Sudah dua hari ibu menginap di sini. Jangan tanya lagi seperti apa mentalku, hancur tak berbentuk. Tiap hari selalu ada drama yang ia ciptakan. "Lili!"Benar, bukan ... baru juga dibicarakan, ibu sudah mengeluarkan ajian maut. Aku menguatkan mental sebelum akhirnya melangkah mendekati ibu. Perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu tengah asyik menonton acara televisi. Sinetron dengan ganre drama rumah tangga menjadi serial yang tak pernah terlewatkan. "Ada apa, Bu?" tanyaku pelan. "Ibu pengen selat Solo, buatkan, ya!" pintanya tanpa menoleh ke arahku sedikit pun. Fokusnya masih satu, serial favoritnya. Aku menghela napas, menghilangkan rasa kesal dalam dada. Ingin rasanya menegur, tapi terhalang rasa tak enak. Seperti ini perasaan menantu pada umumnya. Wahai para mertua, mengertilah. Ah, sayangnya ibu tidak pernah peduli. "Beli saja, ya, Bu. Sudah siang, Mas sayurnya juga sudah lewat," rayuku. "Sekali-kali minta tapi tetap gak dikasih. Percuma punya menantu tapi apa-apa bel
"Kenapa-kenapa? Kamu itu yang kenapa? Rumah belum ditempati sudah dipinjamkan orang."Mas Reza diam, susah payah ia menutupi ketegangan yang tercipta. Nah lho, mau jawab apa kamu, Mas? "Maaf, Bun, Yah. Secepatnya Mas Reno akan pindah ke kontrakan."Helaan napas keluar dari mulut bunda dan ayah. Sama sepertiku, mau tak mau mereka menerima keputusan tersebut. Namun mereka meminta Mas Reno segera meninggalkan rumah kami. "Carikan rumah kontrakan, bulan pertama biar ayah yang bayar. Pemilik rumahnya saja ngontrak tapi malah rumahnya dipinjamkan orang."Ayah menatap ibu dan Mas Reza bergantian. Namun mereka hanya mampu membisu. Sudah pasti mereka tak punya nyali untuk menjawab. Aku masih heran, kenapa keluarga Mas Reza tak dapat berpikir panjang. Tindakan mereka bukan hanya merugikan aku dan Mas Reza. Namun menciptakan jarak di antara keluarga, keluargaku dan Mas Reza. "Motor itu untuk hadiah Lili. Tidak ada seorang yang boleh menggunakan tanpa izin darinya," ucap Ayah seraya melirik
"Maafkan ibu, Li.""Iya, maafkan ibu, Nak."Aku beristighfar sambil mengelus dada. Meski nyatanya amarah masih memenuhi hati. Entah harus aku apakan ibu. Aku marah dan kecewa karena sikap lancangnya mengakibatkan motor baruku rusak. Bukan karena motor itu baru. Namun lebih pada hadiah yang diberikan orang tuaku. Apa tidak cukup rumahku dia pinjamkan pada anak lelakinya yang lain. Haruskah dia merusak hadiah berharga itu? Ya Robb, kenapa aku harus mendapatkan mertua seperti dia? "Maafkan ibu, Li.""Aku gak mau tahu, motor aku harus seperti baru.""Tapi, Li.""Aku gak mau tahu, Mas. Kamu dan ibu harus bertanggung jawab!"Aku pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Mulut ini terus saja menyalahkan atas apa yang ibu lakukan. Aku benar-benar tak rela ibu merusak hadiah dari ayah dan bunda. Ranjang bergetar saat aku menjatuhkan tubuh di atasnya. Tangisku pecah seketika. Tidak bisa lagi kutahan sesak dalam dada. Aku terlanjur kecewa pada perempuan bergelar ibu mertua. Motor matik warna
Sudut bibir terangkat ke atas. Senyum kemenangan tergambar jelas di wajahku. Tidak perlu susah-susah mencari maling itu, ternyata Allah sudah menunjukkan dengan sendirinya. Bahkan secepat kilat. Seketika aku beranjak, melangkah menuju kamar tamu. Kamar yang kini digunakan Rara dan ibu. Tidak lupa kubawa kartu debit yang aku temukan di lantai kamar. Setelah mendapatkan barang bukti, seorang maling harus ditangkap, bukan? Pintu kuketuk sebanyak tiga kali. Tak lupa kupanggil nama Rara agar ia terbangun. Pintu terbuka, Rara keluar seraya menutup mulutnya dengan tangan kiri. "Ada apa, Mbak?""Ibu mana, Ra?" "Bukannya di luar, ya?""Gak ada, Ra.""Apanya yang gak ada, Li?" sahut Mas Reza yang berjalan mendekat, sebuah gelas berisi es teh berada di tangan kanannya. Aku mengambil gelas itu kemudian menyeruputnya hingga menyisakan setengahnya. "Ibu hilang.""Ibu hilang gimana, Li?" Seketika wajah Mas Reza menjadi tegang. Dia menatapku tajam. Lagi-lagi aku seperti terdakwa kasus pencur
