POV AuthorJam dua belas siang, satu per satu para tamu berpamitan pada tuan rumah, tentu setelah mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Mereka mulai meninggalkan rumah Alina. Tinggal saudara-saudara dekat yang masih tinggal. Termasuk Mbak Niswa dan Mbak Nanik mereka menunggu sopir yang akan mengantarkan pulang ke rumah masing-masing. Tentu, Alina yang memfasilitasi. Dari pihak WO pun sudah mulai bergerak, guna melucuti dekorasi yang tadi menghiasi kediaman pengusaha katering tersebut. Alina tidak mengadakan resepsi yang mewah. Cukup mengundang para tetangga dan sanak saudara. Selain untuk menyaksikan proses ijab qobul, mereka diundang hanya untuk menikmati makanan yang disediakan oleh Langgeng catering sendiri. Tidak ada kotak uang untuk tamu undangan. Inilah konsep pernikahan yang diinginkan oleh Alina dan Randu, hanya mengundang tanpa mengharapkan uang sumbangan. Mereka pun tidak berniat untuk mengadakan resepsi mewah. Dari sini bisa dikatakan Alina dan Randu memiliki visi mis
Di kamar.Randu duduk di sisi ranjang pengantin. Mata elang itu menyorot ke arah istrinya yang sedang duduk di depan meja rias. Dia tak berkedip saat memandang wajah istrinya yang terlihat jelas dari pantulan cermin. Pria itu membalas senyuman Alina yang mengembangkan di balik sorot kaca.Tak butuh waktu lama, perempuan yang telah memiliki satu anak itu selesai membersihkan mukanya. Mengatur napas sejenak, sebelum akhirnya menarik kursi ke belakang, berdiri dan memutarkan tubuhnya menghadap ke arah suaminya. Pelan, Alina melangkah menuju Randu yang sedang terdiam. "Bang. Suka minum air putih tengah malam?" Alina sengaja melontarkan pertanyaan guna membunuh kecanggungan di antara keduanya. "Boleh kalau mau disediakan, Sayang. Tapi, sebelumnya sini dulu!" Randu menepuk kasur di sisi kanannya."Terima kasih sudah menerima Abang." Randu mengubah posisi duduknya. Kedua kakinya ia angkat kemudian bersila. Tatapannya pun menghadap ke arah kepala ranjang. Di depannya ada wanita yang kini r
Randu membuka mata bersamaan dengan dering handphonenya yang nyaring. Pria itu memilih mengabaikan panggilan masuk hingga jeritan benda canggih itu berhenti sendiri. Mata elang Randu mengerjap kemudian menoleh ke samping. Akan tetapi, sudah tidak ia temukan istrinya di sana. Lelaki yang baru menikah kemarin pagi itu bangun dari posisi berbaring. Dibawa duduk tubuh atletisnya. Punggung ia sandarkan ke kepala ranjang. Pria berdarah Jawa -Sunda itu berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya. Setelah nyawa terkumpul, ia edarkan tatapan tajamnya. Sorot matanya pun menyapu seluruh penjuru kamar, berusaha mencari keberadaan istrinya. Tapi, tidak juga ia temukan. Randu pun menoleh ke arah pintu kamar mandi sembari mempertajam pendengaran. Siapa tahu istrinya ada di dalam sana. Namun, usahanya sia-sia sebab tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Gemercik suara air pun tak terdengar oleh telinga Randu. Tentu, Alina tidak akan ia temukan, sebab perempuan itu sedang berada di mushola priba
"Dia anak yatim piatu yang tidak memiliki keluarga kandung lagi. Saat ini Widuri sedang sakit. Entah mengapa ia menelpon Abang. Meminta untuk ke sana. Padahal, di dekatnya ada budenya." Randu menghela napas. "Abang sudah membaca pesan Widuri? Maaf tadi aku membukanya." "Pesan? Nggak tahu malah!" Randu yang memang tidak tahu menggelengkan kepalanya. Tangannya pun segera meraih benda pipih berbentuk persegi panjang miliknya. "Bang. Sejauh ini perasaan Abang ke Widuri itu seperti apa?" Alina ingin tahu kejujuran suaminya."Hanya menganggap adik meskipun, ia menaruh harapan besar pada Abang." Alina menatap manik hitam milik suaminya. Berusaha mencari kebohongan dari sana. Sayangnya ia hanya menemukan kejujuran di mata itu. Tidak ada dusta dari sorotnya."Bang, boleh aku ngasih saran?" "Apa itu, Sayang. Abang dengan senang hati akan menerimanya.""Widuri itu sepertinya menyukai Abang. Tolong, jangan memberikan celah untuk orang ketiga ke dalam rumah tangga kita. Aku tahu Abang tidak be
