Untuk membuatmu sadar atas suatu kesalahan, kenapa harus menunggu sampai waktu menempatkanmu pada posisi yang sama?
*****Selama meeting berlangsung, aku berusaha keras untuk bisa melewatinya dengan baik. Meskipun perkataan Luna sewaktu di rumah terus mengusik pikiranku."Suka? Tentu saja tidak, Mas ... tentu saja aku tidak suka karena baru mengetahuinya sekarang. Mungkin jika aku tahu Emir menyukaiku dari dulu, aku sudah bahagia bersamanya. Bukan malah terjebak dalam pernikahan menyakitkan ini. Apa kamu tahu Mas, menjadi istrimu adalah hal yang kusesali ...."Aku tidak bisa menahan diri mendengar Luna mengatakan menyesal menikah denganku selama ini, dan akan lebih memilih pria asing itu seandainya istriku masih punya kesempatan.Tentu saja aku sangat murka mendengar wanita yang begitu kucintai membahas laki-laki lain di depanku. Bahkan membelanya.Kemurkaan itulah yang akhirnya menjadi bumerang untuk diriku sendiri, aku telah menyakiti Luna dengan tanganku yang berakhir di pipinya. Sungguh aku menyesal.Biarpun akhir-akhir ini kami sering berselisih paham, aku belum pernah mengasari istriku. Dan hari ini, aku baru saja menyakitinya.Wajah sendu Luna sebelm dia berlari ke kamar dan meninggalkanku, terus tergambar jelas dalam pikiran.Berdampak pada diriku yang lebih banyak membisu setelah meeting berakhir, dan hal itu juga yang membuat Riko berada di sini sekarang."Lo kenapa , Bro? Kok gue perhatiin kek nggak ada gairah hidup lo hari ini?" todongnya sembari mendaratkan tubuh di sofa.Karena kondisiku yang tampak kacau telah terbaca olehnya, membuatku menceritakan semua pada Riko. Berharap ada solusi yang kudapatkan, lebih-lebih tentang sikap Luna.Aku menjelaskan dengan lugas satu persatu. Tentang Tiara dan perubahan Luna pasca mengalami keguguran, hingga kejadian tadi ketika aku pulang ke rumah. Termasuk kata-kata Luna yang membuatku merasa takut hingga berakhir menyakitinya."Jadi selama ini Tiara tinggal di rumah lo? Dengan alasan nggak betah di rumahnya sendiri? Karena hanya ada pembantu?"Riko mengulangi pernyataanku dalam bentuk pertanyaan. Laki-laki itu menatap tidak percaya. Bola matanya semakin melebar setelah aku membenarkan sesuatu yang seolah aneh menurutnya."Gila. Berani juga lo ya? Salut gue."Aku mengernyit mendengar ucapannya yang seperti mengejek. Maksudnya apa?"Lo tahu nggak, Bro. Tanpa lo sadari lo udah nyakitin istri lo. Jangan bodoh, Bro! Jangan sampai gara-gara merasa berhutang budi sama orang rumah tangga lo hancur.Wajar Luna cemburu dan ngediemin lo. Apalagi alasan Tiara mau numpang di rumah lo sama sekali nggak masuk akal tahu nggak? Coba lo bayangin, kalau emang dia merasa nggak betah di rumahnya, 'kan dia bisa tinggal di rumah teman-temannya yang cewek, bukan sama lo yang beda jenis kelamin dan udah berkeluarga. Nggak etis sama sekali. Lo udah nyakitin Luna, Dipt," jelas Riko panjang lebar, yang terdengar seperti memojokkan.Apalagi sampai menuduhku menyakiti Luna. Menurutnya, aku mengajak Tiara tinggal di rumah adalah suatu kesalahan besar?"Lo nggak ngerti posisi gue, Rik."Aku membela diri. Padahal, hati kecilku mulai tersentil dengan ucapannya barusan. Entahlah, rasa tidak enakan pada Tiara dan keluarganya membuatku terjebak dalam situasi rumit begini. Walaupun aku baru sadar, jika alasan Tiara tinggal dirumahku memang tudak masuk akal, seperti yang Riko katakan.Riko menatapku tajam "Ck, lo tahu apa yang gue lakuin kalau gue di posisi lo? Gue akan lebih memilih menjaga perasaan istri gue. Gue akan memilah mana hal yang masuk akal untuk gue lakukan sebagai bentuk balas budi. Yang lo lakuin itu bukan bentuk