POV Author Seorang pria yang bermata elang sedang duduk tersenyum di kamar. Tatapannya terfokus pada foto yang ia ambil secara diam-diam. Di layar handphonenya, terpampang jelas seorang wanita bergamis dan berkerudung lebar yang sedang merentangkan tangan di bawah pohon karet. Perempuan itu sedang menghirup oksigen di bawah jajaran pohon karet. Ia terlihat menikmati kesejukan di antara pohon yang di sadap tersebut.Senyum Randu semakin lebar kala mengingat kekonyolan dirinya yang sedang memotret wanita itu secara sembunyi-sembunyi. Perempuan dalam potret tersebut adalah Alina. Wanita yang berhasil mengalihkan dunianya setelah kehilangan seorang istri — Harnum Sasmita. Bagi Randu, wanita yang berstatus sebagai single mom itu terlihat cantik, hebat, cerdas, mandiri serta tangguh. Bukan karena cantik, Randu menyukainya. Menurut pria itu kecantikan Alina hanyalah bonus. Sesungguhnya daya pikat Alina terletak pada kelemahlembutan, kesabaran dan pembawaannya yang kalem. Janda bermartabat
POV Randu.Aku tercenung mendengar permintaan Bu Mus yang berat untuk dilaksanakan. Seandainya, permintaan itu bukan untuk menikahi sudah pasti akan aku kabulkan permohonan Bu Mus. Bagaimana mungkin aku harus menikah dengan bocah itu. Widuri memang cantik, tapi jelas bukan tipeku. Ku pandangi gadis sembilan belas tahun yang bernama lengkap Widuri Sayekti. Dia tertunduk dengan raut sedih. Ada takut kehilangan dari sorot matanya saat tatapan kami bersirobok tadi. Bu Mus adalah satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki saat ini. Itu sebabnya, kenapa Bu Mus menitipkan Widuri pada diri ini? Anak itu sudah tak lagi memiliki bapak, kini hanya berdua dengan ibunya. Kakak perempuan satu-satunya pun telah tiada di dunia ini — Harnum. Ya, Bu Mus dua kali menikah. Perkawinan pertamanya dengan bapaknya Harnum. Sayangnya, ayah mertuaku meninggal dunia saat Harnum masih kecil. Bu Mus sempat menjanda selama enam belas tahun. Dia menjadi ayah serta ibu untuk almarhumah istriku. Selepas Harnum lu
Dia pikir nikah itu gampang?"Kamu yakin sudah siap untuk menikah, Wid?" tanyaku tanpa menatapnya. Kubawa langkah kaki menuju bangku panjang yang terletak di bawah pohon mangga. Tak jauh dari parkir mobilku.Segera, kuhempaskan bobot ini ke kursi panjang berbahan kayu. "Ini bukan masalah siap tak siap, Bang. Akan tetapi, ini menyangkut amanah." Widuri mengambil tempat di samping kananku. "Wid, maaf, saya tidak bisa memenuhi amanat ibumu. Saya akan berusaha keras untuk menjagamu dengan cara saya. Tetapi, tidak untuk menikahimu. Kamu masih kecil, sebaiknya fokus dulu pada pendidikan. Tahun ajaran baru nanti silakan kamu mendaftar kuliah. Saya akan membiayai hingga kamu bergelar sarjana." Kutatap lekat wajah polos itu."Tapi, aku ingin menjalankan amanah ibu, Mas." Widuri masih mempertahankan keinginannya."Widuri! Amanah ibumu itu tidak wajib untuk saya penuhi. Tidak mungkin saya menikahi kamu yang sudah saya anggap seperti adik sendiri," tegasku dengan nada setengah menyentak. Anak k
POV AuthorSeorang pria yang memakai baju batik yang dilapisi jaket kulit membelokkan motornya, ke arah tenda warung nasi goreng yang ada di sisi jalan.Tak jauh dari tempat Radit memarkir motor ada dua orang yang sedang berbincang sembari menunggu pesanan nasi goreng. "Sudah lama aku tidak melihat bosmu — Bang Randu. Kemana dia?" tanya seorang lelaki yang ada di depan tenda. Suara itu menelusup ke telinga Radit. "Dia sedang mempersiapkan pernikahannya di Lampung," jawab pria berbaju kotak-kotak. Alih-alih mencopot helmnya, Radit malah merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya. Pria itu sengaja memainkan handphonenya agar bisa leluasa mencuri dengar apa yang dibahas dua orang tersebut. Entah mengapa ada rasa penasaran pada diri Radit terhadap lelaki yang waktu itu membeli lahan mantan istrinya."Syukurlah kalau sudah mau menikah. Hidupnya memang bergelimang harta tapi jiwanya merana. Dia terlalu cinta mati dengan almarhumah istrinya. Padahal, tidak sedikit para bos yang menawa
