Ketika Istri Mati Rasa
Bab 1"Rencananya kapan kalian akan menikah secara resmi?" Samar, aku mendengar obrolan di ruang tamu. Jelas sekali itu suara ibu mertua. Siapa yang akan menikah secara resmi? Tangan yang sudah siap mengetuk pintu aku urungkan. Mematung di depan pintu adalah pilihanku saat ini. Mencuri dengar obrolan mereka dengan tangan membopong Wildan yang sedang tidur."Radit belum tahu, Bu." Aku terperanjat , kaget mendengar jawaban mas Radit. Jantungku memompa darah lebih cepat dari biasanya. Ya Allah, apa maksud semua ini?Tidak, tidak mungkin suamiku menikah lagi. Aku pasti salah dengar. Hatiku menolak tapi pikiranku menyimpulkan sesuatu."Apa memang harus diresmikan pernikahan kalian, Dit? Apa tidak sebaiknya kamu ceraikan saja wanita itu. Ibu memikirkan perasaan Alina. Dia begitu baik selama ini, Nak. Ibu tak tega melihat dia terluka." Innalillahi … berarti pradugaku tadi benar.Detik ini rasanya duniaku runtuh. Apa yang aku dengar bukan lagi halusinasi atau sebuah mimpi. Dadaku sesak bagai kena hantaman bogem besar. Air mata luruh begitu saja beriringan dengan hancurnya hatiku. Kenapa kamu tega melakukan ini semua, Mas? Kenapa? Apa kurangku? Aku punya anak. Aku mengurus ibu dengan penuh kasih sayang. Apa salahku sampai hati kamu menduakan aku? Ingin rasanya aku mendobrak pintu dan mengumpat langsung di depan mas Radit. Namun, bukan itu yang aku butuhkan saat ini. Aku harus tenang untuk menghadapi mereka."Bu, tidak mungkin aku menceraikannya. Dia sama pentingnya dengan Alina. Sama-sama bermakna untuk Radit, Bu. Sebentar lagi Ralia masuk sekolah. Kami butuh status yang jelas di mata negara, Bu." Ya Allah … mereka sudah memiliki anak? Sudah mau sekolah? Artinya mereka menyembunyikan ini bertahun-tahun lamanya.Aku tak sanggup lagi mendengar pembicaraan ibu dan anak itu. Segera, aku mengetuk pintu setelah menyusut air mata dan mengatur napas. Seolah tidak terjadi apa-apa."Sayang, kok sudah pulang? Sama siapa? Sejak kapan sudah di sini?" Rentetan pertanyaan mas Radit ajukan padaku. Celingak-celinguk dia menatap ke arah jalan."Ya, Mas, kebetulan tadi aku nebeng Kang Dika, dia mau ada urusan di daerah sini. Sebentar, ya, aku menaruh Wildan dulu di kamar sekalian bersih-bersih." Aku tersenyum tipis ke arah mas Radit yang wajahnya terlihat kaget dan ke arah ibu yang memucat. Mungkin mereka takut aku mendengar semuanya. Terlambat!Segera, aku tidurkan Wildan ke ranjangnya dengan penuh hati-hati. Kutatap wajah polos yang tertidur dengan damai itu.Wildan bukan tipe orang yang mudah terganggu tidurnya dengan hal-hal kecil. Persis seperti bapaknya. Tidurnya selalu pulas dan tidak mudah bangun.Ah, mengingat bapaknya membuat dadaku semakin sesak saja. Apa yang membuat lelaki itu begitu tega mengkhianati pernikahan ini?Mereka yang terlalu pintar dan aku yang terlalu oon. Tak pernah curiga sedikitpun saat suami berminggu-minggu tak pulang ke sini. Aku terlalu percaya pada lelaki yang terlihat setia itu. Bagaimana tidak setia di mataku? Ia tak pernah sibuk dengan handphonenya. Selalu memanjakan dan menyayangi aku sebagai istrinya. Tak pernah menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Selalu dekat dengan anak meski jarang pulang.Tak pernah terlintas sedikitpun bahwa suamiku memiliki istri baru. Aku mengerjap berulang kali agar embun di mata ini tak menjadi anak sungai. Lekas, langkah kaki kubawa ke arah kamar. Sudah tak ada ibu ataupun mas Radit di ruang tamu. Ke mana mereka? Sudah