balas budi, Bro, tapi mempersiapkan kehancuran rumah tangga lo sendiri.""Maksud lo apa?" pekikku tidak terima atas tuduhannya."Lo yakin Tiara cuma anggap lo teman?" Kini, aku malah kaget mendengar pertanyaannya." Gue sama Tiara cuma berteman. Nggak mungkin–lah gue nyakitin Luna. Selama ini gue nggak pernah macam-macam di belakang dia, Luna aja yang nggak bisa ngertiin gue."Riko tampak menghela nafas pelan, sambil menatap bingung sekaligus kesal, aku mengenal dengan baik mimik tubuhnya. Laki-laki itu menggeleng-geleng kepala, bahasa tubuhnya seolah mengatakan 'Susah ngomong sama orang bodoh kayak lo.'Benar-benar tuh anak.Untung kawan."Oke, jadi maksud lo, lo itu cuma anggap Tiara teman 'kan. Terus lo tahu nggak Tiara anggap lo apa? Dan lo ngerti nggak pemikiran Luna seperti apa pada kalian, hingga membuatnya berubah acuh sama lo?" Bola mataku yang ingin melompat dari tempatnya."Maksud lo apa? Jelas dia juga anggap gue teman dong. Luna aja yang nggak bisa bersikap dewasa, makanya sampai marah-marah nggak jelas," sahutku kesal.Jujur, semakin ke sini aku semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan kami."Lo tahu dari mana Tiara anggap lo teman dan istri lo nggak bisa bersikap dewasa?""Ya tahu–lah. Tiara sendiri yang bilang. Dia bahkan udah anggap gue seperti keluarganya. Luna aja yang nggak suka sama Tiara. Entahlah gue ngerasa Luna udah berubah nggak seperti Luna yang gue kenal."Aku mendesah membayangkan sikap Luna selama ini. Sekaligus heran, kenapa Riko malah membelanya."Dipt, menurut gue bukan Luna yang nggak dewasa, tapi lo. Nggak ada yang benar-benar murni pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Lo jangan terlalu polos memahaminya. Apalagi lo udah nikah, nggak lagi sebebas dulu. Ada hati yang harus lo jaga," ujarnya pelan, tapi menancap tepat di relung hati. Entah kenapa lagi-lagi aku merasa tertampar dengan omongan Riko barusan.Riko tampak beberapa kali menghela nafas kasar beberapa saat, sebelum melanjutkan ucapannya."Tiara hanya orang luar, sedangkan Luna istri lo. Satu-satunya dari milyaran wanita yang lo pilih di dunia ini untuk mendampingi lo. Yang menjadi prioritas utama untuk lo bahagiakan. Dibandingkan orang lain, termasuk keluarga lo. Hanya gara-gara hutang budi atau bentuk dari balas jasa bukan berarti orang luar bisa bebas masuk ke dalam rumah tangga lo. Itu privasi lo dengan Luna, yang harus lo batasi dari orang-orang yang ingin berniat menghancurkannya.""Jadi, lo mau bilang kalau Tiara ingin menghancurkan rumah tangga gue gitu?" tanyaku spontan. Merasa tidak terima Tiara dituduh seperti itu.Aku mengenal Tiara dengan baik selama ini. Tiara temanku, tidak mungkin dia sampai tega melakukan hal itu."Sorry ya Bro. Gue nggak bermaksud menuduh Tiara yang bukan-bukan. Tapi, tadi lo bilang, kata Tiara Pak Handoko dan istrinya baru kembali seminggu lagi. Dan dia ingin tinggal di rumah lo sampai orangtuanya pulang 'kan?""Ya," sahutku cepat.Aku merasa pembicaraan kami semakin berputar-putar seperti sedang berada dalam sebuah labirin yang tak kunjung menemukan pintu keluar.Ditambah kepalaku yang sudah cukup pusing memikirkan sikap Luna yang seperti teka-teki yang sulit dipecahkan."Saran gue, setelah pembicaraan kita selesai, lo ke ruangan Direktur Utama!""Buat apa gue ke sana di saat Pak Handoko nggak ada?" tanyaku penasaran.Riko menyuruhku ke ruang Pak Handoko, padahal jelas-jelas dia tahu beliau lagi di luar negeri. Aku semakin tidak mengerti dengan jalan pikirannya."Lo lakuin aja apa yang gue bilang, kalau mau tahu jawabannya. Kalau nggak sih, ya terserah. Asal lo siap-siap menyesal nantinya. Siap-siap jadi duda muda."Riko mengakhiri ucapannya dengan kekehan kecil. Lalu, mengangkat bahunya merasa tidak bersalah sama sekali dengan apa yang baru saja diucapkan."Lo barusan sumpahin gue jadi duda?!" teriakku kesal. Dadaku berdenyut, merasa ngeri sendiri jika perkataan Riko benar-benar terjadi.Apalagi, mengingat perkataan Luna tadi dan sikapnya selama ini."Gue bukan nyumpahin Bro. Tapi sedang menyadarkan lo sebelum terlambat.""Tadi, lo bilang cemburu 'kan pas lihat Luna gomong sama laki-laki lain. Sekarang lo bayangin, gimana kalau seandainya Luna mengajak laki-laki itu tinggal di rumah kalian? Gimana perasaan lo?"Entah aku sadar atau tidak, ucapan Riko barusan, seketika menimbulkan gejolak dalam dadaku. Rasa cemburu pada Luna yang sedari tadi berusaha kuenyahkan, kembali memaksa muncul ke permukaan.Bayang-bayang istriku bersama dengan Emir kembali menari-nari dengan jelas dalam kepala.Bersambung...Ada rasa panas yang kembali menjalar, mengingat bagaimana laki-laki itu memperlakukan Luna. Aku tidak mau istriku ditatap oleh laki-laki lain, apalagi dengan cara seperti itu. Luna hanya milikku. Aku akan cemburu, kalau Luna masih berteman dengan lawan jenis di saat kami sudah menikah. Rasa takut mulai menjalar menusuk ke dalam kalbu, bagaimana kalau dugaanku benar, bahwa laki-laki bernama Emir itu memiliki rasa terhadap istriku. "Nggak gue nggak bisa. Gue nggak terima kalau Luna punya teman laki-laki apalagi sampai tinggal di rumah kami." "Nah. Sekarang lo ngerti 'kan gimana perasaan Luna melihat lo dengan Tiara? Tinggal serumah, pulang pergi bareng. Lo sekarang ngerti 'kan istri lo tersiksa. Bahkan di saat dia keguguran lo lebih mentingin orang lain ketimbang dia. Sakit banget, Bro. Gue aja sampe merinding bayanginnya, jangan sampai gue seperti itu sama bini gue." Deg. Aku terbungkam. Lumayan lama mencerna setiap perkataan Riko, lalu menghubungkannya dengan apa yang aku rasak
Benar apa yang Riko bilang, aku telah salah mengartikan bentuk rasa terimakasih pada Tiara sehingga memasukkannya dalam kehidupan pribadiku dan mengabaikan Luna.Selama ini istriku malah terang-terangan menunjukkan apa yang dirasakan, tapi aku selalu berkilah dengan dalih persahabatan dan balas budi. Selama ini aku selalu memaksanya untuk mengerti posisiku. Sedangkan, posisi dan perasaannya selalu kunomorduakan. "Jadi, ini yang membuat kamu berubah? Kamu kenapa sih, Sayang seperti nggak suka sama Tiara? Tiara hanya tinggal sebentar di rumah kita, apa salahnya.Dia dan keluarganya sangat berjasa pada kita, harusnya kamu sadar itu dan berterimakasih pada Tiara. Bukan malah bersikap kekanakan seperti ini dan menuduhku yang bukan-bukan. Semalam itu nggak seperti yang kamu lihat, Luna. Aku hanya membantu Tiara ke kamarnya setelah terjatuh karena kepalanya sakit," Aku teringat perkataanku pada Luna, yang baru kusadari terdengar sangat egois dan menyakitkan. Oh Tuhan.Sekarang pertahanan
Ketika aku ingin mengucapkan kata maaf kenapa dia malah memilih pergi? Ataukah aku yang salah karena baru sadar saat dia sudah sangat lelah dan hendak beranjak dari sisi? Lalu, rasa ini hendak kubawa pada siapa? Sedangkan, hanya dia satu-satunya pemilik hati.Apa aku harus mengemis, demi dapat menebus kesalahan yang sangat fatal? Luka yang tergores terlalu dalam, bagaimana jika aku tidak mampu lagi menyembuhkannya? Bagaimana jika ada sosok lain yang menawarkan obat untuk hati yang baru saja kukoyak dengan brutal?Bagaimana?****Bismillah."Sayang!" panggilku beriringan dengan pintu yang mulai terbuka. Luna menoleh dengan beberapa pakaian miliknya yang berada di tangan, dan ada sebagian yang sudah berpindah ke dalam koper yang masih terbuka yang terletak di atas ranjang. "Aku tidak bermaksud mengaggu waktu Mas. Tapi, orangtuaku sedang dalam perjalanan kemari. Rasanya tidak etis jika mereka menjemputku saat tuan rumah tidak ada." Hatiku mencolos.Ada apa ini?Mengapa pemandangan y
