas pada kinerja karyawan lainnya. Setidaknya kegiatan perusahaan berjalan seperti biasanya.

Kembali kakiku melangkah, tiap langkah menjadi penyemangat agar esok dan seterusnya aku bisa menjalankan perusahaan sebaik-baiknya. Aku tahu ada mimpi banyak orang disini dan terutama mimpi almarhum Papa yang ingin perusahaan ini terus berjalan agar kehidupan karyawannya sejahtera.

Pintu lift terbuka, aku kembali menoleh ke lorong yang di ujungnya adalah letak ruangan kerja suamiku dulu, tak ku dapati juga lelaki yang masih menjadi suamiku itu berusaha mengejar ku. Aku tak habis pikir dengan dirinya.

Kenapa aku bimbang! Malah berharap laki-laki itu akan mengejar ku? Pikiran bodoh apa yang barusan hinggap di kepalaku? Oh, Tuhan sadarkan aku. Kuatkan iman dan pendirian ku.

Aku menepok jidad, agar otakku tak oleng dan sadar akan kebodohan sesaat.

Lift berhenti di lantai dasar dan aku berjalan anggun keluar, terlihat beberapa karyawan yang bertugas menyapaku dengan senyuman sembari menunduk. Bukan pintaku mereka melakukannya, mungkin sebagai tanda hormat bawahan pada atasan.

Seiring langkah kaki yang terus menuju keluar gedung, langkahku terhenti saat dekat kursi tunggu di lobi. Terlihat tiga karyawan perusahaan yang sedang ngobrol seakan mereka tak ada kerjaan.

"Katanya Pak Bos lengser, mulai besok Buk Alexa yang kembali memimpin?" Tanya wanita berambut pendek.

"Ya wajarlah Buk Alexa mendepak Pak Ryan. Secara sudah ketahuan selingkuh dengan Sekretaris nya si Sintya itu! Lagipula perusahaan inikan milik orang tua Bu Alexa. Pak Bos kita aja yang nggak bersyukur," cerocos wanita berambut pendek ala Bob.

"Terus, dengar-dengar Syntia itu sahabat Buk Bos. Nggak nyangka, sahabat malah jadi Pelakor. Seperti nggak ada laki-laki lain aja." Pungkas Si cewek berambut pirang.

"Kalau pak Bos di depak, apalagi tuh si Sintya. Biar nyahok jadi gembel sekalian. Habisnya selama ini dia sok berkuasa dan suka pamer barang brand. Rupanya dari hasil merebut suami orang. Euuuih." cibir wanita berambut pendek lagi.

Ya, Berita aku yang kembali mengambil alih perusahaan, sudah menjadi konsumsi karyawan perusahaan. Tapi aku juga baru tahu, kalau selama ini hubungan suami dan sahabatku itu ternyata sudah menjadi berita dan pemandangan yang biasa buat mereka. Berapa lama mereka mulai menjalin hubungan, sungguh buatku ingin tahu.

Meski mereka berada dipihak ku, tetap tak ku izinkan mereka lalai saat jam kerja masih berlangsung, ada saatnya jam mereka bersantai.

Aku mendekati kursi yang mereka duduki, mendehem agar mereka menyadari kehadiranku di belakang mereka.

"Bu_Bu Alexa, Maaf bukan maksud kami ikut campur," si wanita berambut pirang buka suara lebih dulu saat ia menyadari aku yang berdiri di belakang mereka dengan menundukkan kepala.

"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, karena kalian berada di pihak ku."

Senyum mereka kembali terbit saat aku mendukung ucapan mereka.

"Tapi, saya tidak suka dengan sikap kalian yang ber_ghibah disaat jam kerja. Itu bisa merusak kinerja perusahaan dan saya tidak suka dengan karyawan yang tidak disiplin!" ucapku tegas.

"Maafkan kami, Buk. Kami tidak akan mengulanginya lagi." jawab mereka serentak.

"Baiklah, lanjutkan kerja kalian. Jangan sampai terulang kembali!" Titah ku.

"Sekali lagi kami minta maaf. Kami permisi, Buk," Jawab mereka serentak dengan kalimat yang sama.

Melihat punggung mereka yang menjauh, aku balik badan menuju pelantaran parkit, dimana mobil yang biasa ku kemudikan terparkir rapi disana.