****Di Lampung Alina sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi keluarganya. "Nduk, ada tamu di depan. Temukin, gih!" Ucapan Bunda menghentikan tangan Alina yang sedang mencuci sayuran bahan capcay untuk sarapan. Reflek, dia mengernyitkan keningnya. Tak percaya ada orang bertamu sepagi ini.Perempuan itu menatap ke arah alat menunjuk waktu yang ada di atas tembok dapur. Jam setengah tujuh pagi, siapa yang datang berkunjung? Hari ini Alina sengaja masak agak siangan sebab Wildan lagi libur sekolah. "Siapa, Bun?" Tatapan Alina beralih ke ibu sambungnya."Calon suamimu, Nduk. Cepat sana temuin. Siapa tahu memang sangat penting. Pekerjaan ini biar Bunda yang melanjutkannya." Bunda mengambil alih sayuran yang sedang di cuci Alina tadi. Alina semakin melipatkan keningnya. Seolah sedang bertanya pada Bundanya melalui sorot mata itu. 'untuk apa lelaki itu datang ke sini?' Lawannya hanya mengedikkan bahunya ringan. Ada perlu apa Bang Randu datang kemari sepagi ini?Isi kepal
Alina semakin deg-degan saat Randu menatapknya lekat. Berbagai prasangka memenuhi isi kepala perempuan yang selalu tampil dengan riasan tipis itu. Ia menghembuskan napas pelan untuk mengusir gundah di hatinya."Bapak ke mana, Mbak?" tanya pria berkulit bersih itu tanpa menatap calon istrinya. Kini tangan Randu sibuk membuka tas jinjing yang terletak di samping kanan yang ia bawa dari rumah. "Bapak sedang jalan-jalan bersama Wildan di sekitar kompleks. Sebentar lagi juga pulang." Alina membetulkan letak kerudung yang sebenarnya tidak salah. Dia hanya sedang berusaha mengelabui hatinya yang tidak baik-baik saja. "Ada yang ingin saya sampaikan pada Bapak dan juga Mbak Alina." Lelaki itu kembali menatap Alina setelah tangan kekar itu mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam tasnya. Alina pun tidak paham apa isinya. Menembak pun ia tak berani. Takut tak sesuai dengan isi kepalanya."Apa yang ingin Abang katakan?" tanya Alina. Perempuan itu mencoba memberanikan diri. Penasa
Hari Ahad pagi di bulan November, rumah Alina sudah ramai oleh sanak famili dan para tetangga satu kompleks yang sengaja datang. Mereka menghadiri undangan dari tuan rumah yang akan melangsungkan pernikahan keduanya.Di sana juga hadir Ririn dan keluarga kecilnya. Kebetulan mereka sedang liburan di daerah Lampung. Sekalian mampir ke rumah Alina. Ada juga Mbak Nanik yang sengaja di undang oleh Alina. Bang Zaki serta anaknya, Bang Sukri dan anaknya. Mereka semua duduk di ruang tamu. Mbak Puji bertugas yang mengatur ini dan itu sebagai perwakilan tuan rumah. Di kamar pengantin. Alina duduk bersama Wulan dan Mbak Niswa. Mereka berbincang ringan menemani Alina yang sedang menunggu ijab kabul dari Randu. Beberapa banyolan kecil pun dikeluarkan oleh Wulan. Orang kepercayaan Alina itu sengaja mengeluarkan candaan untuk mencairkan suasana hati bosnya yang terlihat menegang. Memang, ini pernikahan kedua Alina, tapi rasa tegang itu masih menyelimutinya di hari perkawinannya kali ini. "Lin, Mb
POV AuthorJam dua belas siang, satu per satu para tamu berpamitan pada tuan rumah, tentu setelah mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Mereka mulai meninggalkan rumah Alina. Tinggal saudara-saudara dekat yang masih tinggal. Termasuk Mbak Niswa dan Mbak Nanik mereka menunggu sopir yang akan mengantarkan pulang ke rumah masing-masing. Tentu, Alina yang memfasilitasi. Dari pihak WO pun sudah mulai bergerak, guna melucuti dekorasi yang tadi menghiasi kediaman pengusaha katering tersebut. Alina tidak mengadakan resepsi yang mewah. Cukup mengundang para tetangga dan sanak saudara. Selain untuk menyaksikan proses ijab qobul, mereka diundang hanya untuk menikmati makanan yang disediakan oleh Langgeng catering sendiri. Tidak ada kotak uang untuk tamu undangan. Inilah konsep pernikahan yang diinginkan oleh Alina dan Randu, hanya mengundang tanpa mengharapkan uang sumbangan. Mereka pun tidak berniat untuk mengadakan resepsi mewah. Dari sini bisa dikatakan Alina dan Randu memiliki visi mis
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter