Langit masih sama, masih menampakkan cahayanya diwaktu malam hari, binatangpun bertaburan jauh diatas sana, Daffa kembali masuk keruangan Papanya, beliau sudah tertidur sementara mamanya masih menunaikan ibadah shalat Isya'. Daffa duduk dikursi sambil menatap wajah Papanya yang kian kurus. Pengaruh obat dari wanita itu sangat berbahaya buat kesehatan Papa Reindra. Daffa menarik napas berharap jika, semuanya akan baik-baik saja. Menunggu orang sakit memang diakui sebagai hal yang sulit dilakukan. Harus dengan ekstra bersabar. Padahal dalam kehidupan, ada kalanya kita dihadapkan situasi untuk bersikap sabar saat menunggu orang yang sakit, bagaimana tidak kita pun yang menunggu ikut merasakan sesaknya dada saat melihat orang kita sayang terbaring lemas. Padahal ketulusan Papa Reindra adalahKetulusan melebihi segalanya. Entah waktu atau ketidakmampuan menanggapi rindu yang membuncah di hati. Pada dasarnya, setiap orang yang punya hati yang tulus, akan dimusuhi banyak orang, seperti Papa
Reindra limbung. Dia memegangi dadanya kuat-kuat. Dafa bisa membayangkan jika Papanya tengah menahan kesakitan yang begitu berat. Dafa menahan tubuh Papanya dan menaikkan Reindra ke dalam mobil. Sementara Eliana terlihat sangat pucat karena begitu takut jika suaminya tak tertolong. "Daffa bantu, Papa naik, Nak." Sesaat Eliana mau terjatuh dan akan pingsan. Kepalanya begitu berat, ia tak tega melihat Reindra begitu menderita karena sakitnya. "Aduh, Ma. Mama yakin akan menemani Papa? Ini Mama enggak sehat lo."Eliana tersenyum. "Yakin sayang. Papa butuh, Mama kan. Mama hanya titip Bian sayang ya. Jaga adikmu baik-baik.""Iya, Ma tenang saja kalau soal, Bian. Dafa bisa jaga kok.""Makasih sayang." Eliana memeluk Dafa. Dafa menggandeng tubuh mamanya ke dalam mobil. Dan Bu Hani mencoba memberi minyak pada hidung Eliana. Sementara Dafa dan Bian mencoba menuntun tubuh Eliana ke dalam mobil. "Dafa ingat pesan, Mama, Nak."Dafa mengangguk mencium punggung tangan sang Mama. "Kita berangkat?
"Kamu janda, Nona Eliana?" tanya lelaki yang juga entah menunggu siapa berada di rumah sakit itu juga. Eliana hanya tersenyum tipis. Ini pertama kalinya ada pria yang begitu berani menanyakan statusnya."Eliana?"Lelaki itu semakin penasaran karena wanita di depannya tak juga menjawab."Saya wanita bersuami, Tuan." Eliana menjawab dengan datar, tanpa emosi. Eliana tidak ingin dikasihani, apalagi dianggap hina hanya karena menunggu suaminya seorang diri. Terlebih, Eliana sering kekuar masuk rumah sakit karena membeli makanan untuknya juga suaminya yang kadang bosan masakan rumah sakit, dan mungkin orang itu melihat Eliana selalu sendiri terlihat di rumah sakit. "Oh."Eliana sedikit naik turun emosinya, sedang naik satu tingkat, lelaki itu membuat Eliana sedikit geram. Eliana terdiam sesaat, sibuk dengan pikirannya. Lelaki itu yang lebih dulu memecahkan keheningan."Maaf, harusnya aku gak bicara begitu," ucapnya lalu mendongak pada wajah cantik di hadapan.Eliana mengembuskan napas. Ia
Ternyata dalam hidup kita tidak selamanya baik-baik saja. Diantara sekian keadaan yang dialami seseorang, ada saatnya ia seperti masuk ke dalam ruang gelap, seperti di goa, sepi, sunyi, sendiri, gelap, semua serba sangat terbatas. Seperti ujian itu akan datang pada siapapun sewaktu-waktu seiring tumbuh dan semakin dewasanya kita. Seperti pohon yang semakin tinggi semakin besar terpaan anginnya. Satria menikmati sebatang rokok yang menyala. Langit masih terlihat mendung, udara masih terasa dingin dan lembab karena hujan dan gerimis yang baru saja mereda. Di atas balkon miliknya ia diitemani secangkir kopi hangat juga sebatang rokok ditangan. Tapi, dia semakin penasaran saat Bian begitu menyukainya. Satria menghembuskan asap rokoknya ke udara. Membuat sosok yang baru saja mendekat ke arahnya terbatuk."Uhuk uhuk ... kenapa Ayah?" Cika menghentikan langkahnya di pertengahan pintu."Cika kau itu, Nak," sapa Satria, buru buru Satria meletakkan dan mematikan rokok dalam asbak. Cika menatap
Mereka memilih makanan soto daging lamongan, Seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan. Keduanya menikmati makan siang tanpa ada percakapan hingga mereka keluar restoran. Reindra menggandeng Eliana berjalan menuju depan restoran, karena sopir taksi maaih menuggunya di sana. Eliana menoleh malas. "Eliana," panggil seseorang yang menghentikan langkah Eliana dan Reindra di koridor restoran. Dan Eliana mencari ke arah suara.Seorang cewek seksi dengan postur tinggi dan rambut panjang pirang diikat rapi ke atas berdiri tidak jauh di belakang mereka. Tiba-tiba debar di dada Eliana berpacu lebih cepat, ketika wanita itu mendekat."Apa kabar?" Eliana menoleh malas. "Baik," jawab Eliana sambil menyambut uluran tangan wanita yang tersenyum kecut kearahnya. "Yolanda." Sesaat Yolanda menjabat tangan Eliana."Enggak nyangka bisa bertemu kalian di sini."Reindra dan Eliana saling tatap. "Wah kalian serasi juga ya. Bagimana jika Satria merebutmu kembali, El.""Maksud kamu merebut?" tanya Eli
Jangan ditanya jantung Reindra, seperti apa saat ini, menelan saliva ke kerongkongan. Jantungnya naik turun, rasa yang sudah di berada di ubun-ubun harus kembali tertahan. Ketika melihat Eliana keluar kamar hanya mengenakan handuk saja. Eliana kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Reindra sudah berdiri di sebelahnya dan memeluknya dengan kencang. "Mas.""Aku sudah sehat, El.""Hmm, serius.""Hu um."Perlahan namun pasti Reindra kini berdebar kencang menemukan sesuatu kenyal itu lagi dan berpegang erat di sana. Cukup lama Reindra menjelajahi bagian belakang Eliana. Setelah itu ia menggendong tubuh Eliana ke atas ranjang untuk melanjutkan ke hubungan halal. Sudah cukup lama Reindra tersiksa karena lemas di tubuh sakitnya. Reindra tak pernah menginginkannya. Ia pikir mungkin sang istri pun pasrah karena tak pernah Reindra menyentuhnya selama sakit. Dengan kesembuhannya, ia bisa menyalurkan semuanya tanpa harus tertahan lagi. Seakan mengeluarkan semua
Semilir angin malam nenembus kulit pori-pori Eliana, ia berada di balkon menatap gedung bertingkat nan jauh disana. Kota yang begitu padat, bahkan dulu Eliana tak pernah menyangka akan berada di kota sebesar ini, biasanya ia selalu ke sawah ikut menanam padi, menjemur padi punya orang tuanya di kampung. Setelah menikah dengan Satria ia diajak Satria merantau ke Jakarta, berusaha mengubah nasib. Namun kala itu Satria yang mengajaknya merantau ke kota besar, disitu awal dari awal skandal Satria dan Yolanda. Eliana merasakan perih disakiti, dan ditinggal pergi suaminya untuk selamanya, saat ini ia sudah berdo'a dan meminta pada sang pemberi kehidupan untuk bisa memaafkan Satria dan memberikan kesempatan. Apa salahnya memberi kesempatan seseorang yang mau untuk berubah, bukankah Allah saja maha pemaaf, dingin malam semakin dingin. Dafa datang dan duduk di samping Eliana. Dafa menghela napas panjang. "Mama, yakin bisa menerima, Ayah Satria dekat dangan, Dafa?" tanya Dafa pada Mamanya. E
Reindra menatap ke depan ke tumpukan berkas yang masih tertata rapi di atas meja. Hari ini ia harus meneliti beberapa tugas dari mahasiswanya, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Reindra tak ingin Eliana cemas akan dirinya. Ia harus cepat menyelesaikan apa yang harus di selesaikan. Saat Reindra sibuk ponselnya bergetar pertanda ada chat masuk saat membuka chat seulas senyum terpancar dari bibir Reindra. [Bekalnya jangan lupa di makan, Mas. Ini waktunya makan siang lo.]Reindra tersenyum lalu mengirim emoji love ke pada istrinya Eliana. Beruntung pihak kampus tak menghukum Reindra mengeluarkannya saat ia sakit. Malah banyak sekali pihak dari Kampus menyumbang juga mensuport dirinya selama sakit. Reindra bahagia karena semua sudah seperti keluarga. Kembali ponsel Reindra berbunyi. [Papa, jadi rencananya nanti?][Jadi lah, siapkan semuanya ya.][Asiapp, Pa]Reindra tersenyum dan kembali menaruh ponsel, lalu melanjutkan tugasnya. -Tak bisa dipungkiri kehilangan seseorang yan
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y