Drtt...drtt
Hpku berdering, aku lihat jam menunjukkan pukul empat pagi. Siapa sih yang nelpon? Ternyata Mbak Yuni.
"Assalamualaikum, Mbak," sapaku pada Mbak Yuni.
"Waalaikumsalam."
"Ada apa Mbak?"
"Leni meninggal, Nis!"
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Baru kemarin aku berbicara dengannya, berusaha untuk memaafkan kelakuannya. Ternyata sekarang sudah menghadapNya. Umur manusia tidak ada yang tahu. Memang benar, Leni diprediksi tidak berumur panjang karena penyakit yang dideritanya. Tapi aku tidak menyangka kalau secepat ini.
"Nis….Anis," panggil Mbak Yuni. Aku kaget dan gelagapan.
"I..iya Mbak. kapan meninggalnya, Mbak?" tanyaku.
"Sekitar jam tiga tadi. Nanti melayat bareng ya? Mbak jemput Ibu dulu baru jemput kamu!"
"Iya Mbak!" Kututup panggilan telepon itu.
"Assalamualaikum." Terdengar suara orang mengucapkan salam."Waalaikumsalam, biar Anggi yang buka ya, Ma?" kata Anggi sambil berjalan menuju ke pintu depan."Oke," jawabku.Tadi pagi Ibu ke rumahku, karena nanti sore mau yasinan hari ketujuh di rumah Leni. Jadi Ibu mau berangkat bersamaku. Selesai memasak dan makan, aku dan Ibu mengobrol sambil menonton acara di televisi.Menyenangkan sekali ketika Ibu ada disini. Ada teman yang diajak ngobrol dan berbagi cerita. Ibu juga tidak menganggapku sebagai menantu lagi, tapi anak. Sikapnya padaku melebihi sikapnya pada Mas Fandi. Mengingat Mas Fandi, sedang apa ya dia sekarang? Apakah sibuk menata hati, berusaha mengikhlaskan kepergian istri sirinya? Mungkinkah ia masih selalu mengingatku? Mungkinkah masih ada cinta untukku di hatinya? Ada rasa nyeri di hatiku jika mengingat Mas Fandi. Sakit hati itu masih ada, walaupun aku berusaha untuk memaafkannya.
Malam hari ini merupakan malam ke tujuh acara yasinan di rumah Leni. Tidak setiap malam aku datang, karena kasihan Anggi kalau ditinggal setiap malam. Sedih melihat Mas Fandi, sepertinya ia sangat kehilangan Leni. Hatiku terasa nyeri, begitu besarnya arti Leni bagimu, Mas. Semenjak Leni di rumah sakit sampai malam ini Mas Fandi hanya sekali pulang ke rumah. Ketika ia memintaku untuk menjenguk Leni.Ibunya Leni juga terlihat sangat terpukul dengan kepergian anaknya. Wajah tuanya nampak semakin sendu setiap ada yang menyebut nama Leni. Bahkan sampai meneteskan air mata. Hari ini tidak kulihat Zaki. Mungkin sedang tidur dikamar. Kasihan membayangkan anak berumur sekitar dua tahun setengah, yang belum tahu apa artinya kehilangan seorang ibu.Pada malam ketujuh ini, aku disuruh hadir oleh keluarga besar Mas Anton. Katanya malam ini akan ada pertemuan keluarga membahas semua wasiat Leni. Mau tidak mau aku harus hadir.Beberapa
Hari ini kami akan ke rumah Leni untuk menjemput Zaki. Ibu dan Anggi sudah bersiap-siap."Ayo Ma kita berangkat!" kata Anggi, sepertinya sudah tidak sabar lagi."Kayaknya ada yang sudah tidak sabar nih!" aku menggoda Anggi"Ih Mama!" kata Anggi."Let's go!" katakuKetika kami sampai di rumah Leni, ternyata Aisyah dan suaminya sudah ada di sana. Aisyah akan menjemput Dani dan Danu."Udah lama sampainya Bunda Aisyah?" tanyaku pada Aisyah."Lumayan Mbak, tadi bantuin anak-anak membereskan barang-barangnya," jawab Aisyah.Dani dan Danu memasukkan barang-barangnya ke mobil Aisyah."Yang lainnya ditinggal saja, besok ada yang mengambil. Yang penting sudah dibereskan dan disusun. Jadi besok tinggal ambil saja," kata Aisyah pada Dani dan Danu."Lho Ibu kok ikutan beres-ber
Drtt...drtt hp Mas Fandi berbunyi, Mas Fandi sedang pergi bersama anak-anak. Aku biarkan saja. Kalau penting nanti pasti menelpon lagi.Drtt...drtt… ponselnya berbunyi lagi. Aku pusing sendiri mendengarnya. Akhirnya aku mencoba untuk menerima panggilan itu."Halo?" sapaku dengan suara ramah. Walaupun sebenarnya aku kesal, karena dering ponsel yang dari tadi mengganggu."Halo, bisa bicara dengan Bapak Fandi?" jawab suara perempuan di seberang sana."Maaf dari siapa ini ya?" tanyaku lagi."Dari temannya!""Ooo Pak Fandi sedang keluar, hpnya tidak dibawa."Tut...TutPanggilan terputus. Dasar gak punya sopan sama sekali. Siapa perempuan itu? Jangan sampai terulang lagi kejadian beberapa tahun yang lalu. Kulihat foto profil di nomor tersebut. Seorang perempuan yang sudah dewasa.Dua tahun ini hidupku am
Pulang kerja aku langsung merebahkan badan, sekedar melepas penat dari rutinitas kerja. Kuraih ponselku, ternyata ada beberapa pesan berupa foto dari Sandra. Mataku terbelalak melihat orang yang ada di foto itu."Pa, apa maksudnya semua ini?" tanyaku pada Mas Fandi ketika pulang kerja."Apa sih Ma? Papa kan baru pulang kerja, bisa nggak nunggu nanti dulu," jawab Mas Fandi"Nggak bisa nunggu Pa, Mama minta penjelasan sekarang juga," kataku sambil menunjukkan foto Mas Fandi dengan Winda.Aku mendapat kiriman foto dari Sandra yang melihat Mas Fandi jalan dengan perempuan di toko perhiasan. Perempuan itu nempel-nempel sama Mas Fandi. Bahkan sepertinya sengaja dadanya ditempelkan ke tangan Mas Fandi. Dasar perempuan ganjen. Mas Fandi kaget melihat foto itu."Darimana Mama dapat foto itu?" tanya Ma Fandi."Nggak perlu Papa tahu. Ini dari orang yang tidak mau meliha
Klunting...kluntingAda kiriman video dari Fajar. Aku menonton video itu."Mas, istirahat nanti kita makan diluar yuk? Aku yang traktir!" kata Winda sambil mendekati Mas Fandi"Maaf ya Winda? Aku lagi sibuk banyak kerjaan!" jawab Mas Fandi. Winda melangkah pergi, sedangkan Mas Fandi sibuk mengerjakan pekerjaannya lagi. Ia tampak asyik mengerjakan sesuatu.Tak lama kemudian Winda datang membawa makanan dua bungkus."Ini Mas, udah aku beliin makan, makan yuk!" ajak Winda dengan senyum menggoda.Akhirnya Mas Fandi makan berdua dengan Winda sambil ngobrol dan bercanda. Kulihat wajah Winda sangat bahagia.Ternyata memang Winda yang kegatelan. Berarti memang dia niat merebut Mas Fandi dariku. Lihat saja, kalau sampai mereka berbuat zina akan aku laporkan ke atasan mereka biar keduanya dipecat dari PNS.Semua gerak gerik mer
Aku memegang kepalaku yang terasa sakit, seperti dihantam sesuatu. Terasa agak pusing, untung aku berpegangan pada meja kasir. Kalau tidak, pasti sudah jatuh tadi."Dasar nenek lampir. Aku akan membuat perhitungan denganmu," kata Winda sambil memegang air mineral botol plastik yang dipukulkan ke kepalaku."Silahkan! Aku tunggu!" kataku lagi sambil memegang kepalaku."Maaf Bu, kalau mau membuat keributan jangan disini," kata pegawai Ind*ma*et pada Winda.Winda yang tampak kesal langsung keluar. Selesai membayar aku menemui pegawai Ind*ma*et."Mas, bisa nggak saya minta rekaman dari cctv ketika saya dipukul tadi?" tanyaku pada pegawai tersebut."Maaf Bu, saya tidak berani memberikannya." Pegawai tetap tidak mau."Itu akan saya pakai untuk laporan ke atasan perempuan itu dan suami saya," kataku lagi."Begini saja B
Kehebohan terjadi di kantorku pagi ini, ketika aku datang. Banyak yang menyapaku atau sekedar menanyakan kabar. Mereka bersimpati dengan kejadian yang menimpaku. Tapi aku yakin, kebanyakan dari mereka sebenarnya kepo. Ingin tahu cerita dariku."Coba aku ada disitu Bu, pasti tambah seru.""Seru kenapa?" tanyaku."Ikut merekam untuk konten di YouTube.""Huuu... Dasar kamu itu bahagia diatas penderitaan Bu Anis.""Lain kali kalau ketemu orang itu lagi, calling saya ya Bu!"Aku tersenyum mendengar komentar mereka, yang membuatku terhibur. Walaupun pikiranku dipenuhi dengan masalah yang selalu datang silih berganti. Setidaknya disini, masalah itu seakan hilang, walaupun nanti kalau sudah di rumah akan kepikiran lagi."Artis video viral sudah datang nih," ledek Sandra."Ish apaan sih, bikin malu saja," sahutku. 
Suara azan subuh membangunkanku dari tidur dan mimpi. Mimpi yang sangat indah, eh mimpi atau kenyataan ya? Sebuah tangan masih melingkar di tubuhku, ah tentu saja tangannya Mas Rayhan, suamiku tercinta. Perlahan aku singkirkan tangannya, ternyata dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Badanku terasa sangat remuk redam, karena permainan panas kami berdua tadi malam. Benar-benar luar biasa. Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi masih ditahan tangan Mas Rayhan."Nanti saja bangunnya," kata Mas Rayhan sambil mengeratkan pelukannya."Aku mau mandi, Mas. Salat subuh.""Sebentar lagi. Mas masih mau memelukmu. Sekali lagi ya?" pinta Mas Rayhan dengan tangan mulai bergerilya.Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Mas Rayhan masih bersemangat melakukannya. Permainannya luar biasa, aku dibuatnya tidak berdaya."Aah..aah." Aku terus mendesah, menikmati surga dunia.
Rumah terasa sangat sepi hanya kami berdua saja. Aku membereskan barang-barang yang masih berantakan. Dibantu Mas Rayhan, semua sudah tampak bersih lagi. Malam ini aku berencana akan tidur di rumah Mas Rayhan. Beberapa pakaian dan keperluanku sudah aku bawa kemarin. Tentu saja tidak semua barang aku bawa, hanya keperluan pribadi saja.Tak terasa sudah azan magrib, kebetulan aku sudah selesai mandi. Segera aku dan Mas Rayhan meninggalkan rumah ini.Setelah mengunci pintu rumahku, akhirnya aku dan Mas Rayhan pindah tempat tinggal.Mas Rayhan sedang mandi ketika aku selesai salat magrib. Ia tidak mandi di rumahku karena memang tidak pakaian ganti. Mas Rayhan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Tampak tubuh kekarnya yang belum pernah aku lihat. Dadaku menjadi berdebar-debar. Aku tetap memperhatikan Mas Rayhan, kemudian ia melepaskan handuknya dan memakai celana dalam. Aku merasa sangat malu, kemudian ia menoleh padaku,
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul empat pagi. Kulihat Anggi masih pulas terbuai mimpi. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur karena merasa sangat haus. Kulihat Indra, suami Resti, dan Angga masih tertidur di depan televisi. Keluargaku memang sedang menginap di rumahku.Sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak air."Bu, kok sudah bangun?" tanyaku, sambil mengambil air putih."Ibu memang terbiasa bangun jam segini.""Apa Ibu nggak nyenyak tidurnya?""Kalau sudah setua Ibu, tidur nyenyak itu nggak lama. Paling hanya beberapa jam saja."Aku pun duduk bersama Ibu."Kamu sendiri nyenyak nggak tidurnya? Atau malah nggak bisa tidur membayangkan hari ini?" tanya Ibu menggodaku."Alhamdulillah, Bu, nyenyak sekali.""Kamu bahagia, Nis?""Bahagia, Bu."&nbs
Aku sedang berada di rumah Mas Rayhan, asyik ngobrol dengan Uti Ros. Tadi aku mengantarkan makanan buatan Ibu, malah diajak ngobrol sama Uti Ros."Ibu sudah nggak sabar melihat Rayhan menikah. Dia sudah lama sendiri, setiap Ibu tanya kapan mau menikah, ia selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi ketika Ibu dan Key menjodohkan denganmu, Rayhan tampak bersemangat. Dan yang membuat Ibu berbahagia, waktu Rayhan mengatakan mau menikah denganmu. Ibu yakin, kamu itu memang pantas mendampinginya. Akhirnya Rayhan menemukan jodohnya." Uti Ros berkata dengan mata berkaca-kaca."Saya juga sangat berbahagia, Uti. Saya tidak menyangka kalau mau menikah lagi dalam waktu dekat ini. Tapi yang namanya jodoh, tidak ada yang tahu. Ternyata jodoh saya lima langkah dari rumah, kayak lagi dangdut," kataku sambil tertawa. Uti Ros juga ikut tertawa."Ibu yakin, kalian berdua bisa menjaga keutuhan rumah tangga kalian nantinya. Pengalaman hidup
"Ayo sekarang kita cari Mas kawinnya," kata Mas Rayhan setelah kami selesai mendaftarkan pernikahan kami ke KUA. Semua persyaratan sudah selesai kami urus dan semuanya sudah beres. Tinggal menunggu akad nikahnya.Mobil melaju ke arah sebuah pusat perbelanjaan. Kami langsung menuju ke toko perhiasan. Aku memilih perhiasan yang aku suka, yaitu cincin."Kenapa nggak yang ini?" kata Mas Rayhan sambil menunjuk satu set perhiasan, berupa cincin, gelang dan kalung.Aku ragu memilihnya, karena aku tahu pasti mahal harganya."Nggak usah mikir harga. Uang bisa dicari," bisiknya padaku.Aku mengangguk tanda setuju dengan pilihannya.Selesai membeli mas kawin, kami jalan-jalan mencari pakaian. Ternyata Mas Rayhan orangnya ribet kalau mencari pakaian, hobinya yang model slim fit. Pantesan ia selalu terlihat modis dan macho, nggak kayak aku. Aku kalau mencari pakaian yang
Pagi ini aku dikagetkan dengan kedatangan keluarga besarku. Bapak, Ibu, Resti dan keluarganya datang ke rumah. Ada apa ya, kok begitu mendadak? Apakah ada sesuatu yang begitu penting? Aku jadi penasaran."Kok nggak ada yang ngasih kabar kalau mau kesini," kataku masih tidak percaya dengan kehadiran mereka."Kejutan, Mbak!" kata Resti sambil tertawa.Aku ke dapur untuk membuatkan minuman, kulihat Anggi sedang membuatkan teh sambil ngobrol dengan Nadia, anak pertama Resti."Kamu tahu kalau Akung dan Uti mau kesini?" tanyaku pada Anggi."Tahu, Ma," jawab Anggi dengan santai."Kok nggak bilang sama Mama.""Nggak boleh kata Tante Resti." Anggi melangkah ke ruang keluarga dengan membawa minuman. Kami duduk diatas karpet sambil ngobrol-ngobrol."Kamu sudah siap, Nduk?" tanya Ibu."Siap apa, Bu?" jawabku
Sepertinya aku sudah dimabuk cinta, cinta pada Mas Rayhan. Kami sering berangkat kerja bareng. Tapi tentu saja kami masih tahu batasan tidak menabrak norma yang ada. Tidak ada kontak fisik yang berlebihan.Hari ini pulang dari kantor, aku dan Mas Rayhan berencana pergi ke sebuah supermarket. Ada beberapa keperluan rumah tangga yang akan aku beli.Aku sudah membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejaku. Ruanganku sudah sepi, aku pun keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Sekitar lima menit aku menunggu, Mas Rayhan belum juga keluar dari ruangannya.Akhirnya aku mengirim pesan.[Mas, jadi kan nemenin aku ke supermarket?][Mas jadi nggak?]Belum juga ada jawaban. Aku jadi serba salah, kalau aku tinggal, nanti Mas Rayhan marah. Aku pun mencoba untuk menelpon Mas Rayhan."Mas, masih lama nggak pulangnya? Atau aku pulang d
"Pantas saja nggak mau makan di kantin, ternyata mau makan berdua disini," kata Sandra mengagetkan kami.Aku dan Mas Rayhan hanya tertawa."Aku keluar ah, nggak enak nanti mengganggu.""Disini saja, San. Kalau hanya berdua saja nggak enak.""Betul itu." Mas Rayhan menimpali."Terus aku ngeliatin kamu makan, gitu, Nis?" tanya Sandra."Ayo kalau mau makan bersama," ajakku."Sudah kenyang.""Kamu sudah selesai makannya?" tanya Mas Rayhan."Sudah. Mas habisin saja.""Bener?""Iya, Mas.""Mas?" tanya Sandra heran. Aku kaget keceplosan memanggil Mas pada Mas Ray."Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah benar dugaanku?" tanya Sandra dengan penasaran."Iya, jangan cerita dengan orang lain." Ma
Sampai dirumah, ternyata Anggi sudah pulang."Mama, nggak bawa mobil ya?" tanya Anggi yang baru keluar dari kamarnya."Enggak, naik ojek.""Ooo.""Tolong dibereskan yang ada di meja makan. Tadi Mama beli makanan."Anggi berjalan menuju ruang makan, aku segera mandi untuk menyegarkan hati dan pikiran.Selesai mandi aku segera makan. Dari pagi perut belum terisi. Gara-gara emosi yang menguras hati dan pikiran. Kenapa aku jadi seperti ini ya?Badanku benar-benar lelah sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, aku sengaja tidak memegang ponselku. Pasti akan ada panggilan dan pesan dari Mas Rayhan. Aku biarkan saja. Aku ingin istirahat.Tapi pikiran tidak bisa diajak kompromi. Memikirkan tadi siang. Aku baru melihat Nadya hari ini. Memang Minggu lalu katanya ada pelantikan beberapa pejabat. Ada yang