"Suaminya di luar, ya? Boleh disuruh masuk."Aku dan Rara saling pandang. Entah kenapa tiba-tiba membeku. Kalimat yang sudah kususun berjatuhan hanya karena sebuah tatapan. Aku kebingungan memberi sebuah jawaban. "Suami saya sudah meninggal, Dok," jawab Rara lirih. Dokter dan suster itu saling pandang kemudian ucapan duka keluar dari mulut mereka. Entah perkataan itu benar atau tidak, aku tak lagi peduli. Satu yang membuatku lega, Rara mampu menutupi aib ini. Dokter memeriksa Rara sambil menjelaskan perkembangan janin dalam perutnya. Aku menatap gambar di layar monitor tersebut. Tanpa sadar bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku merindukan momen seperti itu Ya Robb. Jangan minta aku untuk bersabar. Nyatanya menunggu selama dua tahun itu melelahkan. Lelah dengan pertanyaan kapan memiliki momongan? Ke dokter spesialis kandungan belum? Jangan-jangan kamu gak subur. "Silakan duduk, Bu."Aku tersentak, lamunan itu hilang dalam sekejap mata. Pandangan kembali pada ruang praktik dok
"Mas Reza tu, Mbak."Aku mengangguk, kemudian beranjak dari depan televisi. Aku tinggalkan beberapa pakaian yang belum dikemas. Menyambut kedatangan suami adalah kewajiban yang tidak bisa diwakilkan. "Assalamualaikum," ucapnya lirih. Aku mencium punggung tangan Mas Reza dengan takzim. Namun suamiku hanya diam. Tak ada senyum yang biasanya nampak. Kekecewaan yang kini terlihat jelas di matanya. Apa yang terjadi di kantor? Apakah ada masalah? Pertanyaan itu terus terlintas di kepala ini. Mas Reza melangkah gontai menuju kamar. Aku mengikuti langkah nya."Aku tidak jadi dipindahkan di cabang Salatiga, Li," ucap Mas Reza saat kami berada di atas pembaringan. Helaan napas keluar sebelum aku menoleh ke arahnya. Lelaki yang menemaniku selama dua tahun itu menatap langit-langit kamar. Kekecewaan nampak jelas di matanya. Sebelum membangun rumah, Mas Reza sudah mendapat kabar akan dipindahkan ke cabang yang ada di Salatiga setelah pembangunan kantor selesai dikerjakan. Itu pula yang memb
"Suamiku sudah meninggal, Nad."Nada mendadak bungkam. Dia menunduk, meremas ujung kaos yang ia kenakan. Perempuan itu merasa bersalah. "Maaf, ya, Mbak. Saya tidak tahu.""Tidak apa-apa," jawab Rara datar. Suasana terasa tak nyaman, hingga membuat kami bungkam. Bahkan serial drama yang tadinya menyenangkan mendadak tak menarik. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. "Aku pulang, Mbak. Ini tak bawa, ya. Uangnya besok." Nada beranjak. Tak lama ia menghilang dari ruang keluarga. Aku dan Rara masih membisu. Namun kepala terus berisik, menyuarakan sebuah pertanyaan. Siapa ayah biologis janin yang Rara kandung? "Mbak pasti penasaran siapa ayah kandungnya, kan?" tanya Rara seraya mengelus perut yang sudah membukit itu. Entah dari mana Rara tahu isi hatiku. Mungkin terlalu sering pertanyaan itu keluar dari mulutku atau mulut Mas Reza sehingga ia bisa dengan mudah menebak isi kepalaku. Rara menghela napas. "Dia masih hidup, Mbak.""Siapa orangnya, Ra? Biar Mas Reza yang cari. Lelaki i
"Siapa yang bilang mereka tidak berhak, Mbak? Mereka lebih berhak dari pada Mbak Risma dan Mas Reno karena rumah ini sudah disewa selama satu tahun kedepan.""Apa!""Gila kamu, Li! Aku ini Masmu lho. Tega-teganya kamu usir kami dari rumah ini!" pekik Mas Reno. "Maaf Mas, kalau mau gratis silakan tinggal di rumah ibu. Toh di sana ada dua kamar kosong. Karena Rara memilih tinggal bersama kami.""Aku gak mau ya, Mas! Aku gak mau!""Mbak Lili bagaimana ini? Kami sudah memberikan DP lho.""Tenang, Mbak. Besok rumah ini sudah dikosongkan." Aku merogoh kunci duplikat yang ada di dalam tas. "Ini Mbak, kunci rumah ini," ucapku seraya memberikan benda berwarna perak tersebut. "Lili, kurang ajar kamu, ya!""Li kita harus bicara," bisik Mas Reza. "Bentar ya, Mas."Aku menoleh ke arah penyewa rumah ini. "Mbak dan Mas mau lihat-lihat rumahnya?" Aku buka pintu utama agar hingga terbuka lebar. "Besok saja, Mbak. Tolong pastikan rumah ini benar-benar sudah bersih, ya!""Siap, Mbak, Mas."Lelaki da
20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri
"Bapak sudah memberikan tanah itu pada Reza, Bu. Bukankah rumah dan kebun bisa dibagi dua untuk Mas Raka dan Mas Reno. Apa masih kurang juga?" "Maksud kamu ibu harus terlunta-lunta di jalan karena sudah tidak memiliki rumah. Begitu mau kamu?"Allahu Akbar ... Aku mengelus dada sambil terus beristighfar. Perkataan ibu tidak hanya melukai hatiku tapi menghancurkan hati Mas Reza. Apa setelah harta warisan dibagi ibu akan terlunta-lunta? Kami tidak sejahat itu. Kami masih memiliki hati meski kadang ibu melukai berulang kali. "Reza ingat perkataan bapak dulu. Bukankah ibu juga tahu?""Bapak sudah gak ada, jangan bawa-bawa bapak. Semua keputusan di tangan ibu, bukan bapak.""Terserah Ibu mau apakan tanah itu. Tapi aku mau uang 200 juta untuk membangun rumah harus kalian kembalikan padaku.""Gak bisa gitu dong, Za. Itu namanya gak adil. Siapa suruh buat rumah dengan sertifikat orang tua!"Entah ingin aku apakan lelaki di hadapanku itu. Andai dia berada di posisi kami, apa kalimat itu jug
"Boleh kan, Za?"Aku menggeleng pelan dengan tingkah kakak iparku. Ini mobil siapa ... tapi pinjamnya ke siapa? Mereka seolah tak menganggap keberadaanku. Padahal mobil itu milik Mas Cahyo, kakak kandungku."Maaf, Mas. Itu bukan mobil saya. Saya tidak berhak meminjamkan pada siapa pun, termasuk kepada Mas Reno dan Mbak Risma.""Itu mobil kamu yang bawa, kan?""Iya, tapi itu bukan milikku, Mas. Mobil itu milik kakak kandung Lili. Kalau pun pengen pinjam seharusnya kalian pinjam ke Lili. Bukan kepadaku.""Apa bedanya kamu dan Lili. Bukankah kalian suami istri, apa yang Lili punya berarti punya kamu juga, Za. Jadi aku pinjam ke kamu gak masalah, yang penting izin untuk pinjam, kan?"Aku mengelus dada, menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam sana. Aku benar-benar tidak mengerti dengan teori yang Mas Reno pelajari. Hal yang benar adalah harta milik suami ada hak istri di dalamnya. Namun jika harta atau penghasilan istri, itu murni milik istri."Gimana, Za boleh gak? Risma pengen jal
"Kamu gak ngelarang ibu pulang, Za?""Lha, katanya Ibu yang gak betah tinggal di sini? Kalau gak betah buat apa Reza larang, Bu. Reza pengen ibu nyaman saja."Aku lihat ibu menelan ludah, mendadak ia kebingungan. Namun malu untuk mengatakan tidak, apalagi membatalkan perkataan yang baru saja ia ucapkan. Mana mungkin ibu menjilat ludahnya sendiri."Sarapan dulu sebelum berangkat, Bu.""Ibu gak lapar. Pesankan taksi online sekarang, Za! Ibu gak mau naik bis," ucapnya kesal."Yakin pulang, Bu?" tanyaku memastikan."Kalau ibu bilang pulang ya puang! Ngerti gak to!"Aku memilih diam, lalu melanjutkan sarapan pagi. Mas Reza pun menyudahi sarapan, dia beranjak mengikuti ibu yang sudah berjalan menuju teras. Sementara aku masih terdiam di depan televisi. Ada rasa enggan mengantar ibu meskipun hanya sampai di teras.Fitnah yang ibu katakan pada Mas Reza membuat aku kehilangan respect padanya. Aku memang sudah memaafkan, tapi jujur saja aku tak mampu melupakan setiap luka yang ibu torehkan.