selesaikah pembicaraan mereka?"Surprise untuk istri tercinta." Mas Radit memberikan buket bunga padaku ketika pintu kamar kubuka. Senyum terbaik dia suguhkan padaku. Manis sekali bukan? Dulu aku akan berbunga-bunga diberikan surprise seperti ini. Sekarang tersentuh pun tidak. Semua terasa basi."Terima kasih, Mas." Senyum tipis kuberikan pada lelaki yang terlihat sok romantis itu. Buket kuambil dari tangannya. Lekas, kutaruh di atas nakas tanpa ingin mencium aroma bunganya seperti dulu-dulu lagi."Sayang, Mas kangen." Mas Radit m merentangkan kedua tangannya ke arahku. Dulu dengan segera aku akan merangsek ke dada bidang itu. Sekarang semua terasa menjijikkan."Maaf, Mas. Aku mandi dulu, ya, sudah gerah banget ini." Lagi senyum tipis yang aku berikan padanya seraya masuk ke dalam kamar mandi. Gurat kecewa tercetak jelas di wajahnya. Kecewa yang kamu rasakan tak seberapa dibanding kecewa yang aku dapatkan, Mas!Kran air di bawah aku buka, begitu pun dengan kran shower. berharap menyamarkan suara isakan ku nantinya.Tumpah sudah pertahananku yang sempat kutahan. Air mataku luruh bersamaan dengan merosotnya tubuh ini ke lantai. Aku memeluk lutut di bawah shower yang mengucur. Percakapan ibu dan anak itu kembali terngiang di telingaku. Apa salahku sampai kamu tega melakukan ini semua, Mas? Apa alasan kamu menikah lagi, Mas? Aku rela jauh-jauh ke luar negeri untuk bisa merubah taraf hidup kamu, Mas. Hingga sekarang bisa terpandang karena memiliki lahan berhektar-hektar. Aku rela menjadi perawat ibumu agar kamu tenang dalam bekerja. Semua itu aku lakukan dengan tulus. Tapi apa yang aku berikan padaku, Mas? Sebuah pengkhianatan!Aku berjanji, Mas. Tidak akan tinggal diam atas semua perlakuanmu ini! Aku yakin sampai kapan pun kamu tidak akan pernah jujur padaku. Biarlah aku akan pura-pura tidak tahu, tapi akan banyak sekali perubahan sikapmu terhadapmu, Mas!Ketika Istri Mati Rasa, Aku bangkit dan mengepalkan kedua tangan. Aku akan mengambil seluruh aset yang aku dapatkan dari kerja kerasku selama ini. Mulai sekarang tidak akan aku biarkan kamu dan istri mudamu menikmati uang karetku. Sudah cukup kamu mengakali aku sekian tahun! Air mata kususut dengan kasar. Segera kubasuh seluruh tubuh ini. "Tumben, Sayang sudah ganti dari kamar mandi?" Mata itu menatap tubuhku yang telah dibalut dengan baju dari kamar mandi. Memangnya, dia tadi tidak melihat lipatan baju dalam tangan ini sebelum masuk kamar mandi? Entah apa yang ia pikirkan! "Ah, iya, Mas. Masih kebawa suasana di kampung. Kan kamu tahu sendiri kamar mandi ada di luar kamar di sana." Lagi-lagi hanya senyum tipis yang bisa aku berikan. Aku menyisir rambut di depan cermin. Mas Radit dengan gesit memeluk tubuhku dari belakang. Aku menegang sesaat, hatiku berdesir, tapi segera bisa menguasai keadaan. Posisi seperti ini jujur sangat aku rindukan. Bohong, kalau aku tidak merindukan sentu
Aku sangat mengenal perempuan yang digandeng mesra oleh mas Radit di sebelah kanan. Sementara, tangan sebelah kiri lelaki yang masih sah menjadi suamiku membopong seorang bocah perempuan. Mereka tampak sangat bahagia. Aku mengepal tangan kuat-kuat. Dadaku bergemuruh hebat. Darah terasa mendidih. Di sana dia enak-enakan menikmati hidup, jalan-jalan, memanjakan perempuan lain. Istri mudanya. Sementara, aku di sini terasa terpenjara, tidak bisa ke mana-mana karena ada ibu yang sedang sakit yang butuh perhatian ekstra. Jalan-jalan? Rasanya mas Radit sudah lama sekali tak pernah mengajak kami pergi. Setiap pulang dia hanya sibuk menghabiskan waktunya di rumah. Kenapa tega kamu lakukan ini padaku, Mas? Desti, di mana hati nuranimu sebagai seorang perempuan? Kamu tahu itu suamiku tapi tega merampasnya! Ya, perempuan itu Desti. Teman kecilku waktu di kampung dulu. Namun, kami tak lagi menjalin komunikasi setelah berpisah setamat SMP. Dia merantau ikut kakaknya di Palembang. Tidak tahu tep
Bersusah payah aku menjadi pembantu di luar negeri demi mengumpulkan uang dan berupaya mengangkat taraf hidupmu, Mas. Setelah kelihatan hasilnya dengan tanpa perasaan kamu menggunakannya untuk menyenangkan hati perempuan lain. Terbuat dari apa hatimu, Mas! Hatiku menjerit. Merutuki perbuatan lelaki yang bergelar suami. Tanganku kembali mengepal hingga kukunya memutih.Rahangku mengeras. Bibir kukatup rapat-rapat. Gigiku gemeletuk. Gemuruh di dada kembali meletup-letup. "Lin, kamu masih di sana, kan?" Suara Mbak Sisil memutuskan lamunanku. "Ma — masih, Mbak. Aku masih mendengar kok. Terus perempuan itu pernah pulang nggak setelah menikah?" "Pernah beberapa kali, tapi tidak pernah sama suaminya. Katanya, sih, suaminya selalu sibuk. Tapi, ada yang bilang kalau itu suami orang. Selentingan yang Mbak dengar dia menjadi istri simpanan. Katanya, dia mau meresmikan pernikahan sirinya." Deg! Meresmikan pernikahannya?Seratus persen keyakinanku menyimpulkan Desti adalah maduku. Segera,
Tahu aja mau dikasih kejutan." Mas Radit melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku. Beralih mengambil benda di balik sakunya. Sejurus kemudian dia berjongkok seperti orang-orang yang akan melamar pacarnya."Maukah engkau hidup menua bersamaku, Sayang?" Dia buka kotak beludru merah yang berisi cincin bermata indah. Aku membungkam mulut, pura-pura kaget dan bahagia. Padahal, di dalam sini rasanya mual, muak mendengar rayuan sampahnya. Dengan gerakan cepat aku ambil perhiasan tersebut. "Terima kasih banyak, ya, Mas. Indah sekali, aku suka." Cincin kini sudah melingkar di jari manis. "Tentu, akan mas berikan yang terbaik untukmu, Sayang." Rasanya ingin aku melu dah di depannya. Muak dengan omong kosongnya. "Ini semua hasil uang karetku kan, Mas? Sudah seharusnya kamu memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin cincin ini tak harganya bila dibandingkan dengan apa-apa yang kamu berikan pada perempuan yang bernama Desti. Dia yang selama ini menikmati hasil ladangku kan, Mas?" Saya
Ketika Istri Mati Rasa Mas Radit tampak ternganga. Mungkin tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Kepala itu digelengkan ke kiri dan ke kanan. Seolah menolak ucapanku. Aku hanya tersenyum tipis melihat ekspresi. Pandangan kualihkan ke arah wanita yang sedang duduk di kursi roda. Ibu pun tak kalah terkejutnya. Buktinya mulutnya hanya bisa melongo, seperti orang yang sedang mengucapkan huruf 0. Kaget-kaget lah kalian! Itu belum seberapa dibandingkan nanti kedepannya. Akan banyak kejutan untukmu, Mas! "Setuju atau tidak itu mobil tetap aku ambil, Mas!" ucapku sembari kembali berjalan ke tempat aku menaruh bumbu yang sempat tertunda pengerjaannya. Namun, baru beberapa langkah kakiku kembali berhenti karena ucapan mas Radit."Kamu apa-apaan, Alina! Nggak bisa gitu, dong! Itu mobil aku pake untuk bolak-balik ke Gumawang. Kamu bisa naik angkot ke ke rumah makan! Jangan egois kamu, Lin!" protes mas Radit dilayangkan ke padaku, setelah sekian menit ia sempat cenggo di tempatnya berdiri.
Tak kuhiraukan lagi tentang masakan. Lebih baik aku beli makanan jadi saja untuk saat ini. Membahas mobil itu lebih penting bagiku. Masalah satu ini harus segera kelar."Kamu jangan egois, Alina! Aku yang lebih membutuhkan mobil itu daripada kamu!" Tanganku diturunkan dari hadapannya kemudian melenggang meninggalkan ku seorang diri. Dasar, nggak sadar diri! Sabar Alina! Ucapannya benar-benar membuatku emosi. Oksigen kuhirup sebanyak-banyaknya kemudian ku hembuskan pelan-pelan. Berharap kadar emosi ini bisa menurun setelah ada di ubun-ubun. "Mas, motor kamu dipinjam Mbak Nanik," ucapku saat menemukannya di garasi. Aku hapal betul bagaimana lelaki itu kalau marah. Pasti akan pergi dari rumah dengan membawa motor.Tadi pagi, saat mas Radit sedang sibuk di kamarnya, Mbak Nanik menemui aku dan meminjam motor itu untuk jualan. Motor miliknya sedang rusak. Toh, tidak ada salahnya aku meminjamkan untuk saudara yang membutuhkannya. Sepertinya apa yang sering mas Radit lakukan selama ini."K
"Kenapa kamu begitu percaya diri kalau itu hartamu? Seandainya, ini seandainya, ya, tapi amit-amit, jangan sampai terjadi. Seumpama kita berpisah maka, itu mobil akan menjadi harta Gono gini. Akan kita bagi dua bukan hartamu sendiri meskipun, itu dibeli dengan uangmu sendiri." Aku tertawa kecil mendengar penuturannya. Harta gono-gini. Lucu! Ngarep banget dapat harta gono-gini dari hartaku. Itu tidak mungkin akan terjadi."Kamu mau kita berpisah, Mas? Ayo, siapa takut!" Dagu kuangkat ke arahnya. Sedikit menantangnya. "Mas, ngaji yang bener. Berguru yang bener dengan seorang ustadz. Di dalam Islam itu tidak ada harta gono-gini. Harta yang didapatkan suami itu murni menjadi hak suami setelah dia mengeluarkan sedekah kepada istrinya berupa nafkah; sandang, pangan dan papan. Kalau ada sisa dari itu itu murni harta suaminya. Sedangkan harta istri yang dihasilkan dari kerjanya sendiri itu juga hak istri. Tidak ada bisa dijadikan harta gono-gini. Coba ngaji yang bener! Sekarang sudah paham,
Setelah sekian menit perjalanan, rumah Mbak Niswa sudah tampak. Mobil diparkirkan di sisi jalan. Kami sengaja tidak turun. Takut kelamaan.Mas Radit membunyikan klakson mobil, Mbak Niswa ke luar rumah menemui kami. Kaca tengah aku buka separuh."Mbak, nitip Wildan, ya. Maaf dia belum makan sedari tadi." Kusodorkan dua lembar uang berwarna merah yang sudah aku siapkan sejak tadi. "Untuk jajan Wildan selama aku tinggal. Aku tidak tahu pulang kapan. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku, Mbak. Terima kasih sebelumnya. Wildan hanya aku bawakan baju tiga stell." Aku tadi menyiapkan baju Wildan setelah menghubungi Mbak Niswa sambil menunggu Mas Radit. Tas milik Wildan pun aku berikan ketika bocah tewas jauh tahun itu turun dari mobil."Tenang saja, Wildan aman sama aku. Kebetulan ada baju Deri yang bisa dipake ganti kalau memang kehabisan." Aku mengangguk mendengar ucapan Mbak Niswa. Setelah mengucapkan salam Kami kembali melanjutkannya perjalanan ke rumah sakit. Kebetulan rumah Mb
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter