"Sudah siap, Sayang?" tanya Bang Randu seraya membuka pintu kamar kami. "Sudah dong, Bang." Aku membalikkan badan seraya tersenyum ketika menatapnya."Masya Allah … cantik bener istri Abang." Bang Randu tertegun menatapku. Hingga ia mematung beberapa saat. "Bisa aja, Abang mah." Aku menyambut uluran tangannya setelah dia sadar dari kekagumannya. Kami bergandengan tangan ke luar kamar. Langkah kaki kami menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Siang ini aku dan Bang Randu sepakat akan pergi ke suatu tempat. Kami akan menemui orang yang telah mengirimkan foto editan waktu itu. Setahun yang lalu. Seharusnya masalah ini sudah selesai dari tempo dulu. Namun, karena orangnya menghilang waktu itu, sehingga kami baru sempat menemuinya sekarang.Kali ini kami pergi berdua, sebab Wildan sedang ada Mbahnya di rumah. Ya, di rumah kami sedang kedatangan Bunda dan Bapak. Rencananya, mereka berdua memang akan menetap di rumah kami. Aku dengan kedua Abang sudah membuat kesepakatan. Tidak
"Kenapa bengong di situ, Sayang? Ayu, masuk!" tegur Bang Randu lembut sembari menarik tanganku. "Sebentar, Bang. Itu beneran Mas Radit?" tanyaku dengan pelan. Aku ingin memastikan penglihatan ini tidak salah lihat. "Bener. Itu bapaknya Wildan. Ayo, kita masuk!" Aku yang masih di depan teras pun mengangguk. Dari sini aku bisa melihat mereka. Namun, karena Mas Radit sedang sibuk ngobrol dengan orang tuaku sehingga tidak menyadari kedatangan kami. "Assalamualaikum …" Aku menyapa seluruh penghuni ruang tamu kami. "Mas Radit kapan datang?" tanyaku setelah mereka menjawab salamku. Aku tersenyum manis saat mata ini bertemu pandang dengan perempuan berwajah manis yang duduk di sebelah Mas Radit. "Barusan, Lin. Apa kabar kalian?" Mas Radit menangkupkan kedua tangan ke arahku. Lalu, menjabat tangan Bang Randu. "Alhamdulillah, kami baik. Ini istri barunya, Mas?" Rasa penasaran mendorongku untuk segera bertanya. "Ya, Lin. Ini ibu sambungnya Wildan." "Rini. Apa kabar, Mbak?" Wanita yang kut
"Des! Minta uang!" Mas Irwan menghampiriku yang sedang masak di dapur.Aku memutar bola malas. Kenal dengannya adalah kesalahan terbesar dalam hidupku!"Bisanya minta uang terus! Kalau pengen uang itu kerja! Bukan minta pada istri!" Tanpa menoleh, aku mendebatnya. Tanganku terus mengulek bumbu sambal ikan asin. Sengaja, memasak apa yang tidak disukai oleh mereka."Buat apa aku kerja kalau kamu saja sudah pandai cari uang!" Suara Irwan semakin dekat di bekalangku. Kuputar tubuh ini menghadapnya. "Kalau kamu nggak mau kerja jangan minta uang padaku!" Muntu batu yang ada dalam genggaman kutunjuk lurus ke mukanya. "Aku cari uang untuk siapa? Untuk istri, kan? Sementara kamu udah pandai cari duit. Lalu, untuk apa aku sibuk kerja?" Irwan mundur beberapa langkah, sebab hidungnya nyaris tersentuh oleh muntuku.Ya Tuhan … apa laki-laki itu Engkau ciptakan tanpa otak? Sehingga tidak bisa mikir."Ternyata selain tanpa otak, kamu juga laki-laki tanpa harga diri ya, Mas!" Sekali lagi muntu batu
Sekarang sabar dulu, Des. Sabar! Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa dengan gegabah. Bisa bahaya. Aku harus belajar dari Alina. Dalam diam, dia bisa menghanyutkan Bang Radit pada waktu itu. "Ibu, Ralia mau sekolah." Aku tersenyum saat menatap gadis kecil yang sudah siap berangkat itu. Dia datang menghampiri kami yang sedang ribut di dapur. Ralia, sudah bisa mengurus diri sendiri. Mungkin, karena sudah terbiasa ditinggal sendiri di toko. Sehingga membuat anak itu sudah tampak mandiri.Pagi ini, dia tampil cantik dengan bando di kepalanya. Tapi, wajah Ralia berubah saat menatap Irwan. Semacam ada ketakutan dari sorot matanya. Ada apa ini? Sekilas kulirik Irwan, lelaki itu tersenyum menyeringai kemudian melangkah mendekati Ralia. "Ralia, Sayang. Berangkat sekolahnya sama Ayah Irwan saja, ya," Irwan berlutut, mensejajarkan diri dengan anakku. Suaranya berubah menjadi lembut terhadap putriku. Kuperhatikan wajah Ralia yang semakin menegang. Dia tidak menjawab, tapi matanya berka
Ketika Istri Mati Rasa.Kutinggalkan ruang guru dengan langkah gontai. Sesekali kutengok ke arah kelas Ralia. Namun, sepertinya anak itu sudah anteng di kelasnya. Ingin rasanya aku bertanya pada anak itu sekarang. Tapi, bagaimana kalau dia masih membungkam mulutnya?Aku berjalan seperti tidak menapak ke bumi. Di kepala ini rasanya banyak kunang-kunang yang bertebaran. Aku tidak bisa mengendarai motor dengan keadaan seperti ini. Sebaiknya, aku ke kembali warung nasi uduk tadi. Semoga teh manis bisa memberikan kekuatan pada tubuh ini. Badanku lemas seperti ini mungkin karena belum makan sejak tadi."Bu, nasi uduk sama teh manisnya satu, ya." Kupesan nasi putih yang dibumbui santan itu pada perempuan bertubuh tambun. Pemilik warungnya."Ya, Bu. Pake sambal?" tanya Ibu itu dengan ramah. Aku hanya bisa mengangguk. Tak lama kemudian dia sudah menyerahkan piring yang berisi nasi uduk lengkap dengan pelengkapnya serta tak lupa sesendok sambalnya. Meskipun bertubuh tambun, perempuan itu terma
Motor ku belokkan ke arah rumah Mbak Ratmi. Aku tidak bisa memendam masalah ini sendiri. Segera kuparkirkan kendaraan roda dua ini di depan rumah kakak perempuanku. Semoga dia bisa menerima aku sebagai adiknya. Kutekan egoku dalam-dalam sebelum mengetuk pintu rumah bercat cream tersebut. Sebagai seorang adik yang tidak dikehendaki kehadirannya, aku harus bisa merendahkan hati serendah-rendahnya di hadapan Mbak Ratmi."Assalamualaikum." Salam ketiga pintu rumah ini baru terbuka."Waalaikummussallam. Tumbenan datang ke sini? Mau apa?" Wanita bertubuh berisi itu membuka pintu depan wajah kaget. Pertanyaannya pun cukup ketus. Tidak sepantasnya seorang kakak bertanya demikian ketika adiknya datang. Namun, kali ini aku tidak boleh tersinggung seperti sebelum-sebelumnya. "Ada perlu, Mbak." Kuikuti langkah Mbak Ratmi yang berjalan ke arah sofa. Aku harus lebih ramah."Mau pinjem duit? Aku tidak memiliki banyak uang seperti kamu. Apa kurang kiriman Radit untuk Ralia?" Pertanyaan yang serupa
Ketika Istri Mati RasaSeason 2POV Author"Gimana kabarnya Ralia, Tante? Sudah lama Saka nggak ketemu si mungil." Saka menatap buliknya dengan lekat. Mungil julukan yang disematkan untuk Ralia dari anggota keluarga Ratmi.Desti terdiam. Wanita yang hatinya sedang tidak baik-baik saja itu tidak tahu harus menjawab apa? Tubuh Desti ada di rumah Ratmi, tapi tidak dengan pikirannya. Desti terlihat menghembuskan napas berat. Tatapannya menerawang. Banyak hal yang ia pikirkan.Saka menatap ibunya sembari mengangkat dagu ke arah Desti. Sorot mata pemuda itu seolah berbicara, 'lihat Tante, Bu!' Paham dengan tatapan anaknya, Ratmi segera menepuk pundak adik perempuannya tersebut."Desti, kenapa melamun? Ada apa? Ralia tidak kenapa-kenapa, kan?" Tepukan Ratmi di pundaknya membuat Desti terjingkat kaget. "Hah … kenapa, Mbak?" Desti tergagap. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang ditanyakan kakaknya."Kamu kenapa? Ada masalah apa?" Ratmi kembali memberi pertanyaan pada adiknya.Desti kem
Tubuh yang semakin hari semakin kurus itu melorot ke lantai seiring dengan luruhnya air mata yang deras seperti aliran anak sungai. Mengingat foto kiriman dari Radit, penyesalan Desti kian menjadi. Dadanya yang dipenuhi rasa bersalah itu terasa semakin sesak saat menyadari dirinya penyebab semua ini."Seandainya aku tidak berbuat serong, maka semua ini tidak akan pernah terjadi." Salah satu ungkapan penyesalan terbesar dari seorang Desti.Rasa bersalah bergulung-gulung di dalam dada wanita yang telah melahirkan Ralia. Puluhan kata seandainya bermunculan di dalam benaknya sebagai ungkapan penyesalan yang tak ada ujungnya."Maafkan Ibu, Nak! Ini semua terjadi karena kebodohan ibumu ini, Ralia!" Beberapa kali Desti melayangkan pukulan di kepalanya sendiri. Semua itu dia lakukan untuk menghukum isi kepalanya.Menurut Desti, isi di balik tempurung kepalanya wajib diberi pelajaran sebab dari sana ide main gila itu bermula. "Innalillahi … Desti! Apa yang kamu lakukan?" Ratmi yang muncul d
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter