Ibu sudah datang ke rumah sakit pagi ini sendirian karena Angga harus sekolah. Ibu tampak segar, mungkin tadi malam bisa beristirahat.
Tok..tok..
Aku berjalan menuju pintu, ternyata ada Mas Hendra dan Mbak Yuni.
"Kok nggak ngasih tahu kami kalau Anggi dirawat di sini?" kata Mbak Yuni.
"Maaf Mbak, kami tidak mau merepotkan!" kataku pada Mbak Yuni. Aku merasa tidak enak dengan Mbak Yuni. Mbak Yuni sangat baik denganku, tidak tega rasanya membebaninya dengan berbagai masalahku.
"Dapat kabar dari siapa Mbak?" tanyaku heran.
"Dari Fandi, tadi malam menelpon," kata Mas Hendra.
Untung Anggi sedang tidur karena habis minum obat, kalau tidak pasti dia akan marah mendengar orang menyebut nama papanya.
Aku menceritakan semuanya pada Mas Hendra dan Mbak Yuni. Juga kelakuan Mbak Sisi kepada kami.
"Salah ap
Pagi ini Ibu sudah datang ke rumah sakit, membawa makanan untukku."Ini Nis sarapannya," kata Ibu sambil menyodorkan makanan padaku."Makasih Bu, ayo sarapan bareng Anis," ajakku."Ibu nanti saja. Tadi sudah sarapan teh sama roti," jawab Ibu.Mas Fandi bangun ketika dokter datang memeriksanya."Tekanan darah Bapak sangat tinggi, bisa mengakibatkan gejala stroke. Konsumsi makanannya diperhatikan ya Pak? Sebenarnya semua itu intinya dari pikiran. Kalau pikiran tenang, insyaallah penyakit-penyakit menghilang. Usia seperti Bapak dengan tekanan darah yang sangat tinggi sangat rentan dengan yang namanya stroke. Usahakan rileks ya, Pak? Jangan lupa juga perbanyak ibadahnya. Ikhtiar dan ibadah harus seimbang," kata dokter ketika visit."Terima kasih Dokter.""Sama-sama, cepat sembuh ya, Pak! Jangan kelamaan disini, nanti bosan melihat saya terus,
Akhirnya Mas Fandi hari ini pulang dari rumah sakit. Ibu juga pamit pulang ke rumahnya, karena sudah hampir dua bulan Ibu tinggal bersamaku.Drtt...drttHpku berbunyi, ada panggilan dari Anggi ketika aku masih di kantor."Halo, Dek!" Aku menjawab telpon."Ma, Akung dan Uti ada di rumah?""Hah? Yang bener, Dek!""Iya, barusan nyampe.""Ya udah, tolong diberesin kamar tamu ya, Dek!""Oke, Ma!"Wah gawat Bapak dan Ibu ada di rumah. Jangan
Pagi menjelang siang, aku masih sibuk dengan pekerjaan yang harus aku selesaikan. Otak rasanya sudah mau pecah, melihat tumpukan kertas di depanku. Semangat, Nis, kamu pasti bisa, aku menyemangati diriku sendiri.Aku menarik nafas dalam-dalam."Semangat!" teriakku."Kenapa, Bu?" tanya seorang siswa SMK yang sedang magang di kantor.Aku menoleh dan tersenyum malu."Nggak apa-apa, Dek. Sedang menyemangati diri sendiri," ucapku."Ibu perlu bantuan?" tanya siswa itu."O, iya, Ibu lupa kalau ada kalian. Sini bantu Ibu, urutkan dokumen-dokumen i
"Ma, kok Mama mengambil keputusan sendiri! Tidak menghargai Papa!" Kata Mas Fandi ketika malam ini pulang ke rumah.Aku sudah tidak terlalu peduli Mas Fandi mau menginap dimana. Kalau dia datang kesini ya aku terima, kalau dia tidak pulang tidak aku cari lagi."Keputusan apa, Pa?" tanyaku."Mau pergi ke Jogja dengan membawa supir. Mama anggap Papa ini apa? Emang Papa nggak sanggup apa membawa mobil sampai Jogja!""Mama anggap Papa nggak ada. Emangnya Papa peduli sama kami? Ketika Angga memberi tahu kalau dia lulus SNMPTN Papa cuek saja. Jadi untuk apa kami meminta pendapat Papa. Papa juga terlalu sibuk dengan keluarga baru, keluarga lama sudah tidak penting lagi bagi Papa."
"Alhamdulillah, sudah sampai di rumah!" kataku sambil membuka pintu pagar rumah.Rasa lelah di perjalanan baru terasa, ingin rasanya langsung merebahkan diri di tempat tidur.Mas Fandi memasukkan mobil ke garasi dan mengeluarkan barang-barang bawaan dibantu oleh Anggi. Aku membereskan semua barang bawaan.Untung rumah sudah aku titipkan pada Bude Nur, meminta beliau untuk membersihkan rumah. Bude Nur dulu yang mengasuh Angga dan Anggi. Jadi aku pulang rumah sudah dalam keadaan bersih nggak perlu repot-repot membersihkan lagi.Menjelang Maghrib Mas Fandi pergi, seperti biasa tanpa pamit padaku. Aku yakin pasti ke rumah Leni, aku berusaha untuk tidak peduli.Rumah semakin terasa sepi, hanya ada aku dan Anggi. Anggi mungkin sudah tidur karena kecapekan di perjalanan. Akhirnya aku masuk ke kamar setelah mengunci pintu. Kurebahkan tubuh, melepaskan penat. Pikiranku berkelana, me
Sore yang cerah, aku sedang menikmati segelas teh dan cemilan bersama dengan Anggi. Terdengar orang mengucapkan salam."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Anggi tolong lihat di depan ada siapa," kataku sambil menjawab salam.Sekarang kami hanya tinggal berdua. Mas Fandi tidak bisa diharapkan lagi. Sejak pulang dari Jogja dua minggu yang lalu, baru sekali Mas Fandi pulang ke sini. Aku tak mau terlalu berlebihan memikirkan Mas Fandi."Ma, ada Bude Sisi," kata Anggi.Waduh, mau bikin gara-gara apa lagi dia ya? Semoga saja tidak."Eh Mbak Sisi, apa kabar? Ada perlu apa Mbak?" Aku langsung bertanya, malas untuk berbasa-basi. Aku pun mempersilahkan Mbak Sisi untuk duduk."Maafkan aku, Nis, aku mau minta tolong sama kamu. Kamu jenguk Leni ya? Aku tahu, ini berat bagimu. Ini permintaan Leni. Mungkin umurnya tidak lama lagi." kata Mbak Sisi dengan
Hari ini aku menunggu Mas Anton yang sedang di rawat di rumah sakit. Sudah hampir satu tahun ini Mas Anton bolak-balik masuk rumah sakit. Sakit diabetes yang sudah merembet ke ginjal.Aku keluar dari kamar perawatan untuk mencari makanan. Di Lobi rumah sakit, tanpa sengaja aku melihat Mas Fandi, mantanku. Mas Fandi juga melihat kearah ku dan berjalan menghampiriku."Hai Leni," kata Mas Fandi."Halo Mas, ngapain disini?" jawabku gugup."Ibu dirawat disini. Kamu ngapain disini?""Mas Anton juga dirawat disini," kataku.Kami berjalan menuju kamar perawatan. Ternyata kamar perawatan Mas Anton dan Ibu Mas Fandi berhadapan."Aku masuk dulu Mas," kataku ketika sampai di depan pintu. Mas Fandi mengangguk. Aku sengaja tidak menawari Mas Fandi untuk masuk ke kamar perawatan Mas Anton. Takut terjadi sesuatu karena Mas Anton juga ke
Drtt...drttHpku berdering, aku lihat jam menunjukkan pukul empat pagi. Siapa sih yang nelpon? Ternyata Mbak Yuni."Assalamualaikum, Mbak," sapaku pada Mbak Yuni."Waalaikumsalam.""Ada apa Mbak?""Leni meninggal, Nis!"Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Baru kemarin aku berbicara dengannya, berusaha untuk memaafkan kelakuannya. Ternyata sekarang sudah menghadapNya. Umur manusia tidak ada yang tahu. Memang benar, Leni diprediksi tidak berumur panjang karena penyakit yang dideritanya. Tapi aku tidak menyangka kalau secepat ini."Nis….Anis," panggil Mbak Yuni. Aku kaget dan gelagapan."I..iya Mbak. kapan meninggalnya, Mbak?" tanyaku."Sekitar jam tiga tadi. Nanti melayat bareng ya? Mbak jemput Ibu dulu baru jemput kamu!""Iya Mbak!" Kututup panggilan telepon itu.
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku
Sepertinya aku sudah dimabuk cinta, cinta pada Mas Rayhan. Kami sering berangkat kerja bareng. Tapi tentu saja kami masih tahu batasan tidak menabrak norma yang ada. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.Hari ini pulang dari kantor, aku dan Mas Rayhan berencana pergi ke sebuah supermarket. Ada beberapa keperluan rumah tangga yang akan aku beli.Aku sudah membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejaku. Ruanganku sudah sepi, aku pun keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Sekitar lima menit aku menunggu, Mas Rayhan belum juga keluar dari ruangannya.Akhirnya aku mengirim pesan.[Mas, jadi kan nemenin aku ke supermarket?][Mas jadi nggak?]Belum juga ada jawaban. Aku jadi serba salah, kalau aku tinggal, nanti Mas Rayhan marah. Aku pun mencoba untuk menelpon Mas Rayhan."Mas, masih lama nggak pulangnya? Atau aku pulang d
"Pantas saja nggak mau makan di kantin, ternyata mau makan berdua disini," kata Sandra mengagetkan kami.Aku dan Mas Rayhan hanya tertawa."Aku keluar ah, nggak enak nanti mengganggu.""Disini saja, San. Kalau hanya berdua saja nggak enak.""Betul itu." Mas Rayhan menimpali."Terus aku ngeliatin kamu makan, gitu, Nis?" tanya Sandra."Ayo kalau mau makan bersama," ajakku."Sudah kenyang.""Kamu sudah selesai makannya?" tanya Mas Rayhan."Sudah. Mas habisin saja.""Bener?""Iya, Mas.""Mas?" tanya Sandra heran. Aku kaget keceplosan memanggil Mas pada Mas Ray."Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah benar dugaanku?" tanya Sandra dengan penasaran."Iya, jangan cerita dengan orang lain." Ma
Sampai dirumah, ternyata Anggi sudah pulang."Mama, nggak bawa mobil ya?" tanya Anggi yang baru keluar dari kamarnya."Enggak, naik ojek.""Ooo.""Tolong dibereskan yang ada di meja makan. Tadi Mama beli makanan."Anggi berjalan menuju ruang makan, aku segera mandi untuk menyegarkan hati dan pikiran.Selesai mandi aku segera makan. Dari pagi perut belum terisi. Gara-gara emosi yang menguras hati dan pikiran. Kenapa aku jadi seperti ini ya?Badanku benar-benar lelah sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku sengaja tidak memegang ponselku. Pasti akan ada panggilan dan pesan dari Mas Rayhan. Aku biarkan saja. Aku ingin istirahat.Tapi pikiran tidak bisa diajak kompromi. Memikirkan tadi siang. Aku baru melihat Nadya hari ini. Memang Minggu lalu katanya ada pelantikan beberapa pejabat. Ada yang