Benar-benar perih aku melihat keadaan wanita yang begitu kucintai. .Sialnya, akulah sumber penyakit bagi hati dan mentalnya. Akulah sebab bekunya Luna seperti balok es. Aku kembali membawa jari-jemari mungil Luna dalam genggaman, agar berhenti memukul dadanya yang mungkin sesak membayangkan kelakuanku. Aku yang lebih pantas mendapat pukulan itu.Apa yang Luna rasakan selama ini, jauh lebih sakit ketimbang rasa cemburuku melihatnya bersama laki-laki lain tadi pagi. Aku kembali teringat beberapa kali sempat menegur Luna bahkan sampai memarahinya karena berlaku tidak sopan pada Tiara di belakangku. "Dipt, kenapa sih istri kamu selalu jutek sama aku kalau kamu nggak ada. Bahkan sering nyindir-nyindir aku sama Mbok Asih. Aku salah apa sih, Dipt sampai Luna membenciku." Setiap kali Tiara mengadu, aku langsung menemui Luna untuk menegurnya tanpa mau mendengar penjelasannya. Tanpa bertanya dari sudut pandangnya. "Sayang kamu kenapa sih selalu jahat sama Tiara. Tiara itu tamu di sini,
"Nggak, kamu nggak boleh pergi! Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dariku," ujarku semakin erat memeluknya. Tok tok.Aku terlonjak saat ada yang mengetuk pintu kamar dari luar, begitu juga dengan Luna. Tubuhnya terasa menegang, tak lagi memberontak seperti tadi.Kutatap sendu tubuh kurus yang masih dalam dekapan. Lalu, kucium pucuk kepalanya, aroma shampo kesukaanku menguar. Ini memabukkan.Setelah beberapa saat, aku melepas pelukan dari tubuh Luna dan beranjak membuka pintu dengan perasaan tak bisa dijelaskan. Bagaimana kalau benar-benar ada yang mengambil istriku?Saat pintu terbuka, hatiku sedikit lebih baik melihat siapa yang berdiri di baliknya. Mbok Asih dalam keadaan menunduk, bukan mama atau papa Luna. Semoga saja apa yang Luna ucapkan mengenai kedatangan orangtuanya hanya akal-akalannya saja untuk mengancamku.Sungguh aku belum siap bertemu dengan mereka, mengingat apa yang sudah aku lakukan pada putrinya. Semoga Luna tidak menceritakan apapun. Jika tidak, mau dibawa ke m
Suara papa mertua kembali terdengar. Aku mengambil posisi agak jauh dari Kak Vincen, sembari menatap takut ke arah papa, wajah yang mulai penuh kerutan itu tampak sangat bersahaja. Beliau bisa mengontrol emosinya dengan baik, walau bagaimanapun mana ada orangtua yang tidak murka melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Aku yakin sekali Luna sudah menceritakan semuanya, melihat bagaimana sikap Kak Vincen terlebih tatapannya ke arahku saat ini.Papa tampak beberapa kali membuang nafas kasar. Sementara Luna hanya menunduk meremas jemarinya, sedangkan mama mertua menatapku sinis dengan ekor matanya. Ya, beliau pantas melalukannya. Seketika aku merasa seperti akan menjalani hukuman gantung beberapa menit lagi, itu yang kurasakan saat ini. Tapi, apapun yang terjadi nanti, tekadku untuk memperjuangkan Luna sudah bulat.Mungkin ini memang konsekuensi yang harus kutanggung dari semua perbuatan dholimku pada Luna selama ini. Aku siap, asal bukan untuk melepaskannya."Kedatangan kami ke si
