“Patut waspada kalau pegawai perempuan, takutnya dia terbawa perasaan.” Kalila menatap Arka dengan serius. “Masa sih? Dia kasih kopi, masa aku tolak?” “Entahlah, aku hanya minta kamu waspada sama lawan jenis.” “Kamu tenang saja, tidak ada lawan jenis yang akrab sama aku selain Dea dan Zia.” Arka berkilah. “Ditambah pegawai yang akhir-akhir ini kasih kamu kopi kaleng kan?” Arka hanya meringis mendengar ucapan Kalila. “Kalian sudah lama berteman sama Arka?” tanya Kalila penasaran ketika mendapatkan kesempatan untuk ngobrol bertiga dengan rekan kerjanya. “Kami teman satu kampus dulunya, kenapa?” tanya Zia. “Teman-teman Arka lebih banyak yang mana, perempuan atau laki-laki?” Sejenak Zia dan Dea saling berpandangan. “Kalau Arka sih temannya banyak, Lil. Dia cukup populer di kampus, mau laki-laki atau perempuan, hampir semua nyaman berteman sama dia.” “Iya, tidak heran sih soalnya Arka itu supel sama siapa pun.” Kalila mengakui itu. “Kenapa memangnya
“Bukan itu maksudku!” “Terus?” “Maksudnya aku senang lihat kamu khawatir kehilangan aku, tidak salah kan?” “Terserah kamu sajalah, aku pusing.” Arka kembali terkekeh sambil menciumi tengkuk Kalila berkali-kali, pria itu memang kerap kali bersikap mesra. Meski sampai kini belum ada tanda-tanda kehidupan di rahim Kalila, tapi perlakuannya tidak pernah berbeda. “Stop, Arka. Masih ada hal yang harus aku kerjakan ...” “Ayolah, Lil. Ini akhir pekan, kenapa tidak santai-santai saja dulu?” “Aku ada target pribadi.” “Ya sudah, aku akan temani kamu.” “Tidak usah, kamu hanya akan ganggu aku.” “Kok tahu?” Kalila manyun ke arah Arka, lalu menyalakan laptop untuk mencicil pekerjaan. Dia berusaha untuk menepis pikiran negatif tentang pegawai Arka yang rajin memberi kopi kaleng itu. Semoga saja tidak ada guna-guna, batin Kalila resah. Jujur, dia tidak ingin pernikahannya dengan Arka gagal seperti pernikahan sebelumnya. Hari itu Kalila lumayan sibuk, outlet kebanj
Kalila menoleh saat Sofi mendekat ke mobil Arka. “Tidak, saya tidak cari kamu.” “Tadi Doni bilang ...” “Oh, saya hanya memastikan saja siapa nama kamu. Saya belum hapal semua pegawai di sini soalnya,” jawab Arka tanpa beban. “Memangnya ada perlu apa kamu sama Pak Arka?” tanya Kalila dengan bahasa sopan kepada Sofi. “Ah, itu ... Mungkin Pak Arka sendiri yang ada perlu sama aku, Lil. Kamu tidak harus tahu karena aku sendiri juga belum tahu ...” Kalila menyipitkan mata mendengar ucapan Sofi. “Tentu saja aku berhak tahu, Sof.” Mendadak suasana terasa tidak nyaman, Sofi melirik ke arah Arka yang balas meliriknya bingung. “Mungkin kamu belum tahu kalau Lila ini istri saya ...” “Apa? Lila ini istri Anda, Pak?” Betapa ingin pingsannya Sofi saat tahu kenyataan itu, pria pujaan hati yang selama ini dia inginkan ternyata sudah memiliki pendamping hidup. “Iya, sekarang kamu sudah tahu kan? Lanjut kerja lagi ya?” pungkas Arka sambil tersenyum seperti biasa. “Ayo,
“Lil, bisa kita bertemu di kafe biasa?” “Ada perlu apa, Sof?” “Aku ... sekalian beli krim malam kalau ready stok.” “Oke, aku ke sana sekarang.” Kalila duduk di dalam taksi yang melaju ditemani Zia, hatinya sibuk bertanya-tanya meski Sofi mengaku ingin membeli krim malam. “Kok jadi kelihatan tidak semangat?” komentar Zia saat mereka berdua turun dari taksi dan masuk ke kafe. “Bukankah ada konsumen?” “Kita lihat saja dulu.” “Oke deh.” Sofi tiba di kafe selang sepuluh menit kemudian. “Ini barang yang kamu pesan,” ucap Kalila yang tidak ingin bertele-tele. “Uangnya pas,” sahut Sofi. Kecanggungan di antara mereka terlihat begitu jelas di hadapan Zia. “Maaf ya, Sof. Aku buru-buru ...” “Tunggu sebentar, ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” “Soal apa?” Sofi tidak langsung menjawab, melainkan melirik Zia dengan canggung. Mendapatkan tatapan seperti itu, Zia bisa membaca situasi dan duduk di meja lain untuk sementara. “Jadi ada apa, Sof?” tany
“Masih punya muka juga dia,” komentar Gio. Stevi ternyata gerak cepat setelah mendapatkan wejangan dari Soraya, sehingga dia menebalkan muka untuk datang ke kantor Gio lagi. “Jadi bagaimana, Pak?” “Biarkan dia menunggu kalau mau.” Haris mengangguk dan segera pergi dari hadapan Gio. “Hai, aku bawakan ini untuk Noah!” ucap Stevi ramah ketika Gio muncul untuk menemuinya. “Sekalian aku mau minta maaf, mungkin aku terlalu menjiwai ingin segera jadi ibu sambung Noah ...” “Noah tidak di sini,” sahut Gio pendek. “Jadi?” “Dia tinggal bersama ibu kandungnya.” Stevi terdiam sejenak. “Oh, aku kira hak asuh Noah jatuh ke tangan kamu ... Kenapa tidak kamu rebut saja?” Gio menggeleng. “Aku dan mantan istriku pisah baik-baik, aku tidak ingin memantik keributan apa pun. Toh aku bisa bebas bertemu Noah kapan pun aku mau.” Stevi mau tak mau mengangguk dengan terpaksa. “Jadi kalau aku mau bertemu Noah, aku harus minta izin sama mantan istri kamu?” “Ya begitulah.”
