"Sayang, maafin Mas! Ini semua salah Mas. Gara-gara Mas ...."
"Pergi ...!" Lagi Luna berteriak memotong perkataanku. Suaranya bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Sepertinya, istriku benar-benar marah atas kejadian ini. Sungguh, aku tersiksa menyaksikannya sesakit ini. Tapi, caranya tidak begini bukan.Aku memang salah karena tidak langsung hadir ketika Luna membutuhkan. Tapi, apa patut dia memperlalukanku seperti ini. Bukan hanya Luna yang sedih, aku juga sangat merasa kehilangan atas kepergian calon anak kami. Mengertilah Luna, aku juga sakit bahkan lebih sakit ketika kamu berubah dingin. Kemana Lunaku yang dulu. Yang selalu bersikap manja, banyak cerita saat aku pulang kerja. Tutur kata dan tatapan begitu menggoda. Lembut dan selalu menghormatiku sebagai suami. "Luna, please. Mas nggak mau kamu seperti ini, Sayang. Mas mengaku salah, Lun. Tapi, Mas benar-benar nggak bermaksud mengabaikan permintaan kamu ....""Keluar atau aku yang pergi?" Suaranya mulai melemah kembali, tapi masih saja menyayat hati.Luna menyingkirkan selimut yang tadi menutupi seluruh tubuhnya dan beranjak duduk di atas ranjang dengan posisi membelakangi. Aku hanya mampu menatap dari belakang, lalu menyimpulkan betapa kacaunya penampilan wanitaku, sekarang.Rambut lurusnya yang hitam tampak berantakan, dan tubuh yang semakin kurus yang tersembunyi di balik piama.Sial.Kenapa baru sekarang aku menyadarinya. Bukankah seharusnya wanita semakin berisi kalau sedang hamil. Apa Luna kurang memperhatikan pola makannya. Padahal, setahuku selama mengandung istriku tidak mengalami morning sickness yang serius. Dan Luna bilang apa barusan.Mau pergi?Apa itu sebuah ancaman atau titik puncak kemarahan. Apapun alasannya, kupastikan itu tidak akan pernah terjadi, Sayang. Bagaimana bisa aku kehilanganmu."Pilihan ada di tanganmu, Mas," ujarnya serak. Lalu, tangannya bergerak seperti menghapus air mata asal. Tak pernah terbayang sebelumnya, istriku benar-benar berubah hampir 180 derajat. Aku tidak lagi mengenalnya. Mungkinkah ini karena mood-nya yang kurang baik setelah mengalami keguguran. Atau karena sewaktu peristiwa itu terjadi, aku tidak berada di sisinya?Ya Tuhan, sungguh aku menyesal tidak menuruti permintaan Luna jika dampaknya sampai seperti ini. Kehilangan calon bayi dan hati istriku secara bersamaan. Itu ujian yang tak mungkin mampu kulewati.Luna mengancam ingin pergi. Kepalaku seperti mau pecah menerka-nerka isi hatinya. Tidak aku tidak boleh menyerah. Kembali kuberanikan diri naik ke atas ranjang dan duduk di sampingnya yang masih betah menatap tembok. "Sayang, kita harus bicara! Maaf, Mas baru tahu apa yang terjadi. Kenapa kamu nggak cerita sama Mas kalau kamu keguguran? Dan kenapa waktu di telpon tadi, kamu bilang kalau kamu baik-baik saja. Harusnya kamu bilang habis terjatuh dari tangga, biar Mas langsung putar balik." Susah payah aku menjelaskan panjang lebar, Luna malah menunduk dan mengacuhkanku. Saat menyentuh bahunya, lagi-lagi dia menepis kasar tanganku. Apa aku harus sedikit tegas, aku tidak mau Luna pergi, aku tidak sanggup kehilangan Lunaku yang dulu. "Lihatlah ke arah Mas, Luna! Tidak sopan membelakangi suami saat sedang berbicara, apalagi jika kamu sampai mendiamkan Mas seperti ini, kamu ngerti agama 'kan? Mas sangat hancur melihatmu seperti ini, Sayang."Semoga kali ini berhasil. Dulu kalau Luna sedang marah dan mengabaikanku, istriku akan lemah kalau aku sudah ngomong tentang agama, khususnya hukum dalam berumah tangga. Satu detik.Dua detik. Tiga ....Luna mulai menatap ke arahku, sepasang netra bening itu tampak memerah dan membengkak. Mungkin, karena terlalu lama menangis. Hatiku semakin hancur saja, seperti puluhan kali ditikam dengan belati. Ingin sekali tangan ini bergerak mengusap pipi halus itu. Tapi, melihat bagaimana caranya menatap, nyali ini ciut. Keinginan ini terpaksa kutahan lagi, kenapa aku tidak mampu membawanya dalam rengkuhan, lalu membisikkan maaf berkali-kali. Ke mana jiwa pemberaniku sebagai laki-laki.Dua matanya menatap jijik, seolah laki-laki yang kini duduk di sampingnya seperti sampah berlumpur dan berbau. Aku salah tingkah, sementara bibir tipis itu tersungging, sinis. Sempat merasa senang karena sudi ditatap biar dengan ekspresi entah, kini aku harus menelan ludah. "Membawa wanita lain yang bukan muhrim tinggal di rumah dan mengabaikan istri, apa itu mengerti hukum agama? Kalau mengerti, apa hukumnya jika tidak menjalankannya?"Glek. Tatapan dan ucapan Luna begitu tajam. Aku benar-benar tidak tahan berada si posisi seperti ini lebih lama. Ingatanku seketika menerawang pada maksud dari setiap perkataan Luna.Apa ini masalah Tiara lagi? Ya sekarang aku mengerti, Luna bukan hanya marah gara-gara dirinya keguguran, tapi juga karena Tiara yang tinggal di sini. Bukankah waktu itu, istriku sudah setuju? Lalu kenapa harus mengungkitnya kembali. Sampai harus mengeluarkan pertanyaan yang memojokkanku.Tentu saja aku mengerti, dan tidak akan mengkhianatinya. Selama Tiara tinggal di sini aku tidak pernah macam-macam. Dan aku tidak mungkin menolak permintaan Tiara, dia dan keluarganya yang membuatku seperti sekarang. Dulu jauh sebelum bertemu dengan Luna, aku hanyalah seorang pekerja serabutan. Bukan tidak ingin berusaha, tapi hanya modal ijazah cumlaude ternyata tidak banyak membantuku kala itu.Selama beberapa bulan, hampir setiap hari aku keluar masuk perusahaan, baik yang bersifat publik atau swasta. Semua aku coba datangi, dan berakhir keluar dengan rasa kecewa. Lalu, kembali mencoba di esok hari, lagi dan lagi.Hingga waktu membawaku bertemu Tiara, sahabatku semasa di perguruan tinggi. Kami sama-sama berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas ternama dengan jurusan yang sama. Hanya nasib yang beda, Tiara dan aku bagai langit dan bumi. Tiara yang memberiku pekerjaan di perusahaan milik papanya. Hingga aku menjelma seperti saat ini, tampan, berharta juga bertahta. Itu semua berkat Tiara. Aku berhutang budi, apa tega menolak permintaan Tiara yang bukan apa-apa sama sekali.Harusnya Luna mengerti dan menerima Tiara dengan baik. Toh ini hanya sementara, bukannya malah sering marah-marah pada Tiara di belakangku. Bukan sekali dua kali Tiara mengadu tidak nyaman dan takut atas sikap Luna terhadapnya kalau aku sedang tidak ada. Saat aku menegur, Luna malah berkilah dan tidak mau mengakui dan ujung-ujungnya kami bertengkar. Kenapa Luna harus se–egois ini? "Jadi, kamu masih marah soal itu? Ayo-lah, Sayang! Kamu tahukan Tiara sangat berjasa pada kita? Lagian Mas tidak macam-macam ....""Tidak. Aku tidak marah. Ini rumah Mas, Mas yang lebih berhak." Kini istriku kembali menunduk, setelah melontar jawaban yang begitu menusuk. Childish sekali. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu, dia istriku, tentu dia berhak atas apa yang aku miliki. Termasuk rumah ini."Sebenarnya, mau kamu apa sih, Dek? Tolong jangan buat Mas berada di posisi yang sulit!""Keluarlah! Itu yang aku mau. Tolong, bersikap seperti biasa. Tidak perlu pura-pura peduli, aku tidak butuh."Ketus. Ke mana kelembutan dan sopan santun yang selama ini bersemanyam dalam diri Luna. Yang membuatku jatuh cinta dan merasa mantap menjadikannya sebagai istri. Ratu di rumah ini dan ... hatiku.Tuhan, ini apalagi? Bahkan di saat aku benar-benar peduli dan khawatir terhadapnya, malah disangka hanya pura-pura? Padahal, aku tidak pernah merasa mengabaikannya selama ini. Luna yang menjaga jarak dariku, memberi sekat, lalu sekarang dia menuduhku."Luna, sebenarnya kamu kenapa? Kamu marah sama Mas? Oke, Mas yang salah, Mas minta maaf ya. Tapi, jangan suruh Mas keluar, Mas mau di sini sama kamu. Di kamar kita," ujarku lembut sembari meraih kedua tangan Luna dan menggenggamnya. Kali ini istriku tidak melawan, walaupun masih tidak mau menatap ke arahku. Semoga Luna luluh dan memaafkanku. "Kalau begitu biar aku yang keluar." Luna menghentak-hentakkan tangan mungilnya hingga terlepas dari genggaman. Aku mencoba menahannya saat dia hendak beranjak dan mendudukkannya kembali. Tak ada yang berubah, hanya tatapan kosong juga datar. Matanya tampak berkaca-kaca. Sepertinya, emosi istriku sedang tidak baik. Baik, aku tidak punya pilihan selain mengalah kali ini."Baiklah. Mas akan keluar. Kamu harus istirahat ya! Jangan banyak pikiran! Biar cepat sembuh. Mas sedih melihat istri Mas seperti ini, begitu juga dengan anak kita." Aku berjalan gontai, meninggalkan Luna yang masih mematung. Semoga Lunaku cepat kembali. Setelah menutup pintu kamar, aku mulai beranjak ke kamar tamu. Terpaksa aku tidur di sana malam ini. "Tiara! Kamu kenapa?" Tiba di ruang tamu, aku memekik dan berlari ke arah Tiara yang terduduk di lantai sambil memegang kepalanya."Sorry Dipta! Aku tiba-tiba merasa pusing dan terjatuh," desis Tiara."Ya ampun Tiara. Yok aku bantu kamu jalan ke sofa. Lagian kenapa kamu masih berada di luar udah malam begini?" Aku memapah Tiara sampai ke sofa dan membantunya untuk berbaring."Makasih ya, Dipt." "Iya, lagian kamu ngapain masih di luar udah malam begini?""Oh itu ... tadi aku haus mau ambil minum."Melihat Tiara yang tampak meringis sambil memijit kepalanya membuatku merasa kasihan. Apalagi Luna yang tadi pagi keguguran, pasti istriku kesakitan banget. Bodohnya, aku malah tidak berada di sampingnya. "Yaudah kamu di sini dulu ya. Biar aku yang ambil minum buat kamu." Tiara mengangguk pelan dengan mata terpejam. Saat aku berbalik hendak ke dapur aku hampir jantungan. "Luna?"Istriku hanya tersenyum miring dan menatap sinis ke arahku dan Tiara yang terbaring di sofa. Saat hendak berjalan ke arahnya, Luna sudah kembali masuk ke kamar dengan langkah lebar dan cepat. Apa Luna melihat semuanya? Istriku tampak sangat marah. Jangan-jangan Luna salah paham lagi. Bersambung ...Hai, tengkyu yang sudah berkenan mampir ❤️"Dipta ...." Di saat aku hendak menyusul Luna ke kamarnya, Tiara kembali memanggilku dengan suara yang sangat lemah. Sepertinya Tiara benar-benar sangat kesakitan, tapi, bagaimana dengan Luna. Istriku juga sedang sakit."Dipt,""Eh, iya Tiara? Sorry, tadi aku ....""Aku udah panggil kamu sampai beberapa kali loh, tapi kamunya asik mematung sambil melihat ke arah situ. Emangnya ada apa sih, di situ? Kamu habis ngelamunin apa?" Aku berbalik menghampiri Tiara, dia terlihat sedikit kesal dan memberondongku dengan banyak pertanyaan. Suaranya juga sudah sedikit meninggi daripada yang tadi terdengar lirih dan lemah, padahal dia sedang sakit. Aneh."Maaf. Jadi, sekarang gimana? Oh ya, bentar aku ambil minum dulu." "Udah, nggak usah, Dipt. Tolong bantu aku ke kamar saja, kepalaku masih pusing soalnya." Tiara kembali memijit kepalanya dan berbicara dengan nada lirih.Mengantar Tiara ke kamar? Jujur aku takut, takut kalau Luna salah paham lagi. Tapi, membiarkan dia ke kamar sendirian juga ngg
Sarapan pagi ini kunikmati dalam hening, sementara Tiara sibuk berceloteh dengan banyak cerita yang hanya kutanggapi sesekali saja.Sembari menanti Luna selesai di dapur dan bergabung untuk sarapan dengan kami. Satu suap.Dua suap.Hingga di suapan ke tiga, istriku belum muncul juga. Ah, sejak kapan Luna menjadi sangat sibuk pagi-pagi begini, hingga tidak sempat sarapan. Ketika ingatan tentang obat-obatan di tangan Luna semalam, aku baru sadar, bahwa Luna harus makan dan minum obat. Biarpun dia masih marah, setidaknya jangan mengabaikan kesehatannya. Apa kata keluarganya nanti, jika Luna sampai kenapa-kenapa saat bersamaku. Sementara, sejak berjabat tangan dengan papa Luna saat ijab kabul dulu, segala tanggung jawab tentang Luna telah berpindah ke tanganku. Ya, aku menikahi Luna setelah dua tahun lebih bekerja di perusahaan manufaktur milik keluarga Tiara. Tepatnya sekitar enam bulan yang lalu. Memiliki jabatan sebagai manager bagian pemasaran dengan gaji yang bisa dibilang lebih d
"Iya, sekalian belajar ... menggantikan posisiku."Deg.Tubuhku menegang, setelah mendengar ucapan istriku. Luna berucap sangat pelan, tapi masih bisa tertangkap oleh telingaku yang memang duduk di sampingnya. Maksudnya apa berkata absurd seperti itu? Apa Luna ingin meninggalkanku?Bukankah kami baru saja berbaikan. Sekarang istriku kenapa lagi?Wajah Tiara juga berubah tidak jauh berbeda sepertiku. Sedangkan Luna hanya tersenyum dan lanjut menikmati makanannya, tanpa terganggu sama sekali. Sementara aku tak berani bersuara karena takut akan berakhir dengan pertengkaran, apalagi di depan Tiara yang notabenenya orang lain. Kenapa istriku jadi penuh misteri. Aku sangat merindukan Luna yang dulu."Kok pada tegang?" Luna menatapku dan Tiara secara bergantian. "Aku cuma bergurau, jangan dimasukkan hati, hehe," sambungnya lagi dengan kekehan kecil.Tiara tersenyum hambar, sediki dipaksakan. Mungkin tersinggung dengan candaan Luna. Tapi, aku merasa sedikit lega, setidaknya ... istriku han
Melihat cara mereka berinteraksi, sepertinya mereka sudah lama saling mengenal. Apa yang sedang mereka bicarakan, Luna bahkan sudah lama tidak menunjukkan wajah bahagia seperti itu saat bersamaku.Melainkan tatapan kosong, dan senyum terpaksa yang selalu ditunjukkan.Kira-kira siapa pria itu? Apa saudara jauh Luna. Jika memang iya, Luna pasti akan memberitahuku jika ada tamu. Aku bahkan belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Sekilas, wajahnya tampak sangat mirip Hamid Fadaei, seorang model Iran. Sangat tampan. Ah, aku tidak rela mengakuinya. Namun, karena dilanda rasa penasaran yang sangat besar, aku memilih berada di dalam mobil untuk melihat apa yang mereka lakukan.