Lagi-lagi kecolongan *****Entah kenapa aku sangat merasa terganggu kali ini dengan kehadiran Tiara. "Dipta!"Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku melipat sajadah dan menaruhnya di tempat semula dan bergegas keluar untuk menemui Tiara.Aku harus melakukan ini, biarpun nanti aku kehilangan pekerjaan. Luna lebih penting dari itu semua. Semoga saja Tiara mengerti posisiku. *****"Dipt, ayo makan dulu! Aku bawain soto betawi kesukaan kamu nih," teriak Tiara yang terdengar dari ruang makan. Aku bergegas keluar menghampiri Tiara dengab ponsel di tangan yang mungkin akan selalu kubawa, bila perlu sampai ke kamar mandi. Untuk apalagi, kalau bukan menunggu balasan dari pesan-pesan yang kukirim untuk Luna. Centang dua tapi belum berubah warna jadi biru. Sepertinya, istriku belum mengecek ponselnya, padahal jika dihitung-hitung seharusnya mereka sudah tiba di rumah jam segini. Mengingat lokasi rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari sini. Mungkin, Luna masih sibuk dan belum se
"Ja-di, kamu ... enggak mau lagi jadi sahabatku, Dipt?" tanya Tiara dengan raut wajah sendu.***"Maaf, Tiara! Kita bisa berinteraksi layaknya sesama teman kantor pada umumnya. Tidak sedekat sebelumnya." "Aku nggak bisa,Dipt. Kamu tega ngomong gitu sama sahabat sendiri. Aku ....""Sekali lagi maaf Tiara. Tolong jangan membuat keadaan semakin buruk. Keputusan aku nggak akan berubah, sekalipun ... aku kehilangan pekerjaan." Aku berkata pelan, Tiara tampak kaget mendengar apa yang baru saja kukatakan.Ya, aku sudah berpikir dengan matang. Apa yang baru saja aku ucapkan bukan hanya wacana. Aku sudah siap kehilangan semuanya, kecuali ... Luna. "Tinggallah di apartemen atau rumah teman-teman kamu yang cewek. Aku yakin banyak kok teman-teman kamu yang tinggal di kota ini." Semoga opsi kali ini berjalan, aku lumayan banyak kenal dengan teman-teman Tiara. Apalagi teman-teman satu angkatan. Tiara tidak menjawab ucapanku. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terdengar terisak. Seme
Tidak sesuai ekspektasi, Mimi—sang manager kepercayaan Denaya kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Bahkan saat di jalan tadi, Mimi sempat khawatir membayangkan bagaimana bosnya akan mengamuk. Mengingat watak Denaya yang emosian dan tidak sabaran, Mimi sudah bisa membayangkan bagaimana hasilnya nanti.Watak yang kurang menyenangkan itu selama ini ditutupi oleh kecantikan, ketenaran dan kehormatan sebagai istri seorang Abinawa selama ini. Dan tentu saja mata Abinawa juga tertutup oleh cinta—sehingga buta dengan akhlak istrinya yang kurang terpuji. Namun, itu sebelum tabir terkuak. Sebelum Baby Shanum datang ke dunia ini dan segala misteri di balik kehadirannya. Sekarang mata Abinawa sudah terbuka lebar, pun hatinya yang tak lagi tersisa rasa cinta, melainkan kebencian yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Buktinya hampir saja Baby Shanum melayang ke sungai di malam yang lalu, andai saja gadis yang dianggapnya malaikat tidak datang menghampiri. Ruhi Ghumaisya. Menurut Ab
"Bibi sedang apa?" tanya Ruhi pada Bi Yuyu—asisten rumah tangga di rumah Abinawa. "Eh, Non Ruhi, ini Bibi ingin memasak untuk makan siang," jawab wanita paruh baya itu yang tampak cekatan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang hendak diolah dari kulkas. Ruhi yang melihat Bi Yuyu tampak sibuk perlahan mendekat untuk membantu. Perkenalan mereka sudah dimulai beberapa saat yang lalu, saat Ruhi beranjak ke dapur untuk membuat susu Baby Shanum. Yang Bi Yuyu ketahui, Ruhi adalah pengasuh Baby Shanum seperti yang dijelaskan gadis itu. Meski Bi Yuyu sempat heran dan berpikir keras, bagaimana majikannya bisa menemukan seorang pengasuh secantik Ruhi.Karena memang tampak dari wajah dan penampilannya kalau Ruhi bukanlah orang susah yang perlu berkerja sebagai pengasuh bayi untuk bertahan hidup. Namun begitu, alasan sesungguhnya hanya Abinawa dan Ruhi yang tahu. Tidak. Abinawalah yang paling tahu penyebab gadis bernama lengkap Ruhi Ghumaisya berada di rumahnya saat ini. "Bibi mau masak apa
Tangan Ruhi mulai bergerak perlahan mengusap punggung laki-laki yang sedang menangis dalam dekapannya. Abinawa, ya. Laki-laki asing yang ditemuinya semalam dan sekarang akan berada di bawah atap yang sama dengannya. Pertemuan mereka bahkan belum sampai 24 jam. Namun, entah magnet apa yang menarik kedua untuk menjadi selengket itu."Dia pengkhianat. Kenapa setiap wanita yang kutemui semuanya jahat?" "Siapa bilang? Mamaku sangat setia dengan Papa. Percayalah, Pak, tidak semua wanita itu sama. Mungkin saja, mereka yang kemarin hadir dalam hidup Pak Abi hanya untuk jadi pembelajaran, atau bentuk teguran dari Tuhan atas kesalahan yang Bapak perbuat di masa lalu yang mungkin tidak Bapak sadari," jelas Ruhi dengan pelan. Berharap apa yang disampaikannya sampai ke otak laki-laki itu. Laki-laki yang sedang hancur itu. Entahlah, semalam bertemu dengan Abinawa sudah membuat Ruhi merasa sedikit lebih dewasa dari usianya. Menghadapi orang yang sedang tidak bisa berpikir jernih memang butuh ke
Degub jantung Ruhi semakin cepat saat jaraknya dengan Abinawa tinggal beberapa senti saja.Takut? Tentu saja. Namun, melihat raut wajah menyedihkan dan tatapan putus asa dari laki-laki berusia 30 tahun itu mendorong Ruhi untuk berbuat nekat.Ya. Nekat melakukan hal seperti yang biasa dilakukan pada Dipta, papanya. Deg. Seketika Abinawa menegang, saat Ruhi mulai memeluknya. Jarum jam seperti berhenti berdenting. Seolah dunia Abinawa terhenti beberapa saat. Itu gila. Tapi, seperti itulah pemandangannya. Akal sehat Abinawa tidak bisa berfungsi beberapa saat, pun degub jantungnya yang mulai mengencang.Seperti yang terjadi pada Ruhi, namun, gadis itu memilih bersikap tenang. Seiring dengan tangan mungilnya yang mulai bergerak menepuk-nepuk punggung tegap dalam balutan kemeja mahal itu. "Maaf." Gadis itu berucap lirih. Saat itulah kesadaran Abinawa mulai kembali sepenuhnya. Laki-laki itu sampai beberapa kali mengerjapkan matanya. "Maaf, sudah membuat Pak Abi sedih. Aku ... menyesal
"Maaf," cicit Ruhi dengan tatapan penuh rasa bersalah pada laki-laki yang masih berdiri di hadapannya. "Tidak masalah untuk kali ini. Tapi, lain kali jangan berniat meminta hal-hal di luar kemampuanku." Abinawa kini sudah duduk di samping Ruhi yang sedang menyusui Baby Shanum. Bayi itu tampak anteng dalam dekapan gadis berusia 21 tahun itu, bahkan mulai tertidur lagi. "Pak, dia mulai tertelap lagi," ujar Ruhi menoleh ke arah Abinawa."Bayi dengan usia segitu memang wajar jika terus tertidur. Selama dia masih tidur dalam keadaan normal dan tidak ada gangguan medis apapun kamu tidak perlu khawatir.""Gangguan seperti apa, Pak, misalnya?""Gangguan kesehatan, seperti penyakit kuning atau infeksi lainnya yang membuat bayi tertidur lebih lama," jelas Abinawa membuat Ruhi diam-diam mengaguminya. Jarang-jarang ada laki-laki yang tahu banyak hal tentang bayi.'Sepertinya Pak Abi memang sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menjadi seorang ayah. Kasihan dia. Kenapa istrinya tega
Pagi hari.Setelah pamit pada Ruhi, Abinawa segera keluar dari apartemen untuk membeli beberapa keperluan Baby Shanum, seperti diaper, susu, baju ganti serta tissue basah. Karena tidak membawanya dari rumah saat pergi semalam.Tentu saja tidak membawanya, karena kepergian Abinawa semalam dengan membawa Baby Shanum dalam keranjang bayi adalah untuk membunuhnya. Siapa sangka jalan ceritanya telah berubah karena bertemu dengan Ruhi yang baru pulang dari membeli nasi goreng. Berniat membunuh bayi, Abinawa malah berakhir di apartemen seorang gadis. "Sepertinya sudah semua." Abinawa memeriksa isi dari beberapa kresek di tangannya. Setelah mendapatkan semua keperluan Baby Shanum, laki-laki itu segera melajukan mobilnya untuk kembali ke apartemen. Dia melajukan mobilnya sampai mengebut, karena mengetahui di sana Ruhi sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. .Setelah menekan bel, dan pintu terbuka dari dalam. Abinawa terkejut melihat Baby Shanum yang menangis kencang dalam gendongan Ruhi
Kini keduanya tiba di apartemen milik Ruhi, yang jaraknya tidak seberapa jauh dari jembatan tadi yang hampir saja menjadi tempat pembunuhan berencana ... untuk seorang bayi. Bayi cantik lagi menggemaskan. Sayangnya, dia hadir dengan cara yang membuat seseorang hancur dan terluka.Abinawa Aslan Aydin. Laki-laki berusia 30 tahun yang merupakan seorang pemilik bisnis real estate sekaligus seorang investor. Dia telah dikhianati oleh sang istri dan juga abang kandungnya sendiri. Denaya dan Alister. Profesi keduanya yang merupakan seorang model dan photografer membuat Denaya dan Alister sering bertemu karena hubungan pekerjaan. Hanya hubungan pekerjaan, awalnya. Siapa sangka, kenyamanan yang tercipta karena pertemuan intens, membuat Denaya dan Alister melupakan status mereka yang merupakan seorang adik dan abang ipar.Serta melupakan seorang laki-laki yang kini mereka hancurkan dengan tega. Berselingkuh dengan ipar sendiri hingga memiliki seorang bayi, bisa bayangkan serusak apa moral du
Laki-laki asing itu menatap Ruhi penuh telisik. Lama dan dalam. 'Jelas tidak sama. Dia hanya gadis polos yang mencoba mencegahku menjadi seorang pembunuh.'Laki-laki berpenampilan perlente itu menilai Ruhi dalam keterdiaman. Lapisan paling dasar dalam hatinya menyadari satu hal. Ruhi bukanlah wanita seperti yang dia tuduhkan. Ada sinar ketulusan yang tiba-tiba laki-laki temukan di sana. Tanpa Ruhi sadari, kegelapan yang semula menghiasi ruang perasaan seseorang, telah perlahan menerang akibat sihir ketulusan yang terpancar dari sepasang bola matanya. Mata hazel yang gadis itu peroleh dari garis keturunan ibunya. "Apakah aku sama seperti mereka, Pak?" tanya Ruhi sekali lagi, setelah melihat sosok di hadapannya hanya berdiri mematung. "Tentu saja tidak. Kamu hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu apapun." Ucapan laki-laki itu jelas membuat Ruhi emosi. "Hei, Pak. Usia saya sudah menginjak 21 tahun sekarang! Bagaimana bisa Bapak bilang saya gadis kecil," protesnya terdengar beran
Gadis berusia 21 tahun itu tampak sedang berjalan kaki untuk kembali ke apartemennya. Tangannya menjinjing sebuah kantong kresek berisi nasi goreng, yang baru saja dibeli di jalan ujung taman sana. Tubuh yang dibalut dress merah muda dengan panjang selutut itu, tidak begitu tinggi. Hanya sekitar 158 cm saja. Kulitnya putih gading, dengan rambut lurus sedada lengkap dengan poni di bagian depan. Wajah ovalnya terkadang berwarna serupa biji saga jika sedang kepanasan atau sedang salah tingkah. Wajahnya juga dihiasi sepasang lesung pipi. Yang membuat kecantikannya semakin sempurna saja. Kebiasaannya setiap habis magrib adalah, membeli nasi goreng oppa-oppa di jalan ujung taman yang tidak seberapa jauh dari apartemennya. Dia menyebutnya nasi goreng oppa-oppa karena penjualnya seorang laki-laki muda yang wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Padahal, di gerobak nasi goreng sendiri tertulis dengan jelas, 'Nasi Goreng Spesial Bang Firdaus.'Kebiasaan lain gadis itu, tiap kali pulang dari memb