“Perempuan ini ...” Jemari Kalila mengepal setelah membaca pesan itu, tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat Sofi mengerti bahwa ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa dibiarkan tumbuh begitu saja. Saking kesalnya, Kalila tidak membalas pesan Sofi. Seharusnya perempuan itu tahu diri dari cara Kalila mengabaikannya. Namun, ternyata Sofi tidak semudah itu menyerah. Hampir setiap hari dia mengirimi Kalila pesan meski tidak pernah dibalas. Hal itu membuat suasana hati Kalila memburuk. “Apa sih maunya dia?” Kalila nyaris membanting ponselnya di atas meja. “Kenapa, Lil?” “Itu, penggemar berat kamu.” “Penggemar berat aku? Siapa?” “Siapa lagi kalau bukan Sofi.” Arka mengerutkan keningnya, lalu melirik ponsel Kalila. “Dia meneror kamu?’ “Begitulah, dia memaksakan diri ingin menjadi bagian penting dalam hidup kamu. Bisa kamu bayangkan itu?” Arka geleng-geleng kepala. “Keterlaluan!” Tanpa meminta izin Kalila, Arka menjangkau ponsel itu dan meme
Baiklah jika kamu nekat, sambungnya dalam hati. “Arka, bagaimana ini?” Kalila tidak bisa menahan diri lagi begitu dia berjumpa dengan Arka di rumah. “Ada masalah apa, Lil?” “Biasa, penggemar berat kamu.” Kalila menunjukkan pesan-pesan yang Sofi kirim ke ponselnya. “Bukankah kamu sudah memblokir nomor Sofi?” tanya Arka heran. “Aku belum sempat, tadinya aku kira dia akan mundur dengan sendirinya kalau aku mengabaikan semua pesan itu. Tapi lihat sendiri, dia merasa bahwa apa yang dia lakukan ini benar,” keluh Kalila tidak habis pikir. “Kita harus bagaimana?” “Ini tidak bisa dibiarkan, Lil. Terpaksa aku bicara dengan ayah untuk pecat dia ...” “Kamu yakin?” “Mau bagaimana lagi? Sofi itu sudah benar-benar kelewatan.” Kalila menarik napas, dia setuju-setuju saja asalkan Sofi tidak lagi mengganggu mereka. “Memecat salah satu pegawai?” Sandy mengerutkan keningnya saat Arka melaporkan telah terjadi masalah besar. “Apa alasannya?” Arka lantas menceritakan denga
“Oke,” pungkas Kalila, setelah itu dia menurunkan ponselnya. Berharap urusan Sofi sudah benar-benar berakhir. Di saat yang sama, Stevi masih berjuang untuk membuat hati Gio luluh. Berbagai cara dia lakukan, termasuk menunjukkan kepeduliannya terhadap Noah. “Selama Noah ikut ibunya, kamu selalu memantau perkembangannya kan? Maksud aku imunisasinya, makanan sehari-hari ...” “Tentu saja, aku percaya mantan istriku tidak akan lalai.” “Tapi dia kan bekerja, apa kamu yakin dia bisa mengurus Noah dengan baik?” Gio mengangguk datar. “Aku sangat kenal istriku, dia selalu membawa Noah ke mana-mana.” “Ah, baiklah ...” Stevi tidak lagi memiliki celah untuk mengulik kekurangan Kalila. “Kalau begitu ... kapan-kapan kita berkunjung ke rumah Noah, yuk?” Gio tidak paham apa yang dikatakan Stevi, tapi menurutnya itu adalah ide yang tidak buruk. Dia pikir jika Stevi memang sungguh-sungguh berniat untuk mendekatkan diri kepada orang-orang yang memiliki hubungan dengannya. “Halo?
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?