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas mereka yang sedang berdiri di teras, sepertinya pria itu hendak pulang tapi, kenapa masih asik berbicara dengan istriku.Luna bahkan melihat ke sini, ke arah mobilku, berarti dia sudah tahu kalau aku sudah pulang, tapi mereka masih juga belum menyudahi. Mungkin, pria itu mem
Untuk membuatmu sadar atas suatu kesalahan, kenapa harus menunggu sampai waktu menempatkanmu pada posisi yang sama?*****Selama meeting berlangsung, aku berusaha keras untuk bisa melewatinya dengan baik. Meskipun perkataan Luna sewaktu di rumah terus mengusik pikiranku. "Suka? Tentu saja tidak, Mas ... tentu saja aku tidak suka karena baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika aku tahu Emir menyukaiku dari dulu, aku sudah bahagia bersamanya. Bukan malah terjebak dalam pernikahan menyakitkan ini. Apa kamu tahu Mas, menjadi istrimu adalah hal yang kusesali ...."Aku tidak bisa menahan diri mendengar Luna mengatakan menyesal menikah denganku selama ini, dan akan lebih memilih pria asing itu seandainya istriku masih punya kesempatan. Tentu saja aku sangat murka mendengar wanita yang begitu kucintai membahas laki-laki lain di depanku. Bahkan membelanya.Kemurkaan itulah yang akhirnya menjadi bumerang untuk diriku sendiri, aku telah menyakiti Luna dengan tanganku yang berakhir di pipinya.
Ada rasa panas yang kembali menjalar, mengingat bagaimana laki-laki itu memperlakukan Luna. Aku tidak mau istriku ditatap oleh laki-laki lain, apalagi dengan cara seperti itu. Luna hanya milikku. Aku akan cemburu, kalau Luna masih berteman dengan lawan jenis di saat kami sudah menikah. Rasa takut mulai menjalar menusuk ke dalam kalbu, bagaimana kalau dugaanku benar, bahwa laki-laki bernama Emir itu memiliki rasa terhadap istriku. "Nggak gue nggak bisa. Gue nggak terima kalau Luna punya teman laki-laki apalagi sampai tinggal di rumah kami." "Nah. Sekarang lo ngerti 'kan gimana perasaan Luna melihat lo dengan Tiara? Tinggal serumah, pulang pergi bareng. Lo sekarang ngerti 'kan istri lo tersiksa. Bahkan di saat dia keguguran lo lebih mentingin orang lain ketimbang dia. Sakit banget, Bro. Gue aja sampe merinding bayanginnya, jangan sampai gue seperti itu sama bini gue." Deg. Aku terbungkam. Lumayan lama mencerna setiap perkataan Riko, lalu menghubungkannya dengan apa yang aku rasak
Benar apa yang Riko bilang, aku telah salah mengartikan bentuk rasa terimakasih pada Tiara sehingga memasukkannya dalam kehidupan pribadiku dan mengabaikan Luna.Selama ini istriku malah terang-terangan menunjukkan apa yang dirasakan, tapi aku selalu berkilah dengan dalih persahabatan dan balas budi. Selama ini aku selalu memaksanya untuk mengerti posisiku. Sedangkan, posisi dan perasaannya selalu kunomorduakan. "Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan. Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit," Aku teringat perkataanku pada Luna, yang baru kusadari terdengar sangat egois dan menyakitkan. Oh Tuhan.Sekarang pertahanan
Ketika aku ingin mengucapkan kata maaf kenapa dia malah memilih pergi? Ataukah aku yang salah karena baru sadar saat dia sudah sangat lelah dan hendak beranjak dari sisi? Lalu, rasa ini hendak kubawa pada siapa? Sedangkan, hanya dia satu-satunya pemilik hati.Apa aku harus mengemis, demi dapat menebus kesalahan yang sangat fatal? Luka yang tergores terlalu dalam, bagaimana jika aku tidak mampu lagi menyembuhkannya? Bagaimana jika ada sosok lain yang menawarkan obat untuk hati yang baru saja kukoyak dengan brutal?Bagaimana?****Bismillah."Sayang!" panggilku beriringan dengan pintu yang mulai terbuka. Luna menoleh dengan beberapa pakaian miliknya yang berada di tangan, dan ada sebagian yang sudah berpindah ke dalam koper yang masih terbuka yang terletak di atas ranjang. "Aku tidak bermaksud mengaggu waktu Mas. Tapi, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari. Rasanya tidak etis jika mereka menjemputku saat tuan rumah tidak ada." Hatiku mencolos.Ada apa ini?Mengapa pemandangan y
Tidak sesuai ekspektasi, Mimi—sang manager kepercayaan Denaya kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Bahkan saat di jalan tadi, Mimi sempat khawatir membayangkan bagaimana bosnya akan mengamuk. Mengingat watak Denaya yang emosian dan tidak sabaran, Mimi sudah bisa membayangkan bagaimana hasilnya nanti.Watak yang kurang menyenangkan itu selama ini ditutupi oleh kecantikan, ketenaran dan kehormatan sebagai istri seorang Abinawa selama ini. Dan tentu saja mata Abinawa juga tertutup oleh cinta—sehingga buta dengan akhlak istrinya yang kurang terpuji. Namun, itu sebelum tabir terkuak. Sebelum Baby Shanum datang ke dunia ini dan segala misteri di balik kehadirannya. Sekarang mata Abinawa sudah terbuka lebar, pun hatinya yang tak lagi tersisa rasa cinta, melainkan kebencian yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Buktinya hampir saja Baby Shanum melayang ke sungai di malam yang lalu, andai saja gadis yang dianggapnya malaikat tidak datang menghampiri. Ruhi Ghumaisya. Menurut Ab
"Bibi sedang apa?" tanya Ruhi pada Bi Yuyu—asisten rumah tangga di rumah Abinawa. "Eh, Non Ruhi, ini Bibi ingin memasak untuk makan siang," jawab wanita paruh baya itu yang tampak cekatan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang hendak diolah dari kulkas. Ruhi yang melihat Bi Yuyu tampak sibuk perlahan mendekat untuk membantu. Perkenalan mereka sudah dimulai beberapa saat yang lalu, saat Ruhi beranjak ke dapur untuk membuat susu Baby Shanum. Yang Bi Yuyu ketahui, Ruhi adalah pengasuh Baby Shanum seperti yang dijelaskan gadis itu. Meski Bi Yuyu sempat heran dan berpikir keras, bagaimana majikannya bisa menemukan seorang pengasuh secantik Ruhi.Karena memang tampak dari wajah dan penampilannya kalau Ruhi bukanlah orang susah yang perlu berkerja sebagai pengasuh bayi untuk bertahan hidup. Namun begitu, alasan sesungguhnya hanya Abinawa dan Ruhi yang tahu. Tidak. Abinawalah yang paling tahu penyebab gadis bernama lengkap Ruhi Ghumaisya berada di rumahnya saat ini. "Bibi mau masak apa
Tangan Ruhi mulai bergerak perlahan mengusap punggung laki-laki yang sedang menangis dalam dekapannya. Abinawa, ya. Laki-laki asing yang ditemuinya semalam dan sekarang akan berada di bawah atap yang sama dengannya. Pertemuan mereka bahkan belum sampai 24 jam. Namun, entah magnet apa yang menarik kedua untuk menjadi selengket itu."Dia pengkhianat. Kenapa setiap wanita yang kutemui semuanya jahat?" "Siapa bilang? Mamaku sangat setia dengan Papa. Percayalah, Pak, tidak semua wanita itu sama. Mungkin saja, mereka yang kemarin hadir dalam hidup Pak Abi hanya untuk jadi pembelajaran, atau bentuk teguran dari Tuhan atas kesalahan yang Bapak perbuat di masa lalu yang mungkin tidak Bapak sadari," jelas Ruhi dengan pelan. Berharap apa yang disampaikannya sampai ke otak laki-laki itu. Laki-laki yang sedang hancur itu. Entahlah, semalam bertemu dengan Abinawa sudah membuat Ruhi merasa sedikit lebih dewasa dari usianya. Menghadapi orang yang sedang tidak bisa berpikir jernih memang butuh ke
Degub jantung Ruhi semakin cepat saat jaraknya dengan Abinawa tinggal beberapa senti saja.Takut? Tentu saja. Namun, melihat raut wajah menyedihkan dan tatapan putus asa dari laki-laki berusia 30 tahun itu mendorong Ruhi untuk berbuat nekat.Ya. Nekat melakukan hal seperti yang biasa dilakukan pada Dipta, papanya. Deg. Seketika Abinawa menegang, saat Ruhi mulai memeluknya. Jarum jam seperti berhenti berdenting. Seolah dunia Abinawa terhenti beberapa saat. Itu gila. Tapi, seperti itulah pemandangannya. Akal sehat Abinawa tidak bisa berfungsi beberapa saat, pun degub jantungnya yang mulai mengencang.Seperti yang terjadi pada Ruhi, namun, gadis itu memilih bersikap tenang. Seiring dengan tangan mungilnya yang mulai bergerak menepuk-nepuk punggung tegap dalam balutan kemeja mahal itu. "Maaf." Gadis itu berucap lirih. Saat itulah kesadaran Abinawa mulai kembali sepenuhnya. Laki-laki itu sampai beberapa kali mengerjapkan matanya. "Maaf, sudah membuat Pak Abi sedih. Aku ... menyesal
"Maaf," cicit Ruhi dengan tatapan penuh rasa bersalah pada laki-laki yang masih berdiri di hadapannya. "Tidak masalah untuk kali ini. Tapi, lain kali jangan berniat meminta hal-hal di luar kemampuanku." Abinawa kini sudah duduk di samping Ruhi yang sedang menyusui Baby Shanum. Bayi itu tampak anteng dalam dekapan gadis berusia 21 tahun itu, bahkan mulai tertidur lagi. "Pak, dia mulai tertelap lagi," ujar Ruhi menoleh ke arah Abinawa."Bayi dengan usia segitu memang wajar jika terus tertidur. Selama dia masih tidur dalam keadaan normal dan tidak ada gangguan medis apapun kamu tidak perlu khawatir.""Gangguan seperti apa, Pak, misalnya?""Gangguan kesehatan, seperti penyakit kuning atau infeksi lainnya yang membuat bayi tertidur lebih lama," jelas Abinawa membuat Ruhi diam-diam mengaguminya. Jarang-jarang ada laki-laki yang tahu banyak hal tentang bayi.'Sepertinya Pak Abi memang sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menjadi seorang ayah. Kasihan dia. Kenapa istrinya tega
Pagi hari.Setelah pamit pada Ruhi, Abinawa segera keluar dari apartemen untuk membeli beberapa keperluan Baby Shanum, seperti diaper, susu, baju ganti serta tissue basah. Karena tidak membawanya dari rumah saat pergi semalam.Tentu saja tidak membawanya, karena kepergian Abinawa semalam dengan membawa Baby Shanum dalam keranjang bayi adalah untuk membunuhnya. Siapa sangka jalan ceritanya telah berubah karena bertemu dengan Ruhi yang baru pulang dari membeli nasi goreng. Berniat membunuh bayi, Abinawa malah berakhir di apartemen seorang gadis. "Sepertinya sudah semua." Abinawa memeriksa isi dari beberapa kresek di tangannya. Setelah mendapatkan semua keperluan Baby Shanum, laki-laki itu segera melajukan mobilnya untuk kembali ke apartemen. Dia melajukan mobilnya sampai mengebut, karena mengetahui di sana Ruhi sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. .Setelah menekan bel, dan pintu terbuka dari dalam. Abinawa terkejut melihat Baby Shanum yang menangis kencang dalam gendongan Ruhi
Kini keduanya tiba di apartemen milik Ruhi, yang jaraknya tidak seberapa jauh dari jembatan tadi yang hampir saja menjadi tempat pembunuhan berencana ... untuk seorang bayi. Bayi cantik lagi menggemaskan. Sayangnya, dia hadir dengan cara yang membuat seseorang hancur dan terluka.Abinawa Aslan Aydin. Laki-laki berusia 30 tahun yang merupakan seorang pemilik bisnis real estate sekaligus seorang investor. Dia telah dikhianati oleh sang istri dan juga abang kandungnya sendiri. Denaya dan Alister. Profesi keduanya yang merupakan seorang model dan photografer membuat Denaya dan Alister sering bertemu karena hubungan pekerjaan. Hanya hubungan pekerjaan, awalnya. Siapa sangka, kenyamanan yang tercipta karena pertemuan intens, membuat Denaya dan Alister melupakan status mereka yang merupakan seorang adik dan abang ipar.Serta melupakan seorang laki-laki yang kini mereka hancurkan dengan tega. Berselingkuh dengan ipar sendiri hingga memiliki seorang bayi, bisa bayangkan serusak apa moral du
Laki-laki asing itu menatap Ruhi penuh telisik. Lama dan dalam. 'Jelas tidak sama. Dia hanya gadis polos yang mencoba mencegahku menjadi seorang pembunuh.'Laki-laki berpenampilan perlente itu menilai Ruhi dalam keterdiaman. Lapisan paling dasar dalam hatinya menyadari satu hal. Ruhi bukanlah wanita seperti yang dia tuduhkan. Ada sinar ketulusan yang tiba-tiba laki-laki temukan di sana. Tanpa Ruhi sadari, kegelapan yang semula menghiasi ruang perasaan seseorang, telah perlahan menerang akibat sihir ketulusan yang terpancar dari sepasang bola matanya. Mata hazel yang gadis itu peroleh dari garis keturunan ibunya. "Apakah aku sama seperti mereka, Pak?" tanya Ruhi sekali lagi, setelah melihat sosok di hadapannya hanya berdiri mematung. "Tentu saja tidak. Kamu hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu apapun." Ucapan laki-laki itu jelas membuat Ruhi emosi. "Hei, Pak. Usia saya sudah menginjak 21 tahun sekarang! Bagaimana bisa Bapak bilang saya gadis kecil," protesnya terdengar beran
Gadis berusia 21 tahun itu tampak sedang berjalan kaki untuk kembali ke apartemennya. Tangannya menjinjing sebuah kantong kresek berisi nasi goreng, yang baru saja dibeli di jalan ujung taman sana. Tubuh yang dibalut dress merah muda dengan panjang selutut itu, tidak begitu tinggi. Hanya sekitar 158 cm saja. Kulitnya putih gading, dengan rambut lurus sedada lengkap dengan poni di bagian depan. Wajah ovalnya terkadang berwarna serupa biji saga jika sedang kepanasan atau sedang salah tingkah. Wajahnya juga dihiasi sepasang lesung pipi. Yang membuat kecantikannya semakin sempurna saja. Kebiasaannya setiap habis magrib adalah, membeli nasi goreng oppa-oppa di jalan ujung taman yang tidak seberapa jauh dari apartemennya. Dia menyebutnya nasi goreng oppa-oppa karena penjualnya seorang laki-laki muda yang wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Padahal, di gerobak nasi goreng sendiri tertulis dengan jelas, 'Nasi Goreng Spesial Bang Firdaus.'Kebiasaan lain gadis itu, tiap kali pulang dari memb