POV Radit. Hari ini cukup melelahkan bagiku. Bagaimana tidak, langit yang semula cerah tiba-tiba mendung. Sudah pasti getah-getah karet hasil sadapan ku pagi ini pun wajib diberikan obat pengental. Aku yang baru selesai menyadap pun harus berlari-lari di antara barang-barang karet yang menjulang tinggi, dalam rangka meneteskan obat ke tempurung- tempurung yang berisi getah tersebut. Belum selesai memberi obat, rintik hujan mulai turun, tak butuh waktu air itu menjadi besar. Rasa lelah kian bertambah berkali lipat. Aku berteduh di bawah saung kecil milik Pak Seno — pemilik kebun karet yang kusadap ini. Aku menatap sekeliling. Kupandangi pohon-pohon karet yang sedang terguyur air hujan. Ingatkan kembali ke masa dulu, seolah sedang mengulang masa lalu. Dulu aku pun pernah kehujanan di kebun karet. Namun, bedanya dulu aku menyadap di tempat sendiri. Hasilnya aku nikmati sendiri tanpa dibagi pada orang lain. Kali ini aku menyadap di kebun orang dengan cara bagi hasil. Bekerja di kebun o
POV Author "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Alina setelah menginjakkan kaki di ruang kerjanya. Perempuan yang sedang tertunduk itu menoleh ke arah sumber suara. Paha kanan yang semula ia tumpahkan ke paha kiri kini diturunkan dengan sendiri. Seketika ia merasa minder dengan sosok anggun di depannya. Hawa kekalahan sudah ia rasakan lantaran, wanita yang ia temui lebih berkelas dari pikirannya selama ini. Keanggunan Alina yang hanya dibalut baju gamis polos sudah membuat nyalinya menciut. Namun, gadis tersebut berusaha terlihat tenang di hadapan Alina."Pantas saja Mas Randu sudah bisa move on dari kakakku. Ternyata istri barunya sangat cantik. Wajar saja kalau ia tak mau menikahi aku," gumam Widuri di dalam hati. Ada kekaguman dari benak gadis itu pada istrinya Randu. Mata coklat itu tak lepas menyoroti wajah Alina yang cantik alami.Alih-alih menjawab pertanyaan Alina, Widuri malah sibuk memindai dan menilai wajah nyonya Randu.Dagu lancip, pipi mulus, alis bak bulan sabit meskipun
POV AuthorAlina urung mengerjakan ide jahilnya untuk Widuri, tersebab wanita itu harus segera mengangkat telpon dari Bu Fatimah — pembina pengajian tempat Alina mengaji selama tinggal di daerah sini."Saya di rumah, Ummi," ungkap Alina setelah membalas salam dari lawan bicaranya senyum manisnya tak luput menghiasi bibirnya meskipun, lawannya di sana tak melihat. " ….""Monggo, Ummi. Saya tunggu di rumah. Jam berapa Ummi mau kemari?" Alina menatap lurus ke arah Widuri yang sedang menarik napas panjang. "....""Ooh, Maa Shaa Allah … boleh banget. Terima kasih banyak, Umm." Ummi Fatimah menawari untuk membawakan buah semangka yang dipetik dari kebunnya sendiri. "....""Waalaikumsalam Warahmatullah …."Alina ada janji dengan Ummi Fatimah. Sebentar lagi beliau sampai ke rumah Alina. Mereka akan membahas mengenai program Jumat berkah. Selain itu, rencananya mereka pun akan mulai membahas warung makan yang akan menjual aneka menu murah. Mereka akan menjual sepiring nasi beserta lauk deng
Alina kembali menjatuhkan bobot tubuhnya dengan tangan mengusap dada. Istighfar tak lupa ia rapalkan guna menghilangkan emosi yang ingin meledak. Wajah kesal Alina berubah seketika saat tamu yang ditunggu telah menapakkan kaki di teras rumahnya. Alina bangkit dari duduk, lalu perempuan itu berjalan ke arah pintu guna menyambut Ummi Fatimah. Berbincang dengan Ummi Fatimah mampu mengalihkan emosi Alina. Kini fokusnya ke arah bisnis di jalan Allah. Alina dan Ummi Fatimah sedang merundingkan teknis tentang rumah makan yang akan mereka jalankan beberapa hari ke depan. Memang, mereka tidak tinggal di kota besar yang di mana banyak orang yang menahan lapar sebab tak memiliki uang yang cukup. Namun, mereka berdua ingin memberikan kemudahan untuk membeli makanan dengan harga yang sangat murah pada orang-orang yang tak banyak memiliki uang. Di sini Alina akan berperan menjadi vendor yang menyuplai lauk pauknya. Dari pihak Ummi Fatimah, akan menyediakan nasi. Uang dua ribu lima ratus tersebut
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter